Showing posts with label SASTRAWAN JALANAN. Show all posts
Showing posts with label SASTRAWAN JALANAN. Show all posts

Monday, August 21, 2017

Selembar Puisi Maling Tukang Parkir Penyair Metroseksual Dan Polisi Di Kota & Setelah Sandiwara Selesai

Sastrawan Jalanan Part 07

Benar-benar senang jika membaca karya-karya penulis hebat, diksi-diksi yang ia tulis serasa membuat hati ini bergedik bangga. Aku jarang sekali bertemu mereka secara langsung, namun dengan membaca karya-karyanya serasa aku sedang cangkruk dengan mereka, aku serasa dekat dengan mereka. Terlepas apapun itu, entah karya dalam bentuk cetak maupun digital, karya itu di hargai dengan label penerbit besar atau sebatas status facebook dan caption instgram, aku tetap senang dan berdoa semoga makin hari mereka makin produktif menulis.

Aku menjadi penggemar dan penganggum rahasia beberapa penulis, diam-diam aku menguntit kehidupan mereka, aku ikut cemburu dan senang dengan apapun yang mereka tulis dan upload. Hal ini cenderung konyol dan lucu kalau kalian sendiri yang mengalaminya, namun perlu kita akui hal tersebut terjadi bukan hanya pada diriku saja. Melainkan banyak di luar sana, atau bisa jadi salah satunya adalah kalian.

Berikut ada dua puisi karya Bung Parkiran, semoga dapat menginspirasi kita semua. Terimakasih banyak.


Karya 1
Selembar Puisi Maling Tukang Parkir Penyair Metroseksual Dan Polisi Di Kota


Hanya genit lampu patroli polisi
di antara
motor kreditan dicuri maling tiap hari

Hanya kelugasan prikik tukang parkir
di antara
bunyi toa musholla dihimpit bising jalan raya pagi sore

Hanya cakap berapi berapa layaknya halusinasi
di antara
kilatan mata pisau tumpul dalam sebuah puisi

Dimanakah nyanyian cinta mengubur nada nadanya
kemanakah tanah kelahiran menyergah lari anak anaknya
di antara suara-suara yang tak pernah tidur sepanjang waktu

Pasar gaduh manusia rapuh

Dan kota adalah kuali raksasa
tempat maling polisi juga metroseksual kere
dan semacam penyair dan kawan kawannya
bersafari lalu bertumpuk menyatu di tempat tempat keramaian
untuk secara diam diam mengutuk nasib sendiri
hingga gosong malam remang
pelayan yang setia bagi kematian tak bermakna

Oktober 2016


Karya 2
Setelah Sandiwara Selesai

Seorang penyair mencium kekasihnya
Dengan satu diksi dalam puisi ini
Itupun tak sampai

Dengan cinta yang berkobar
Mestinya ada kesetiaan di perjalanan
Untuk berontak pada sepi karena tirani

Mereka butuh berduaan
Untuk membicarakan banyak hal dengan teliti
Tapi tak sekali gerimispun yang turun
Benar benar berlari membawa maunya

Dan dunia tetap tak mengerti
Bahwa dari seribu senyummu
Yang menyayat jantungku
Adalah mimpi setelah itu

April 2015

Wednesday, August 16, 2017

Tanganku & SuratMu

Sastrawan Jalanan Part 6


Selamat petang pembaca, semoga kabar baik menyertai kalian semua. Tak terkecuali yang sedang di rudung masalah, di tolak cintanya, yang bingung selepas yudisium mau ngapain dan tentu yang gagal yudisium semoga ada keberkahan sendiri. Oh iya, tak luput bagi kalian yang mungkin sedang memikirkan judul tugas akhir semoga saja mendapatkan ilham dan keberkahan dalam memakanai proses mengerjakanya nanti.

Tentu bagi pembaca takan faham dengan apa yang aku tulis jika tidak mengikutinya dari awal, toh aku juga sebagai penulis juga bingung memaknai aktifitas konyol ini. secara proses memang aku rasai mendapatkan semangat untuk menulis lagi, namun secara makna aku juga terbawa bingung tulisan ini akan bermuara kemana. Kalau tidak karena si sastrawan jalanan, bisa jadi aku takan memulai untuk menulis lagi, tapi apa daya rasa pertemanan yang sudah menulang sumsum menjadikan hal ini mau tak mau dan harus untuk segera naik upload.

Ditengah kepadatan jadwal dan aktifitas, hehe. Aku belum berkesempatan bertemu dengan penulis puisi-puisi yang begitu melankolis ini. toh kabar benar tidaknya dia ada di Malang juga belum aku ketahui, tapi semoga saja dia selalu dalam lindungan Tuhan.

Ada beberapa kawanku yang mengira jika puisi-puisi ini hasil karyaku sendiri, mereka salah besar karena sejak dulu aku tak berbakat menulis terlebih lagi membuat puisi. Lebih parah dari tanggapan beberapa kawanku adalah, model tulisan ini sengaja aku pakai sebagai kedok untuk menutupi keahlianku dalam menulis puisi, bahahaha. Tentu, tidak sama sekali.

Dari belasan tanggapan, dua diatas tadi adalah hal paling konyol yang sempat aku baca, tapi ya gpp juga. Aku haturkan terimakasih, kok.

Jadi begini lho, rek. Tulisan ini adalah rasa terimakasihku atas anugrah Tuhan yang telah memperkenalkanku dengan manusia yang sedikit edan dalam hal pemikiran, memiliki laku pertapa dalam keramaian dan cenderung suka di hujat atas pemikiran-pemikiran pribadinya. Memiliki hobi membaca buku dari mulai setipis perasan wanita dan setebal kepekaan calon mertua, namun perlu diketahui, banyaknya buku yang ia baca adalah hasil dari pinjaman kawanya semua, serasa cinta tapi tak pernah memiliki bukan.

Pria berambut gondrong pemilik ratusan puisi yang sempat aku curi ini memiliki profesi yang sangat mulia, jadi juru parkir. Pria yang sampai detik ini tak memiliki handphone dan hanya bisa di ajak komunikasi lewat kontak batin semata ini jika bertugas mengendalikan parkiran tak pernah meminta imbalan saat memoderatori maju mundurnya ban mobil dan akan berterimakasih sekali jika imbalanya adalah ucapan terimakasih dan senyuman manja para pelanggan café tempatnya bekerja. Rasa pertemenanku dengan dia muncul saat dia memiliki bakat yang tak mau diketahui oleh orang, sedangkan aku yang berusaha jadi penulis berbakat tapi selalu gagal di tengah jalan, dua alasan itulah yang membuat kami bersepakat secara batin bahwa ini adalah momentum untuk menyerang Negara api.

Hasilnya ya begini, postingan berlabel sastrawan jalanan tak pernah sundul 400 pembaca, rata-rata pada angka 250-280 pembaca. Apa begini susahnya ya jadi agen-agen dunia maya penebar cinta agar semua manusia berdamai betapa indahnya sastra.  Oke sudah ya

Aku cukupkan saja, kalau tulisan ini diteruskan takan bermanfaat lagi. Terutama bagi pembaca yang sedari tadi sudah tak sabar membaca karya apa lagi yang aku publish malam ini. Aku hadirkan dua karanganya Bung Gondrong si pengendali parkiran.

Pertama ada prosa berjudul Tanganku, bagiku karya ini mugkin muncul di saat penulis galau akan kerinduan sosok perempuan idamanya, dari sini aku baru sadar kalau manusia semacam dia bisa naksir lawan jenis, hahaha. Karya kedua berjudul SuratMu, saat aku membacanya teringat kasus penolakan pendirian pabrik semen di Rembang Jawa Tengah, sungguh begitu indah persenggamaan kata per kata yang ia susun. Saya akhiri, selamat membaca. Ali Ahsan Al Haris






Karya 1

Tanganku

Tangan waktu melemparkanku dari tanah dari laut ibu ke tanah ke laut tak menentu. Maka inilah tanganku sendiri: lelaki mabuk dalam sebuah kamar berantakan.

Perempuan dalam kesunyian kertas-kertas. Setiap suara dan bunyi yang diseretnya dari jalanan kemudian diremasnya menjadi kata. Lalu pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan baru berjatuhan darinya. Dan kerja-kerja terus berputar silih berganti mengisi ruang ruang terkutuk.

Tanganku, kau telah dan sedang menjalani ketabahan menyedihkan: kemerdekaan yang harus diraba raba terlebih dahulu di antara banyak kepalsuan yang mesti kau masuki tanpa ampun.

Di antara banyak bibir dan lubang dalam dan dangkal yang kau temui itu ada pernyataan dan makanan dan bangkai dan bau busuk dan limbah dan tubuh rusak mesti pula kau sapa. Tapi bagaimanapun persis setumpukan huruf celaka tak kunjung mendapat bentuknya sebagai prosa paling sederhana saja misalnya, tanganku tetap sabar menunggu banyak kedatangan.

Tanganku berulang kali gemetar kembali bila syaraf-syarafnya terangsang berbagai penerimaan atau penolakan. Tanganku sejenis cinta yang setia namun kasar mencetak tuannya jadi manusia.

Juli 2016  
  

Karya 2

SuratMu
:Tersebab Surat Ibu-Ibu Penghuni Tenda Perjuangan Rembang untuk Seniman Artjog dan Mojok.Co

Setelah ibu ibu terluka berdarah dan berpeluh
Menambal sendiri sobekan tenda mulyanya yang sederhana
Tempat mereka sembahyang dan berdoa tiada putus
Dalam begitu sabar mengetuk hati gerombolan karun
Dan firaun yang maha bebal maha loba  


Setelah ibu ibu mengecor kaki mereka di depan istana
Sebagai cara mereka mengetuk hati gerombolan karun
Dan firaun yang maha bebal dan maha loba itu
Malam ini mereka melayangkan pesan suci
Bagi anak anaknya yang celaka


Dan ArtJog juga Mojok.Co
Dua hayawan berakal bulus tak tahu arah pulang apalagi ini?
Bulan suci bulan yang membuatku jadi tambah ingat puisi
Berjudul Selamat Idul Fitri dari kyai Mustofa Bisri
Puisi yang kemudian membuatku terhenyak setengah mati
Sebab sang penyair berulangkali mengucap selamat idul fitri
Sambil dengan nada satire namun pilu menyayat hati
Meminta maaf tak henti henti
Kepada burung burung dan tumbuhan kepada laut dan mentari
Kepada pemimpin juga rakyat jelata kepada langit juga bumi


Dan ArtJog juga Mojok.Co
Dua hayawan berakal bulus tak tahu arah pulang apalagi ini
Kenapa di bulan penuh rahmat 
Justru keduanya terang terangan menampakkan
Mukanya sebagai penjilat
Ketika seluruh makhluk belajar mengendalikan diri dan keras bergulat
Menghayati arti lapar dan arti maslahat


Atas nama nilai seni dan martabat kebudayaan
Sampai perjuangan kemanusiaan
Dimakannya barang kotor dan menjijikkan itu sekalian

Oh Freeport perusahaan tambang asing musuh seluruh makhluk
Musuh kami tujuh turunan itu malah uangnya rakus mereka embat
Oh Bank Mandiri lembaga keuangan yang baru saja mengucurkan
Dana pinjaman trilyunan kepada PT SG
Untuk memuluskan perusakan alam dan tatanan kehidupan
Masyarakat pegunungan Kendeng dengan pendirian pabrik semen
Malah uangnya rakus mereka embat
Oh ramadhan dua hayawan apalagi ini

Juni 2016


Sunday, August 13, 2017

Tentang Buku Sekolah & Tualang

Sastrawan Jalanan part 5



Aku dan kalian masih manusia biasa, belum sampai pada taraf menjadi dewa bahkan nabi. Rasa malas yang datang di akhir pekan menjadi anugrah bagi pemuda sepertiku, memang mau jalan sama siapa? Haha. Bukan berarti rasa malas yang menyerbu linier dengan pengantar yang aku tulis ini, toh memang kenyataanya seperti itu. Rasa malas beraktifitas berakibat pada ketumpulan fikir dalam menulis, aktifitas ini persis yang di utarakan oleh kawanku, “… terlalu lama menganggur membuat ketumpulan berfikir dan rasa psimis yang berkepanjangan …”

Aku masih belum bertemu dengan si penulis, dengar-dengar dia sudah ada di Malang. Biasanya kalau penulis sudah di Malang tiba-tiba nyelonong ke kontrakanku, senyum-senyum manja bertanya kabar dan menawarkan mau ngobrol di mana kita, Pak.

Tapi yasudahlah, kali ini ada dua puisinya yang sengaja aku publish. Pertimbanganya sederhana, karena puisi yang masuk draft publish hari ini terlalu pendek, khawatir membuat pembaca tak menerima esensinya, cenderung kentang, mungkin.

Puisi yang kedua mengingatkanku saat aku masih kecil dulu, masih menjadi murid dasar dan paling sering merubah cita-cita. Hal tersebut bertambah saat aku naik ke jenjang yang lebih tinggi, semakin tinggi jenjang pendidikan formal semakin sering pula kita berganti cita-cita, iya kan. Petikan puisi tentang Buku Sekolah dapat menjadi bahan refleksi kita semua, terkhusus generasi sekarang, bersekolah dan bekerja menjadi hal yang tak bisa di pisahkan. Lantas kalian yang membaca blog ini mau marah dan berujar “… aku sekolah tinggi-tinggi untuk melawan pembodohan, bukan untuk mencari pekerjaan …” itu boleh-boleh saja, karena hal itu benar adanya. Ya ya ya ya kan.
Sekali lagi terimakasih, selamat pembaca. Ali Ahsan Al Haris


Puisi 1
Tualang

Setiap rindu akan tersesat di perempatan
Karena di jalan segalanya adalah peristiwa
Bahkan juga ketiadaan

Dan percayalah bahwa denyutku pulang berkali kali
Mengetuk pintu rumah tanpa surat dan pemberitahuan

Ruang dan waktu
Sandiwara di atas pusara

Sebab siapakah pemilik rencana di antara semua ini

08 Januari 2014



Puisi 1
Tentang Buku Sekolah
                                        :with Ilham Gabriell                                                                                    

Buku sekolah
Buku sekolah adalah
Buku pelengkap cita cita:
Jadi dokter
Jadi tentara
Jadi polisi
Jadi jenderal
Jadi presiden
Jadi insinyur
Jadi profesor

Buku sekolah
Buku sekolah adalah
Buku sangat kaku
Membuat tumpul pikiran
Dan mental manusia
Sampai sampai para murid
Kering monoton imajinasinya

Dulu ketika sekolah
Aku pernah ditertawai seorang guru
Dan teman sekelas
Karena menjawab
“aku ingin jadi petani sukses di rumah sendiri”
Waktu di sela-sela pelajaran
Kami sempat ditanya
Tentang cita cita

Cita citaku belum ada
Di dalam buku sekolah
Dan guru guru pun
Rupanya gengsi menyinggung itu

April 2016-2017


Saturday, August 12, 2017

Tuhan yang Bergemuruh (Puisi)

Sastrawan Jalanan Part. 4


Pembaca yang budiman, semoga kesehatan dan keberkahan selalu memberkahi kita semua. Status saya dalam tulisan ini hanya sebagai pihak kedua yang mempublikasi, saya hanya menambahi kalimat pengantar semacam ini. Tujuanya agar pembaca dapat menerima secara perlahan dan jelas siapa kiranya sosok penulis yang aku labeli Sastrawan Jalanan, agar tidak ada lagi yang mengira bahwa puisi-puisi yang ada dalam postingan adalah karya saya.

Bagian awal saya lupa menceritakan bagaimana penulis dapat mendarat di Kota Malang, padahal itu bagian penting bagaimana karya-karyanya tercipta. Dari beberapa kawan yang pernah dekat denganya dan penulis sendiri yang memang sengaja saya tanyai, ia sampai di Malang dengan tujuan merantau untuk mencari kerja. Meski berasal dari keluarga yang terbilang berkecukupan tak membuat penulis santai bersandar pada saudara dan orangtuanya. Penulis memilih merantau berjualan es tebu ke Yogyakarta, hasil jualan dari kota yang terkenal dengan segudang seniman dan penerbit buku-buku terkenal itu, tak cukup untuk ia tabung. Penulis kembali ke Madura, mulai dari sini saya mulai kehilangan sumber cerita mengingat beberapa narasumber yang saya tanyai juga tak begitu faham apa saja yang penulis lakukan selama kembali ke Madura.

Saat penulis kembali ke Malang, ia bekerja di caffe yang biasa di buat nongkrong kaula-kaula muda. Sebagai salah satu perintins caffe tentu si penulis menjadi orang penting dalam manajemen.

Coba kita ingat-ingat, saat kita nongkrong di caffe, bersama kawan-kawan atau pasangan kita. Beberapa kali tentu pernah kita temui sisa makanan dan minuman yang jikalau kita lihat masih layak sekali untuk di makan, sederhananya sayang untuk di lempar ke tong sampah. Sisa-sisa makanan dan minuman itulah yang sering di makan oleh penulis, bahkan ia sering membawanya pulang ke kos tempatnya menginap. Sebagai pelayan caffe tentu hal semacam itu penulis alami bahkan menjadi kebiasaanya menyimpan sisa-sisa makanan yang ia anggap masih layak untuk di makan.

Kebiasaan dari penulis itu membuat lingkungan kerjanya megucilkanya, kawan-kawanya mengannggap bahwa apa yang penulis lakukan adalah hal aneh dan cenderung menjijikan. Beda lagi dengan penulis, ia sadari kalau para pelanggan caffe tempatnya bekerja selalu bermuka dua, membeli makanan dengan harga ratusan ribu namun selalu menyisakan dengan alasan yang tak jelas.
Begitulah sisi aneh dari sang penulis puisi-puisi ini, ada hal yang sulit untuk kita nalar. Namun kita akan sadar jika menerka itu semua dengan rendah hati dan rasa syukur. Bukan seperti kasus tadi, sandiwara meja makan.


*******************************
Tuhan yang Bergemuruh

Di dalam perburuan di dunia
Manusia mulai berubah jadi gerombolan
Gerombolan malaikat mati kutu
Yang mencakar cakar perasaan
Yang gagal mereka mengerti
Yang membatalkan doa doa
Yang dikira ada masa kadaluarsa

Tuhanpun mulai bergemuruh
Senja macet di perapatan perapatan
Polusi masuk dalam kendaraan
Juga ke dalam rumah rumah

Dan di ruas ruas jalan  
Ribuan kaki berderap
Seolah menantang gempa
Ribuan tangan mengepal
Ribuan telunjuk menuding
Ke lubang langit yang malah sumbat
Jiwa jiwa lain dibuat gigil olehnya

Tuhanpun makin bergemuruh
Pada saat bersamaan dari seberang jalan
Terdengar derit rimbun bambu

Terdapat liang sempit di bawahnya
Di mana sudah terbujur sebuah kepastian
Bagi begitu angkuhnya setiap tuntutan

Tuhan pemilik setiap gemuruh
Setelah kasihmu sering dikhianati
Jangan lagi kau biarkan semua ini  
Di dalam makin terkikisnya ketulusan
Saling berbagi apalagi mengasihi

Bukankah semua hanya karena inginkan_
Engkau

September  2015 

Wednesday, August 9, 2017

Tukang Cukur (Puisi)

Sastrawan Jalanan Part 03

Saat aku pertama kali mempublikasi puisi-puisi ber label sasatrawan jalanan ini, aku dapat kabar dari kawan dekatnya. Aku bilang dekat karena selama di Malang, penulis sering kali menginap di kosan kawan saya ini. Dia ikut tertawa saat aku benar-benar memberanikan diri untuk mem publikasi karya-karya dia. Tentu bagi sebagian kalangan, termasuk kalian yang sedang membaca blog saya, akan terheran-heran apa makna dari semua puisi-puisi yang ia tulis. Namun akan aku beritahu sedikit saja mengapa karya si penulis begitu berarti, terkhusus bagiku.

Karya-karya ini muncul di saat tak tentu hidup, tak tentu dalam sehari kau dapat makan seberapa besar suapan nasi, belum lagi jika berfikir nanti malam akan tidur dimana, ngopi dengan siapa dan tentu. Siapa yang mau sekedar nongkrong bicara tentang dunia literasi yang makin hari serasa makin tiada guna.

Namun lebih dari itu semua, aku masih menunggu kabar bagaimana jika si penulis benar-benar membaca langsung kalau karya-karyanya yang selama ini ia tutup rapat-rapat di dalam flasdis berkaratnya, tiba-tiba terposting tanpa seizinya. Sungguh, entah ekspresi murka, mengutuk atau malah tak sudi lagi untuk berkawan denganku.

Ini adalah puisi ketiga dari ratusan puisi yang sempat aku colong dari flasdisnya, dalam memahami karya semacam ini. aku tak begitu pandai, aku sudah mencoba belajar ke beberapa sastrawan Malang untuk memahami sebuah puisi, namun sayang keberkahan itu belum aku dapatkan. Selamat membaca, semoga dari postingan berlabel Sastrawan Jalanan ini kita dapat mensyukuri hidup bahwa, masih banyak saudara kita di luar sana yang demi meluruskan punggung dan memejamkan mata untuk sekedar istirahat saja masih kesusahan. Namun mereka tak pernah lelah dalam belajar dan mensyukuri hidup. Terimakasih.



Tukang Cukur

Setelah kucukur rambutmu
Betapa tegang hidup ini
Pandang mataku berkunang kunang
Kursi yang baru saja kau duduki adalah titik lindu
Guntur dan gulungan mendung tebal
Datang dengan frekuensi yang tinggi
Lampu disco dimainkan langit secara tiba tiba

Di seberang sana di tengah pelataran seluas lapangan
Terlihat sebuah wayang sendirian sedang menyalakan matahari
Setelah itu kakinya menendang nendang bola
Di kamar ganti selesai menendang nendang bola
Dihimpunnya asbak palu bor catut dan gergaji
Kemudian dengan semua itu dia duduk bersila
Di atas hamparan rumput sintetis agak berbau
tak ada persediaan secangkir kopi
Tak ada sebungkus kretek Indonesia asli
Oh betapa tegang hidup ini

Sebelum kau beranjak dari kursi cukur
Tolong bacakanlah untukku baris baris kalimat
Yang melompat lompat di wajah monitor di atas sana
Atau ambilkan sebuah buku atau apapun asal tebal
Untuk menutupi pandanganku pada sesuatu
Yang akan mengebor pelipisnya sendiri itu
Kenapa tak datang saja kantuk menyelamatkanku

Dia tak sedang bunuh diri
Tapi dia sedang menjalani sejenis mati
Setelah baru saja dia hatam belajar tentang cara menjadi martir
Dengan tujuan mengabarkan pentingnya menyelamatkan diri sendiri
Bagi siapapun di tengah pergaulan hidup yang penuh sangsi
Amboi... ngomong ngomong benarkah menjelang ajal
Bisma terbaring di hadapan para pandawa
Dengan ribuan panah menancap di sekujur tubuhnya


***

Konon ada seorang tukang cukur
Yang setiap hari asik menakar tap tap hidup
Pada tiap kepala di kios potong rambut sempit bilik kayu
Potongan potongan kata berserakan
berserpihan di lantai akibat badai buatan
Yang berasal dari kipas angin made in sendiri
Lantas hanya dengan itu semua si tukang cukur merasa
Seolah olah dirinya seorang penyair

Dan memang setiap orang yang olah-bicara di dunia ini
Pada dasarnya adalah penyair
Tapi kalau kau menyimpan hasrat yang menggebu gebu
Untuk bertemu seorang penyair di kediamannya
Maka kau akan menemukan seorang tukang cukur saja di sana
Yang terus terusan menunggu kedatangan seorang kekasih
Dan kalau beruntung seorang kekasih benar benar datang
Tubuhnya pasti akan gemetar secar tiba tiba
Kakinya kejang mulutnya wagu dan sebagainya
Bila kau terlanjur di sana tolong bantu pegang pundaknya

Lalu bisikkanlah beberapa kata peringatan di bawah ini ke telinganya
“beeb kenapa kamu lupa mencukur rambutmu setelah kau cukur rambutku
Berikan gunting sasak mesin cukur dan sisir itu padaku
Maka akan kupersembahkan lidah asin-manisku ini
Untuk memangkas rapi halusinasi dunia beserta seluruh bualanmu”



Juni 2015

Tuesday, August 8, 2017

Ular Polos (Puisi)

Sastrawan Jalanan Part. II

Penulis biasa aku sapa dengan panggilan, Bung. Aku sendiri juga tak terlalu faham mengapa panggilan tersebut serasa akrab dengan dirinya, mungkin karena dia lebih senior dari saya dan terlebih lagi penulis sering berpindah pindah kota dan tempat ngopi hanya demi mencari jati diri.
Pernah memang aku berfikiran kalau penulis sedikit gila, memiliki obsesi menjadi idealis sejati di zaman entah berantah seperti ini. Tapi, itu semua bisa saja terjadi, cita-cita besarnya memiliki komunitas yang berisikan para pemuda-pemuda yang ingin mengangkat harkat martabat petani di desanya menjadi tujuan utama si penulis berjejaring dan banyak-banyak silaturahmi.
Sekarang, dengan pekerjaan menjadi juru parkir dia masih berharap suatu saat komunitas yang selama ini dia idam-idakan akan cepat terbentuk dan berkontribusi bagi masyarakat.
Ini adalah puisi kedua yang saya upload, aku tak mengedit naskahnya sama sekali. Aku hanya berhak membaca dan mempublikasi lewat blog sederhanaku ini. semoga kalian yang membaca, dan tentu si penulis semoga Tuhan memberi kesempatan untukmu memberi akses membaca tulisanmu sendiri, dari ratusan puisimu yang sebenarnya enggan untuk kau publikasi.
Salam hormat dariku, Bung.
Ular Polos

Yang
Berkenaan
Dengan
Jalan bawah tanah
Desis   
Malam  hari
Guyur  
Yang  belajar
Memasuki  sunyi hujan
Di  antara
Kuyup
Dan  hawa dingin
Yang  rimbun

Waktu
Menjadi  racun
Racun  
Licin-licin
Di  lipatan keinginan
Kebenaran  berjelma
Perutmu  yang memanjang
Di  dalam perutmu
Terdapat  kisah
Yang  dibalut kulit berbuku
Tersusun  dekatdekat
Apakah  sejarah
Apakah  darah
Dengan  bergeriap
Tubuh  menjalar
Di  kaki mimpi
Yang  
Bersangkutan
Dengan
Suhu
Yang
Setiap  saat berubah
Dalam  dirimu
Ucapkanlah
Rapat-rapat karena;

Suara
Terlanjur  gemar melangkah
Di  siang hari
Dan  memeriksa
Imunitas
Ke  malammu

Bagian  atas tubuhmu
Terlihat  penyok
Menjelang  subuh
Sudahkah  setiap pawang memaku kepalamu
Di  tengah jalan raya kelam aspal
Di  telantar tengah malam
Dengan
Ekormu  yang jerih
Akan
Kamu
Lilit  sendiri
Segala  luka
sebagaimana julurmu
melingkari  darah
lidahmu  mengecap sejarah
Patuklah   


Maret  2014