Showing posts with label RESENSI. Show all posts
Showing posts with label RESENSI. Show all posts

Friday, June 10, 2022

Saat Manusia Dipermudah dengan Internet, Apakah Sekolah Masih Penting?

Sumber Gambar: pixabay

Kemajuan teknologi membawa manfaat dan mudharat (ancaman) seperti kasus pembobolan uang, internet dan pornografi. Namun kesempatan juga banyak datang beriringan dengan datangnya ancaman itu sendiri.

Sembari bersila, Mas Patub melempar pertanyaan ke Mas Sabrang “
Dalam sebuah kemajuan, perkembangan zaman, kesempatan apa saja yang belum dan dapat kita manfaatkan yang selama ini kita tidak mengerti?

Sudah menjadi gayanya Mas Sabrang, yang tidak akan menjawab pertanyaan langsung ke poinnya, melainkan ia akan memberi latar belakang terlebih dahulu ke konteks pertanyaan tersebut. Saya menilai, Mas Sabrang sengaja melakukan itu karena ingin setiap penannya atau pendengar dapat mengolah informasi yang ia terima menjadi sebuah kebulatan ide dari pemikiran yang mendalam.


...yang membedakan manusia dan hewan adalah kemampuan untuk memilih evolusinya ke arah mana … sains dan segala macam dibuat agar kita tidak terlalu random evolusinya…” jawab Mas Sabrang dengan analogi yang menarik.

Thursday, April 14, 2022

Slametan Sela: Megengan & Maleman

Sumber foto: radarbromo.
Sebagai orang Jawa dan beragama Islam, ada satu hal yang sangat identik dan melekat: Slametan (Hajatan/Syukuran). Slametan terbagi kedalam empat jenis: (1) yang berkisar di sekitar krisis kehidupan kelahiran, khitanan, perkawinan dan kematian; (2) yang berhubungan dengan hari-hari raya Islam, seperti Maulid Nabi, Idul Fitri, Idul Adha dan sebagainya; (3) yang berkaitan dengan integrasi sosial desa, biasanya identik dengan Bersih Desa: kegiatan pembersihan dari mahluk halus jahat; (4) Slametan Sela yang diselenggarakan dalam waktu yang tidak tetap, tergantung kepada kejadian luar biasa yang dialami oleh seseorang, seperti: ganti nama; berangkat haji; sakit; kena tenung; pindah rumah atau rencana merantau.

Friday, August 20, 2021

Resensi Novel O Eka Kurniawan

 “Hanya orang yang nggak bisa ngaceng, bisa berkelahi tanpa takut mati.”


Judul : O - Novel

Penerbit         : PT. Gramedia Pustaka Utama

Pengarang : Eka Kurniawan

Editor : Mirna Yulistianti

Tahun : 2016

ISBN : 978-602-03-2559-0

Halaman         : 470 Hal


Novel nyaris lima ratus halaman ini membuat saya bingung, sudah tebal, alurnya maju mundur cantik manja gak jelas dan butuh pemahaman ekstra untuk memahami maksud penulis. Eh, itu tanggapan saat awal membaca novel ini. Saat lembar demi lembar melanjutkan membaca, saya mulai faham ke arah mana Eka mengajak pembacanya untuk tenang dan berpikir. Praktis dua minggu saya menandaskan buku ini. Top


Beberapa Karya Fiksi Dari Eka Kurniawan. Sumber Gambar: rizaalmanfaluthi com

Mau dibilang ini fabel, tidak juga. Karena di dalamnya juga berkisah manusia,bahkan benda dalam novel ini benda juga dapat berbicara. Selain itu, banyaknya tokoh menjadikan para pembaca harus banyak-banyak mencatat nama dan perannya dalam cerita rekaan Eka.


Baca: Perempuan Patah Hati Yang Menemukan Cinta Lewat Mimpi - Eka Kurniawan


Eka Kurniawan (lahir di Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, 28 November 1975; umur 45 tahun) adalah seorang penulis asal Indonesia. Ia menamatkan pendidikan tinggi dari Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Eka Kurniawan terpilih sebagai salah satu "Global Thinkers of 2015" dari jurnal Foreign Policy.

Thursday, August 12, 2021

Kyai Sobirin dan Kesetiaannya Dengan Al-Quran

Ia biasa dipanggil Si Kutu, hidup menggelandang dari satu kota ke kota lainnya demi menyambung hidup. Ia bekerja sebagai tukang foto kopi, ngekos di pinggir sebuah lembah, kamarnya kecil dan berada di lingkungan yang kumuh. Hanya ada tiga gubuk dan satu mushola kecil di sekitar ia tinggal, dihuni beberapa mahasiswa dan tukang rombeng. Maklum, sewa kamarnya murah.


Si Kutu sering bermasalah dengan tidur malamnya, terutama menjelang subuh. Ia terganggu suara bacaan Al-Quran yang berasal dari mushola kecil di ujung jalan gubuknya. Ia berencana mencekik leher orang yang membaca Al-Quran malam-malam itu, menyumpel mulutnya dengan serbet, memukul kepalanya dengan benda tumpul sampai ia mampus. Namun, berkali-berkali ia berencana, berkali-kali ia gagal. 

Saturday, July 24, 2021

Mengupas Setiap Esai Pada Buku Istriku Seribu Karya Emah Ainun Nadjib

 

Koleksi Pribadi

Kumpulan esai ini memuat 20 judul yaitu Tiga Negeri Poligami, Takiran Berkat, Mata Meta-rahasia, Mana Ada Buku Membaca, Beri Ia Satu, Kukasih Kau Seribu, Tanah Lempung Arca Guru Sejati, RT Remeh RW Kerdil, Manajemen Kentrung, Berbaring Menangis di Tengah Jalan Raya, Sudrun dan Tuhan Tak Mau Diduakan, Malam Kemerdekaan di Alexandria, Jilati dan Telanlah Dunia, Dan Kepada Istri ar-Rahimku di Rumah, Istri Kepala Rumah Tangga, Tiga Skala Persuami-istrian dan Lupa kepada Syahwatmu Sendiri, Permaisurimu: Allah, Muhammad, atau Dunia?, Poligami di Dunia Katak, Satu Suami Ratusan Istri, Tuhan Mengajak Berdiskusi, dan Negeri Boleh Abstain dan Melarang Poligami.

Di bawah ini akan diuraikan bagian pendahuluan, isi dan penutup esai tiap-tiap judul.

1.            Tiga Negeri Poligami

Bagian pendahuluan terdapat pada paragraf satu sampai lima. Pendahuluan berisi tentang tokoh aku (Emha) yang menjumpai ada tiga macam negeri di dunia dalam hal menyikapi poligami. Ada negeri yang membolehkan, ada yang tidak memberikan aturan pembolehan atau pelarangan dan ada yang dengan tegas melarang poligami. Dari data tersebut, Emha kemudian merefleksikannya pada kondisi Indonesia. 

Bagian isi terdapat pada paragraf enam sampai tiga belas. Pada bagian ini Emha menyoroti pola pikir masyarakat Indonesia dalam menghadapi suatu kasus, contohnya adalah kasus poligami. Seperti dalam kutipan di bawah ini.

Wednesday, June 16, 2021

Resensi Anak Gembala Yang Tertidur Panjang di Akhir Zaman

 


Saya jarang sambang ke Ibu Kota Provinsi Jawa Tengah. Tapi, pernah membaca dan mendengar selentingan dari kawan kalau sekitaran stasiun Tawang & Poncol, Simpang Lima dan Taman KB depan SMA 1 adalah tempat mangkalnya para Waria. Ya, buku ini mengisahkan yang terakhir itu, para PSK, Kucing dan Waria.

Novel Anak Gembala yang Tertidur Panjang di Akhir Zaman menuturkan kisah Rara Wilis dan Suko Djatmoko. Alurnya maju dan mundur, mencakup masa lebih dari tiga dekade, menembus dan mengaburkan batas antara realitas serta mimpi, bermain-main dalam kabar gaib serta penafsirannya, melompat-lompat di antara bahasan seks dan teologi, iman dan skeptisme, pelacur dan Tuhan, hikayat babi dan epos Mahabharata. Lebih dari itu, novel ini diangkat dari kisah nyata. Maka benarlah, sesungguhnya kehidupan manusia sering kali lebih ganjil dari cerita fiksi mana pun.

Lahir dari dua belas saudara, delapan laki-laki dan empat perempuan. Ia anak kelima. Memiliki panggilan Waria bernama, Mbok Wilis. Nama tersebut bukan terinspirasi dari nama Gunung Wilis atau tokoh pewayangan kesukaannya. Melainkan lahir dari kekecewaan dan patah hati. "Rasa Lara Waria Idaman Lelaki Iseng Semata", begitu panggilan yang membuatnya dikenal menjadu Ratu para Waria di Simpang Lima Semarang.

Saturday, June 5, 2021

Jungkir Balik Jagat Jawa (Mitos, Cinta & Enigma)

 

Identitas Sastra Jawa memang harus dipertanyakan ulang. Misalnya saja kita bertanya: apakah sastra Jawa harus ditulis oleh orang Jawa dengan bahasa Jawa dan berisi kejawaan? Apakah ia berupa identitas yang dikenakan secara longgar? Bisakah, misalnya, orang Australia yang menulis masalah-masalah Aborigin dengan bahasa Jawa dianggap telah menghasilkan sastra Jawa?


Ini adalah buku karangan Pak Triyanto Triwikromo yang pertama kali saya baca. Saat membacanya, setidaknya ada dua buku lain yang harus saya baca kembali, yaitu: “Asal Usul Perang Jawa, Abangan Santri Priyayi Dalam Kebudayaan Jawa & Serat Gatholoco”. Selain itu, saya juga mencatat beberapa buku yang nantinya harus saya baca juga diantaranya: “Puncak Kekuasaan Mataram Politik Ekspansi Sultan Agung, Bandit-bandit Pedesaan Jawa: Studi Historis 1850-1942, Nyali, Para Priyayi, Keluarga Jawa & Memberi Suara Pada yang Bisu”.

 Sehimpun esai ini isinya sangat ciamik sekali dan saya rekomendasikan untuk dibaca bagi siapa yang ingin mengetahui budaya jawa, sejarah kelam dan mitos-mitos yang sampai hari ini masih dipercayai masyarakat Jawa secara umum. Terdiri dari tujuh bab utama di mana setiap bab memiliki sub-nya yang berisi esai menarik dan mencerahkan.

 

Saturday, May 22, 2021

Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Lewat Mimpi

 

Cek Instagram: pedagang kampung

Kisah diawali seorang perempuan yang gagal menikah. Rencana pernikahan tersebut gagal di malam sebelum mereka menikah. Ia terluka dan sakit hati. Keluarganya sangat malu mendapatkan kabar tersebut, esoknya keluarganya sibuk menjelaskan ke para tetangga dan kolega kalau pernikahan anaknya tidak jadi.

Paling menyakitkan, perempuan yang dipilih bakal suaminya itu adalah sahabat baiknya sendiri. stres mengetahui hal tersebut, ia sempat mengiris pergelangan tangannya dengan pisau dapur, untung waktu itu ketahuan adiknya, kalau tidak, kini ia sudah tak lagi punya tangan. Karena ulahnya itu, anggota keluarganya bergantian menjaganya di dalam kamar siang dan malam, tidak lupa juga mengontrolnya agar tidak telat mengkonsumsi obat.

Pekerjaan sebagai penjaga perpustakaan di sebuah universitas harus ia tinggalkan terlebih dahulu sampai ia sembuh.

Pada waktu itu lah, mimpi-mimpi itu mulai datang. Dalam mimpinya, ia tak hanya bertemu dengan pria tampan, melainkan di mimpinya juga menjanjikannya kehidupan yang layak dan bahagia. Awalnya ia mengira kalau mimpi itu hanya reaksi dari obat yang ia minum. Satu minggu berlalu, dua minggu berlalu, tiga berlalu mimpi itu terus datang. Seperti video rekaman yang diputar berulang. Namun, ia takut mau bercerita tentang mimpinya itu ke siapa. ia takut kalau dikira sudah sembuh. Ia tak suka pujian basa-basi seperti itu mentang-mentang kondisinya sudah mulai membaik.

Beberapa kali ia memang mengingat momen saat gagal menikah. Ia menangis dan teriak-teriak yang membuat gempar dan panik seisi rumah. Setelah ia minum obat, kondisinya akan membaik lagi.

Lelaki yang ia temui dalam mimpinya itu berbadan tegap, kulitnya sawo matang. Setiap ia mimpi, lelaki itu berlari-lari di pantai Pangandaran diikuti seekor anjing kampung di belakangnya.

Ia sendiri tak paham mimpinya itu adalah sebuah pesan atau hanya mimpi biasa. Namun, ia terus menerus penasaran dan ingin bertemu dengan lelaki di pantai itu. Kondisi seperti itu, ia tak mungkin izin ke ibunya mau ke Pangandaran dengan alasan liburan, pasti ibunya dan keluarganya yang lain akan khawatir ia melakukan hal yang aneh-aneh mengingat kondisinya baru saja membaik.

Thursday, May 20, 2021

Romusa Sejarah Yang Terlupakan


 

Judul               : Sejarah yang terlupakan (1942-1945)

Penulis             : Hendri F Isnaeni & Apid

Penerbit           : Ombak, 2008

Halaman         : xi + 158 Halaman

ISBN               : 978-079-3472-88-1

Harga              : 40.000


Romusha merupakan bentuk mobilisasi tenaga kerja pada masa Pendudukan Jepang. Masyarakat pribumi dipekerjakan untuk membangun sarana prasarana militer dan menggali bahan tambang atau lubang perlindungan. Salah satu daerah yang menjadi tempat pemusatan romusha di Jawa Barat adalah Bayah di Banten Selatan. Mereka berasal dari berbagai daerah di Pulau Jawa dan dipekerjakan di tambang batu bara Bayah Kozan. Sistem penambangan batu bara yang dilakukan di Bayah adalah tambang tertutup. Penambangan dilakukan dengan cara membuat lubang untuk mencapai ader, yaitu pohon bijih. Kegiatan penggalian lubang tambang dan penambangan batu bara dilakukan dengan peralatan sederhana di bawah tekanan dan siksaan tentara Jepang yang menjadi pengawas romusha.

 Buku ini lahir atas kolaborasi dua penelitian. penelitian pertama dilakukan oleh Hendri F. Isnaeni pada tahun 2003-2004. Hasil penelitiannya disusun dalam bentuk karya ilmiah dengan judul Rekonstruksi Sejarah di Banten Selatan 1942-1945. Penelitian Kedua dilakukan oleh Apid pada tahun 2005 berjudul Romusha di Pertambangan Bayah Banten Selatan Tahun 1942-1945.

Tuesday, May 18, 2021

Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas


“Hanya orang yang enggak bisa ngaceng, bisa berkelahi tanpa takut mati,” kata Iwan Angsa sekali waktu perihal Ajo Kawir.

Kasar. Brutal. Tidak sopan. Semau gue. Bisa dibilang keempat kata tersebut mencerminkan buku ini. Buku ini merupakan novel kedua dari tiga novel Eka Kurniawan yang sudah saya baca. Eka Kurniawan adalah seorang penulis yang menyelesaikan studinya di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Beberapa karyanya yang telah terbit, yaitu novel Cantik itu Luka dan Lelaki Harimau; kumpulan cerpen Gelak Sedih dan Cinta Tak Ada Mati; juga satu karya nonfiksi Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis.

Instagram: Pedagang Kampung

Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas merupakan novel ketiganya setelah 10 tahun tidak menelurkan novel. Sampai sekarang saya masih penasaran dengan novel keduanya yang berjudul Lelaki Harimau. Saya berharap GPU mencetak kembali novel tersebut, seperti Cantik itu Luka yang telah dicetak ulang pada tahun 2004 lalu.

Ia satu dari beberapa orang yang mengetahui kemaluan Ajo Kawir tak bisa berdiri. Ia pernah melihat kemaluan itu, seperti anak burung baru menetas, meringkuk kelaparan dan kedinginan. Kadang-kadang bisa memanjang, terutama di pagi hari ketika pemiliknya terbangun dari tidur, penuh dengan air kencing, tapi tetap tak bisa berdiri. Tak bisa mengeras. (Hlm. 1)

Buku ini mengisahkan tentang ‘burung’, alias kemaluan pria yang dimiliki seorang tukang berkelahi bernama Ajo Kawir. ‘Burung’-nya tidak mau bangun dan mengeras. ‘Burung’-nya seperti orang mati suri yang terus-menerus tertidur pulas. Hal ini bermula ketika sahabatnya, Si Tokek, mengajak Ajo Kawir untuk melihat sesuatu yang menarik di rumah perempuan gila bernama Rona Merah. Tanpa disengaja Ajo Kawir dan Si Tokek melihat dua orang polisi, yaitu Si Pemilik Luka dan Si Perokok Keretek, memerkosa perempuan gila tersebut. Akibat ajakannya yang berujung pada tidurnya kemaluan Ajo Kawir, Si Tokek pun merasa bersalah.

Wednesday, May 12, 2021

Perbanditan di Kota Semarang Pasca Revolusi 1950-1958

Beberapa Buku Koleksi Saya

Tulisan ini adaah resensi atas buku “Perbanditan di Kota Semarang Pasca Revolusi 1950-1958” karangan Joseph Army Sadhyoko terbitan Penerbit Kendi, April 2021. 

Buku ini membahas tentang dunia bandit yang terjadi di Kota Semarang periode 1950-1958 dengan fokus permasalahan pada penyebab adanya bandit, jenis bandit, dan cara penanggulangannya. Ditulis menggunakan penelusuran metode sejarah, mengumpulkan artikel (terutama dari Suara Merdeka) dan merekonstruksi permasalahan tersebut dengan menggunakan pendekatan konsep realitas sosial kejahatan.

Setidaknya sampai hari ini, masih jarang buku yang membahas dunia perbanditan secara nasional. Hanya ada dua kota di Indonesia selama Perang Kemerdekaan dan Pasca Perang Kemerdekaan yang membahas kasus-kasus ini. Kota-kota tersebut adalah Yogyakarta dan Jakarta. Sedangkan di Semarang sendiri, hanya sedikit orang yang mengetahui sejauh mana bandit terjadi di kota tersebut.

Secara umum, Perang Kemerdekaan yang berlangsung dalam kurun waktu 1945-1949 menyebabkan banyak rusaknya sarana prasarana dan mengakibatkan kondisi perekonomian yang buruk. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk segera melakukan pembenahan di bidang pembangunan fisik dan ekonomi. Sedangkan di bidang ketenagakerjaan, baik sipil maupun militer memerlukan restrukturisasi dan rasionalisasi (Rera) pascaperang kemerdekaan. Kebijakan Rera diberlakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia pada Januari 1948. Menteri Mohammad Hatta yang menjadi kepala pemerintahan saat itu berkeinginan kuat untuk menciptakan kondisi “satu prajurit satu komando”.

Tuesday, April 20, 2021

Merayakan Buku dan Musik

 

Apa itu MocoSik?

Jika buku adalah teman paling loyal (Ernest Hemingway), musik adalah bahasa manusia paling universal (Henry Wadsworth). Jika buku memberikan makna, maka musik memberi jiwa pada alam semesta. Buku menuntun kita menemukan eksistensi, dan musik menerbangkan kita menjelajah imajinasi. Buku membawa kita kepada kebijaksanaan hidup, dan musik membawa kita kepada keindahan dan kegembiraan hidup.


Mocosik adalah festival tahunan yang dirancang untuk mempertemukan dalam satu panggung dua kultur yang berbeda, yakni buku dan musik. Kedua kultur yang masuk dalam ranah literasi budaya itu diringkus dalam satu ikatan akronim: Mocosik. Dalam bahasa Jawa, “maca” atau “moco” artinya baca, sementara “sik” berarti “musik”. Pada tahun ini, Bank BRI Mocosik Festival 2018 mengusung tagline besar "merayakan buku dan musik", Mocosik menampilkan dua budaya secara serentak dan kontinum. Buku yang sunyi disandingkan dengan musik yang bunyi lewat sebuah perayaan selama tiga hari yaitu tanggal 20, 21 dan 22 April 2018.

Di panggung Mocosik, baik buku maupun musik adalah sebuah percakapan kreatif. Panggung buku mewujud dalam obrolan dan bazar, sementara musik adalah dialog dalam bunyi dan lirik. Baik panggung buku dan musik, sukma utama yang ditumbuhkan adalah perjumpaan serta penciptaan kreatif dalam kereta literasi budaya yang panjang.

Baca juga: Kitab Ketenteraman Dari Khasanah Emha Ainun Nadjib

Ratusan penerbit dan pegiat buku diundang dalam bazar buku dan percakapan literasi di panggung Buku. Sementara itu, di panggung Musik, hadir musisi-musisi papan atas, baik grup maupun solo. Panitia memberikan panggung yang sama besar untuk buku & musik, Mocosik akan mempertemukan pembaca yang baru, yakni pecinta musik & buku. Panitia berharap antara penggerak budaya pop seperti musik bertemu menjadi satu arus kesadaran bahwa literasi penting untuk membangun peradaban di mana kita hidup sehari-hari.

Project Director Mocosik Festival, Bakkar Wibowo menyampaikan bahwa semua lapak buku digratiskan kepada seratus penerbit yang terseleksi, bersama ribuan judul buku di sana. “Silahkan pilih mana yang Anda suka dengan menukarkan tiket dengan buku. Jadi, beli tiket nonton konser musik dapat buku. Jika buku ingin disumbangkan, kita juga menyediakan tempat untuk menyumbangkan buku,” ungkap Bakkar yang dimuat di Republika. Panggung Galeri Seni Rupa, Bank BRI Mocosik Festival 2018 menampilkan pameran arsip dari Buldanul Khuri dengan tajuk “25 Tahun Buldanul Khuri Berkarya”. Pria kelahiran Kotagede Yogyakarta tersebut menurut Bakkar dikenal bukan hanya sebagai penggerak dunia penerbitan buku-buku humaniora di seantero Yogyakarta, namun juga sosok penting yang membawa karya seni rupa di sampul buku.

“Di panggung galeri seni rupa nanti juga akan dihadirkan pula karya seni dari perupa Titarubi & Ong Hari Wahyu,” lanjut Bakkar.

Bali Kiri: Sepilihan Esai Kajian Budaya

 


Dalam PutCast Mojok, Mas Sabrang menyukai matematika dan fisika karena malas belajar saja. Lha kok bisa? Menurutnya, matematika, fisika dan ilmu pasti lainnya, update nya  sangat lama. Ia tak perlu harus belajar terus menerus. Hehe. Berbeda dengan saya, dan memang tidak perlu diperbandingkan juga ya, yang lebih menyukai ilmu-ilmu sosial. Apa yang Mas Sabrang utarakan memang betul, apa yang saya baca dan ketahui hari ini, besok sudah berubah lagi, updat lagi pun kena revisi lagi.

Buku yang saya baca ini adalah edisi kedua. Judul edisi pertama adalah Bali Pascakolonial, Jejak Kekerasan dan Sikap Kajian Budaya (Yogyakarta, Kepel Press, 2009). Sedangkan pada edisi kedua menjadi Kiri Bali, Sepilihan Essay Kajian Budaya. Judul Kiri Bali dipilih karena sebagian besar narasi yang menjadi dasar buku adalah kesaksian hidup manusia-manusia Bali yang tersisih dalam pergolakan politik dan sejarah di daerah kelahirannya sendiri. “Orang-Orang Kiri Bali” sering menjadi istilah yang disebutkan khayalak umum di Bali untuk menunjuk kepada manusia-manusia Bali yang tersangkut kene garis, berhubungan (dihubungkan) dengan PKI (Partai Komunis Indonesia). Buku ini hadir untuk memperluas pemaknaan bahwa Kiri Bali tidak hanya diasosiasikan kepada manusia Bali yang menjadi korban dan survivor tragedi pembantaian massal 1965 di Bali, tetapi juga mereka yang tersingkirkan dalam pentas politik kebudayaan dan pembangunan di Pulau Seribu Pura ini.

Dalam melakukan studi kekerasan, penulis mengembangkan fokus kajian kepada kelompok-kelompok yang terpinggirkan, para subaltren yang berasa di tepi pasang surut pergolakan politik kebudayaan dan kekerasan di Bali. Penulis ingin membongkar pemahaman tentang relasi kuasa konstruksi terhadap citra eksotika Bali hingga terwarisi seperti sekarang.

Kesaksian dan studi tentang mereka kelompok subaltren sekaligus juga sebagai resistensi dan gugatan terhadap dominasi sang kuasa sekaligus juga tunduknya ilmu-ilmu sosial terhadap kepentingan kekuasaan, khususnya dalam studi ilmu sosial positivistik.

Monday, April 19, 2021

Pulang ke Rinjani

 


Saya memutuskan berbuka puasa membaca buku Non-Fiksi. Niatnya, saya tidak akan membaca novel di tahun 2021, hal tersebut luntur karena tidak tahan godaan buku “Pulang ke Rinjani” karya Reza Nufa. Novel yang mengangkat tema pencarian jati diri dengan kemasan traveling ini cukup menyita perhatian dunia sastra di triwulan pertama. Mulai dari pembaca buku, penulis dan kritikus menyinggung buku ini sebagai karya yang cadas. Pembawaan bahasanya konfrontatif, berbau Post-Mo dan komedi satire. Namun, saya sendiri kurang senang dengan gaya penulisan novel yang detil seperti ini. Me Murakamikan diri, meng Norwegian Wood kan diri dalam judul, Pulang Ke Rinjani.

Baik, mari kita mulai. Saya bukan tipikal pembaca yang rewel masalah kover. Namun untuk buku ini, saya belum menemukan kecocokan antara kover dengan isi novel. Warna putih yang sangat dominan ditambah foto penulis duduk di atas batu. Maksudnya apa?

Novel setebal 431 halaman ini terbagi dalam 27 judul, setiap judul mengantarkan kita atas kegelisahan yang penulis rasakan. Tinggal pembaca yang menilai, mau mengapresiasi atau menghujat proses pelik yang dialami penulis! Seratus halaman pertama, saya mulai menangkap poin mengapa buku ini ditulis. Berbicara bagaimana proses yang cukup rumit penulis alami selama menuntaskan studi sampai dipertemukannya dengan orang-orang baru di perjalanan. Namun, saya cukup kesal saat penulis menjadi orang pesakitan karena kakinya terluka berkat sandal yang ia kenakan tidak cocok untuk jalan kaki. Pada titik ini, kenapa kok ya enggak ganti memakai sepatu saja. Hadehhhhh.

Tuesday, April 6, 2021

Inside The Death Camp

 

Sebelum membaca buku ini, saya sudah tergoda untuk membaca novel “Do'a Ibu” karya Arswendo. Keinginan tersebut urung karena ingat komitmen saya di awal tahun Hanya Membaca Buku Non Fiksi saja. Berat? Saya masih belum merasakan. Mungkin bosan, iya.

Buku mungil nan tipis ini dari judulnya cukup menarik. To the point, menjual sekali untuk dijajakan ke anak-anak muda yang menyukai teori konspirasi dan sentimental agama. Tentunya, harga sangat terjangkau dan tema yang dibahas juga tidak cukup berat.


Begini, ada empat kisah atau babak besar yang diceritakan. Salah satunya Anne Frank. Nama yang tidak asing bagi pemuja Tolstoy. Jujur, saya sendiri belum tandas membaca buku tentang Anne Frank. Pernah punya, tidak tahu ke mana buku tersebut. Lucunya lagi, belakangan saya baru mengetahui jika ada buku yang lebih detail alias lengkap menceritakan kisah Anne Frank. Lah ...

Jadi bagaimana? Hemat saya, bagi pembaca yang belum tahu siapa itu Anne Frank akan terbantu dengan membaca buku ini. Periodisasi pengisahan Anne Frank cukup baik, dimulai dari meletusnya Perang Dunia I, bagaimana ia dan keluarganya maraton mengungsi dari tempat satu ke yang lain.

Namun, pembaca juga akan tambah bingung dengan gaya cerita yang dikemas. Penulis cenderung menganggap pembaca buku ini sudah tahu siapa itu Anne Frank, Hitler dan NAZI. Beda kasus jika pembaca buku ini sudah memiliki pengalaman membaca yang cukup luas.

Wednesday, March 31, 2021

Kitab Ketenteraman Dari Khasanah Emha Ainun Nadjib


Perburuan buku-buku yang ditulis langsung oleh Mbah Nun maupun yang ditulis oleh orang lain masih berlanjut. Kali ini saya berkesempatan membaca buku Kitab Ketenteraman Dari Khasanah Emha Ainun Nadjib, ditulis tiga penggiat Maiyah, Aprinus Salam; M Alfan Alfian & Wawan Susetya. Khusus Mas M Alfan Alfian, saya sudah pernah membaca buku beliau yang membahas tentang HMI. Kalau tidak salah, beliau juga menjadi dosen di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) juga.



Ian Leonard Betts (Ian L Beets), sosok peneliti yang sudah malang melintang di Maiyah turut memberikan pengantar pada buku ini, menurut beliau, buku Kitab Ketenteraman memiliki kedalaman tema dan jangkauan bahasa cukup luas untuk mudah dimengerti para pembaca tanpa mengurangi esensinya. Selain itu, dan ini yang sangat menarik. Buku Kitab Ketenteraman menjadi inspirasi penting Pak Ian L Betts menulis buku Jalan Sunyi Emha (2006). Hmmm, perlu pembaca tahu juga, buku tersebut sudah lama saya cari tapi harga bekasnya masih terlampau mahal. Jika pembaca ingin menjualnya, jangan lupa mengabari saya ya. Eheee.


Kitab Ketenteraman pertama kali terbit pada tahun 2001 (Saya masih belum tahu siapa penerbitnya) kemudian di tahun 2014 cetak kembali dengan penerbit yang berbeda, kali ini penerbit Penjuru Ilmu Sejati asal Pondok Gede, Bekasi yang berkesempatan menerbitkannya. Buku ini membuat saya mengingat-ingat pertemuan dengan Pak Andi Soebijakto, kawan karib Bang Alfan Alfian dan driver -orang dekat- Mbah Nun saat reformasi. Kenapa saya tulis? Karena saya menganggap ini penting. Saya pertama kali bertemu dengan beliau saat ngopi di UB Coffee, saya dikenalkan lewat perantara Dr. Anthon Efani. Cukup lama kita bertiga mengobrol. Beliau banyak menyebut nama-nama penggiat Religi, dan saya banyak tidak tahunya. Hehe. Lain kesempatan, nama Pak Andi ini saya konfirmasi ke senior saya, Kang Ibnu (Penggiat Religi) dan terjawablah siapa sosok Pak Andi ini. Semoga Allah SWT selalu melindungi & memberikan kesehatan ke Pak Andi & Keluarga.

Saturday, March 13, 2021

Barzanji Sebagai Produk Budaya

 Tradisi Barzanji Pada Masyarakat Loloan Kabupaten Jembrana, Bali

Al-Barzanji merupakan kitab yang berisi doa-doa, puji-pujian dengan satu irama atau nada yang biasa dilantunkan Ketika momen kelahiran, khitanan, pernikahan dan peringatan atau perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW. Isi daripada Al-Barzanji bertutur tentang kehidupan Nabi Muhammad SAW, yang disebutkan berturut-turut yakni silsilah keturunannya, masa kanak-kanak, remaja, pemuda, hingga beliau diangkat menjadi rasul.


Nama barzanji diambil dari nama pengarang buku tersebut, yaitu Syekh Ja’far al-Barzanji bin Hasan bin Abdul Karim. Beliau lahir di Madinah tahun 1690 dan meninggal tahun 1766. Kata Barzanji sendiri berasal dari nama sebuah tempat di Kurdistan, Barzinj. Meski pun lebih terkenal dengan nama penulisnya, karya tersebut sebenarnya berjudul Iqd al-Jawahir (kalung permata) yang disusun untuk meningkatkan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW.

Saturday, March 6, 2021

Bang Karni Ilyas, Lahir Untuk Berita

 


Seperti halnya buku sejarah, buku Karni Ilyas Lahir Untuk Berita dengan ciamik menceritakan bagaimana Sukarni Ilyas (Bang Karni) menempuh karier sebagai wartawan yang betul-betul. Periodisasi terpenting perjalanan karier dengan ciamik diceritakan oleh Mbak Fenty Effendy. Buku yang terbit delapan tahun lalu ini mungkin bakalan usang dan tidak up to date jikalau dilihat dari segi tahun. Namun akan sangat mencerahkan bagi yang ingin mengenal lebih dekat sosok Bang Karni, wajah dunia hukum era Order Baru dan bagaimana rezim tersebut mengukuhkan kekuasaannya. Terutama bagi kawan-kawan yang sekarang menjadi wartawan, tentu buku ini bisa menjadi acuan penting belajar semangat dan ketekunan yang Bang Karni lakukan selama menjadi wartawan. Pembaca yang sekarang menapak umur dua puluh delapan jangan kaget, jika kita akan dibuat bolak-balik dari buku ke Google untuk mencari tahu peristiwa dan banyaknya tokoh yang tidak kita kenal.  

Wednesday, January 20, 2021

Matinya Seorang Penulis Besar

Sebagai pembaca, pertama saya ucapkan terimaksih banyak ke Mas Ronny Agustinus yang sangat piawai dalam menerjemahkan kumpulan esai yang ditulis Mario Vargas Llosa. Piawai di sini karena kualitas terjemahan sangat mudah ditangkap pembaca tanpa (mungkin) mengurangi esensi dari apa yang ditulis oleh LIosa. Buku ini tersusun dari sepuluh esai LIosa yang dipilih oleh pihak penerbit.


Membaca buku ini membuat saya teringat bukunya Mas Eka Kurniawan (Senyap Yang Lebih Nyaring & Usaha Menulis Silsilah Bacaan). Padangannya tentang penulis-penulis besar dunia, budaya, sastra dan politik serta bagaimana kita memandang suatu perkara dalam kaca mata penulis.

Mario Vargas Llosa ini termasuk salah satu penulis latin yg sering dikutip. Ini adalah buku pertama Liosa yang say abaca, dan menurut beberapa sumber yang saya baca, karya fiksinya masih sulit ditemui di Indonesia dibandingkan dengan karya Marques atau bahkan Isabel Alende.

Tulisannya saat memaparkan tentang menulis, membaca, dan sastra begitu jernih (terjemahannya juga berpengaruh sih) dan relatif mudah dijangkau. Kalimat-kalimat pada buku kutipable banyak sekali, dan walau kita sudah tau kebanyakan isinya, Llosa mampu menuliskannya ulang dengan rasa baru (dan lebih sederhana).

Thursday, January 14, 2021

Budaya Baca Naik, Apakah Hal Serupa Kemudian Terjadi di Budaya Tulis?

Questioning Everything! Spesial Puthut EA, Kepala Suku Mojok

Menyenangkan rasanya bisa membaca kumpulan wawancara mengenai proses kreatif karya yang dihasilkan oleh penulis, perupa dan musisi yang terdapat di dalam buku ini. Banyak hal yang dapat diambil, terutama motivasi untuk terus produktif dan kreatif dalam berkarya.



Jika Yoris Sebastian menganggap dirinya kreatif dan menulis buku degan judul 101 Creative Notes dan orang-orang membacanya agar mengikutinya dan menjadi kreatif, percayalah, itu sia-sia. Saya mendapatkan banyak ide-ide segar dalam Questioning Everything ini, lewat kerja kreatif beberapa tokoh yang dilansir dalam wawancaranya dan ini lebih bermanfaat daripada catatan Yoris, tentu saja.

Baca tulisan yang lain: Refleksi Selama Meresensi Buku di Tahun 2020

Ini adalah buku kumpulan wawancara dari majalah Magazine hasil wawancara duo jurnalis muda berpengalaman; Tomi Wibisono & Soni Triantoro. Dalam buku ini banyak tokoh yang mungkin pembaca tidak kenal secara pribadi namun dijamin karya-karya mereka, lewat berbagai cara dan media pernah mampir di riuhnya kehidupan kita, dengan santainya (atau tergesa-gesa) berbagai obrolan menarik disini. Keliaran perspektif, cerdasnya arogansi, bukan provakasi pemikiran ketat tersirat lewat buku milik kolektif literasi nekat asal Yogya ini. Walaupun diantarkan dalam gaya sastrawi namun buku ini tak membuat kening berkerut, cepat saji dan pastinya tidak kehilangan taji. Dan, dari banyak tokoh yang di wawancarai, berikut adalah resensi wawancara dengan salah satu maestro Cerpenis Indonesia, Puthut EA.