Tuesday, December 8, 2015

Upacara Lelabuhan di Baron, Yogyakarta

MAKALAH
Upacara Lelabuhan di Baron, Yogyakarta



disusun untuk memenuhi tugas Sosial Budaya Pesisir
yang dibina oleh Bapak Dr. Ir. Ismadi, MS.



Oleh :
Selvi Aniati
Afrita Ayu Sri H.
M. Bagus K.
Anthon A.
Khoirotunnisa’
Siddiq Pratomo
Yusrina Rizqi A
Cahyo Agung S



PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN dan ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
Desember 2012




KATA PENGANTAR

            Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang telah melimpahkan rahmat, taufik serta hidayahnya kepada kami semua sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah mengenai “Upacara Lelabuhan di baron, Yogyakarta”  ini dengan baik dan tepat waktu sebagai proses pemenuhan tugas Sosial Budaya Pesisir. Tak lupa shalawat serta salam selalu kami tujukan kepada junjungan kami, Nabi besar Muhammad SAW karena beliau-lah yang telah membawa kita dari zaman kebodohan menuju zaman yang sangat maju peradabannya.

            Makalah ini berisikan tentang penjelasan mengenai salah satu traidisi yang berkembang di Indonesia, yang sampai saat ini masih tetap dilaksanakan. Dan kemudian diharapkan pembaca dapat mengetahui mengenai upacara Lelabuhan tersebut serta dapat ikut melestarikan salah satu potensi budaya bangsa Indonesia tersebut.

            Dan tak lupa kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan artikel ilmiah ini dari awal sampai akhir hingga terselesaikannya artikel ilmiah ini dengan baik.

            Kami menyadari bahwa artikel ilmiah ini jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan artikel ilmiah ini.


BAB I
PENDAHULUAN

1.1             Latar Belakang
Ketika terbentuk suatu komunitas, tumbuh pula adat dan tradisi yang mengiringinya. Tradisi ini kemudian menjadi ciri khas yang membedakan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain. Ia tak sekedar berkembang dengan nilai-nilai yang melekat pada dirinya, namun acap kali dipengaruhi oleh nilai-nilai dari luar, baik atau buruk.

Di tengah kita banyak sekali tradisi yang berkembang misal “sedekah” laut, “sedekah” bumi dan lain-lain. Seperti halnya saja di Yogyakarta, sebagian masyarakatnya masih berkeyakinan animisme yakni kepercayaan pada peranan makhluk atau roh-roh halus (anima). Dalam mewujudkan keyakinan mereka, mereka melakukan ritual “lelabuh sesaji”. Yakni upacara yang dibuat untuk mempersembahkan uborampe (perlengkapan sesaji) kepada yang mbaurekso (penunggu). Dengan ini mereka berharap mendapat keselamatan, kesehatan, dan kehidupan yang lebih baik. Mereka juga berharap agar yang mbaurekso tidak marah dan menimpakan musibah atau malapetaka kepada mereka.

Dalam pelaksanaan ritual ini, ternyata terdapat pratek-praktek yang menyelisihi agama. Misalnya saja meminta perlindungan atau pertolongan kepada makhluk halus yang diyakininya, hal ini sama saja berdo’a kepada selain Allah subhanahu wa ta’alla dan merupakan suatu kesyirikan. Dalam makalah ini kami mencoba mengenalkan tradisi lelabuhan yang telah melekat pada sebagian masyarakat Yogyakarta.

1.2             Rumusan Masalah
   a)     Apakah yang disebut dengan upacara Lelabuhan dan dimana upacara tersebut       dilaksanan?
    b)    Bagaimana kegiatan tersebut dilaksanakan?
    c)     Bagaimana pandangan masyarakat mengenai upacara lelabuhan?

1.3             Tujuan
Agar masyarakat mengetahui salah satu tradisi yang masih dilaksanakan di daerah Yogyakarta dan diharapkan dapat ikut menjaga serta melestarikan tradisi tersebut.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1            UPACARA LABUHAN PANTAI SELATAN
Salah satu bentuk upacara labuhan pantai selatan yang terkenal adalah labuhan di Pantai Baron, Gunung Kidul. Upacara tradisional itu diberi nama upacara Tradisional Labuhan. Istilah Labuhan berasal dari kata labuh yang menurut kamus umum Indonesia berarti membuang atau mencampakan ke air. Arti ini hampir sama dengan kata labuh dalam bahasa Jawa yang berarti ngudunake. Dalam hubungannya dengan upacara tradisional, yaitu upacara tradisional labuhan di Pantai Baron, berarti memberi sesaji kepada penguasa Laut Selatan, yang menurut kepercayaan sebagian warga masyarakat setempat ialah Kanjeng Ratu Kidul.
Kegiatan upacara tradisional labuhan sudah lama dikenal dan dilaksanakan oleh sebagian warga masyarakat Kemadang dan juga sebagian masyarakat dari daerah lain. Menurut informasi yang dikumpulkan, setiap upacara tradisional labuhan dilaksanakan, maka banyak pendatang dari daerah lain ikut menjadi pendukung upacara tersebut. Sebagian di antara mereka mempunyai kepentingan atau hajat tertentu, dan sebagian yang lain membayar nazar atau sebagai sarana mengucapkan terima kasih atas terkabulnya hajat mereka.
Upacara tradisional labuhan di pantai Baron tidak ada tahap-tahapnya. Dengan pengertian tidak dikenal adanya istilah-istilah khusus untuk menyebut tahap-tahap didalamnya. Apabila dilihat dari proses penyelenggaraannya, rangkaian upacara tradisional labuhan itu berlangsung dua tahap, yaitu kegiatan-kegiatan yang bersifat persiapan dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan upacara.
Kegiatan-kegiatan yang bersifat persiapan adalah kegiatan sebelum upacara dimulai. Ada dua macam kegiatan yaitu kegiatan yang dilakukan oleh pamong desa atau pejabat setampat, dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh keluarga keturunan Ki Tirtasegara beserta warga masyarakat Upacara Labuhan. Kegiatan yang dilakukan oleh pamong desa setempat, sebenarya cukup banyak. Akan tetapi kegiatan itu terlepas dari kegiatan Upacara Labuhan dan umumnya hanya terkait dengan masalah-masalah pengembangan wisata. Seperti kegiatan menyiapkan penampungan pengunjung, menyiapkan berbagai pertunjukan dan sebagainya.
Adapun kegiatan yang dilakukan oleh ahli waris keluarga keturunan Ki Tirtasegara beserta warga masyarakat setempat pendukung upacara, tidak terlalu banyak. Kegiatan awal yang mereka lakukan diantaranya mengadakan komunikasi antara satu dengan yang lain. Intinya saling mengingatkan bahwa upacara tradisional labuhan sudah semakin dekat. Disamping itu, mereka mulai mencatat siapa saja yang akan ikut berkorban dan jenis binatang apa yang akan dikorbankan. Kegiatan seperti ini pada umumnya mulai mereka lakukan awal bulan maulid atau dua minggu sebelum pelaksanaan upacara, dan berlangsung sampai malam tirakatan.
Setiap warga desa kemadang menyelenggarakan kegiatan upacara tradisional labuhan di pantai baron, belum pernah dibentuk satu kepanitiaan secara resmi. Dalam hubungan ini ahli waris keluarga keturunan Ki Tirtasegara secara turun temurun, sudah mendapat kepercayaan penuh dari warga masyarakat setempat untuk mengkoordinir dan mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan upacara tradisional labuhan. Disisi lain, warga masyarakat sendiri, terutama pendukung upacara, secara sadar akan memenuhi tugas dan kewajiban yang dibebankan kepada mereka. Hal ini dapat dipahami, karena pada umumnya mereka mempunyai suatu kepercayaan, bahwa keterlibatannya dalam kegiatan upacara tradisional labuhan itu akan memberikan berkah.
Mengenai masalah pembiayaan, bahan-bahan sesaji, baik yang berupa hewan korban maupun bumbu masak,dan peralatan atau  perlengkapan untuk kegiatan upacara labuhan, sejak dulu sampai dengan penyelenggaraan taun ini, belum pernah ada masalah. Untuk keperluan ini, dengan sukarela menyumbangkan sesuatu dalam rangka memenuhi kebutuhan penyelenggaraanupacara labuha. Ada yang membelikan seekor ayam, sejumplah bumbu, seekor kambing, seikat kayu bakar dan lain sebagainya.
Rangkaian dalam upacara tradisional labuhan dapat diperinci sabagai berikut. Pertama kegiatan malam tirakat, ke dua kegiatan masak dan mempersiapkan sesaji, ke tiga kegiatan melabuh sesaji d pantai baron, ke empat kegiatan selamatan penutup.
Kegiatan malam tirakatan
Menurut tradisi, malam hari sebelum siang harinya dilaksanakan upacara tradisional labuhan, maka terlebih dulu dilaksanakan malam tirakatan. Kegiatan ini dimulai pukul 00.01 tanggal 10 sura dan berlangsung hingga fajar menyingsing, kurang lebih pukul 04.30 pagi. Dalam upacara labuhan ini, kegiatan malem tirakatan diikuti hamper seluruh peserta upacara. Mereka bersama-sama kumpul di rumah peninggalan Ki Tirtasegara. Para peserta tirakatan dipompin sesepuh penanggung jawab upacara yaitu Ki Rejotambak, semalam suntuk tidak tidur disertai memanjatkkan do’a, memeohon kepada yang maha kuasa agar upacara labuhan yang akan dilaksanakan esok sorenya berjalan lancer dan tidak ada halangan.
Disamping itu, sebagian diantara peserta tirakatan, sudah ada yang mulai bekerja, khususnya memilah-milah bumbu dan menyiapkan perlengkapan untuk memasak esok harinya. Dalam upacara tradisional labuhan, kegiatan masak dalam mempersiapkan sesaji termasuk kegiatan yang cukup penting dan mempunyai rangkaian yang padat. Kegiatan-kegiatan itu, secara berurutan bias disebutkan sebagai berikut, pembakaran kemenyan dupa oleh pemimpin upacara. Pembakaran kemenyen dupa oleh pemimpin upacara adalah merupakan tanda dimulainya kegiatan memasak dan menyiapkan sesaji. Kegiatan ini dilaksanakan di lumbung peninggalan Ki Tirtasegara kurang lebih pukul 05.00, sebagai upaya untuk mengadakan kontak gaib dengan penguasa laut selatah, Kanjeng Ratu Kidul. Maksudnya untuk meminta restu, agar kegiatan memasak dan menyiapkan sesaji berjalan dengan lancer, tidak ada halangan.
Setelah pemimpin upacara selesai mengadakan konyak gaib dengan penguasa laut selatan, Kanjeng Ratu Kidul, maka segera menyusul kegiatan penyembelihan korban,memasak sekaligus menyiapkan sesaji. Di dalam pelaksanaannya, kegiatan ini termasuk unik dan sangat menarik untuk diperhatikan, karena semua kegiatan tersebut, termasuk memasak, ditangani kaum lelaki. Meski demikian mereka cukup trampil, penuh rasa tanggung jawab dan dapat bekerja secara gotong royong, sehingga segala kegiatan dapat diselesaikan sesuai waktu yg telah ditentukan.
Adapun sesaji yang dihasilkan ada sua macam, yaitu sesaji yang dilabuh dan sesaji selamatan setelah acara labuhan. Sesaji yang dilabuh secara garis besar terdiri dari, kepala, wit, kaki, dan sedikit darah hewan yang dijadikan korban, nasi tumpeng beserta kelengkapannya, kinangan lengkap, bumbu masak lengkap, dan lain sebagainya. Sedangkan sesaji yang digunakan untuk selametan setelah upacara tradisional labuhan adalah nasi ambeng beserta lauk pauknya, dalam hal ini termasuk daging korban, baik dimasak sate maupun gulai.
2.2             PELAKSANAAN UPACARA
Pada awalnya, kegiatan melabuh sesaji di pantai baron ini cukup sederhana. Akan tetapi sejak tahun 1979, yaitu sejak pemerintah daerak tingkat II kabupaten gunungkidul ikut memanfaatkan untuk kepentingan wisata sampai saat ini, maka kegiatan melabuh sesaji di pantai baron mengalami pengembangan, meskipun belum mengurangi sifat sakralnya.
Salah satu kegiatan yang bersifat baru itu ialah acara penyambutan secara resmi oleh pemerintah daerah tingkat II kabupaten gunungkidul yang ditempatkan di pesanggrahan khusus. Dalam acara penyambutan ini, selain ada seorang dari bupati kepala daerah tingkat II kabupaten gunungkidul, juga dibacakan mengenai sejarah ringkas awal mulanya upacara labuhan dilaksanakan.
Selanjutnya setelah upacara penyambutan selesai, para peserta upacara dengan membawa sajian yang akan dilabuh, bersama-sama menuju kekaki gunung Komang untuk mengadakan upacara labuhan. Setelah mereka sampai di gunung komang, Ki Rejotambak sebagai pimpinan upacara, segera membakar kemenyan dan memenjatkan do’a atas nama pera peserta yang intinya memohon kepada Kanjeng Ratu Kidul agar korbannya diterima serta mereka diberi keselamatan dan murah rejeki.
Setelah pembacaen doa selesai, mulailah Ki Rejotambak mulai melabuh sesaji ke dalam laut yang diikuti oleh para peserta lainya, terutama yang ikut berkorban. Maka selesailah acara melabuh sesaji ke pantai baron. Kegiatan selamatan penutup pada dasar nya adalah merupakan suatu tanda, bahwa rangkaian kegiatan upacara tradisional labuhan selesai. Selamatan ini dilaksanakan setelah kegiatan melabuh di pantai, dan diikuti oleh semua peserta upacara labuhan. Bahkan ada jugga beberapa orang yang tidak mengikuti upacara labuhan  namun ikut hadirdalam selamatan penutup. Hal yang demikian itu  tentunya dipahami, karena dikalangan masyarakat desa kemandang dan di deberapa masyarakat lain telah tumbuh satu kepercayaan bahwa nasi berkat dan lauk-pauk, terutama tulang hasil selamatan ini memiliki khasiat yang cukup ampuh, diantara khasiat itu ialah dapat menambah rejeki, mengobati penyakit, menolak balak bagi pemiliknya. Oleh karena itu, nasi dan tulang hasil berkatan dari selamatan tersebut banyak yang di keringkan dan disimpan.
Ki Titrtasegara adalah merupakan tokoh pertama atau cakal bakal masyarakat desa kemadang. Mengenai siapa sebenarnya Ki Tirtasegara itu dan bagaimana ia dapat sampai di desa kemandang, juga belum dapat dijelaskan secara pasti, karena sampai saat ini, belum ditemukan keterangan yang meyakinkan.
Menurut keterangan dari beberapa warga masyarakat bahwa Ki Tirtasegara itu termasuk prajurit perang diponegoro. Ketika Pangeran Diponegoro ditipu dan ditangkap oleh Belanda, beliau tidak mau menyerah, tapi justru melarikan diri ke daerah jawa timur yaitu di desa kemandang sekarang. Di tempat inilah Beliau beserta ba=eberapa pangikutnya membuka hutan dan kemudian menetap, sehingga daerah ini makin lama semakin ramai.
Berselang beberapa lama setelah Ki Tirtasegara berserta pengikutnya menetap di daerah Kemadang, maka terjadi peristiwa yang tidak menyenangkan yaitu pageblug. Pada saat itu banyak orang menderita kelaparan, sakit dan selanjutnya meninggal dunia. Menurut istilah setempat esok loro sore mati, sore loro esok mati. Artinya pagi sakit, sore meninggal, sore sakit, pagi meninggal. Peristiwa ini terjadi kira-kira pada tahun 1844 H atau 1913 Masehi.
Mengetahui keadaan yang demikian itu, orang yang dikenal dengan sebutan Ki Tirtasegara tersebut melakukan semedi di Gunung Komang, untuk memohon kepada yang maha kuasa agar pageblug yang menimpa masyarakat desa kedungsatam segera hilang. Di dalam keadaan semedi, Ki Tirtasegara mandapat wangsit bahwa permohonannya dikabulkan, namun sebagai saranya agar ia beserta masyarakat setempat menyalenggarakan upacara labuhan. Sesuai dengan wangsit yang telah diterima, maka pada tanggal 14 bulan mauled tahun 1844, Ki Tirtasegara dan dibantu oleh sepupunnya yang menjabat sebagai kepala desa, yaitu Ki Abdul Kasan, mengkoordinir warga masyarakat desa kemadang untuk mengadakan upacara labuhan.
Terlepas dari kebenaran keterangan diatas, teryata sampai sekarang meskipun Ki Tirtasegara telah tiada, Beliau masih tetap dihormati dan upacara tradisional labuhan di pantai baron masih tetap dilaksanakan dengan sebaik-baiknya setahun sekali. Adalah satu kenyataan yang tidak dapat di pungkiri lagi bahwa kepercayaan terhadap roh-roh halus dan tempat-tempat yang dianggap keramat masih merupakan bagian dalam kehidupan orang jawa termasuk orangjawa yang berada di desa kemadang. Upacara labuhan di pantai baron yang berlangsung selama ini, menurut sebagian masyarakat setempat mempunyai maksud untuk memuliakan Kanjeng Ratu Kidul yang bersemayam di laut selatan pantai baron gunung kombang, karena dianggap keramat. Tujuan upacaraitu, pada hakekatnya untuk mendapat keselamatan. Yanf dimaksud di sini adalah selamat dari gangguan makhluk halus, hidup tentram dan mudah mencari rejeki.
Upacara taradisional labuhan di pantai baron yang diselenggarakan setahun sekali itu, penyelenggarakannya berdasarkan kalender jawa, yaitu setiap tanggal 14 maulid. Penetapan tanggal dan bulan ini, menurut para sesepuh masyarakat setempat yangberhasil diwawancarai, atas dasar petunjuk almarhum Ki Tirtasegara. Beliau adalah seorang tokoh masyarakat setempat dan sekaligus cikal bakal desa kemadang yang telah menerima wisik tentang upacara labuhan ketika sedang semedi. Oleh karena itu, sejak pertamakali upacara labuhan diselenggarakan sampai saat ini, tanggal dan bulan penyelenggaraannya belum ada perubahan.
Adapun mengenai jamnya penyelenggaraan upacara, sejak dulu sampai sekarang, pada prinsipnya tidak ada perubahan. Akan tetapi, sejak penyelenggaraan upacara labuhan dikaitkan dengan usaha pengembangan wisata oleh pemerintah aerah tingkat II kabupaten gunungkidul, da kegiatan yang jam pelaksanaannya sering berubah-ubah yaitu kegiatan melabuh dan kegiatan selametan penutup. Meski demikian, perubahan tersebut tidak terlalu bergeser jauh. Artinya, perubahan pelaksanaan nya hanya bergeser sekitar 30 menit sampai 60 menit.
Waktu pelaksanaan kegiatan-kegiatannya biasanya dapat disebutkan sebagai berikut: malam tirakatan pelaksanaannya pukul 00.01 sampai pukul 05.00 tanggal 13 malam tanggal 10 sura, kegiyatan masak, yaitu mulai pemotongan korban hingga selesainya mampersiapkan sesaji pelaksanaannya pukul 05.00 sampai dengan pukul 14.00, kegiatan melabuh sesaji di gunung kombang, pelaksanaannya pikul 16.00. selamatan penutup, palaksanaannya pukul 18.30.
Seluruh rangkaian kegiatan upacara tradisional labuhan penyelenggaraannya bertempat di wilayah desa kemadang kecamatan tanjungsari kabupatan gunungkidul. Secara terperinci, tempat-tempat kegiatan penyelenggaraan upacara itu dapat disebutkan satu persatu sebagai berikut. Sejakpertamakali upacara labuhan dilaksanakan sampai dengan upacara tahun ini, sudah dua tempat yang pernah digunakan untuk kegiatan tirakatan. Pertama, ditengah hutan yaitu 12km dari tepi pantai gunung kombang kea rah timur laut. Tempat ini digunakan untuk malam tirakatan sewaktu upacara labuhan dipimpin oleh Ki Tirtasegara dan penggantinya yaitu cucu beliau Ki Ajipraya.
Kedua, dirumah peninggalan KiTirtasegara yang terletak didusun banjarsari. Perpinfahan dari tengah hutan ke rumah peninggalan Ki Tirtasegara ini berlangsung sejak pemimpin upacara dipegang oleh Ki Rejotambak sampai saat ini. Adapun alasannya, bahwa ditengah hutan itu banyak gangguannya, baik gangguan muhluk halus maupun dari penonton upacara. Oleh karena itu, beliau menganggap lebih aman jika malam tirakatan dilaksanakan dirumah peninggalan Ki Tirtasegara.
Untuk tempat memasak dalam hal ini termasuk memotong hewan korban dan mempersiapkan sesaji, sejak pertamakali upacara labuhan dilaksanakan sampai dengan upacara tahun ini, adalah sama dengan tampat tirakatan. Pertama, sewaktu upacara dipimpin oleh Ki Tirtasegara dan penggantinya Ki Ajipraya, tepat di tengah hutan yaitu 1,5km dari tepi panttai gunung kombang kearah timur laut. Kedua, sejak upacara di pimpin oleh Ki Rejotambak sampai dengan saat ini, tempat kegiatan memasak di pindah kerumah peninggalan Ki Tirtasegara di dusun banjarsari desa kemadang.
Berbeda dengan tirakatan dan tempat memasak, untuk tempat melabuh ssaji, sejak pertama kali upacara labuhan diselenggarakan sampai saat ini, belum pernah terjadi perubahan yaitu di laut selatan dekat pantai gunugng kombang. Dipilihnya pantai gunung kombang sebagai tempat untuk melabuh sesaji, menurut keterangan para sesepuh masyarakat setempat, adalah atas dasar petunjuk Ki Tirtasegara. Tempat ini sangat dikramatkan oleh masyarakat setempat, karena menurut kepercayaan merreka, didasar laut dekat gunung kombang terdapat lorong atau terowongan yang disebut Watu Lawang yang dapat menghubungkan atau sebagai pintu pertama untuk manuju kerajaan Kanjeng Ratu Kidul.
Upacara tradisional labuhan ini sejak dulu sampai sekarang, penyelenggaraannya selalu dilaksanakan bersama-sama oleh keluarga keturunan Ki Tirtasegara dengan sebagian warga masyarakat kemadang. Hal ini karena mereka semuanya merasa mempunyai tenggung jawab dan berkepentingn atas lestarinya upacara labuhan.
Adapun penyelenggaraan tknis dalam rangkaian kegiatan pelaksanaan upacara labuhan itu dapat disebut sebagai berikut, yang dimaksud pemimpin dan penanggung jawab upacara labuhan ialaah orang yang bertanggung jawab, memimpin dan mengatur seluruh rangkaian upacara tersebut. Seperti yang telah teruraikan dibangian terdahulu. Oleh karena itu menurut tradisi, orang yang dipercaya memimpin upacara selalu salah satu diantara keluarga keturunan Ki Tirtasegara. Untuk upacara tahun-tahun ini orang yang dipercaya adalah Ki Rejotambak.
Perlu diperjelaskan disini, bahwa secara teknis, pemimpin dan penanggung jawab upacara, selain bertugas memimpin dan mengatur seluruh rangkaian kegiatan upacara labuhan, juga berkewajiban melaksanakan tugas-tugas lain yang sangat penting. Misalnya, member petunjuk pembuatan sesaji, mengikrarkan setiap kegiatan upacara dan lain sebagainya. Tentusaja dalam tugas ini beliau selalu dibantu oleh beberapa orang kepercayaannya.
Jalannya Upacara
Jalannya upacara labuhan di pantai baron sejak pertama kali dilaksanakan oleh Ki Tirtasegara hingga sekarang mempunyai urutan-urutan tetap. Adapun jalanya upacara labuhan pantai baron dapat dituturkan sebagai berikut: pelaksanaan upacara labuhan dip anti baron diawali dengan adanya malam tirakatan. Pada pelaksanaan upacara labuhan 1981, malam tirakatan dilaksanakan pada tanggal 9 malam hingga tanggal 10 juli. Malam tirakatan tersebut mulai dilaksanakan sitengah hutan pantai baron. Tapi sejak sepeninggal Ki Ajipraya tidak dilakukan di hutan lagi.
Pada tanggal 9 malam hingga tanggal 10 suro, sejak sore hari rumah Ki Rejotambak telah dipenuhi oleh keluarganya dan tamu yang ngalap berkah. Sebagian besar peserta upacara tersebut dating dari luar desa kemadang. Pada malam hari para perserta upacara, khususnya para sesepuh yang merasa bertanggung jawab pada pelaksanaan upacara mengadakan malam tirakatan. Mereka tidak tidur semalam suntuk, untuk memohon kepada yang maha kuasa agar upacara brjalan lancer. Para perserta malam tirakatan harus dalam keadaan suci lahir maupun batin.
Pada pagihari kurang lebih pukul 05.00 malam tirakatan berakhir dan dilanjutkan dengan upacara memasak sesaji. Padasaat itu para wanita di rumah Ki Rejotambak dipersilahkan menginggalkan tekpat. Mereka baru diperbolehkan setelah upacara memasak telah selesai.
Sebelum melakukan kegiatan memasak, Ki Rejotambak mselaku pemimpin upacara melakukan suguh untuk Knjeng Ratu Kidul. Suguh tersebut dilakukan di dalam lumbung yang terletak di samping rumah. Adapun sajian suguh tersebut berupa kinangan lengkap. Maksud dantujuan suguh adalah memohon doa restu kepada Kanjeng Ratu Kidul agar kegiatan memasak sesaji dapat berjalan lancar.
Lebih kurang pukul 12.00 semua masakan telah matang, kemudian dibagi menjadi tiga bagian, yaitu sajian untuk upacara labuhan, sajian untuk leluhur, dan sajian untuk selamatan setelah upacara selesai. Setelah pembagian sesaji telah selesai, semua wanita sudah diperbolehkan untuk kembali pulang. Saji-sajian untuk upacara labuhan dimasukan salam joli, sedangkan binatang korban dimasukan kedalam panjang ilang. Kemudian Ki Rejotambak sekeluarga beserta peserta upacara khusus yang laki-laki ganti pakaian untuk upacara yaitu pakaian adat Yogyakarta yang berupa baju surjan.
Kuranglebih pada pukul 14.00, setelah semua persiapan selesai, Ki Rejotambak sekeluarga beserta para peserta upacara yang lain naik kendaraan yang telah disediakan dihalaman rumah. Selanjutnya joli-joli yang berisi sesajian segara dinaikan ke dalam kendaraan khusus.
Lebih kurang pukul 14.30 rombongan sampai di pantai baron. Kedatangan disambut oleh pemerintahan tingkat II kabupaten gunungkidul. Kemudian pada pukul 15.30 semua peserta upacara yang telah membentuk barisan bersama-sama berangkat dari pesanggrahan munuju gunung kombang dengan membawa sesaji. Setibanya ditempat upacara tersebut Ki Rejotambak membakar kemenyan, kemudian para peserta upacara mengikutinnya. Saji-saji dibawa diletakan di dekatnya. Maksud pembakaran kemenyan tersebut adalah memberitahu kepada Kanjeng Ratu Kidul bahwa upacara labuhan segera dimulai, disamping itu juga agar korban yang dipersembahkan diterima serta mereka diberi ketentraman, keselamatan dan murah rezeki. Selanjutnya Ki Rejotambak melabuh sesaji ke laut yang diikuti oleh para peserta upacara yang lain.
Lebuh kurang pukul 17.00 sesaji yang dilabuhkan telah habis, dengan demikian upacara labuhan berakhir. Kemudian Ki Rejotambak beserta para peserta upacara yang lain segera menuruni gunung kombang menuju ke pesanggrahan. Setelah sampai di pesanggrahan rombongan Ki Rejotambak segera pulang untuk melaksanakan selamatan yang menutup semua rangkaian kegiatan upacara labuhan.
2.3 PANDANGAN MASYARAKAT TERHADAP UPACARA LELABUHAN
Selo Soemarjan dan Soelaiman Soemardi menyatakan bahwa kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Herskovits mamandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun-temurun dari satu generasi ke generasi yang lain. Kebudayaan merupakan sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide (gagasan) yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari bersifat abstrak. Adapun perwujudannya berupa perilaku dan benda-benda bersifat nyata, misalnya perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, seni dan lain-lain. Yang semuanya untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
Masyarakat tak bisa lepas dari kebudayaan. Dalam kehidupanya akan selalu beriring dengan tradisi dan adat istiadat yang selalu mengiringinya. Sebagian masyarakat ada yang sudah berpikir modern dan tidak lagi terikat dengan hal-hal yang berbau mistis. Namun ada sebagiannya yang masih menaruh perhatian terhadap laku spiritual serta dipengaruhi hal-hal mistis. Mereka berkeyakinan akan adanya makhluk halus atau roh-roh disekitar yang dapat mempengaruhi kehidupannya.
Sebagaimana diketahui seseorang tidak ingin mendapatkan gangguan dalam kehidupannya. Maka untuk menggapai kabahagiaan yang mereka inginkan mereka melakukan laku spiritual sesaji. Hal ini sebagaimana apa yang diyakini oleh masyarakat Yogyakarta. Untuk mewujudkan harapan mereka, mereka melakukan sesajen. Sajen, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah makanan (bunga-bungaan dan sebagainya)yang disajikan untuk mahkluk halus. Dalam melakukan ritual tersebut mereka memiliki latar dan tujuan yang berbeda, dengan perbedaan dan ragam nama istilah tentumya.
Di antaranya di Laut Selatan, di sana terdapat prosesi adat laut yang dinamakan hajat laut. Pada acara itu seekor kerbau atau kepalanya beserta sesajian lainnya diantarkan kelaut. Upacara itu selalu dilaksanakan pada hari Senin atau Kamis menjelang Selasa atau Jumat kliwon pada bulan Muharrm (Sura). Selasa dan jumat dianggap sebagai hari nahas sehingga nelayan tidak boleh melaut. seperahunya dan menyerbu sesaji. Mereka berebut menciduk air laut di bawah dan itu di sekitar sesaji untuk disiramkan ke perahu masing-masing. Mereka percaya bahwa menyiram perahu dengan air akan mendatangkan berkah berupa hasil tangkapan ikan yang berlimpah dan dijauhkan dari malapetaka saat melaut. Uba rampe (materi isi) sesaji ternyata juga dicari orang. Konon,itu juga menjadi perlambang murahnya rezeki bagi yang mendapatkannya. Itulah pemuncak acara hajat laut yang ditunggu-tunggu para nelayan di kawasan itu.
Sementara itu, sekelompok lain melakukan upacara sedekah laut atau dikenal dengan acara “larung”, memberikan persembahan atau sesembelihan untuk “Nyai Roro Kidul”. Konon, dia adalah penguasa pantai selatan. Mereka bertujuan melestarikan hubungan raja Yogyakarta terdahulu dengan Kanjeng Ratu Kidul.
Hal yang serupa itupun dilakukan di lereng merapi. Sesaji dipersembahkan kepada roh-roh leluhur yang diyakini bertempat tinggal di sekitar merapi. Dalam upacara tersebut banyak orang yang datang berbondong-bondong guna ngalap berkah. Mereka menyakini akan adanya kebarokahan pada benda-benda yang digunakan sebagai sesaji.

BAB III
PENUTUP

   3.1                          Kesimpulan
Masyarakat adalah sekelompok individu yang mempunyai hubungan, memiliki kepentingan bersama, dan memiliki budaya. Dalam kehidupannya masyarakat tidak terlepas dari kebudayaan, tradisi, dan adat-istiadat. Nilai-nilai yang berkembang acap kali dipengaruhi dari luar, baik atau buruk. Hal inilah yang membuat kita harus selektip dalam mempratekkan tradisi dan melestarikannya.
Salah satu bentuk upacara labuhan pantai selatan yang terkenal adalah labuhan di Pantai Baron, Gunung Kidul. Kegiatan upacara tradisional labuhan sudah lama dikenal dan dilaksanakan oleh sebagian warga masyarakat Kemadang dan juga sebagian masyarakat dari daerah lain. Upacara taradisional labuhan di pantai baron yang diselenggarakan setahun sekali itu, penyelenggarakannya berdasarkan kalender jawa, yaitu setiap tanggal 14 maulid.

Selo Soemarjan dan Soelaiman Soemardi menyatakan bahwa kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.  Masyarakat tak bisa lepas dari kebudayaan. Dalam kehidupannya akan selalu beriring dengan tradisi dan adat istiadat yang selalu mengiringinya. Mereka bertujuan melestarikan hubungan raja Yogyakarta terdahulu dengan Kanjeng Ratu Kidul. Hal yang serupa itupun dilakukan di lereng merapi. Sesaji dipersembahkan kepada roh-roh leluhur yang diyakini bertempat tinggal di sekitar merapi. Dalam upacara tersebut banyak orang yang datang berbondong-bondong guna ngalap berkah. Mereka menyakini akan adanya kebarokahan pada benda-benda yang digunakan sebagai sesaji.
3.2    Saran
Secara umum pelaksanaan sudah cukup bagus, rakyat sangat antusias menyelenggarkan upacara ini dan Pemerintah juga sangat mendukung upacara ini. Hanya saja diperlukan antusias yang lebih dari para anak – anak muda setempat agar upacara ini dapat terus dilaksanakan dan tidak punah atau menghilang.
DAFTAR PUSTAKA
Bager. 2010. http://bager[dot]blog[dot]ugm[dot]ac[dot]id/ Diakses pada tanggal 20 Desember 2012 pukul 09.50 WIB

Jogja Trip, 2012. http://www.jogjatrip.com/id/493/labuhan-di-ngrenehan. Diakses pada tanggal 20 Desember 2012 pukul 09.45 WIB

Mbah Karno, 2011. http://mbahkarno.blogspot.com/2011/11/upacara-labuhan-keraton-yogyakarta.html. Diakses pada tanggal 20 Desember 2012 pukul 09.30 WIB

Purwadi M. 2005. Upacara Tradisional Jawa:Menggali Untaian Kearifan Lokal. Pustaka Pelajar. Jakarta.

Rohmah, K. 2011. http://khozainu-rohmah.blog.ugm.ac.id/2011/11/10/tradisi-lelabuh-sesaji-dan-nilai-nilai-keimanan-pada-masyarakat-yogyakarta/


No comments:

Post a Comment