MAKALAH
Upacara Lelabuhan di
Baron, Yogyakarta
disusun untuk memenuhi tugas Sosial Budaya Pesisir
yang
dibina oleh Bapak Dr. Ir. Ismadi, MS.
Oleh :
Selvi Aniati
Afrita Ayu Sri H.
M. Bagus K.
Anthon A.
Khoirotunnisa’
Siddiq Pratomo
Yusrina Rizqi A
Cahyo Agung S
PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN dan ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
Desember 2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang telah melimpahkan rahmat, taufik serta hidayahnya kepada kami semua sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah mengenai “Upacara Lelabuhan di baron, Yogyakarta” ini dengan baik dan tepat waktu sebagai proses pemenuhan tugas Sosial Budaya Pesisir. Tak lupa shalawat serta salam selalu kami tujukan kepada junjungan kami, Nabi besar Muhammad SAW karena beliau-lah yang telah membawa kita dari zaman kebodohan menuju zaman yang sangat maju peradabannya.
Makalah ini berisikan tentang
penjelasan mengenai salah satu traidisi yang berkembang di Indonesia, yang
sampai saat ini masih tetap dilaksanakan. Dan kemudian diharapkan pembaca dapat
mengetahui mengenai upacara Lelabuhan tersebut serta dapat ikut melestarikan
salah satu potensi budaya bangsa Indonesia tersebut.
Dan tak lupa kami sampaikan terima
kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan artikel
ilmiah ini dari awal sampai akhir hingga terselesaikannya artikel ilmiah ini
dengan baik.
Kami menyadari bahwa artikel ilmiah
ini jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak
yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan artikel ilmiah
ini.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Ketika terbentuk suatu komunitas, tumbuh pula adat dan tradisi
yang mengiringinya. Tradisi ini kemudian menjadi ciri khas yang membedakan
antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain. Ia tak sekedar
berkembang dengan nilai-nilai yang melekat pada dirinya, namun acap kali
dipengaruhi oleh nilai-nilai dari luar, baik atau buruk.
Di tengah kita banyak sekali tradisi yang berkembang misal
“sedekah” laut, “sedekah” bumi dan lain-lain. Seperti halnya saja di
Yogyakarta, sebagian masyarakatnya masih berkeyakinan animisme yakni
kepercayaan pada peranan makhluk atau roh-roh halus (anima). Dalam mewujudkan
keyakinan mereka, mereka melakukan ritual “lelabuh sesaji”. Yakni upacara yang
dibuat untuk mempersembahkan uborampe (perlengkapan sesaji) kepada yang
mbaurekso (penunggu). Dengan ini mereka berharap mendapat keselamatan,
kesehatan, dan kehidupan yang lebih baik. Mereka juga berharap agar yang
mbaurekso tidak marah dan menimpakan musibah atau malapetaka kepada mereka.
Dalam pelaksanaan ritual ini, ternyata terdapat pratek-praktek
yang menyelisihi agama. Misalnya saja meminta perlindungan atau pertolongan
kepada makhluk halus yang diyakininya, hal ini sama saja berdo’a kepada selain
Allah subhanahu wa ta’alla dan merupakan suatu kesyirikan. Dalam makalah ini kami mencoba mengenalkan tradisi lelabuhan yang telah melekat pada sebagian
masyarakat Yogyakarta.
1.2
Rumusan Masalah
a)
Apakah yang disebut
dengan upacara Lelabuhan dan dimana upacara tersebut dilaksanan?
b)
Bagaimana kegiatan
tersebut dilaksanakan?
c)
Bagaimana pandangan
masyarakat mengenai upacara lelabuhan?
1.3
Tujuan
Agar masyarakat
mengetahui salah satu tradisi yang masih dilaksanakan di daerah Yogyakarta dan
diharapkan dapat ikut menjaga serta melestarikan tradisi tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
UPACARA LABUHAN PANTAI SELATAN
Salah satu bentuk upacara labuhan
pantai selatan yang terkenal adalah labuhan di Pantai Baron, Gunung Kidul.
Upacara tradisional itu diberi nama upacara Tradisional Labuhan. Istilah
Labuhan berasal dari kata labuh yang menurut kamus umum Indonesia berarti
membuang atau mencampakan ke air. Arti ini hampir sama dengan kata labuh dalam
bahasa Jawa yang berarti ngudunake. Dalam hubungannya dengan upacara
tradisional, yaitu upacara tradisional labuhan di Pantai Baron, berarti memberi
sesaji kepada penguasa Laut Selatan, yang menurut kepercayaan sebagian warga
masyarakat setempat ialah Kanjeng Ratu Kidul.
Kegiatan upacara tradisional labuhan
sudah lama dikenal dan dilaksanakan oleh sebagian warga masyarakat Kemadang dan
juga sebagian masyarakat dari daerah lain. Menurut informasi yang dikumpulkan,
setiap upacara tradisional labuhan dilaksanakan, maka banyak pendatang dari
daerah lain ikut menjadi pendukung upacara tersebut. Sebagian di antara mereka
mempunyai kepentingan atau hajat tertentu, dan sebagian yang lain membayar
nazar atau sebagai sarana mengucapkan terima kasih atas terkabulnya hajat
mereka.
Upacara tradisional labuhan di pantai
Baron tidak ada tahap-tahapnya. Dengan pengertian tidak dikenal adanya
istilah-istilah khusus untuk menyebut tahap-tahap didalamnya. Apabila dilihat
dari proses penyelenggaraannya, rangkaian upacara tradisional labuhan itu
berlangsung dua tahap, yaitu kegiatan-kegiatan yang bersifat persiapan dan
kegiatan-kegiatan pelaksanaan upacara.
Kegiatan-kegiatan yang bersifat
persiapan adalah kegiatan sebelum upacara dimulai. Ada dua macam kegiatan yaitu
kegiatan yang dilakukan oleh pamong desa atau pejabat setampat, dan
kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh keluarga keturunan Ki Tirtasegara beserta
warga masyarakat Upacara Labuhan. Kegiatan yang dilakukan oleh pamong desa
setempat, sebenarya cukup banyak. Akan tetapi kegiatan itu terlepas dari
kegiatan Upacara Labuhan dan umumnya hanya terkait dengan masalah-masalah
pengembangan wisata. Seperti kegiatan menyiapkan penampungan pengunjung,
menyiapkan berbagai pertunjukan dan sebagainya.
Adapun kegiatan yang dilakukan oleh
ahli waris keluarga keturunan Ki Tirtasegara beserta warga masyarakat setempat
pendukung upacara, tidak terlalu banyak. Kegiatan awal yang mereka lakukan
diantaranya mengadakan komunikasi antara satu dengan yang lain. Intinya saling
mengingatkan bahwa upacara tradisional labuhan sudah semakin dekat. Disamping
itu, mereka mulai mencatat siapa saja yang akan ikut berkorban dan jenis
binatang apa yang akan dikorbankan. Kegiatan seperti ini pada umumnya mulai
mereka lakukan awal bulan maulid atau dua minggu sebelum pelaksanaan upacara,
dan berlangsung sampai malam tirakatan.
Setiap warga desa kemadang
menyelenggarakan kegiatan upacara tradisional labuhan di pantai baron, belum
pernah dibentuk satu kepanitiaan secara resmi. Dalam hubungan ini ahli waris
keluarga keturunan Ki Tirtasegara secara turun temurun, sudah mendapat
kepercayaan penuh dari warga masyarakat setempat untuk mengkoordinir dan
mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan upacara tradisional labuhan.
Disisi lain, warga masyarakat sendiri, terutama pendukung upacara, secara sadar
akan memenuhi tugas dan kewajiban yang dibebankan kepada mereka. Hal ini dapat
dipahami, karena pada umumnya mereka mempunyai suatu kepercayaan, bahwa
keterlibatannya dalam kegiatan upacara tradisional labuhan itu akan memberikan
berkah.
Mengenai masalah pembiayaan,
bahan-bahan sesaji, baik yang berupa hewan korban maupun bumbu masak,dan
peralatan atau perlengkapan untuk kegiatan upacara labuhan, sejak dulu
sampai dengan penyelenggaraan taun ini, belum pernah ada masalah. Untuk
keperluan ini, dengan sukarela menyumbangkan sesuatu dalam rangka memenuhi
kebutuhan penyelenggaraanupacara labuha. Ada yang membelikan seekor ayam,
sejumplah bumbu, seekor kambing, seikat kayu bakar dan lain sebagainya.
Rangkaian dalam upacara tradisional
labuhan dapat diperinci sabagai berikut. Pertama kegiatan malam tirakat, ke dua
kegiatan masak dan mempersiapkan sesaji, ke tiga kegiatan melabuh sesaji d
pantai baron, ke empat kegiatan selamatan penutup.
Kegiatan malam tirakatan
Menurut tradisi, malam hari sebelum siang harinya
dilaksanakan upacara tradisional labuhan, maka terlebih dulu dilaksanakan malam
tirakatan. Kegiatan ini dimulai pukul 00.01 tanggal 10 sura dan berlangsung
hingga fajar menyingsing, kurang lebih pukul 04.30 pagi. Dalam upacara labuhan
ini, kegiatan malem tirakatan diikuti hamper seluruh peserta upacara. Mereka
bersama-sama kumpul di rumah peninggalan Ki Tirtasegara. Para peserta tirakatan
dipompin sesepuh penanggung jawab upacara yaitu Ki Rejotambak, semalam suntuk
tidak tidur disertai memanjatkkan do’a, memeohon kepada yang maha kuasa agar
upacara labuhan yang akan dilaksanakan esok sorenya berjalan lancer dan tidak
ada halangan.
Disamping itu, sebagian diantara
peserta tirakatan, sudah ada yang mulai bekerja, khususnya memilah-milah bumbu
dan menyiapkan perlengkapan untuk memasak esok harinya. Dalam upacara
tradisional labuhan, kegiatan masak dalam mempersiapkan sesaji termasuk
kegiatan yang cukup penting dan mempunyai rangkaian yang padat. Kegiatan-kegiatan
itu, secara berurutan bias disebutkan sebagai berikut, pembakaran kemenyan dupa
oleh pemimpin upacara. Pembakaran kemenyen dupa oleh pemimpin upacara adalah
merupakan tanda dimulainya kegiatan memasak dan menyiapkan sesaji. Kegiatan ini
dilaksanakan di lumbung peninggalan Ki Tirtasegara kurang lebih pukul 05.00,
sebagai upaya untuk mengadakan kontak gaib dengan penguasa laut selatah,
Kanjeng Ratu Kidul. Maksudnya untuk meminta restu, agar kegiatan memasak dan
menyiapkan sesaji berjalan dengan lancer, tidak ada halangan.
Setelah pemimpin upacara selesai
mengadakan konyak gaib dengan penguasa laut selatan, Kanjeng Ratu Kidul, maka
segera menyusul kegiatan penyembelihan korban,memasak sekaligus menyiapkan
sesaji. Di dalam pelaksanaannya, kegiatan ini termasuk unik dan sangat menarik
untuk diperhatikan, karena semua kegiatan tersebut, termasuk memasak, ditangani
kaum lelaki. Meski demikian mereka cukup trampil, penuh rasa tanggung jawab dan
dapat bekerja secara gotong royong, sehingga segala kegiatan dapat diselesaikan
sesuai waktu yg telah ditentukan.
Adapun sesaji yang dihasilkan ada sua
macam, yaitu sesaji yang dilabuh dan sesaji selamatan setelah acara labuhan.
Sesaji yang dilabuh secara garis besar terdiri dari, kepala, wit, kaki, dan
sedikit darah hewan yang dijadikan korban, nasi tumpeng beserta kelengkapannya,
kinangan lengkap, bumbu masak lengkap, dan lain sebagainya. Sedangkan sesaji
yang digunakan untuk selametan setelah upacara tradisional labuhan adalah nasi
ambeng beserta lauk pauknya, dalam hal ini termasuk daging korban, baik dimasak
sate maupun gulai.
2.2
PELAKSANAAN
UPACARA
Pada awalnya, kegiatan melabuh sesaji
di pantai baron ini cukup sederhana. Akan tetapi sejak tahun 1979, yaitu sejak
pemerintah daerak tingkat II kabupaten gunungkidul ikut memanfaatkan untuk
kepentingan wisata sampai saat ini, maka kegiatan melabuh sesaji di pantai
baron mengalami pengembangan, meskipun belum mengurangi sifat sakralnya.
Salah satu kegiatan yang bersifat baru
itu ialah acara penyambutan secara resmi oleh pemerintah daerah tingkat II
kabupaten gunungkidul yang ditempatkan di pesanggrahan khusus. Dalam acara
penyambutan ini, selain ada seorang dari bupati kepala daerah tingkat II
kabupaten gunungkidul, juga dibacakan mengenai sejarah ringkas awal mulanya
upacara labuhan dilaksanakan.
Selanjutnya setelah upacara
penyambutan selesai, para peserta upacara dengan membawa sajian yang akan
dilabuh, bersama-sama menuju kekaki gunung Komang untuk mengadakan upacara
labuhan. Setelah mereka sampai di gunung komang, Ki Rejotambak sebagai pimpinan
upacara, segera membakar kemenyan dan memenjatkan do’a atas nama pera peserta
yang intinya memohon kepada Kanjeng Ratu Kidul agar korbannya diterima serta
mereka diberi keselamatan dan murah rejeki.
Setelah pembacaen doa selesai,
mulailah Ki Rejotambak mulai melabuh sesaji ke dalam laut yang diikuti oleh
para peserta lainya, terutama yang ikut berkorban. Maka selesailah acara
melabuh sesaji ke pantai baron. Kegiatan selamatan penutup pada dasar nya
adalah merupakan suatu tanda, bahwa rangkaian kegiatan upacara tradisional
labuhan selesai. Selamatan ini dilaksanakan setelah kegiatan melabuh di pantai,
dan diikuti oleh semua peserta upacara labuhan. Bahkan ada jugga beberapa orang
yang tidak mengikuti upacara labuhan namun ikut hadirdalam selamatan
penutup. Hal yang demikian itu tentunya dipahami, karena dikalangan
masyarakat desa kemandang dan di deberapa masyarakat lain telah tumbuh satu
kepercayaan bahwa nasi berkat dan lauk-pauk, terutama tulang hasil selamatan
ini memiliki khasiat yang cukup ampuh, diantara khasiat itu ialah dapat
menambah rejeki, mengobati penyakit, menolak balak bagi pemiliknya. Oleh karena
itu, nasi dan tulang hasil berkatan dari selamatan tersebut banyak yang di
keringkan dan disimpan.
Ki Titrtasegara adalah merupakan tokoh
pertama atau cakal bakal masyarakat desa kemadang. Mengenai siapa sebenarnya Ki
Tirtasegara itu dan bagaimana ia dapat sampai di desa kemandang, juga belum
dapat dijelaskan secara pasti, karena sampai saat ini, belum ditemukan
keterangan yang meyakinkan.
Menurut keterangan dari beberapa warga
masyarakat bahwa Ki Tirtasegara itu termasuk prajurit perang diponegoro. Ketika
Pangeran Diponegoro ditipu dan ditangkap oleh Belanda, beliau tidak mau
menyerah, tapi justru melarikan diri ke daerah jawa timur yaitu di desa
kemandang sekarang. Di tempat inilah Beliau beserta ba=eberapa pangikutnya
membuka hutan dan kemudian menetap, sehingga daerah ini makin lama semakin
ramai.
Berselang beberapa lama setelah Ki
Tirtasegara berserta pengikutnya menetap di daerah Kemadang, maka terjadi
peristiwa yang tidak menyenangkan yaitu pageblug. Pada saat itu banyak
orang menderita kelaparan, sakit dan selanjutnya meninggal dunia. Menurut
istilah setempat esok loro sore mati, sore loro esok mati. Artinya pagi sakit,
sore meninggal, sore sakit, pagi meninggal. Peristiwa ini terjadi kira-kira
pada tahun 1844 H atau 1913 Masehi.
Mengetahui keadaan yang demikian itu,
orang yang dikenal dengan sebutan Ki Tirtasegara tersebut melakukan semedi di
Gunung Komang, untuk memohon kepada yang maha kuasa agar pageblug yang
menimpa masyarakat desa kedungsatam segera hilang. Di dalam keadaan semedi, Ki
Tirtasegara mandapat wangsit bahwa permohonannya dikabulkan, namun sebagai
saranya agar ia beserta masyarakat setempat menyalenggarakan upacara labuhan.
Sesuai dengan wangsit yang telah diterima, maka pada tanggal 14 bulan mauled
tahun 1844, Ki Tirtasegara dan dibantu oleh sepupunnya yang menjabat sebagai
kepala desa, yaitu Ki Abdul Kasan, mengkoordinir warga masyarakat desa kemadang
untuk mengadakan upacara labuhan.
Terlepas dari kebenaran keterangan
diatas, teryata sampai sekarang meskipun Ki Tirtasegara telah tiada, Beliau
masih tetap dihormati dan upacara tradisional labuhan di pantai baron masih
tetap dilaksanakan dengan sebaik-baiknya setahun sekali. Adalah satu kenyataan
yang tidak dapat di pungkiri lagi bahwa kepercayaan terhadap roh-roh halus dan
tempat-tempat yang dianggap keramat masih merupakan bagian dalam kehidupan
orang jawa termasuk orangjawa yang berada di desa kemadang. Upacara labuhan di
pantai baron yang berlangsung selama ini, menurut sebagian masyarakat setempat
mempunyai maksud untuk memuliakan Kanjeng Ratu Kidul yang bersemayam di laut
selatan pantai baron gunung kombang, karena dianggap keramat. Tujuan
upacaraitu, pada hakekatnya untuk mendapat keselamatan. Yanf dimaksud di sini
adalah selamat dari gangguan makhluk halus, hidup tentram dan mudah mencari
rejeki.
Upacara taradisional labuhan di pantai
baron yang diselenggarakan setahun sekali itu, penyelenggarakannya berdasarkan
kalender jawa, yaitu setiap tanggal 14 maulid. Penetapan tanggal dan bulan ini,
menurut para sesepuh masyarakat setempat yangberhasil diwawancarai, atas dasar
petunjuk almarhum Ki Tirtasegara. Beliau adalah seorang tokoh masyarakat
setempat dan sekaligus cikal bakal desa kemadang yang telah menerima wisik
tentang upacara labuhan ketika sedang semedi. Oleh karena itu, sejak
pertamakali upacara labuhan diselenggarakan sampai saat ini, tanggal dan bulan
penyelenggaraannya belum ada perubahan.
Adapun mengenai jamnya penyelenggaraan
upacara, sejak dulu sampai sekarang, pada prinsipnya tidak ada perubahan. Akan tetapi, sejak
penyelenggaraan upacara labuhan dikaitkan dengan usaha pengembangan wisata oleh
pemerintah aerah tingkat II kabupaten gunungkidul, da kegiatan yang jam
pelaksanaannya sering berubah-ubah yaitu kegiatan melabuh dan kegiatan
selametan penutup. Meski demikian, perubahan tersebut tidak terlalu bergeser
jauh. Artinya, perubahan pelaksanaan nya hanya bergeser sekitar 30 menit sampai
60 menit.
Waktu pelaksanaan kegiatan-kegiatannya
biasanya dapat disebutkan sebagai berikut: malam tirakatan pelaksanaannya pukul
00.01 sampai pukul 05.00 tanggal 13 malam tanggal 10 sura, kegiyatan masak,
yaitu mulai pemotongan korban hingga selesainya mampersiapkan sesaji
pelaksanaannya pukul 05.00 sampai dengan pukul 14.00, kegiatan melabuh sesaji
di gunung kombang, pelaksanaannya pikul 16.00. selamatan penutup,
palaksanaannya pukul 18.30.
Seluruh rangkaian kegiatan upacara
tradisional labuhan penyelenggaraannya bertempat di wilayah desa kemadang
kecamatan tanjungsari kabupatan gunungkidul. Secara terperinci, tempat-tempat
kegiatan penyelenggaraan upacara itu dapat disebutkan satu persatu sebagai
berikut. Sejakpertamakali upacara labuhan dilaksanakan sampai dengan upacara
tahun ini, sudah dua tempat yang pernah digunakan untuk kegiatan tirakatan.
Pertama, ditengah hutan yaitu 12km dari tepi pantai gunung kombang kea rah
timur laut. Tempat ini digunakan untuk malam tirakatan sewaktu upacara labuhan
dipimpin oleh Ki Tirtasegara dan penggantinya yaitu cucu beliau Ki Ajipraya.
Kedua, dirumah peninggalan
KiTirtasegara yang terletak didusun banjarsari. Perpinfahan dari tengah hutan
ke rumah peninggalan Ki Tirtasegara ini berlangsung sejak pemimpin upacara
dipegang oleh Ki Rejotambak sampai saat ini. Adapun alasannya, bahwa ditengah
hutan itu banyak gangguannya, baik gangguan muhluk halus maupun dari penonton
upacara. Oleh karena itu, beliau menganggap lebih aman jika malam tirakatan
dilaksanakan dirumah peninggalan Ki Tirtasegara.
Untuk tempat memasak dalam hal ini
termasuk memotong hewan korban dan mempersiapkan sesaji, sejak pertamakali
upacara labuhan dilaksanakan sampai dengan upacara tahun ini, adalah sama
dengan tampat tirakatan. Pertama, sewaktu upacara dipimpin oleh Ki Tirtasegara
dan penggantinya Ki Ajipraya, tepat di tengah hutan yaitu 1,5km dari tepi
panttai gunung kombang kearah timur laut. Kedua, sejak upacara di pimpin oleh
Ki Rejotambak sampai dengan saat ini, tempat kegiatan memasak di pindah kerumah
peninggalan Ki Tirtasegara di dusun banjarsari desa kemadang.
Berbeda dengan tirakatan dan tempat
memasak, untuk tempat melabuh ssaji, sejak pertama kali upacara labuhan
diselenggarakan sampai saat ini, belum pernah terjadi perubahan yaitu di laut
selatan dekat pantai gunugng kombang. Dipilihnya pantai gunung kombang sebagai
tempat untuk melabuh sesaji, menurut keterangan para sesepuh masyarakat
setempat, adalah atas dasar petunjuk Ki Tirtasegara. Tempat ini sangat
dikramatkan oleh masyarakat setempat, karena menurut kepercayaan merreka,
didasar laut dekat gunung kombang terdapat lorong atau terowongan yang disebut
Watu Lawang yang dapat menghubungkan atau sebagai pintu pertama untuk manuju
kerajaan Kanjeng Ratu Kidul.
Upacara tradisional labuhan ini sejak
dulu sampai sekarang, penyelenggaraannya selalu dilaksanakan bersama-sama oleh
keluarga keturunan Ki Tirtasegara dengan sebagian warga masyarakat kemadang.
Hal ini karena mereka semuanya merasa mempunyai tenggung jawab dan
berkepentingn atas lestarinya upacara labuhan.
Adapun penyelenggaraan tknis dalam
rangkaian kegiatan pelaksanaan upacara labuhan itu dapat disebut sebagai
berikut, yang dimaksud pemimpin dan penanggung jawab upacara labuhan ialaah
orang yang bertanggung jawab, memimpin dan mengatur seluruh rangkaian upacara
tersebut. Seperti yang telah teruraikan dibangian terdahulu. Oleh karena itu
menurut tradisi, orang yang dipercaya memimpin upacara selalu salah satu
diantara keluarga keturunan Ki Tirtasegara. Untuk upacara tahun-tahun ini orang
yang dipercaya adalah Ki Rejotambak.
Perlu diperjelaskan disini, bahwa
secara teknis, pemimpin dan penanggung jawab upacara, selain bertugas memimpin
dan mengatur seluruh rangkaian kegiatan upacara labuhan, juga berkewajiban
melaksanakan tugas-tugas lain yang sangat penting. Misalnya, member petunjuk
pembuatan sesaji, mengikrarkan setiap kegiatan upacara dan lain sebagainya.
Tentusaja dalam tugas ini beliau selalu dibantu oleh beberapa orang
kepercayaannya.
Jalannya Upacara
Jalannya upacara labuhan di pantai
baron sejak pertama kali dilaksanakan oleh Ki Tirtasegara hingga sekarang
mempunyai urutan-urutan tetap. Adapun jalanya upacara labuhan pantai baron
dapat dituturkan sebagai berikut: pelaksanaan upacara labuhan dip anti baron
diawali dengan adanya malam tirakatan. Pada pelaksanaan upacara labuhan 1981,
malam tirakatan dilaksanakan pada tanggal 9 malam hingga tanggal 10 juli. Malam
tirakatan tersebut mulai dilaksanakan sitengah hutan pantai baron. Tapi sejak
sepeninggal Ki Ajipraya tidak dilakukan di hutan lagi.
Pada tanggal 9 malam hingga tanggal 10
suro, sejak sore hari rumah Ki Rejotambak telah dipenuhi oleh keluarganya dan
tamu yang ngalap berkah. Sebagian besar peserta upacara tersebut dating dari
luar desa kemadang. Pada malam hari para perserta upacara, khususnya para sesepuh
yang merasa bertanggung jawab pada pelaksanaan upacara mengadakan malam
tirakatan. Mereka tidak tidur semalam suntuk, untuk memohon kepada yang maha
kuasa agar upacara brjalan lancer. Para perserta malam tirakatan harus dalam
keadaan suci lahir maupun batin.
Pada pagihari kurang lebih pukul 05.00
malam tirakatan berakhir dan dilanjutkan dengan upacara memasak sesaji.
Padasaat itu para wanita di rumah Ki Rejotambak dipersilahkan menginggalkan
tekpat. Mereka baru diperbolehkan setelah upacara memasak telah selesai.
Sebelum melakukan kegiatan memasak, Ki
Rejotambak mselaku pemimpin upacara melakukan suguh untuk Knjeng Ratu Kidul.
Suguh tersebut dilakukan di dalam lumbung yang terletak di samping rumah.
Adapun sajian suguh tersebut berupa kinangan lengkap. Maksud dantujuan suguh
adalah memohon doa restu kepada Kanjeng Ratu Kidul agar kegiatan memasak sesaji
dapat berjalan lancar.
Lebih kurang pukul 12.00 semua masakan
telah matang, kemudian dibagi menjadi tiga bagian, yaitu sajian untuk upacara
labuhan, sajian untuk leluhur, dan sajian untuk selamatan setelah upacara
selesai. Setelah pembagian sesaji telah selesai, semua wanita sudah
diperbolehkan untuk kembali pulang. Saji-sajian untuk upacara labuhan dimasukan
salam joli, sedangkan binatang korban dimasukan kedalam panjang ilang. Kemudian
Ki Rejotambak sekeluarga beserta peserta upacara khusus yang laki-laki ganti
pakaian untuk upacara yaitu pakaian adat Yogyakarta yang berupa baju surjan.
Kuranglebih pada pukul 14.00, setelah
semua persiapan selesai, Ki Rejotambak sekeluarga beserta para peserta upacara
yang lain naik kendaraan yang telah disediakan dihalaman rumah. Selanjutnya
joli-joli yang berisi sesajian segara dinaikan ke dalam kendaraan khusus.
Lebih kurang pukul 14.30 rombongan
sampai di pantai baron. Kedatangan disambut oleh pemerintahan tingkat II
kabupaten gunungkidul. Kemudian pada pukul 15.30 semua peserta upacara yang
telah membentuk barisan bersama-sama berangkat dari pesanggrahan munuju gunung
kombang dengan membawa sesaji. Setibanya ditempat upacara tersebut Ki
Rejotambak membakar kemenyan, kemudian para peserta upacara mengikutinnya.
Saji-saji dibawa diletakan di dekatnya. Maksud pembakaran kemenyan tersebut
adalah memberitahu kepada Kanjeng Ratu Kidul bahwa upacara labuhan segera
dimulai, disamping itu juga agar korban yang dipersembahkan diterima serta
mereka diberi ketentraman, keselamatan dan murah rezeki. Selanjutnya Ki
Rejotambak melabuh sesaji ke laut yang diikuti oleh para peserta upacara yang
lain.
Lebuh kurang pukul 17.00 sesaji yang dilabuhkan
telah habis, dengan demikian upacara labuhan berakhir. Kemudian Ki Rejotambak
beserta para peserta upacara yang lain segera menuruni gunung kombang menuju ke
pesanggrahan. Setelah sampai di pesanggrahan rombongan Ki Rejotambak segera
pulang untuk melaksanakan selamatan yang menutup semua rangkaian kegiatan
upacara labuhan.
2.3 PANDANGAN
MASYARAKAT TERHADAP UPACARA LELABUHAN
Selo
Soemarjan dan Soelaiman Soemardi menyatakan bahwa kebudayaan adalah sarana
hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Herskovits mamandang kebudayaan
sebagai sesuatu yang turun-temurun dari satu generasi ke generasi yang lain. Kebudayaan merupakan sistem
pengetahuan yang meliputi sistem ide (gagasan) yang terdapat dalam pikiran
manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari bersifat abstrak. Adapun
perwujudannya berupa perilaku dan benda-benda bersifat nyata, misalnya
perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, seni dan lain-lain. Yang
semuanya untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
Masyarakat
tak bisa lepas dari kebudayaan. Dalam kehidupanya akan selalu beriring dengan
tradisi dan adat istiadat yang selalu mengiringinya. Sebagian masyarakat ada
yang sudah berpikir modern dan tidak lagi terikat dengan hal-hal yang berbau
mistis. Namun ada sebagiannya yang masih menaruh perhatian terhadap laku
spiritual serta dipengaruhi hal-hal mistis. Mereka berkeyakinan akan adanya
makhluk halus atau roh-roh disekitar yang dapat mempengaruhi kehidupannya.
Sebagaimana
diketahui seseorang tidak ingin mendapatkan gangguan dalam kehidupannya. Maka
untuk menggapai kabahagiaan yang mereka inginkan mereka melakukan laku
spiritual sesaji. Hal ini sebagaimana apa yang diyakini oleh masyarakat
Yogyakarta. Untuk mewujudkan harapan mereka, mereka melakukan sesajen. Sajen,
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah makanan (bunga-bungaan dan
sebagainya)yang disajikan untuk mahkluk halus. Dalam melakukan ritual tersebut
mereka memiliki latar dan tujuan yang berbeda, dengan perbedaan dan ragam nama
istilah tentumya.
Di
antaranya di Laut Selatan, di sana terdapat prosesi adat laut yang dinamakan
hajat laut. Pada acara itu seekor kerbau atau kepalanya beserta sesajian
lainnya diantarkan kelaut. Upacara itu selalu dilaksanakan pada hari Senin atau
Kamis menjelang Selasa atau Jumat kliwon pada bulan Muharrm (Sura). Selasa dan
jumat dianggap sebagai hari nahas sehingga nelayan tidak boleh melaut.
seperahunya dan menyerbu sesaji. Mereka berebut menciduk air laut di bawah dan
itu di sekitar sesaji untuk disiramkan ke perahu masing-masing. Mereka percaya
bahwa menyiram perahu dengan air akan mendatangkan berkah berupa hasil
tangkapan ikan yang berlimpah dan dijauhkan dari malapetaka saat melaut. Uba
rampe (materi isi) sesaji ternyata juga dicari orang. Konon,itu juga menjadi perlambang
murahnya rezeki bagi yang mendapatkannya. Itulah pemuncak acara hajat laut yang
ditunggu-tunggu para nelayan di kawasan itu.
Sementara
itu, sekelompok lain melakukan upacara sedekah laut atau dikenal dengan acara
“larung”, memberikan persembahan atau sesembelihan untuk “Nyai Roro Kidul”.
Konon, dia adalah penguasa pantai selatan. Mereka bertujuan melestarikan
hubungan raja Yogyakarta terdahulu dengan Kanjeng Ratu Kidul.
Hal yang serupa itupun dilakukan di lereng merapi. Sesaji dipersembahkan kepada roh-roh leluhur yang diyakini bertempat tinggal di sekitar merapi. Dalam upacara tersebut banyak orang yang datang berbondong-bondong guna ngalap berkah. Mereka menyakini akan adanya kebarokahan pada benda-benda yang digunakan sebagai sesaji.
Hal yang serupa itupun dilakukan di lereng merapi. Sesaji dipersembahkan kepada roh-roh leluhur yang diyakini bertempat tinggal di sekitar merapi. Dalam upacara tersebut banyak orang yang datang berbondong-bondong guna ngalap berkah. Mereka menyakini akan adanya kebarokahan pada benda-benda yang digunakan sebagai sesaji.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Masyarakat
adalah sekelompok individu yang mempunyai hubungan, memiliki kepentingan
bersama, dan memiliki budaya. Dalam kehidupannya masyarakat tidak terlepas dari
kebudayaan, tradisi, dan adat-istiadat. Nilai-nilai yang berkembang acap kali
dipengaruhi dari luar, baik atau buruk. Hal inilah yang membuat kita harus
selektip dalam mempratekkan tradisi dan melestarikannya.
Salah satu bentuk upacara labuhan
pantai selatan yang terkenal adalah labuhan di Pantai Baron, Gunung Kidul. Kegiatan upacara tradisional labuhan sudah lama dikenal dan
dilaksanakan oleh sebagian warga masyarakat Kemadang dan juga sebagian
masyarakat dari daerah lain. Upacara taradisional labuhan di pantai
baron yang diselenggarakan setahun sekali itu, penyelenggarakannya berdasarkan
kalender jawa, yaitu setiap tanggal 14 maulid.
Selo Soemarjan dan Soelaiman Soemardi menyatakan bahwa kebudayaan
adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Masyarakat
tak bisa lepas dari kebudayaan. Dalam kehidupannya akan selalu beriring dengan tradisi dan
adat istiadat yang selalu mengiringinya. Mereka bertujuan melestarikan hubungan
raja Yogyakarta terdahulu dengan Kanjeng Ratu Kidul. Hal yang serupa itupun dilakukan di
lereng merapi. Sesaji dipersembahkan kepada roh-roh leluhur yang diyakini
bertempat tinggal di sekitar merapi. Dalam upacara tersebut banyak orang yang
datang berbondong-bondong guna ngalap berkah. Mereka menyakini akan adanya
kebarokahan pada benda-benda yang digunakan sebagai sesaji.
3.2 Saran
Secara
umum pelaksanaan sudah cukup bagus, rakyat sangat antusias menyelenggarkan
upacara ini dan Pemerintah juga sangat mendukung upacara ini. Hanya saja
diperlukan antusias yang lebih dari para anak – anak muda setempat agar upacara
ini dapat terus dilaksanakan dan tidak punah atau menghilang.
DAFTAR PUSTAKA
Bager. 2010. http://bager[dot]blog[dot]ugm[dot]ac[dot]id/ Diakses pada tanggal 20 Desember 2012 pukul 09.50 WIB
Jogja Trip, 2012. http://www.jogjatrip.com/id/493/labuhan-di-ngrenehan. Diakses pada tanggal 20 Desember 2012 pukul 09.45
WIB
Mbah Karno, 2011. http://mbahkarno.blogspot.com/2011/11/upacara-labuhan-keraton-yogyakarta.html. Diakses pada tanggal 20 Desember 2012 pukul 09.30
WIB
Purwadi M. 2005. Upacara Tradisional
Jawa:Menggali Untaian Kearifan Lokal. Pustaka Pelajar. Jakarta.
Rohmah, K. 2011. http://khozainu-rohmah.blog.ugm.ac.id/2011/11/10/tradisi-lelabuh-sesaji-dan-nilai-nilai-keimanan-pada-masyarakat-yogyakarta/