Thursday, April 14, 2022

Slametan Sela: Megengan & Maleman

Sumber foto: radarbromo.
Sebagai orang Jawa dan beragama Islam, ada satu hal yang sangat identik dan melekat: Slametan (Hajatan/Syukuran). Slametan terbagi kedalam empat jenis: (1) yang berkisar di sekitar krisis kehidupan kelahiran, khitanan, perkawinan dan kematian; (2) yang berhubungan dengan hari-hari raya Islam, seperti Maulid Nabi, Idul Fitri, Idul Adha dan sebagainya; (3) yang berkaitan dengan integrasi sosial desa, biasanya identik dengan Bersih Desa: kegiatan pembersihan dari mahluk halus jahat; (4) Slametan Sela yang diselenggarakan dalam waktu yang tidak tetap, tergantung kepada kejadian luar biasa yang dialami oleh seseorang, seperti: ganti nama; berangkat haji; sakit; kena tenung; pindah rumah atau rencana merantau.

Bertepatan dengan momen Ramadhan, tulisan ini akan membahas sedikit tentang bentuk kegiatan Slametan Sela, yaitu : Slametan dalam rangka Megengan dan Maleman.

Bagi orang Jawa, Slametan selain berbagi rezeki dengan tetangga, bertujuan sebagai bentuk ungkapan rasa syukur dan pengharapan ke Allah SWT. Siklus Slametan Sela sendiri mengikuti penanggalan Jawa, termasuk dua bentuk Slametan yang akan saya bahas ini: Pertama, Slametan dalam rangka megengan. Kedua, dalam rangka maleman.


Slametan Megengan (Ruwahan)
Di Jawa Tengah dikenal dengan istilah Ruwahan. Ruwah sendiri berarti 'permulaan puasa', sedangkan Megengan memiliki arti 'menyapih'. Slametan Ruwahan jamak dilakukan bagi mereka yang orang tuanya sudah meninggal. Mengapa bisa begitu? Clifford Geertz, di bukunya yang berjudul (Agama Jawa, Kobam 2013) menulis bahwa (Ruwah, nama bulan itu berasal dari kata Arab arwah "jiwa orang yang sudah meninggal").

Sebelum Slametan Ruwahan dimulai, para keluarga akan nyekar (ke makam) mendoakan ahli kubur sembari menaburkan bunga di atas tanah. Beberapa keluarga Jawa masih percaya jika arwah-arwah tersebut akan datang ke Slametan. Saya sendiri pernah melihat, tuan rumah menyiapkan makanan dan minuman untuk arwah-arwah tersebut, biasa diletakan di dalam bekas kamarnya atau pojokan rumah.


Sebagaimana jalannya Slametan kematian, tuan rumah akan membuat panganan (jajan) apem karena sebagai simbol orang Jawa untuk kematian.

Beberapa sumber yang pernah saya baca, Ruwahan/Megengan dilakukan sebelum matahari terbenam. Hal tersebut sebagai penanda siang hari terakhir seseorang diperbolehkan makan dan minum sebelum Ramadhan datang. Kini, banyak Slametan Ruwahan dilaksanakan selepas maghrib. Bagi pembaca yang tahu alasannya, mohon untuk memberi balasan langsung, jika saya yang salah tulis, akan segera saya perbaiki.

Slametan Maleman
Ringkasnya begini: Slametan ini dilaksanakan pada malam-malam ganjil Ramadhan: 21, 23, 25, 27, dan 29. Mayoritas umat Islam meyakini di sepuluh hari terakhir Ramadhan adalah waktu istimewa Allah SWT menurunkan malam Lailatul Qadar. Para jamaah akan membawa besek berisi nasi dan lauk ke Langgar atau Masjid untuk berdoa bersama kemudian saling bertukar besek.


Slametan Ruwahan dan Maleman diselenggarakan oleh setiap orang pada waktu yang hampir bersamaan. Hal ini mengakibatkan harga-harga sembako dan bumbu di pasaran mengalami kenaikan. Di hari-hari itu juga, orang-orang harus keliling satu Slametan me Slametan lainnya.

Peserta Slametan di isi dari tetangga terdekat si pengundang dan sanak famili. Slametan dipimpin Kyai atau sesepuh desa yang diminta langsung oleh tuan rumah untuk memimpin acara. Di akhir acara, Kyai atau pemimpin Slametan akan mendapatkan dua besek dan amplop berisi uang sebagai tanda terima kasih dari tuan rumah.

Saat Ramadhan berakhir, umat Islam akan merayakan Hari Raya Idul Fitri (Rijaja). Di momen itu, orang Jawa yang beragama Islam akan melaksanakan dua Slametan lagi: Slametan Satu Sawak & Slametan Tujuh Sawal. Bagaimana penjelasannya? Di tulisan berikutnya saja.

Tulisan ini adalah resensi dari buku "Agama Jawa, Clifford Geertz, Kobam 2013).

Terima kasih
Malang, 14 April 2022
Ali Ahsan Al Haris

No comments:

Post a Comment