Wednesday, December 16, 2015

Melihat Lebih Dekat Usaha Rumput Laut Kota Tarakan Kalimantan Utara

Melihat Lebih Dekat Usaha Rumput Laut Kota Tarakan Kalimantan Utara


*Ali Ahsan Al-Haris



Dari Kiri : Saya, Jasmin (Co. POKDAKAN Mekar Indah), Rifa'i (Penyuluh)
Penantian dari kecil akhirnya dapat terwujud untuk menginjakan kaki di tanah Borneo. Provinsi yang terkenal akan tambang batu bara dan minyaknya ini aku injak betul pada hari Ahad 13/12/15 entah pada waktu itu jam berapa aku lupa. Menginjakan kaki pertama di Bandara Balikpapan untuk kemudian lanjut terbang ke Bandara Tarakan sebagaimana kota yang akan aku tuju.

            Di Tarakan kurang lebih aku tiga hari, sebetulnya kesempatan ini terbantu karena ada beberapa keperluan juga sehingga sekalian saja untuku jalan-jalan. Saat turun di Bandara Tarakan aku sempat bingung mau menginap kemana. Kalau tujuanya sudah ada, yakni mencari Jl. Jenderal Soedirman untuk nantinya mencari penginapan yang murah-murah.

Berada di Gudang Rumput Laut yang Siap di Kirim
Dalam kebingungan yang kualami, aku hanya ditemani oleh kepulan asap rokok Sampoerna yang aku beli dari Malang. Tolah tolehku akhirnya mendapatkan hasil, ada dua cewek yang kelihatanya sedang nunggu orang untuk di jemput di sebelah kanan pintu keluar bandara. Perlahan aku hampiri mereka, aku bertanya kalau Jl. Jenderal Soedirman dari bandara deket atau tidak. Salah satu cewek menjawab lokasinya dekat, menghabiskan waktu kurang lebih lima belas menit kalau naik Taxi. Lalu aku berfikir sejenak –kalau naik Taxi saja lima belas menit, berarti kalau jalan kaki bisa memakan waktu kurang lebih setengah jam jalan kaki, lumayan dekatlah kalau seukuranku –kemudian bertanya kembali kira-kira tarif Taxi sampai kesana berapa ya mbak, kemudian dijawab mbaknya yang satunya lagi –kalau gak salah habis kisaran enam puluh lima ribu rupiah mas –dengan banyak pertimbangan dan seduhan rokok akhirnya aku putuskan untuk tidak naik Taxi dan meyudahi pembicaraanku pada mereka berdua, aku ucapkan terimakasih pada mbaknya yang sudah memberi informasi padaku. Semuanya berlalu termakan waktu, aku berjalan keluar bandara, sempat ada Taxi dan tukang Ojek menghampiriku menawarkan jasanya. Tanpa fikir panjang akupun menolaknya, aku jalan terus sampai ada bapak-bapak berpostur besar berkepala agak botak bagian depanya menawarkan angkot ke saya. Waktu bapak angkot tanya tujuan saya, aku menjawab untuk menginap di dekat Jl. Jenderal Soedirman. Bapaknya bilang –ayo mas saya antar saja, empat puluh ribu saja mas. Mau ? –dalam fikirku mengumpat mahal sekali, sekelas Taxi mobil Avanza saja hanya enam puluh lima rupiah kok, ini ada angkot menawarkan harga yang delapan puluh persen hampir menyamainya –dalam umpatanku tadi aku pun berfikir lagi, jam tangan consina yang aku pakai sudah menunjukan jam sepuluh malam, sampai kapan aku harus lontang-lantung di Kota lain, dalam kebingunganku aku beranikan untuk tawar menawar dengan bapaknya, alasan jitu yang saya pakai adalah harga Taxi, singkat cerita akhirnya aku mentok pada harga dua puluh ribu rupiah. Allhamdulillah, lumayanlah. Namun harga tersebut termasuk bonus bagiku, karena bapaknya bersedia mencarikan penginapan untuku dengan harga maksimal per malam seratus lima puluh ribu rupiah. Lucunya, aku menemukan harga yang cocok juga, yakni per malam seratus lima puluh empat ribu rupiah hahaha. Its oke, karena iitu adalah harga paling murah dari sekian banyak penginapan di Jl. Jenderal Soedirman.

Jalan Tanah Yang Saya Maksud
Saat aku menulis naskah ini, terhitung sudah aku dua puluh jam di Kota Tarakan. Tadi pagi sampai siang aku habiskan waktu untuk jalan-jalan ke lokasi budidaya rumput laut di Kota Tarakan. Kalau dari penginapanku, ambil saja arah Universitas Borneo, perjalan ke Universitas Borneo sudah beraspal bagus, namun saat ada pertigaan kalau ambil kanan ke arah kampus dan ke kiri ke arah pantai jalanya mulai beraspal namun sedikit rusak. Yang paling mengesankan adalah jalan ke lokasi para warga yang menekuni usaha budidaya rumput laut, jalanya bertanah, bergelombang dengan kubangan air di sana-sini pasca hujan membuat perjalan menyenangkan. Perut ini serasa di kocok betul, track tersebut saya alami kurang lebih tujuh kilometer untuk sampai ke lokasi ketua paguyuban kelompok tani rumput laut.
Jalan Tanah Mulai Mausik ke Lokasi Pembudidaya

Dalam perjalannya banyak saya lihat para-para [Tempat menjemur hasil panen rumput laut] beserta peralatan pendukungnya. Bau rumput laut jemuran yang khas membut suasana perjalan terasa nikmat meski cuacanya panas sekali.

Para-Para Untuk Menjemur Rumput Laut
Rumah di sekitar perjalanan mayoritas masih kayu dan seng sebagai atapnya, namun yang menggelitik rasa penasaranku adalah banyaknya rumah panggung di sana. Apakah memang benar kalau orang asli Kalimantan rumahnya Panggung ?, selidik demi selidik ternyata lokasi budidaya rumput laut banyak orang pendatang dari suku bugis. Ekh ekh ekh, makanya kok rumahnya pada panggung semua, ternyata sejak kakek-neneknya dulu memenag merantau ke Kalimantan dan  mendirikan komunitas masyarakat bugis di sana.

Puas dengan kunjunganku ke rumah ketua paguyuban pembudidaya rumput laut aku pulang kembali ke penginapan, perjalanan pulang lebih meletihkan fisiku. Kondisi jalan yang saya ceritakan di atas ditambah lagi dengan turunya hujan. Bayangkan saja, menyenangkan bukan hahaha.

Membuat Kordinat Dengan GPS
Sore menjelang maghrib aku gas sepeda motor sewaanku untuk keliling Kota Tarakan, akhirnya tujuanku berhenti di Pasar Tradisonal Dayak. Mengapa pasar ini menjadi tujuanku, alasanya hanya simple; karena namanya saja yang membuat rasa penasaran hahaha. Meskipun sore hari, ternyata kondisinya ramai betul, setahuku kan yang namanya pasar aktifnya hanya pada pagi sampai siang hari, lha ini kok sampai menjelang maghrib, apa karena memang Pasar Dayak aktifnya pada sore hari saja ! tentuya hal ini tak aku tanyakan pada siapapun.

Pelabuhan Malundu Kaltara
Puas memandangi keramaian pasar, aku gas kembali sepeda motor sewaanku untuk mencari makan. Disana sini banyak aku temui warung-warung makan yang mencirikan khas orang Jawa. Dalam perjalananya aku menemukan ada yang jualan Mie Ayam Ceker. Karena menarik perhartianku, aku belokan sepeda motorku ke parkiran Mie Ayam tersebut. Karena pada saat itu sedang ramai pembeli, aku posisikan diriku di belakang penjual Mie Ayam yang sedang meracik Mie dan bumbu untuk siap dihidangkan ke pelanggan yang sudah memesan duluan.

Membuat Kordinat di Pelabuhan
Lucunya, aku di sapa pelanggan yang sedang duduk menunggu pesananya datang sambil bicara padaku kalau dia pesan es teh dua gelas. Dalam hatiku aku hanya diam keheranan sambil menatap kosong wajah orang  yang pesan es teh. Dalam beberapa detik pelanggan tersebut tertawa padaku, sontak aku ikut tertawa juga namun dalam hati bingung sendiri apa yang aku tertawakan. Namun yang membuatku geli, ternyata penjual Mie Ayam dan beberapa pelanggan lain ikut tertawa juga padaku. Dalam hati ini berfikir, ternayata tertawa tadi dikiranya aku adalah si penjual Mie Ayam ya hahaha. Aneh sekali, apa gara-gara penampilanku yang gembel ini sehingga dikira pejual Mie Ayam yah ahahaha.

Nampak Kapal Pengangkut Gas LPG dari Balikpapan ke Tarakan.
Namun dibalik itu semua, aku menemukan sesuatu yang amat mahal. Ternyata salah satu pelayan Mie Ayam adalah orang sekotaku. Dia mengenaliku kalau orang Jawa Tengah kelihatan dari logat gaya bicaraku. Singkat cerita aku bertanya kalau dia Jawa Tengah mana, dia menjawab kalau dia adalah orang sekotaku. Merantau ke Tarakan setelah seminggu dinyatakan lulus dari SMP, bersama ke empat temanya bermodal nekat dan keahlian sebagai Tukang Kayu dan dia sendiri Mengukir membulatkan tekadnya untuk mengadu nasib di Kota orang. Sebelumnya dia belum bekerja di Mie Ayam, dulu sempat ikut mengukir namun tak bertahan lama dikarenakan sepi orderan. Dengan model kerja borongan [Buruh Lepas, yang pastinya bekerja saat sedang ada orderan saja] –yang akhirnya inisiatif dia sendiri untuk mencari pekerja lain demi sesuap nasi. Diterimalah dia di salah satu restoran yang kebetulan berdekatan dengan penginapanku, di sana dia bekerja empat tahun. Gaji yang ia terima dari profesinya menjadi koki sebagian ia kirimkan ke neneknya di kampong. Pertanyaanya, mengapa gajinya ia kirimkan ke neneknya ? yeeee, mari kita kupas.

Sosok yang saya ceritakan ini bernama Dayat, dia lahir di Tarakan buah perkawinan ayahnya [Asli sekotaku] dengan ibunya yang asli dari Tarakan. Saat Dayat berumur dua tahun, ibu kandungnya meninggal dunia. Kemudian ayah Dayat mengajak pulang ke kotaku. Perlu pembaca ketahui juga, Dayat sampai sekarang tidak tahu dimana Kuburan Ibu kandungnya berada dan keluarga dari Ibunya alamatnya dimana. Mengapa Dayat memilih Tarakan sebagai kota perantauanya salah satunya adalah untuk mengetahui lokasi kuburan Ibu kandungnya beserta keluarga dari Ibu kandungnya yang masih hidup. Anehnya juga mengapa ayah Dayat tak mau meberitahu sampai Dayat sebesar ini. Sungguh kasihan aku mendengarkan ceritanya.

Yang lebih memilukan lagi, saat Dayat bercerita kalau neneknya yang selama ini mengasuh Dayat sampai lulus SMP sedang sakit-sakitan. Fikiranya selalu memikirkan neneknya terus.  Wajar saja, selama lima tahun di Tarakan, Dayat belum sempat untuk pulang ke kampong halaman dikarenakan berat di ongkos, obat kangenya di barter dengan kiriman yang tiap bulan ia kirimkan ke neneknya. Saat saya tanya kapan rencana pulang, Dayat menjawab Tahun Baru ini ingin pulang, sudah kangen betul dengan neneknya.

Cerita tentang Dayat saya rasa sudah cukup, untuk aktifitas selanjutnya masih ada banyak hal yang harus selesaikan.

 Banyak hal yang aku temui di sana. Untuk cerita lebih lanjut sementara ini aku sudahi dulu dikarenakan coffe tempat aku ngopi dan menulis akan segera tutup. Entah, coffe kok tutupnya jam sepuluh malam. Padahal secara fisik dan harga sudah termasuk level menengah atas.

Salam hangat dari saya; Ali Ahsan Al-Haris dari Kota Tarakan Kalimantan Utara.
Budayakan membaca dan menulis, Go Ahead Brother

Behind the gun @aliahsanID

No comments:

Post a Comment