Tuesday, November 17, 2015

Makalah Komunikasi Agribisnis Adopsi Inovasi Teknologi Pertanian

TUGAS TERSTRUKTUR
KOMUNIKASI AGRIBISNIS

Adopsi Inovasi Teknologi Pertanian


*Editor : Ali Ahsan Al-Haris






Disusun Oleh :
Kelas K
Kelompok 5
                   1.                    Rismatika A.K 
                   2.                    Rosaria Fahmi M.      
                   3.                    Sarah Aulia F
                   4.                    Sausan Salma
                   5.                    Selsio C.A.M


PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2012


A.     Pengertian Adopsi Inovasi
Adopsi  inovasi  mengandung  pengertian  yang  kompleks  dan dinamis.  Hal  ini  disebabkan  karena  proses  adopsi  inovasi  sebenarnya adalah menyangkut proses pengambilan keputusan, dimana dalam proses ini banyak faktor yang  mempengaruhinya. Berarti dalam hal ini adalah proses pengambilan keputusan untuk menerima ide-ide baru.

Karena dalam proses adopsi inovasi diperlukan informasi yang cukup, maka calon adopter biasanya senantiasa mencari informasi dari sumber informasi  yang relevan. Ada tiga hal yang diperlukan bagi calon adopter dalam kaitannya dalam proses adopsi inovasi, yaitu:

  1. Adanya pihak lain yang telah melaksanakan adopsi inovasi dan berhasil dengan sukses. Pihak yang tergolong kriteria ini dimaksudkan sebagai sumber informasi yang relevan.
  2. Adanya suatu proses adopsi inovasi yang berjalan secara sistematis, sehingga dapat diikuti dengan mudah oleh calon adopter.
  3. Adanya hasil adopsi inovasi yang sukses dalam artian telah memberikan keuntungan, sehingga dengan demikian informasi seperti ini akan memberikan dorongan kepada calon adopter untuk melaksanakan adopsi inovasi.
B.   Tahapan Adopsi Inovasi
Ada empat tahapan dalam proses adopsi inovasi, yaitu :

a.    Tahap Kesadaran
Pada tahapan ini petani untuk pertama kalinya belajar tentang sesuatu yang baru. Informasi yang dipunyai tentang teknologi baru yang akan di adopsi  itu masih bersifat umum. Ia mengetahui sedikit sekali bahkan informasi yang yang diketahui tersebut kadang-kadang tidak ada kaitannya dengan kualitas khusus yang diperlukan untuk melakukan adopsi.

b.    Tahapan Menaruh Minat
Pada tahapan ini petani mulai mengembangkan informasi yang diperoleh dalam menimbulkan dan mengembangkan minatnya untuk adopsi inovasi. Ia mulai mempelajari secara lebih terperinci tentang ide baru tersebut, bahkan tidak puas  kalau hanya mengetahui saja tetapi ingin berbuat yang lebih dari itu. Oleh karena itu, pada tahapan ini, petani  tersebut mulai mengumpulkan informasi dari berbagai pihak, apakah itu dari media cetak ataupun dari media elektronik.

c.    Tahapan Evaluasi
Pada tahapan ini, seseorang yang telah mendapatkan informasi dan bukti yang telah dikumpulkan pada tahapan-tahapan sebelumnya dalam menentukan apakah ide baru tersebut akan diadopsi atau tidak, maka diperlukan kegiatan yang disebut evaluasi atau penilaian. Maksudnya tentu saja untuk mempertimbangkan lebih lanjut apakah minat yang telah ditimbulkan tersebut perlu diteruskan atau tidak. Hal ini berarti petani mulai menilai secara sungguh-sungguh dan mengaitkannya dengan situasi yang mereka miliki.

d.    Tahapan Mencoba
Pada tahapan ini, petani atau individu dihadapkan dengan suatu masalah yang nyata. Ia harus menuangkan buah pikirannya tentang minat dan evaluasi tersebut dalam suatu kenyataan yang sebenarnya. Pemikiran  itu harus dituangkan dalam praktek, sesuai dengan apa yang disebut dengan tahapan mencoba dari dari ide baru tersebut. hal ini  berarti  bahwa  ia harus belajar, apa yang disebut ide baru, bagaimana melakukannya, mengapa harus ia lakukan, dengan siapa ia melakukan ide baru tersebut, apakah dilakukan sendiri atau berkelompok dan dimana ia harus melakukan percobaan tersebut.

e.    Tahapan Adopsi
Pada tahan ini, petani atau individu telah memutuskan bahwa ide   baru yang ia pelajari adalah cukup baik untuk diterapkan dilahannya dalam skala yang agak luas. Tahapan adopsi ini barang kali yang paling   menentukan dalam proses kelanjutan pengambilan keputusan lebih lanjut.

C.   Sifat Adopsi Inovasi
Sifat adopsi inovasi ini akan menentukan kecepatan adposi inovasi. Berikut adalah sifat-sifat adopsi inovasi, yaitu :

a.    Apakah Memberi Keuntungan atau Tidak
Sejauh mana inovasi baru itu akan memberikan keuntungan daripada teknologi lama yang digantikannya. Bila memang benar bahwa teknologi baru akan memberikan keuntungan yang relatif lebih besar dari nilai yang dihasilkan oleh teknologi lama, maka kecepatan proses adopsi inovasi akan berjalan lebih cepat.

b.    Kompabilitas
Seringkali teknologi baru yang menggantikan teknologi lama tidak saling mendukung, namun banyak pula dijumpai penggantian teknologi lama dengan teknologi baru yang merupakan kelanjutan saja. Bila teknologi baru itu  merupakan kelanjutan dari teknologi yang lama yang telah dilaksanakan petani, maka kecepatan proses adopsi inovasi akan berjalan relatif lebih cepat. Hal ini disebabkan karena pengetahuan petani yang sudah terbiasa untuk menerapkan teknologi lama yang tidak banyak berbeda dengan teknologi baru tersebut.

c.    Kompleksitas
Inovasi suatu ide baru atau teknologi baru yang cukup rumit untuk diterapkan akan mempengaruhi kesepatan proses adopsi inovasi. Artinya, makin mudah teknologi baru tersebut dapat dipraktekkan, maka makin cepat pula proses adopsi inovasi yang dilakukan petani. Oleh karena itu, agar proses adopsi inovasi dapat berjalan lebih cepat maka penyajian inovasi baru tersebut harus lebih sederhana.

d.    Triabilitas
Triabilitas merupakan persamaan dari kata kemudahan. Artinya makin mudah teknologi baru tersebut dilakukan maka relatif makin cepat proses adopsi inovasi yang dilakukan petani.

e.    Observabilitas
Observabilitas disini maksudnya adalah dapat diamatinya suatu inovasi. Seringkali ditemukan bahwa banyak kalangan petani yang cukup   sulit untuk diajak mengerti mengadopsi inovasi dari teknologi baru, walaupun teknologi baru tersebut telah memberikan keuntungan karena telah dicoba di tempat lain.

D.   Faktor yang Mempengaruhi Proses Adopsi Inovasi
a.    Saluran komunikasi

Peranan saluran komunikasi ini sangat penting. Inovasi  yang disampaikan secara individual akan berjalan secara lebih cepat bila dibandingkan dengan inovasi tersebut dilakukan secara masal. Walaupun pendapat demikian tidak selalu benar, hal itu dikarenakan masih banyak faktor lain yang mempennaruhi kecepatan proses adopsi inovasi. Para peneliti membagi saluran komunikasi menjadi (1) saluran interpersonal dan media massa, dan (2) saluran lokal dan saluran kosmopolit. Saluran interpersonal adalah saluran yang melibatkan pertemuan tatap muka (sumber  dan penerima) antara dua orang atau lebih.

b.    Ciri sistem sosial

Faktor selanjutnya adalah ciri dari sistem sosial yang ada di masyarakat di mana calon adopter itu bertempat tinggal. Masyarakat yang lebih modern akan relatif lebih cepat bila dibandingkan dengan masyarakat yang tradisional. Di samping itu masyarakat dengan individu-individu kosmoplitas akan relatif lebih cepat melakukan adopsi inovasi daripada masyarakat yang bersifat lokalitas.

c.    Kegiatan promosi penyuluh pertanian

Proses adopsi inovasi ini juga dipengaruhi oleh peranan komunikator yang biasanya ditampilkan oleh penyuluh pertanian. Semakin giat penyuluh pertanian melaksanakan promosi tentang adopsi inovasi, maka semakin cepat  pula adopsi inovasi yang dilakukan oleh masyarakat tani.

d.    Sumber informasi

Sumber informasi juga sangat berpengaruh terhadap proses adopsi inovasi. Sumber informasi dapat berasal dari media masa, tetangga, teman, petugas penyuluh pertanian, pedagang, pejabat desa atau dari informan yang lain.

e.    Faktor-faktor geografis

Faktor-faktor geografis juga dapat mempengaruhi kecepatan adopsi inovasi. Kondisi alam dari suatu daerah dapat berpengaruh terhadap kecepatan adopsi inovasi. Wilayah yang memiliki kondisi alam yang sulit akan berpengaruh juga terhadap kecepatan adopsi inovasi. Misalnya wilayah yang topografinya curam dan berbukit-bukit akan lebih sulit dibandingkan dengan wilayah yang datar. Lokasi juga berpengaruh terhadap kecepatan adospi inovasi. Lokasi ini tentu berhubungan dengan jarak dan keterjangkauan. Daerah yang memiliki jarak yang jauh dengan  sumber informasi atau daerah yang terisolir akan cukup sulit dalam proses adopsi inovasi.

E.    Produktivitas Pertanian
Berdasarkan tinjauan Geografis, Sumaatmadja (1988:166), mengemukakan bahwa:
Pertanian sebagai suatu sistem keruangan, merupakan perpaduan subsistem fisis dengan subsistem manusia. Kedalam subsistem fisis  termasuk komponen-komponen tanah, iklim, hidrografi, topografi  dengan segala proses alamiahnya. Sedangkan dalam subsistem manusia termasuk tenaga kerja, kemampuan teknologi, tradisi  yang berlaku dalam kehidupan masyarakat, kemampuan ekonomi, dan kondisi politik setempat.

Pendapat diatas mengemukakan bahwa dalam sistem usaha pertanian akan banyak dipengaruhi faktor-faktor baik fisik maupun sosial, adapun  faktor-faktor sosial yang mempengaruhi usaha pertanian salah satunya adalah produktivitas pertanian.

Partadireja (1980: 7), mengatakan bahwa:
Produksi per hektar ditentukan oleh keadaan dan kesuburan tanah, varietas tanaman, penggunaan pupuk organik, tersedianya air dalam jumlah dalam yang cukup dan alat-alat pertanian yang semuanya itu tremasuk modal, teknik bercocok tanam, teknologi yang didalamnya termasuk organisasi, manajemen dan gagasan- gagasan serta tenaga kerja.

Pendapat di atas mengungkapkan bahwa, hasil produktifitas dalam pertanian akan banyak dipengaruhi kondisi fisik lahan pertanian itu sendiri, pengelolaan usaha tani yang baik pula, serta modal yang cukup.

Produksi lahan pertanian sangat dipengaruhi tingkat kesuburan tanah dan bagaimana pengelolaannya, yang dimaksud “produktivitas lahan pertanian adalah kemampuan lahan untuk memproduksi sesuatu spesies tanaman atau suatu sistem penanaman pada suatu sistem pengelolaan tertentu. Aspek pengelolaan yang dimaksud misalnya pengaturan jarak tanam, pemupukan, dan pengairan.

F.    Tingkat Pendapatan Petani
Perbedaan  kebijaksanaan  antar  sektor  pertanian  dan  industri dapat  dilihat  dalam  keperluan  akan  kebijaksanaan  yang  berada  antara penduduk kota dan penduduk pedesaan adalah sedemikian rupa sehingga mempunyai akibat dalam pola pengeluaran konsumsi dan perilaku lain-lainnya. Pendapatan pada beberapa negara Asia penduduk desa jauh lebih rendah daripada penduduk kota yang hampir dari setengahnya. Mubyarto (1995:  250)  mengemukakan ada tiga hal yang menyebabkan rata-rata pendapatan penduduk kota lebih yaitu :

a.    Kestabilan dan kemantapan yang lebih besar dari pendapatan penduduk kota.
b.    Lebih banyaknya lembaga-lembaga ekonomi dan keuangan yang dapat mendorong kegiatan ekonomi.
c.    Lebih banyaknya fasilitas pendidikan dan kesehatan dikota yang  memungkinkan rata-rata produktivitas tenaga kerja di kota lebih tinggi.

Sasaran pertanian ada dua yaitu sasaran sebelum panen atau sasaran pra panen dan sasaran pasca penen. Sasaran pra panen ialah hasil pertanian setinggi-tingginya. Sasaran ini merupakan sasaran tahap pertama atau sasaran tahap  pertama atau sasaran fisik. Sasaran tahap kedua yaitu sasaran ekonomis atau sasaran akhir ialah pendapatan atau keuntungan yang sebanyak-banyaknya tiap satuan lahan yang diusahakan karena hasil panen tinggi belum tentu memberikan keuntungan atau pendapatan tinggi pula.
Tingkat pendapatan dapat menunjukkan            tinggi rendahnya keadaan sosial ekonomi masyarakat tertentu. Hal ini sesuai dengan permasalahan yang timbul di Indonesia yaitu masih rendahnya tingkat pendapatan sebagian besar petani.

Usaha untuk meningkatkan pendapatan petani dari lahan pertaniannya merupakan salah satu tujuan usaha pertanian. Tinggi rendahnya pendapatan   petani ditentukan beberapa hal diantaranya pengolahan lahan, pemupukan dan pengairan. Selain itu juga keadaan cuaca, sifat-sifat tanah dan  keadaan sosial budaya petani akan ikut menentukan pula, seperti yang dikemukakan arsyad (1987: 25) sebagai berikut :
Besar kecilnya pendapatan petani dari usaha taninya terutama ditentukan oleh luas lahan garapan. Kecuali itu, faktor lain yang menentukkan diantaranya produktivitas dan kesuburan tanah. Jenis komoditas yang diusahakan serta tingkat penerapan teknologi pertanian.

Pendapatan petani menurut Arsyad tersebut tergantung pada modal dan pengolahan lahan. Kedua hal tersebut menentukan hasil jerih payah petani. Semakin besar modal yang dimiliki dan didukung dengan pengolahan lahan yang baik akan menentukan besarnya pendapatan yang diperoleh petani. Sebaliknya modal yang dimiliki sedikit kurang didukung pengolahan lahan pertanian yang maksimal hasilnya pun akan sedikit.
Pendapatan petani memiliki cirri khas sendiri yaitu penerimaan penghasilan hanya setiap musim panen sekali. Kadangkala dalam setahun penerimaan penghasilan tersebut bisa sampai dua atau tiga kali, tetapi ada juga  yang hanya satu kali.  Sehingga terdapat perbedaan antara pola pengeluaran dalam masyarakat petani. Pendapatan petani hanya diterima sekali panen, sedangkan pengeluaran harus dilakukan setiap saat.
Pendapatan petani pada umumnya ditandai tidak adanya surplus produksi pertanian, sehingga menyebabkan terbatasnya kemampuan mereka  dalam investasi. Pendapatan per kapita yang sangat rendah di bawah kebutuhan minimum menyebabkan produktivitasnya rendah dan membatasi dirinya untuk kesepatan berusaha. Sehingga untuk menutupi kebutuhan yang tidak terbatas petani mencari sumber pendapatan lain di luar sektor pertain.
Jumlah rumah tangga petani di Indonesia didominasi petani kecil, sebagaimana diungkapakan Soekartawi (1986:6), bahwa karakteristik petani kecil di Indonesia ialah sebagai berikut:
a.    Petani yang pendapatannya rendah, kurang dari 240 Kg beras perkapita pertahun.
b.    Petani yang memiliki lahan sempit, yaitu lebih kecil dari 0,25 hektar lahan sawah di Jawa atau 0,5 hektar di luar jawa
c.    Petani yang kekurangan modal dan memiliki tabungan terbatas.
d.    Petani yang memiliki pengetahuan terbatas dan kurang dinamis.

Tinggi rendahnya pendapatan petani ditentukan beberapa faktor, hal ini  senada dengan pendapat yang diungkapkan Arsyad (1989:  2). Bahwa:
Besar kecil pendapatan petani dari usaha taninya terutama ditentukan oleh luas lahan garapan. Kecuali ada faktor lain yang turut menentukan, diantaranya produktivitas dan kesuburan tanah, jenis komoditas yang diusahakan serta tingkat penerapan teknologi pertanian.
Kedua pendapat di atas pada dasarnya memiliki maksa yang sama bahwa semakin besar modal yang dimiliki dan didukung dengan pengelolaan yang baik maka semakin besar pula pendapatan yang akan diperolah petani dari hasil pertaniannya, tetapi yang menjadi masalah pada umumnya bagi  petani yaitu pendapatan yang diperoleh petani setiap musim panen, sedangkan pengeluaran harus dilakukan setiap saat dalam waktu yang sangat mendesak sebelum panen tiba.

G.   Studi Kasus Adopsi Inovasi Teknologi Pertanian
ADOPSI TEKNOLOGI M-BIO (Pengajuan Terdaftar Paten nomor P 20000939) SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN PRODUKSI PERTANIAN BERKELANJUTAN (Tindak lanjut KKN-PPM 2007)
Oleh : Rudi Priyadi dan Rina Nuryati

Adopsi Teknologi M-Bio sebagai pupuk hayati yang merupakan kultur campuran dari berbagai mikroorganisme yang menguntungkan bagi perbaikan tanah dan tanaman, dan dikembangkan di Fakultas Pertanian Universitas Siliwangi pada usaha budidaya tanaman padi dengan System Rice Intensification (SRI) merupakan aplikasi teknologi pertanian ramah lingkungan yang mendukung program pembangunan berkelanjutan, karena secara teknis dilaksanakan dengan menggunakan sumber daya setempat dan pemanfaatan limbah ( sampah tanaman, pupuk kandang, pupuk hijau, sampah kota, sampah dapur, dsb), serta dihindari sama sekali penggunaan bahan kimia baik berupa pupuk maupun pestisida.

Pengujian di lapangan sejak tahun 1998 teknologi ini telah mampu memberikan peningkatan hasil pada beberapa komoditas pertanian. Dan Berdasarkan hasil uji pendahuluan yang dilakukan di Laboratorium Produksi Fakultas Pertanian Universitas Siliwangi teknologi ini mampu menghasilkan 300 gram GKP per rumpun tanaman padi. Kemudian di PKBM Al-Hidayah yang merupakan salah satu kelompok masyarakat yang telah mengadopsi teknologi ini satu rumpun tanaman padi mampu memberikan hasil rata-rata sebesar 160 gram GKP. Sementara itu di lahan sawah satu rumpun tanaman padi hanya menghasilkan rata-rata 80 gram GKP (Rina Nuryati dkk, 2008).

Sehubungan dengan hal tersebut maka teknologi tersebut perlu segera disosialisasikan kepada para petani untuk diadopsi pada usaha budidaya tanaman padi yang dilakukannya karena menurut Wiraatmadja (1985) penemuan baru itu tidak akan banyak manfaatnya, apabila tidak diketahui dan tidak digunakan oleh banyak orang. Sehubungan dengan hal tersebut maka telah dilakukan sosialisasi teknologi tersebut melalui penyelenggaraan KKN PPM 2007 yang ditindak lanjuti dengan Program Penerapan Ipteks 2009.

Tujuan yang ingin dicapai dari penyelenggaraan program ini adalah untuk meningkatkan produksi dan produktivitas sekaligus efektivitas dan efisiensi usahatani yang dilakukan melalui pemanfaatan bahan organik yang banyak tersedia di lingkungan sekitar petani, mengurangi ketergantungan petani pada penggunaan pupuk anorganik yang sering kali mengalami kelangkaan pada saat musim tanam tiba, dihasilkannya bahan pangan pokok bagi masyarakat yang aman dan sehat serta bebas dari berbagai bahan kimia yang berbahaya, menjamin keberlangsungan proses produksi dari usahatani yang dilakukan sekaligus menjamin kelestarian lingkungan di mana proses produksi dilakukan sehingga mendukung proses pembangunan pertanian yang berkelanjutan, kemudian yang paling penting adalah meningkatnya pendapatan dan taraf hidup petani   pada khususnya sekaligus meningkatkan aktivitas perekonomian pada sektor lainnya.

Bahan dan Metode
Kegiatan dilakukan di Desa Setiawaras Kecamatan Cibalong Kabupaten Tasikmalaya, yang pada Bulan Oktober 2007 desa ini telah dijadikan lokasi pelaksanaan Kuliah Kerja Nyata sebagai Pembelajaran Pemberdayaan Masyarakat atau di kenal dengan KKN-PPM oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat (LP2M) Universitas Siliwangi dengan Fakultas Pertanian Universitas Siliwangi Tasikmalaya. Dan dalam penyelenggaraannya mendapatkan dana hibah dari Direktorat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (DP2M) Dikti melalui Universitas Gajah Mada Yogyakarta sebagai Koordinator KKN-PPM. Selanjutnya pada tahun 2009 diteruskan dengan pelaksanaan Program Penerapan Ipteks 2009 yang dalam pelaksanaannya didanai dari APBN Ditjen Pendidikan Tinggi.

Desa Setiawaras terpilih sebagai lokasi penyelenggaraan kegiatan KKN-PPM 2007 dan Program Penerapan Ipteks 2009 karena desa ini memiliki potensi desa yang cukup besar bagi pengembangan tanaman budidaya, khususnya padi, dengan luas lahan sawah beririgasi seluas 915,4 ha dan luas lahan sawah tadah hujan seluas 233.568 Ha. Sedangkan luas desa keseluruhan seluas 1.829.418 Ha berupa lereng dan memiliki jumlah penduduk sebanyak 4.365 penduduk dengan jumlah kelompok tani sebanyak 10 kelompok tani .

Metode yang digunakan pada kegiatan ini adalah Metoda penyuluhan yang disertai dengan diskusi dan tanyajawab untuk meningkatkan mutu pengetahuan dan pengalaman petani. Kemudian Metode pelatihan digunakan untuk membantu petani dalam meningkatkan kemampuan teknis persiapan dan pelaksanaan aplikasi teknologi M-Bio yang diteruskan dengan kegiatan monitoring dan evaluasi untuk melihat perkembangan dari hasil adopsi Teknologi M-Biopada budidaya tanaman padi.

Dalam upaya untuk mengetahui tingkat pengetahuan dan keterampilan petani serta untuk mengetahui tingkat adopsi petani sasaran program terhadap Teknologi M-Bio sekaligus untuk mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan dan keterampilan petani dengan tingkat adopsi Teknologi M-Bio, selama kegiatan monitoring danevaluasi dilakukan wawancara dengan petani sasaran program yang dalam pelaksanaannya dipandu dengan bantuan daftar pertanyaan atau kuesioner.

Penyebaran kuesioner dilakukan kepada 26 petani responden di sembilan Dusun yang ada di Desa Setiawaras yang ditetapkan secara acak supaya hasil yang diperoleh representative dan mewakili populasi yang diamati. Selanjutnya data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan Analisis Nilai Tertimbang (Rasyid, 1995) untuk mengetahui tingkat pengetahuan dan keterampilan petani, serta untuk mengetahui tingkat adopsi petani terhadap Teknologi M-Bio. Sementara itu untuk mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan dan keterampilan petani dengan tingkat adopsi Teknologi M-Bio dilakukan analisis dengan menggunakan Analisis Kendall-W.

Hasil dan Pembahasan
Sosialisasi Teknologi M-Bio yang telah dilaksanakan melalui penyelenggaraan Program KKN PPM 2007 telah berhasil menggugah kesadaran sebagian besar petani di Desa Setiawaras untuk melaksanakan budidaya tanaman padi secara organik dengan memanfaatkan berbagai sumber bahan organik yang tersedia di sekitar petani. Aplikasi Teknologi M-Bio ini sudah diterapkan pada usaha pembuatan pupuk organik padat, pupuk organik cair dan pestisida nabati serta pada teknis budidaya tanaman padi di lapangan  yang dalam pelaksanaannya dipadukan dengan system budidaya tanaman padi SRI.

Pengembangan usaha pembuatan pupuk organik ini seiring dengan program Departemen Pertanian yang telah mencanangkan dan memprogramkan pengembangan pertanian organik, dan sejalan dengan program Revitalisasi Pertanian, dengan aspek peningkatan mutu, nilai tambah, efisiensi sistem produksi, serta kelestarian sumber daya alam dan lingkungan merupakan isu yang menjadi sasaran utama.Kondisi di atas ini diketahui berdasarkan hasil survey pendahuluan yang dilakukan dalam rangka persiapan penyelenggaraan Program Penerapan Ipteks 2009 yang merupakan program tindak lanjut dari penyelenggaraan KKN PPM 2007. Kesadaran petani dalam melaksanakan usaha budidaya tanaman padi organik ini juga didukung oleh potensi sumber bahan organik di Desa Setiawaras yang cukup berlimpah.

Potensi bahan organik lainnya juga tersedia dari luar Desa Setiawaras yaitu bahan organic yang berasal dari limbah usaha penggergajian kayu yang kapasitasnya dapat mencapai 18 ton/hari dan limbah dari pabrik kapur berupa abu/kapur dolomite yang dapat ditambahkan pada pupuk organik yang dibuat dengan aplikasi Teknologi M-Bio untuk meningkatkan kualitas pupuk organik yang dihasilkan. Hal ini sesuai dengan pendapat Sarwono Hardjowigeno (1992) yang menyatakan bahwa pemberian kapur dolomite berguna untuk menaikkan pH tanah agar unsure-unsur hara seperti P mudah diserap tanaman dan keracunan Al dapat dihindarkan.

Budidaya tanaman padi organik dengan aplikasi Teknologi M-Bio di Desa Setiawaras ini menurut hasil wawancara dengan petani telah berhasil menaikkan produktivitas tanaman padi sebesar 10-15 persen.

Hal ini disebabkan karena pupuk organik dengan aplikasi teknologi M-Bio mempunyai kandungan unsure hara yang lebih tinggi dibandingkan dengan kompos/pupuk kandang (tanpa fermentasi kultur mikroba),. Diantaranya kandungan N dan K meningkat masing-masing 100 persen dan 30 persen dengan C/N = 8, pupuk organik tersebut apabila diaplikasikan ke dalam tanah maka bahan organiknya akan digunakan sebagai makanan bagi mikroorganisme efektif untuk berkembang biak di dalam tanah, sehingga juga sekaligus sebagai penyedia unsur hara/makanan bagi tanaman.

Oleh karena itu selain berguna untuk menambah komponen bahan organik untuk perbaikan sifat fisika tanah dan menambah unsur-unsur hara, juga mengandung antibiotik (menekan patogen/pembawa penyakit) dan mikroorganisme yang bermanfaat yang diharapkan dapat memperbaiki sifat biologi tanah (Analisis Laboratorium Analis Kimia Bogor, 2007). Hal tersebut menyebabkan kebutuhan unsur hara tanaman dapat terpenuhi sehingga dapat meningkatkan produktivitas tanaman padi yang diusahakan.

Keberhasilan penyelenggaraan KKN PPM 2007 juga mendapatkan apresiasi dan dukungan dari pemerintah,yaitu dengan dikucurkannya bantuan ternak sapi sebanyak 50 ekor kepada kelompok tani di Desa Setiawaras. Bantuan ternak sapi ini diterima oleh kelompok tani pada tahun 2007 yaitu sekitar 2 bulan setelah penyelengaraan KKN PPM 2007 berakhir. Kondisi ini semakin menggairahkan petani untuk melakukan usaha budidaya tanaman padi dengan aplikasi pupuk organik sekaligus melakukan usaha ternak sapi potong yang limbah kandangnya dimanfaatkan untuk keperluan pembuatan pupuk organik.

Hal yang lebih menggembirakan dari hasil survey pendahuluan diketahui bahwa saat ini Kelompok Tani “Kalapa Herang” di Dusun Cipigan yang merupakan salah satu kelompok tani sasaran program KKN PPM 2007 telah berhasil mengembangkan usaha pembuatan pupuk organik dengan Aplikasi Teknologi M-Bio dan produknya telah masuk ke perusahaan Pupuk Kujang di Cikampek dengan kapasitas pemesanan sebanyak 100 – 200 ton/bulan.

Keadaan ini tentu saja menjadi peluang yang sangat menjanjikan bagi peningkatan aktivitas perekonomian kelompok tani Kalapa Herang pada khususnya dan masyarakat Desa Setiawaras pada umumnya. Akan tetapi kendala yang dihadapi oleh kelompok tani tersebut saat ini adalah terbatasnya kapasitas produksi yang dapat dicapai sehubungan dengan keterbatasan alat dan peralatan yang dimiliki untuk memenuhi stándar mutu yang telah ditetapkan oleh pihak Pupuk Kujang.

Kondisi ini pada akhirnya mendorong kelompok tani Kalapa Herang untuk menjalin kerjasama dengan kelompok tani lain dari Desa Setiawaras yang telah menjadi sasaran program penyelenggaraan KKN PPM 2007 untuk mengembangkan usaha pembuatan pupuk organik guna merespon peluang pasar yang telah tersedia, dan ternyata mendapat tanggapan yang positif, meskipun dalam pelaksanaannya masih memerlukan pembinaan lebih lanjut untuk mampu menghasilkan pupuk organik seperti yang telah dihasilkan oleh Kelompok Tani Kalapa Herang untuk mampu menembus pasar PT. Pupuk Kujang Cikampek. Hal ini menyebabkan saat ini aktivitas perekonomian masyarakat di Desa Setiawaras lebih hidup dan lebih maju.

Namun demikian keberhasilan tersebut belum dicapai oleh seluruh petani yang ada di Desa Setiawaras karena proses adopsi terhadap suatu teknologi dari setiap individu petani berbeda-beda. Hal ini dapat dilihat dari masih terdapatnya sebagian petani yang dalam proses pembuatan pupuk organiknya belum melaksanakan proses pembuatan sesuai dengan prosedur yang telah diberikan. Seperti tidak dilakukannya pengecekan suhu secara berkala terhadap bahan pupuk organik padat yang dibuat, padahal ini penting dilakukan agar proses fermentasi bahan organik berjalan sempurna guna menjamin kualitas pupuk organik yang dihasilkan. Demikian juga dengan proses aplikasi di lapangan masih terdapat beberapa tahapan yang tidak dilaksanakan oleh sebagian petani sasaran program.

Menurut Rogers dalam Hanafi (1997), proses keputusan terhadap suatu teknologi baru terdiri dari empat tahapan yaitu (1) tahap pengenalan, di mana seseorang mengetahui adanya suatu inovasi baru dan memperoleh beberapa keterangan tentang bagaimana inovasi tersebut berfungsi, (2) tahap persuasi, yaitu dimana seseorang membentuk sikap berkenan atau tidak terhadap inovasi tersebut, (3) Tahap Keputusan yaitu dimana seseorang terlibat dalam kegiatan yang membawanya pada pemilihan untuk menerima atau menolak inovasi dan (4) Tahap Konfirmasi yaitu di mana seseorang mencari penguat bagi keputusan inovasi yang telah dibuatnya. Pada tahap ini mungkin seseorang mengubah keputuannya apabila memperoleh informasi yang bertentangan.

Sehubungan dengan hal tersebut maka setelah suatu program kegiatan selesai dilaksanakan sebaiknya diteruskan dengan program tindak lanjut yang sejalan dengan program yang telah dilakukan untuk memberikan bimbingan dan pendampingan sekaligus pencerahan sebagai upaya penyegaran guna menjamin keberlangsungan program yang telah disampaikan.

Selanjutnya dengan berpedoman pada hasil survey pendahuluan maka pelaksanaan Program Penerapan Ipteks 2009 hanya ditujukan pada petani atau kelompok tani tertentu saja yang masih menghadapi kendala tertentu dalam adopsi Teknologi M-Bio. Sehubungan dengan hal tersebut maka kegiatan penyuluhan dan pelatihan yang merupakan Metode yang digunakan dalam Program Penerapan Ipteks 2009 pun disesuaikan dengan kondisi petani atau kelompok tani tertentu, karena ternyata permasalahan yang dihadapi oleh petani maupun kelompok tani sangat khusus dan bersifat lokal sehingga pemecahan masalah atau solusinya pun hanya berlaku untuk petani atau kelompok tani tertentu.

Dalam pelaksanaannya, penyuluhan dan pelatihan ini tidak selalu harus dilakukan secara bersamaan karena seringkali hanya dengan memberikan penyuluhan saja petani sudah mengerti atau sudah paham tentang materi yang semula ditanyakan tanpa harus diikuti dengan kegiatan pelatihan. Meskipun pada keadaan tertentu memang kadang-kadang kedua kegiatan tersebut harus dilakukan bersamaan karena petani merasa perlu untuk mendapat penjelasan lebih detail lagi. Dengan demikian penyuluhan dan pelatihan yang dilaksanakan pada kegiatan ini umumnya hanya bersifat tukar pikiran dan pendapat saja, karena sebagian besar petani Di Desa Setiawaras sudah paham tentang Teknologi M-Bio dan hanya perlu memberikan penekanan pada point-point tertentu saja untuk menambah keyakinan akan keefektifan teknologi ini. Di samping itu guna menjamin keberlangsungan program selanjutnya, sekaligus untuk membantu dalam memberikan bimbingan teknis dalam aplikasi teknologi di lapangan telah ditunjuk kelompok tani pembina yaitu kelompok tani Kalapa Herang yang ada di Dusun Cipigan.

Sebagai kegiatan selanjutnya dari Program Penerapan Ipteks 2009 adalah kegiatan monitoring dan evaluasi dilakukan untuk melihat, memantau sekaligus mengkaji progam Penerapan Ipteks yang telah dilaksanakan. Monitoring dan evaluasi disertai dengan memberikan bimbingan dan pendampingan kepada petani di lapangan secara langsung, serta melakukan kembali wawancara disertai dengan menyebarkan kembali daftar pertanyaan atau kuesioner.

Hal ini dilaksanakan untuk mengetahui tingkat pengetahuan dan keterampilan petani tentang kegiatan yang dilaksanakan sekaligus untuk mengetahui tingkat adopsi progam, setelah program Penerapan Ipteks 2009 dikerjakan oleh petani sasaran program, juga ditujukan untuk mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan dan keterampilan petani dengan tingkat adopsi Program Penerapan Ipteks 2009.

Hasil penyebaran kuesioner kepada 26 petani responden di sembilan Dusun yang ada di Desa Setiawaras yang ditetapkan secara acak dan selanjutnya dianalisis dengan menggunakan Analisis Kendall-W, dengan hasil analisis dan pembahasan sebagai berikut :

1.    Tingkat Pengetahuan dan Keterampilan Petani
Pengetahuan petani yang dianalisis pada program Penerapan Ipteks ini meliputi pengetahuan petani tentang pupuk organik dan tentang Teknologi M-Bio, sementara dari keterampilan petani dianalisis meliputi keterampilan dalam menentukan sumber bahan organik, menentukan alat dan bahan untuk proses pembuatan pupuk organik, keterampilan dalam proses pembuatan pupuk organik pupuk organik dengan aplikasi Teknologi M-Bio termasuk melaksanakan aplikasi pupuk organik dan aplikasi Teknologi M-Bio di lapangan.

Pengukuran tingkat pengetahuan dan keterampilan petani diklasifikasikan dalam 3 kategori yaitu rendah (skor 20 – 33,3), sedang (skor 33,3 – 46,66), dan tinggi (46,66 – 60). Hasil analisis diketahui bahwa tingkat pengetahuan dan keterampilan petani diperoleh skor 48,35 dengan skor ideal 60,00 sehingga berada pada kategori tinggi.

Hal ini menunjukkan bahwa petani di Desa Setiawaras telah memiliki pengetahuan yang memadai tentang pupuk organik termasuk tentang sumber bahan organik yang dapat digunakan untuk pembuatan pupuk organik. Demikian juga dengan pengetahuan petani tentang maksud dan tujuan penggunaan pupuk organik serta tentang aplikasi pupuk organik di lapangan, petani di Desa Setiawaras sudah memahaminya, sehingga pupuk organik sudah digunakan secara umum pada usaha budidaya tanaman padi yang dilaksanakannya.

Demikian juga dalam hal pengetahuan petani tentang maksud dan tujuan aplikasi Teknologi M-Bio, tentang aplikasi Teknologi M-Bio pada teknis pembuatan pupuk organik padat, cair, pestisida nabati termasuk aplikasinya di lapangan, petani sudah tahu dan sudah memahaminya. Selanjutnya dari segi keterampilannya petani sudah memiliki keterampilan yang memadai untuk menentukan sumber bahan organik guna dipakai dalam pembuatan pupuk organik, sudah mampu menentukan alat dan bahan yang digunakan untuk proses pembuatan pupuk organik. Demikian juga dengan keterampilan dalam melaksanakan proses pembuatan pupuk organik dengan aplikasi Teknologi M-Bio termasuk melaksanakan aplikasi pupuk organik dan aplikasi Teknologi M-Bio, secara umum tentang hal tersebut sudah mampu dilaksanakan oleh petani Di Desa Setiawaras.

2.    Tingkat Adopsi Petani Terhadap Teknologi M-Bio
Variabel adopsi yang dianalisis meliputi variabel adopsi Teknologi M-Bio dalam proses pembuatan pupuk organik padat/kering, pada proses pembuatan pupuk organik cair, pada prose pembuatan pestisida nabati dan pada proses aplikasinya di lapangan. Pengukuran tingkat adopsi terhadap Program Penerapan Ipteks 2009 diklasifikasikan dalam 3 kategori yaitu rendah (skor 22 – 36,67), sedang (skor 36,67 – 51,34) dan tinggi (51,34 – 66). Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa tingkat adopsi petani terhadap teknologi M-Bio diperoleh skor 57,57 dengan skor ideal 66,00 sehingga berada pada kategori tinggi.

Hal ini menunjukkan bahwa petani Di Desa Setiawaras pada umumnya sudah menerapkan Teknologi M-Bio pada proses pembuatan pupuk organik padat/kering, pada proses pembuatan pupuk organik cair, pada pembuatan pestisida nabati dan pada proses aplikasi Teknologi tersebut di lapangan. Dengan sudah diadopsinya teknologi ini maka dihasilkan pupuk organik dan pestisida berkualitas sekaligus ramah lingkungan.

Salah satu indikator keberhasilan dari aplikasi Teknologi M-Bio ini berdasarkan hasil wawancara dengan responden diketahui bahwa saat ini telah terjadi peningkatan produktivitas tanaman padi yang mencapai 5 sampai 10 persen.


3.    Hubungan antara Tingkat Pengetahuan dan Keterampilan Petani dengan Adopsi Teknologi M-Bio

Dalam upaya mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan dan keterampilan petani dengan adopsi Teknologi M-Bio yang merupakan Program pokok Penerapan Ipteks 2009, dilakukan dengan menggunakan Analisis Kendall-W.

Hasil analisis diperoleh nilai level of significant sebesar 0,005 dengan nilai korelasi sebesar 0,415, selanjutnya apabila dibandingkan dengan taraf nyata sebesar 0,025 maka menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara tingkat pengetahuan dan keterampilan petani dengan adopsi Teknologi M-Bio. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi tingkat pengetahuan dan keterampilan petani maka akan semakin tinggi tingkat adopsi petani terhadap Teknologi M-Bio. Dan sebaliknya semakin rendah tingkat pengetahuan dan keterampilan petani maka semakin rendah pula tingkat adopsi Teknologi M-Bio.

Dengan demikian dalam upaya untuk meningkatkan adopsi Teknologi M-Bio di tingkat petani diperlukan upaya untuk terus meningkatkan pengetahuan dan keterampilan para petani. Karena dengan meningkatnya pengetahuan dan keterampilan petani, maka akan menjadikan petani lebih produktif dalam menerapkan penemuan-penemuan baru baik berupa teknologi maupun manajemen usahatani pada umumnya (Mubyarto, 1989).

Peningkatan pengetahuan dan keterampilan petani salah satunya dapat dilakukan melalui pelaksanaan progam lanjutan dari program yang telah dilaksanakan seperti Program Penerapan Ipteks ini. Karena suatu program yang akan dicoba untuk disosialisasikan kepada para petani perlu dilaksanakan secara teratur dan berkelanjutan, sehubungan dengan adanya keterbatasan kemampuan pada masing-masing individu petani untuk mengadopsi suatu teknologi baru termasuk adanya berbagai perkembangan di lapangan  yang menyebabkan petani  memerlukan bimbingan dan arahan yang lebih lanjut.

Seperti yang terjadi saat ini pada Kelompok Tani Kalapa Herang di Desa Setiawaras yang telah berhasil mengembangkan usaha pembuatan pupuk organik sehingga terdapat permintaan dari PT. Pupuk Kujang Cikampek sebanyak 100 – 200 ton/bulan. Hal ini memerlukan bimbingan dan arahan termasuk pendampingan untuk menjamin kualitas, kuantitas dan kontinuitas produksi yang bisa dihasilkan guna mempertahankan kepercayaan pasar yang telah ada bahkan untuk menjangkau pasar yang lebih luas.

Dengan demikian diharapkan setelah program Penerapan Ipteks ini selesai dilaksanakan dapat diteruskan dengan program berikutnya yang sejalan dengan program yang telah diselenggarakan sehingga program pemberdayaan masyarakat secara berkelanjutan dapat terwujud.

DAFTAR PUSTAKA

Rina Nuryati, Betty Rofatin, Tenten Tedjaningsih, Rudi Priyadi. 2008. Keragaan Usahatani Tanaman Padi Pada

Polybag. Jurnal Agribisnis Program Pascasarjana Universitas Siliwangi Tasikmalaya.

Hanafi. 1997. Memasyarakatkan Ide-ide Baru. Usaha Nasional. Surabaya. Harian Umum Pikiran Rakyat, Edisi tanggal 15 September 2008.

Mubyarto. 1989. Pengantar Ekonomi Pertanian. LP3S. Jakarta.

Rasyid. 1995. Prilaku Kepemimpinan dan Dinamika Kelompok sebagai Determinan Penting bagi Peningkatan Produktivitas Kerja Kelompok Karyawan. Disertasi Pascasarjana UNPAD. Bandung.

Sarwono Hardjowigeno. 1992. Ilmu Tanah. PT. Melon Putra. Jakarta.

Wiraatmadja. 1983. Penyuluhan Pertanian. Direktorat Pendidikan Menengah. Jakarta



No comments:

Post a Comment