PROSEDUR MENANGANI PERKARA PIDANA MILITER
BERDASARKAN UU NO. 31 TAHUN 1997 (UU PeradilanMiliter)
*Bagi para pembaca mohon sebelum
memanfaatkan makalah ini terlebih lagi untuk membacanya dengan cermat, di
karenakan saya membuat makalah ini saat meresume materi perkuliahan teman saya.
Semoga bermanfaat, terimakasih.
0856 07 28 2017 | @aliahsanID
A.
PENYELIDIKAN dan
PENYIDIKAN
Istilah Penyidikan di dalam Undang-Undang Peradilan
Militer yaitu Undang-undang No.31 Tahun 1997 adalah serangkaian tindakan Penyidik
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti-bukti yang dengan bukti
tersebut membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya
(Pasal1 Angka 16 UU No.31 Tahun 1997).
Sebenanrnya didalam Hukum Acara Pidana
Militer tidak satu pasal pun yang mengatur tentang penyelidikan maupun
penyidikan kecuali mengenai siapa yang berhak mengusut suatu kejahatan atau
pelanggaran. Oleh karena itu Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1950 (LN 1950 Nomor
53), menunjuk Het Herziene Inlandsch Reglement/RIB, hal ini dapat
dilihat dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1950 tersebut yang menyatakan
bahwa bagi hukum acara pidana pada peradilan ketentaraan berlaku sebagai
pedoman HerzieneInlandsch Reglement dengan perubahan-perubahan seperti
yang dimuat dalam undang-undang ini.
Sebagaimana diketahui
dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP), maka HerzieneInlandsch Reglement dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku lagi. Sehingga atas dasar Pasal 2 Undang-Undang Nomor
6 Tahun 1950 yang menjadi pedoman dalam melakukan penyelidikan terhadap suatu
perkara pidana dalam lingkungan peradilan militer adalah KUHAP.
Dalam Pasal 1 butir 5
KUHAP memberikan suatu pengertian tentang apa yang dimaksud dengan penyelidikan
yaitu :
“serangkaian tindakan
penyidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak
pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara
yang diatur dalam undang-undang ini”.
Ketentuan hukum acara
pidana militer mengatur bahwa penyelidikan terhadap suatu peristiwa pidana
adalah sama dengan yang diatur dalam KUHAP, kecuali bahwa jika dalam KUHAP
ditentukan bahwa untuk melakukan penyelidikan adalah Pejabat Polisi Negara
Republik Indonesia sedangkan dalam hukum acara pidana militer yang berwenang
melakukan penyelidikan adalah Polisi Militer. Penyelidikan yang dilakukan oleh
Polisi Militer bukanlah suatu wewenang yang berdiri sendiri melainkan terpisah
dari wewenang untuk melakukan penyidikan tetapi merupakan bagian dari fungsi penyidikan
yang merupakan tindakan permulaan yang mendahului tindakan lain seperti
penangkapan, penahanan, penyitaan guna penyelesaian perkara pidana tersebut.
Apabila dalam hasil
penyelidikan yang dilakukan oleh Polisi Militer ditemukan adanya suatu tindak
pidana dan tersangkanya ditemukan, maka Polisi Militer segera melaporkan pada
atasan yang berhak menghukum atau kepada atasan langsung tersangka. Adapun
atasan langsung yang dapat memerintahkan penahanan terhadap seorang tersangka
pada peradilan militer berdasarkan Surat Keputusan Atasan Yang Berhak
Menghukum.
Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1997 dalam Pasal 69 diatur bahwa :
(1) Penyidik adalah
:
a. Atasan yang berhak
menghukum;
b. Polisi Militer;
c. Oditur.
(2) Penyidik
Pembantu adalah :
a. Provos Tentara Nasional
Indonesia Angkatan Darat;
b. Provos Tentara Nasional
Indonesia Angkatan Laut;
c. Provos Tentara Nasional
Indonesia Angkatan Udara; dan
d. Provos Kepolisian
Negara Republik Indonesia.
Sebagaimana diketahui
bahwa antara penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh Polisi Militer
bukanlah wewenang yang berdiri sendiri, hal ini sesuai dengan yang dijelaskan
dalam Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (1982:27)
bahwa :
“penyelidikan bukanlah merupakan fungsi yang berdiri
sendiri, terpisah dari fungsi penyidikan melainkan hanya merupakan salah satu
cara atau metode atau sub dari fungsi penyidikan, yang melalui tindakan lain
yaitu penindakan yang berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan,
pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, penyelesaian dan
penyerahan berkas perkara kepada penuntut umum”.
Tindak pidana yang
dilakukan oleh subjek hukum pidana militer, maka fungsi penyidikan juga berada
pada Polisi Militer namun sebelum melakukan penyidikan, maka penyidik melapor
kepada oditur militer untuk meminta petunjuk-petunjuk apakahtindakan tersangka
termasuk suatu tindak pidana atau hanya merupakan pelanggaran disiplin militer.
Adapun ketentuan tentang bagaimana pelaksanaan penyidikan di atur dalam Pasal
99 sampai Pasal 121 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan
Militer.
B.
PENUNTUTAN dan
PEMBUKTIAN.
Dengan diundangkannya
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, maka tugas Oditur
Militer pada dasarnya sama dengan tugas-tugas yang dilakukan oleh Jaksa pada
Pengadilan Umum. Akan tetapi walaupun banyak persamaannya masih pula terdapat
perbedaannya.
Berdasarkan ketentuan KUHAP wewenang Jaksa
Penuntut Umum untuk mengadakan pemeriksaan permulaan atau penyidikan pindah seluruhnya
kepada Kepolisian Negara sedangkan menurut ketentuan Hukum Acara Pidana Militer
hal tersebut dimungkinkan sesuai dengan Pasal 69 Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1997 tentang Peradilan Militer yang tertulis :
Penyidik adalah :
a.
Atasan yang berhak menghukum
b.
Polisi Militer
c.
Oditur.
Selanjutnya dalam Pasal
124 ayat (3) tertulis bahwa:
Apabila hasil penyidikan
ternyata belum cukup, oditur melakukan penyidikan tambahan untuk melengkapi
atau mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang
hal-hal yang harus dilengkapi.
Ketentuan ini merupakan
bagian dari proses penuntutan, hal ini disebabkan karena berkas yang
dilimpahkan oleh penyidik kepada oditur militer adalah untuk kepentingan
penuntutan dan apabila hasil penyidikan tersebut belum lengkap, maka akan
dikembalikan untuk dilengkapi hal ini sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
KUHAP Pasal 110.
Menurut Moch. Faisal
Salam (2002:141) bahwa proses penuntutan pada Pengadilan Militer yaitu sebagai
berikut :
“Oditur pada Pengadilan Militer tidak mempunyai wewenang
untuk menyerahkan secara langsung suatu perkara pidana ke Pengadilan Militer
tanpa persetujuan Atasan Yang Berhak Menghukum, walaupun pada dasarnya
penyerahan perkara pidana ke Pengadilan Militer melalui oditur militer. Oditur
militer hanya mengusulkan kepada Atasan Yang Berhak Menghukum bahwa suatu
perkara pidana harus diserahkan ke Pengadilan Militer atau ditutup demi hukum
atau dikesampingkan dengan mempersiapkan Surat Keputusan Penyerahan Perkara, kalau
perkara itu harus diserahkan ke Pengadilan Militer, mempersiapkan Surat
Penutupan Perkara kalau perkara itu akan ditutup demi hukum dan mempersiapkan
Surat Penyampingan perkara kalau perkara itu harus dikesampingkan”.
Dalam kedudukannya
sebagai Penuntut Umum pada Pengadilan Militer, maka oditur militerlah yang
seharusnya mempunyai inisiatif untuk menuntut atau tidak menuntut suatu perkara
pidana yang dilakukan oleh anggota militer.
Hal ini sejalan dengan pendapat Wirjono
Prodjodikoro (1981:20) bahwa :
“Kejaksaan adalah suatu dinas yang wajib untuk memberantas
kejahatan dalam masyarakat, untuk itu maka mengingat prinsip bahwa apabila ada
bukti cukup untuk mendakwa seseorang yang melanggar suatu peraturan hukum
pidana, penuntut umum tidak boleh tidak harus menuntut orang tersebut di muka
hakim”.
Berdasarkan apa yang di
kemukakan oleh Wirjono Prodjodikoro tersebut dapat dikatakan bahwa termasuk
oditur militer karena oditur militerlah yang memegang kekuasaan Kejaksaan pada
Peradilan Militer.
Kedudukan oditur militer
sebagai Penuntut Umum pada Pengadilan Militer, sebagaimana tertulis dalam Pasal
64 yang tertulis bahwa :
(1) Oditur militer
mempunyai tugas dan wewenang :
a. melakukan penuntutan dalam perkara
pidana yang terdakwanya :
1. prajurit yang berpangkat Kapten ke bawah;
2. mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 huruf b
dan huruf c yang terdakwanya termasuk tingkat kepangkatan Kapten ke bawah;
3. mereka yang berdasarkan Pasal 9 angka 1 huruf d harus
diadili oleh Pengadilan Militer.
b. melaksanakan penetapan hakim atau putusan pengadilan dalam
lingkungan peradilan militer atau pengadilan dalam lingkungan peradilan umum
c. melakukan pemeriksaan tambahan
(2) Selain
mempunyai tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), oditurat militer
dapat melakukan penyidikan.
Oditur militer yang
diserahkan tugas untuk melakukan penuntutan, menurut Moch. Faisal Salam
(2002:142) bahwa harus mempersiapkan dan melakukan kegiatan-kegiatan yaitu :
a.
Pemanggilan terdakwa untuk pemberitahuan penetapan hari sidang dan pembacaan
surat dakwaan, serta mengadakan pemanggilan kepada saksi-saksi.
b.
Selain surat dakwaan yang dibacakan kepada terdakwa dibacakan pula Surat
Keputusan Penyerahan Perkara (SKEPPERA) surat Penetapan Hari Sidang (Tapsid),
setelah dibacakan kepada terdakwa dibuat berita acaranya, kemudian
ditandatangani oleh terdakwa.
c.
Mempersiapkan barang bukti atau surat-surat bukti guna diperlihatkan dalam
sidang.
Untuk menilai kekuatan pembuktian terhadap alat-alat
bukti, maka menurut Ansori Sabuan (1990:186-189) ada 4 (empat) sistem
pembuktian yaitu :
Sistem pembuktian keyakinan belaka, menurut sistem ini hakim dianggap cukup
mendasarkan terbuktinya suatu keadaan atas keyakinan belaka, dengan tidak
terikat oleh suatu peraturan hukum, hingga dengan sistem ini hakim dapat
mencari dasar putusannya itu menurut perasaan semata-mata, hingga dengan
demikian atas dasar perasaan itu dapat dipakai untuk menentukan apakah sesuatu
keadaan dianggap telah terbukti atau tidak. Dalam sistem ini hakim tidak
diwajibkan mengemukakan alasan-alasan hukum yang dipakai dasar putusannya namun
demikian kalau hakim dalam putusannya itu dengan menyebut alat bukti yang
dipakai, maka hakim bebas menunjuk alat bukti itu, termasuk upaya pembuktian yang
sekira sulit diterima dengan akal. Misalnya adanya kepercayaan terhadap seorang
dukun setelah mengadakan upacara yang bersifat mistik dapat menetapkan siapa
yang salah dan siapa yang tidak salah dalam suatu tindak pidana. Keberatan
terhadap sistem ini ialah karena di dalamnya terkandung suatu kepercayaan yang
besar terhadap ketepatan kesan-kesan pribadi seorang hakim.
Sistem pembuktian menurut Undang-Undang yang positif (positief wettelijk),
dalam sistem ini Undang-Undang menentukan alat bukti yang dapat dipakai oleh
hakim, cara bagaimana hakim dapat mempergunakannya, asal alat bukti itu telah
dipakai secara yang ditentukan oleh Undang-Undang maka hakim harus dan
berwenang untuk menetapkan terbukti atau tidaknya suatu perkara yang
diperiksanya, walaupun barangkali hakim sendiri belum begitu yakin atas
kebenaran putusan itu. Sebaliknya bila tidak dipenuhi persyaratan tentang
cara-cara mempergunakan alat bukti itu sebagaimana ditetapkan Undang-Undang,
maka hakim akan mengambil putusan yang sejajar artinya bahwa putusan itu harus
berbunyi tentang sesuatu yang tidak dapat dibuktikan adanya, walaupun dalam hal
ini mungkin hakim berkeyakinan atas hal tersebut. Misalnya ada dua orang saksi
telah disumpah mengatakan kesalahan tersangka, meskipun kemungkinan hakim
berkeyakinan bahwa terdakwa itu tidak melakukan pelanggaran hukum, maka hakim
akan menjatuhkan putusan adanya kesalahan bagi terdakwa tersebut. Demikian pula
sebaliknya andaikan dua orang saksi itu menyatakan tidak adanya kesalahan yang
dilakukan oleh terdakwa, maka walaupun hakim berkeyakinan bahwa terdakwa
melakukan pelanggaran hukum, maka hakim harus membebaskannya.
Sistem pembuktian menurut Undang-Undang yang negatif (negatief wettelijk),
menurut teori ini hakim hanya boleh menjatuhkan pidana apabila sedikit-dikitnya
alat-alat bukti yang telah ditentukan Undang-Undang itu ada, ditambah dengan
keyakinan hakim yang didapat dari adanya alat-alat bukti itu. Dalam pada itu
Pasal 183 KUHAP menyatakan bahwa :Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada
seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya. Atas dasar Pasal 183 KUHAP ini, maka
dapat disimpulkan bahwa KUHAP memakai sistem pembuktian menurut Undang-Undang
yang negatif. Ini berarti bahwa dalam hal pembuktian harus dilakukan
penelitian, apakah terdakwa cukup alasan yang didukung oleh alat pembuktian
yang ditentukan oleh Undang-Undang (minimal dua alat bukti) dan kalau ini
cukup, maka baru dipersoalkan tentang ada tau tidaknya keyakinan hakim akan
kesalahan terdakwa. Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa menurut teori ini
hakim baru boleh menyatakan seseorang bersalah jika telah dapat dipenuhinya
syarat-syarat bukti menurut Undang-Undang, ditambah dengan keyakinan hakim
tentang kesalahan terdakwa. Dengan demikian walaupun sudah cukup bukti yang
sah, tetapi jika hakim tidak yakin ataupun hakim telah yakin tetapi jika bukti
yang sah belum cukup, maka hakim belum boleh menjatuhkan pidana atas diri
terdakwa.
Sistem pembuktian bebas (vrije bewijstheorie), dalam teori ini
ditentukan bahwa hakim di dalam memakai dan menyebutkan alasan-alasan untuk
mengambil keputusan sama sekali tidak terikat pada penyebutan alat-alat bukti
yang termaktub dalam Undang-Undang, melainkan hakim tersebut secara bebas
diperkenankan memakai alat-alat bukti lain, asalkan semuanya itu berlandaskan
alasan-alasan yang tetap menurut logika. Sistem ini di dalam ilmu pengetahuan
juga dinamakan sebagai teori conviction raissonee. Jadi, menurut teori
ini alat-alat dan cara pembuktian tidak ditentukan dalam Undang-Undang. Hal ini
tidaklah berarti bahwa menurut teori tersebut tidak dikenal alat bukti dan cara
pembuktiannya. Hanya semua itu tidak dipastikan dalam Undang-Undang sebagaimana
teori-teori di atas. Oleh karena itu dalam menentukan macam dan banyaknya bukti
yang dipandang cukup untuk menetapkan kesalahan terdakwa, hakim sangat bebas
dalam arti tidak terikat oleh suatu ketentuan.
2. Konsep
Umum Tentang Teori Pembuktian
Dalam
pembuktian perkara pada umumnya dan khusunya delik korupsi diterapkan KUHAP.
Sedangkan dalam pemeriksaan delik korupsi selain ditetapkan Hukum Acara Pidana,
yaitu pada Bab IV pasal 25 sampai dengan Pasal 40 dari Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999.
Dalam hal pembuktian
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 jo.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang merupakan revisi atas Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang lama yaitu Undang-Undang Nomor. 3
Tahun 1971 menerapkan pembuktian terbalik namun bersifat “terbatas” dan
“berimbang”. Sistem ini tidak sama dengan hukum pembuktian dalam KUHAP.
Penerapan sistem ini lebih kepada inginnya para pembuat undang-undang
mengefektifkan Undang-Undang Korupsi agar dapat memberantas atau minimal
menekan perkembangan perbuatan korupsi itu tersebut.
Adapun
beberapa teori pembuktian yang selama ini dikenal dan sempat berlaku dalam
perkembangan hukum pembuktian adalah sebagai berikut:
a. Teori
Tradisional
Bosch-Kemper, (Martiman
Projohamidjojo, 2001:100), membagi teori tentang pembuktian yang
tradisional, yakni:
1. Teori
negatief
Teori ini menyatakan
bahwahakim boleh menjatuhkan pidana, jika hakim mendapatkan keyakinan dengan
alat bukti yang sah, bahwa telah terjadi perbuatan yang dilakukan oleh
terdakwa.
Teori ini dianut oleh
HIR, sebagaimana tertera dalam Pasal 294 HIR ayat (1), yang pada dasarnya
ialah:
a.
Keharusan adanya keyakinan hakim, dan keyakinan itu didasarkan kepada:
b.
Alat-alat bukti yang sah.
2. Teori
Positief
Teori ini
menyatakan bahwa hakim hanya boleh menentukan kesalahan terdakwa, bila ada
bukti minimum yang diperlukan oleh undang-undang. Jika bukti minimum itu
kedapatan, bahkan hakim diwajibkan menyatakan kesalahan terdakwa. Titik berat
dari ajaran ini adalah positivistis. Jika tidak ada bukti maka terdakwa tidak
akan dihukum.
Teori ini dianut KUHAP,
sebagai dalam Pasal 183 yang berbunyi sebagai berikut:
“Hakim tidak boleh
menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua
alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar sah
ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya “
3. Teori
bebas
Teori ini tidak mengikat
hakim kepada aturan hukum yang dijadikan pokok. Asal sajaada keyakinan hakim
tentang kesalahan terdakwa, yang didasarkan pada alasan-alasan yang dapat
dimengerti dan dibenarkan oleh pengalaman.
b. Teori
Modern
Teori modern dapat
diklasifikasikan kedalam beberapa kategori, yaitu sebagai berikut:
1. Teori pembuktian dengan
keyakinan belaka (bloot gameodelijke overtuiging, atau conviction intime)
Teori ini tidak
membutuhkan suatu peraturan tentang pembuktian dan penyerahan segala sesuatunya
kepada kebijaksanaan hakim dan terkesan hakim sangat bersifat subyektif. Hakim
harus mendasarkan terbuktinya suatu keadaan atas keyakinan belaka dengan tidak
terikat oleh suatu peraturan Dasar pertimbangan menggunakan pikiran secara
logika dengan memakai silogisme, yakni premis mayor, premis minor, dan
konklusio.
Kelemahan pada sistem ini
adalah terletak pada terlalu banyak memberikan kepercayaan kepada hakim, kepada
kesan-kesan perseorangan sehingga sulit melakukan pengawas.
2. Teori Pembuktian menurut
undang-undang secara positif (positief wettelijke bewijstheorie)
Dalam teori undang-undang
menetapkan alat-alat bukti mana yang dapat dipakai oleh hakim dan cara bagai
mana mempergunakan alat-alat bukti serta kekuatan pembuktian dari alat-alat itu
sedemikian rupa. Jika alat-alat bukti ini sudah dipakai yang sudah ditetapkan
oleh undang-undang maka hakim harus menetapkan keadaan sudah terbukti, walaupun
hakim berkeyakinan bahwa yang harus dianggap terbukti itu tidak benar.
Kelemahan pada sistem ini
adalah tidak memberikan kepercayaan kepada ketetapan kesan-kesan perseorangan
hakim yang bertentangan dengan prinsip Hukum Acara Pidana bahwa putusan harus
didasarkan atas kebenaran.
3. Teori Pembuktian menurut undang-undang
secara negatif(negatief wettelijke bewijstheorie) dan teori keyakinan
atas alasan negatif(beredeneerde vertuging atau conviction raisonnee)
Kedua teori ini jika
dikomparasikan, masing-masing memiliki persamaan dan perbedaan Persamaannya
terletak pada hal mana hakim diwajibkan menghukum orang, apabila ia yakin bahwa
perbuatan yang bersangkutan terbukti kebenarannya dan keyakinan harus disertai
penyebutan alasan-alasan yang berdasarkan atas suatu rangkaiaan buah pikiran.
Sedangkan perbedaanya terletak pada hal mana dalam teori pembuktian menurut
undang-undang secara negatif menghendaki alasan-alasan yang disebutkan oleh
undang-undang sebagai alat bukti.
Pada teori keyakinan atas
alasan negatif, hakim dalam memakai dan menyebutkan alasan-alasan untuk
mengambil keputusan tidak terikat pada penyebutan alasan-alasan untuk mengambil
putusan tidak terikat pada penyebutan alat-alat bukti dan cara menggunakan
alat-alat bukti dalam undang-undang melainkan hakim bebas untuk memakai
alat-alat bukti lain asal saja semua dengan dasar alasan yang tepat menurut
logika.
4. Teori
pembuktian negatif menurut undang-undang
Teori ini dianut oleh
KUHAP sebagaimana yang tertera dalam Pasal 183 yang berbunyi sebagai berikut:
“Hakim tidak boleh menjalankan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu
tindak pidana benar-benar terjadi dan dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya “
Penggunaan kata
“sekurang-kurangnya” dalam pasal ini memberikan limitatif pada alat bukti yang
minimum, yang harus disampaikan pada acara pembuktian. Sedangkan penggunaan
kata “alat bukti yang sah” menunjukkan pengertian bahwa hanyalah alat-alat
bukti yang diatur dan diakui oleh undang-undang yang dapat ditetapkan sebagai
alat bukti yang sah dalam proses pembuktian pidana pada umumnya ataupun delik
korupsi pada khususnya.
Kemudian dalam pasal 184
KUHAP, yang menyatakan beberapa alat bukti yang dapat digunakan pada proses
pembuktian pidana, yaitu:
a. Keterangan
saksi;
b. keterangan
ahli;
c. surat;
d. petunjuk
e. keterangan
terdakwa.
Ketentuan
pasal ini menentukan alat-alat bukti dan dari alat-alat bukti itu dipakai dua
alat bukti minimum.
Pembentukan undang-undang lebih mendasarkan pembuktian tentang kesalahan
terdakwa dengan alat bukti kesaksian (terutama), karena dalam pemeriksaan baik
dimuka penyidik, penuntut umum maupun hakim terdakwa terdapat kecenderungan
untuk mengelak ataupun memungkinkan kejadian perbuatannya masa lampau.
5. Teori
Pembuktian Terbalik
Dalam upaya
melakukuan pemberantasan tindak pidana korupsi, pembentukan undang-undang telah
memformulasikan pendekatan baru dengan menerapkan sistem pembuktian terbalik
terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Hal tersebut didasarkan pada suatu
asumsi bahwa semakin sulitnya pelaku tindak pidana korupsi dibuktikan kejahatan
yang dilakukan di muka pengadilan, yang memungkinkan pembentuk undang-undang
menerapkan sistem pembuktian terbalik pada terdakwa. Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Lebih lanjut dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 sebagai hasil revisi dari Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 yang mempertegas penerapan sistem pembuktian terbalik bagi pelaku
tindak pidana korupsi.
Dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, kedua
menerapkan sistem pembuktian terbalik yang bersifat “terbatas dan berimbang”.
Sistem pembuktian terbalik yang terbatas dan berimbang adalah bahwa terdakwa
mempunyai hak untuk membuktikn bahwa ia tidak malakukan tindak pidana korupsi
dan wajib memberi keterangan tentang seluruh harta bendanya, dan harta benda
istrinya atau suami, anak dan harta benda setiap orang atau korporasi yang
diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan dan penuntut umum
tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaanya di pengadilan.
Penggunaan
kata “terbatas” dalam memori pasal 37 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999,
dikatakan bahwa terdakwa dapat mebuktikan dalilnya bahwa terdakwa tidak terdakwa
tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi, melainkan penuntut umum masih
tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Sedangkan penggunaan kata
“berimbang” dalam ketentuan tersebut berarti bahwa antara income
(pendapatan) terdakwa dalam rasio pengeluaran (output) harus sebanding
atau berimbang dengan perolehan harta yang didapatnya.
Proses
pemeriksaan delik korupsi terdapat dua Hukum Acara Pidana, yakni hukum acara
yang tercermin dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagai penyimpangan
pada KUHAP. Hukum Acara Pidana yang tercermin dalam Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 sebagai hasil revisi dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Menururt
penulis dalam pembuktian tindak pidana korupsi terdapat dua teori pembuktian
yang dianut, yakni:
(a) Teori bebas
yang diturut oleh terdakwa
Teori bebas ini secara
eksplisit telah tercermin dalam Pasal 37 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999,
yakni sebagai berikut:
1. Terdakwa
mempunyai hak untuk membuktikan bahwa tidak melakukan tindak pidana korupsi;
2. dalam hal
terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka
keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal menguntungkan baginya;
3. Terdakwa
wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda
istri atau suami, anak dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga
mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan;
4. Dalam hal
terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan
penghasilan atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan tersebut dapat
digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah
melakukan tindak pidana korupsi;
5. Dalam
keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4),
penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.
(b) Teori negatif
menurut undang-undang, yang diturut oleh penuntut umum
Teori negatif menurut
undang-undang ini secara tersirat tercermin dalam Pasal 183 KUHAP, yang
berbunyi sebagai berikut:
“Hakim tidak boleh
menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya
dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana
benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”
Persyaratan pemberian
pidana dalam sistem KUHAP sangat berat yakni:
1. Minimum
dua alat bukti yang sah menurut undang-undang;
2. Keyakinan
hakim;
3. Ada tindak
pidana yang benar terjadi;
4. Terdakwa
itu manusianya yang melakukan perbuatan;
5. Adanya
kesalahan pasa terdakwa;
6. Macam
pidana apa yang dijatuhkan hakim;
Kembali pada persoalan
pokok, pembuktian terbalik yang terbatas dan berimbang maka begaimana pelaku
menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 danUndang-Undang Nomor 20 Tahun
2001tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap wacana tersebut.
Olehnya penulis dapat menggambarkan tentang proses pidana dalam peradilan
sebagai berikut :
a. Sikap
Terdakwa
Bagi terdakwa, wacana ada
beberapa segi yang perlu diperhatikan dalam memilih alternatif; apakah ia
menggunakan hak itu atau tidak, karena menggunakan hak atau tidak masing-masing
memiliki konsekuensi.
Dalam menggunakan hak
terdakwa ada dua hal yang harus diperhatikan oleh terdakwa yakni :
(1) Untuk membuktikan
bahwa terdakwa tidak melakukan delik korupsi sebagaimana didakwakan kepadanya
oleh penuntut umum;
(2) Terdakwa
berkewajiban untuk memberikan keterangan terhadap seluru harta bendanya
sendiri, harta benda istri atau suami (jika terdakwa adalah perempuan), harta
benda setiap orang atau korporasi yang diduga ada kaitannya dengan perkara yang
bersangkutan.
Syarat pertama
merupakan suatu penyimpangan dari
ketentuan KUHAP, yang menentukan bahwa penuntut umum wajib membuktikan
dilakukan tindak pidana, bukan terdakwa. Menurut ketentuan ini terdakwa dapat
membuktika dalil, bahwa terdakwa tidak melakukan tindak pidana korupsi.
Syarat kedua ialah
terdakwa berkewajiban memberi keterangan tentang asal usul/perolehan hak atau
asal usul/pelepasan hak atas harta benda pribadi, anak, istrinya maupun orang
lain atau korporasi yang diduga berkaitan dengan delik korupsi.
Perolehan/pelepasan hak itu mengenai kapan, bagaimana, dan siapa saja yang
terlibat dalam perolehan/pelepasan hak itu serta mengapa dan sebab-sebab apa
perolehan atau peraliahan itu terjadi. Penggunaan hak bagi terdakwa dapat
menguntungkan dan merugikan kedudukan terdakwa dalam pembelaannya.
b. Sikap
penuntut umum
Penuntut umum tidak
mepunyai hak atas hak yang diberikan undang-undang terhadap diri terdakwa,
namun tidak berarti penuntut umum tidak memiliki hak untuk menilai dari sudut
pandang penuntut umum dalan requisitornya. Apabila terdakwa dapat
membuktikan hak tersebut, bahwa ia tidak melakukan delik korupsi, tidak berarti
bahwa ia terbukti atau tidak melakukan korupsi, sebab penuntut umum masih
berkewajiban untuk membuktikan terbalik terbatas, dan penuntut umum tetap wajib
membuktikan dakwaanya sesuai dengan teori negatif menurut undang-undang adalah
pada terdakwa ada kesalahan atau tidak dan apa terdakwa inilah yang melakukan
perbuatan.
c. Sikap
Hakim
Terhadap keterangan
terdakwa itu, hakim akan mempertimbangkan semuanya dan sikap hakim, bebas dalam
menentukan pendapatnya sebagai berikut :
(1) Keterangan
terdakwa itu hanya berlaku bagi terdakwa sendiri saja;
(2) Jika keterangan
terbukti tidak melakukan delik korupsi, maka keterangan itu dipakai sebagai hal
yang menguntungkan pribadinya;
(3) Jika terdakwa
tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang/sebanding dengan
penghasilan atau sumber penambahan kekayaan, maka keterangan itu dapat
dipergunakan untuk meperkuat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah
melakukan tindak pidana korupsi.
d. Perhatian
Penegak Hukum
Perlu diperhatikan dalam
menerapkan teori negatif menurut undang-undang terdapat dua hal menjadi syarat,
yakni:
1. Wettelijk,
oleh karena alat-alat bukti yang sah dan ditetapkan oleh undang-undang;
2. Negatief,
oleh karena dengan alat-alat bukti yang sah ditetapkan oleh undang-undang saja
belum cukup untuk memaksa hakim pidana menganggap bukti sudah diberikan akan
tetapi masih dibutuhkan keyakinan hakim.
Antara alat-alat bukti
dan keyakinan hakim diharuskan adanya hubungan sebab akibat (kausal).
Pasal 183 KUHAP
mensyaratkan adanya dua alat bukti yang sah dan ditetapkan oleh undang-undang
dan keyakina hakim bahwa tindak pidana telah terjadi dan terdakwa yang bersalah
melakukannya. Karena itu oleh pembentukan undang-undang diajukan 5 (lima) macam
alat bukti (Pasal 184 KUHAP), akan tetapi hakim tidak yakin bahwa suatu delik
korupsi telah terjadi dan terdakwa bersalah telah melakukannnya, maka hakim
pidana akan melepaskan terdakwa atau akan melepaskan terdakwa dari segala
tuntutan hukum (ontslagen van alle rechtsvervoging).
Asas negatif wettelijk
tercermin pula secara nyata pada pasal 189 ayat (4) KUHAP, bahwa berdasarkan
“keterangan terdakwa” saja tidak cukup membuktikan terdakwa bersalah melakukan
perbuatan yang didakwakan, melainkan harus disertakan dengan alat-alat bukti
yang lain. Jadi, hakim tidak boleh menjatuhkan putusan pidanakepada terdakwa
hanya berdasarkan satu saksi saja (unus testis nullus testis), oleh
karena dianggap sebagai bukti yang tidak cukup (Pasal 185 ayat 2 KUHAP),
artinya kekuatan pembuktian dengan satu saksi saja tidak dianggap sempurna oleh
hakim. (onvoldoende bewijs)
Menurur Wiryono
Projodikoro(1967:74), bahwa teori pembuktian negatif menurut undang-undang
sebaiknya dipertahankan berdasarkan dua alasan:
(1) Memang sudah
selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat
menjatuhkan suatu pidana, jangan hakim terpaksa memberikan pidana kepada
terdakwa sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa;
(2) Berfaedah, jika
ada aturan yang mengikat dalam neyusun keyakinannya agar ada patokan-patokan
tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam melakukan peradilan.
Sedangkan menurut D.
Simons(1910:152), menyatakan bahwa teori pembuktian negatif menurut
undang-undang ini, pemidanaan didasarkan pada pembuktian yang berganda (dobble
grond-slag) yaitu peraturan undang-undang dan keyakinan hakim dan menurut
undang-undang.