Showing posts with label CERPEN. Show all posts
Showing posts with label CERPEN. Show all posts

Thursday, May 7, 2020

Bermimpi Bertemu Mbah Nun


Bermimpi Bertemu Mbah Nun

Semoga ini bukan pansos, melainkan hanya sebuah cerita yang bagiku mengandung pertanyaan besar.

Saya dua kali bermimpi bertemu dengan Mbah Nun. Mimpi pertama di Desember 2019. Saat itu saya sangat gelisah, tertekan dan frustasi karena suatu hal. Pada puncak saya merasakan itu semua, malamnya bermimpi sedang menghadiri hajatan/selamatan/kenduren di rumahnya Mbah Nun. Layaknya kenduren di desa pada umumnya, saya bersama para undangan mengantri bersalaman dengan tuan rumah (Mbah Nun).

Saat tiba giliran bersalaman, sedihnya saya pada waktu itu, Mbah Nun bersalaman tanpa menatap wajah saya. Berbeda dengan orang-orang sebelum saya bersalaman.

Meski Mbah Nun tidak menatap wajah saya, beliau berkata padaku agar tetap tenang dan di suruh nya saya duduk di dalam rumah.
"Tenang ae, Le. Ora opo-opo, aman. Allah SWT Moho pengerten" - Begitu ucap si Mbah tanpa menatap wajah saya.

Saat saya berjalan menuju dalam rumah, tampak di dalam sudah ada Abah Fuad dan orang-orang yang tidak saya kenal. Saat saya hendak mau duduk, tiba-tiba saya terbangun dari tidur dan beristighfar atas mimpi yg saya alami.


Mimpi itu menjadi residu kenangan lebih dari sepekan, saya riset kecil-kecilan apa itu mimpi, bunga tidur, wasilah, astral projectition dll yg sekiranya dapat menjawab apa makna dari mimpi yg saya alami. Masih belum yakin, saya beranikan bertanya dengan beberapa senior di Maiyah Religi Malang tentang yang saya alami. Jawabannya beragam, ada yg menyenangkan dan menyedihkan.

Yang saya pahami, apa yang Mbah Nun ucapkan menyuruh agar saya tetap tenang dan tidak gegabah.

Mimpi kedua, 7 Mei 2020 menjelang sahur.
Tiba-tiba saya dan istri berada di dalam rumah, lagi-lagi sedang menghadiri kenduren entah di rumah siapa. Yang jelas suasana pada waktu itu sedang duduk melingkar, kiri saya ada Kang Sabrang dan Mas Rampak, sedangkan Istri berada di depan saya duduk disebelahnya Ibu Novia.

Saya kurang paham itu kenduren dalam rangka apa, pun istri saya melirik dari jauh seolah bertanya ini acara apa. Kita berdua mengalami kebingungan, seolah hanya kita berdua yang sadar bahwa ada sesuatu yang tidak kita pahami. Herannya, Kang Sabrang seolah paham yg saya alami, sambil menatap dan memegang lutut saya yg sedari tadi duduk bersila disamping beliau, Kang Sabrang berkata "Yaopo, wes jelas a?".

Lho ya, perkataan Kang Sabrang malah membuat saya tambah bingung.

Selesai acara di dalam rumah, kami semua keluar rumah untuk shalawatan dan makan bersama dengan jamaah yang lain. Suaranya Mbah Nun terdengar jelas sedang melantunkan shalawat, jelas dan indah.

Herannya lagi, saya tidak tampak sosok Mbah Nun. Padahal suaranya terdengar sangat sangat jelas. Saya mencari di antara jamaah yang hadir tidak ada, padahal suara Mbah Nun sangat dekat dengan telinga saya. Di tengah kesibukan saya mencari Mbah Nun untuk bersalaman dan mengenalkan istri saya kepada beliau, tiba-tiba ada sosok laki-laki tua berbaju koko (Bukan Mbah Nun) memeluk saya. Saat itulah saya terbangun dari tidur.

Untuk mimpi yang terakhir, saya tidak berkonsultasi dengan senior-senior saya di Maiyah atau riset di sana sini demi sebuah jawaban. Saya hanya tersenyum di tengah keheranan.

Hari ini libur kerja, waktu yang tepat untuk bersih-bersih. Di tengah kesibukan itu, saya menemukan buku ini. Koleksi lama, masih bagus karena memang saya rawat.

Dalam hati bertanya, apa kedua mimpi bertemu Mbah Nun jawabannya ada pada dua buku ini?


Malang, 7 Mei 2020
Ali Ahsan Al Haris

Sunday, April 19, 2020

Penis Mencari Selangkangan


Penis Mencari Selangkangan


“Sudah dua minggu saya menikahi Dewi Ayu, selama itu pula saya belum pernah tidur denganya”.


“Temanilah ia tidur Mas. Semenjak kalian menikah, ia selalau tidur sendiri di kamarnya” – Ucap ku pada suamiku yang sedang duduk bersila di halaman rumah sembari merokok dan membaca buku tebalnya.


“Iya, Dik. Malam ini Mas akan tidur dengan Dewi Ayu”.


Itu saja yang dikatakan suamiku, tak ada lagi percakapan antara kami setelah itu. Saya kembali ke ruang tamu, memandang lirih ke arah rak yang terisi penuh dengan buku menjulang sampai asbes. Dadaku terasa sangat sesak, namun anehnya air mataku tiada sedikitpun keluar padahal aku termasuk wanita 'baperan' yang sedikit-sedikit mewek, mudah sekali menangis dan curhat di sosial media seperti yang kalian baca. 

***

Dewi Ayu. Anak seorang juragan tuak di sudut kantor kadipaten adalah seorang maduku yang telah menikah dengan suamiku dua minggu lalu. Saya tidak ingat kapan tepatnya mereka menikah atau memang saya tidak mau tahu tentang pernikahan mereka berdua.


Dewi Ayu adalah wanita yang anggun, rambutnya hitam legam lurus panjang terurai, memiliki tinggi badan sekitar 179 Cm dengan berat badan 70 Kg yang membuatnya tampak cantik dan sangat seksi disokong payudaranya yang tampak besar dan membulat dari pakaian yang ia pakai, bola matanya bulat berbinar dengan warna mata biru yang ia dapatkan dari ibunya yang berasal dari Turki, alisnya hitam  tebal, bulu matanya tidak terlalu lentik, dan ia memiliki kulit yang mulus dan seputih susu.


Setiap lelaki yang melihatnya seolah terbius ramuan yang tak bisa dijelaskan, yang ia pikirkan hanya memperkosanya atau menikahinya. Jika berhasil memperkosanya, ia tidak perlu repot-repot mencurahkan cinta kepadanya, tapi jika ingin menidurinya setiap hari, maka ia harus menikahinya, entah dengan atau tanpa cinta.


Jika Dewi Ayu dilihat oleh para perawan, para perawan itu akan menghujat Tuhan kenapa tidak dilahirkan seperti dia. Jika yang melihatnya adalah para istri-istri tetangganya, ia banyak di cibir karena membuat para suami mereka dalam bersenggama selalu membayangkan sedang menyetubuhi Dewi Ayu. Padahal jelas, penis yang sedang keluar masuk vagina mereka adalah penis dari suaminya. Bahkan ada kabar beredar, vagina Dewi Ayu memancarkan cahaya yang sangat terang benderang membuat setiap lelaki yang berhasil melihatnya pingsan tak sadarkan diri.


Sementara diriku seperti wanita kebanyakan di negeri ini, tinggi 165 cm, memilki berat badan 56 Kg yang cukup membuat orang mengataiku gemuk dan tidak seksi. Jika saya pergi ke luar rumah untuk sebuah acara, saya harus memakai sepatu berjinjit agar tinggiku hampir menyamai suamiku, lebih tepatnya agar ia tak malu jika kawan-kawanya mengatainya memiliki istri yang pendek.


Dulu sebelum kita menikah, ia selalu memujiku jika aku adalah wanita yang baik, bersahaja dan salehah. Kita pertama kali bertemu saat saya menghadiri acara bedah buku di sebuah Café, saya tak sadar jika selama acara berlangsung ia memandangku dengan rasa penasaran untuk berkenalan. Beberapa waktu kemudian kita berdua kencan untuk pertama kalinya, pekerjaan utamanya menjadi sales pakan udang yang berkantor di jalan Ahmad Yani, dia juga memiliki usaha sampingan jual buku bekas, kalau pun ada yang baru itu hanya buku bajakan yang ia dapatkan dari Yogya.


Memasuki umur pernikahan yang ke delapan tahun, diriku yang dulu telah berubah, kata suamiku wajahku tidak secantik dulu. Pipiku sudah macam roti dorayaki nya doraemon, tidak se tirus dulu. Badanku sudah semacam gentong minyak curah di pasar tradisional, lipatan pada perutku sudah macam gas LPG 3 Kg. Selain itu suamiku juga merasa sekarang aku berubah menjadi istri yang sangat galak, dari bangun tidur sampai kembali ke peraduan saya banyak mengatur suamiku dengan SOP, tak heran dalam guyonanya ia berkata kalau aku lebih cocok untuk menjadi auditor saja. Meski keadaanku seperti demikian, kutahu cintanya padaku semakin dalam, terlebih saat kehadiran seorang putra yang sangat ganteng lahir dari rahimku. Motivasinya semakin bertambah untuk bekerja dan mencari sumber penghasilan lainnya, lelahnya terbayar lunas saat ia pulang kerja akan menjumpai putranya yang mirip sekali dengannya.


Hingga kehadiran seorang perempuan bernama Dewi Ayu, maduku yang tiba-tiba ada di rumah kami, aku pun tidak mengerti apa sebab alasannya suamiku tiba-tiba telah menikah dengannya. Sampai detik ini aku masih percaya jika ia hanya melaksanakan ajaran agama bernama Poligami. Sebagai seorang Muslimah yang sedari kecil belajar agama dari satu guru ke pondok yang lain, saya tentu mendukung apa yang suami saya lakukan meski dalam hati muncul perasan yang sangat berat dan tidak ikhlas. Atau, suamiku seperti lelaki di luar sana yang diliputi oleh nafsu birahi saat melihat Dewi Ayu. Atau jangan-jangan, sebelum ia menikah telah melakukan persetubuhan, apa jangan-jangan sebelum mereka menikah sudah ada jabang bayi di Rahim Dewi Ayu?


***


Malam itu, selepas dua minggu pernikahanya dengan maduku, ia benar-benar tidur dengan Dewi Ayu. Perasaanku benar-benar remuk, fikiranku membayangkan suatu hal yang selama ini tidak dapat saya bayangkan. Apakah Dewi Ayu benar-benar disetubuhi suamiku, apa suamiku benar-benar tega melakukan persenggamaan selain denganku? Sudah empat hari saya tidak menemuinya di ranjang, Anehnya saya tidak merasa marah sedikitpun, saya tidak boleh memiliki dendam ke suamiku bahkan maduku.


“Sepertinya lebih baik jika saya tidak tinggal di rumah ini selama beberapa minggu, mungkin satu bulan cukup”. – Batinku, saya tidak ingin menganggu suamiku dan Dewi Ayu menikmati masa indahnya, fase di mana saya dan suamiku sebut sebagai bulan madu yang tidak ingin diganggu oleh orang lain termasuk pekerjaan dan orang tua.


“Saya rasa satu minggu cukup untuk suamiku menikmati vaginanya Dewi Ayu. Konon setiap lelaki yang melihat membuat bumi berhenti pada porosnya. Atau semua kabar itu salah? jika benar mereka telah bersenggama, saya harusnya ikut merasakan bumi ini berhenti berputar. Tapi mengapa saya tidak merasakan hal itu? Kenapa yang saya rasakan hanya perasaan ini yang tercabik-cabik”.


Siang hari selepas saya menjemur baju, di hari keempat setelah suamiku tidur sekamar dengan Dewi Ayu, saya menemui suamiku untuk meminta ijin padanya agar dapat pulang, tinggal di rumah orangtuaku selama seminggu atau lebih dengan alasan aku sudah cukup lama tidak bertemu pun berkunjung ke rumah orangtuaku, aku kangeen ingin bertemu mereka. Suamiku memberiku ijin pulang dan tinggal di rumah orangtuaku sesuai permintaanku. Atas sikap suamiku ini cukup membuat perasaanku lebih baik, walau tetap saja suasana hatiku masih terasa hambar, tiada bermotivasi bahkan selera makanku yang selama ini cukup besar pun hilang sama sekali. Selama empat hari terakhir ini saya lupa apakah ada sesuap nasi yang sudah masuk di perutku atau tidak. Saya terlalu banyak membayangkan apa yang suamiku dan Dewi Ayu perbuat di dalam kamarnya.


Besoknya, aku pun bersiap berangkat bersama putraku menuju rumah orangtuaku yang tidak terlalu jauh. Dengan sekali naik bus dari depan rumah dan menikmati perjalanan pulang selama empat jam, bus antar provinsi yang kita tumpangi menghantarkanku ke kota yang terkenal hasil tangkapan lautnya. Suamiku tidak perlu repot-repot mengantar kita berdua ke sana.


Di tengah perjalanan ke rumah orangtuaku, tiba-tiba air mata menetes begitu deras, saya usap dengan selendang yang saya pergunakan untuk menggendong putraku. Airmataku turun semakin deras, dadaku semakin sesak diiringi pecah tangis yang membuat satu bus mengalihkan fokusnya ke saya.


Setelah tersadar dan cukup memiliki kekuatan, saya beranjak dari tempat duduk dan pergi ke belakang membuat kopi untuk suamiku. Novel tentang poligami itu saya tutup karena waktu sudah sore dan anak-anak belum mandi, suamiku yang sedari tadi di kandang sapi saya panggil untuk membantuku menyiapkan bahan masakan makan malam.


Kembali saya lirik novel itu dan hendak membacanya kembali. “Beruntung sekali saya memiliki suami yang setia dan tidak ada niatan berpoligami. Betapa sedihnya jadi tokoh utama dalam novel itu karena harus membagi cintanya ke perempuan lain”.  – Batinku.


Sekian terimakasih.
Ali Ahsan Al Haris
Malang, 18 April 2020.

Tuesday, February 11, 2020

KISAH DEWA GANESHA?


KISAH DEWA GANESHA?


Suatu hari, Dewi Parvathi, istri Dewa Siwa, sedang bersiap untuk mandi dan membutuhkan seseorang untuk menjaga kamarnya. Oleh karena itu ia inisiatif membuat patung seorang anak laki-laki yang ganteng dan gagah. Patung tersebut kemudian hidup seperti layaknya manusia berkat taburan air suci dari sungai Gangga. Setelah patung tersebut hidup layaknya manusia, Dewi Parvathi memerintahkannya untuk menjaga pintu kamar dan tidak boleh satupun orang masuk kecuali atas ijinnya.


Saat dia pergi mandi, Dewa Siwa yang hendak masuk ke kamar terkejut menemukan seorang anak kecil yang ganteng dan gagah berdiri di pintu masuk ke kamar istrinya. Ketika dia mencoba masuk, bocah itu menghalangi jalannya. "Siapa kamu dan mengapa kamu menghalangi jalan ku?”. Tanya Dewa Siwa.


"Tidak ada yang boleh masuk ke kamar Ibu”, kata bocah itu dengan membentak Dewa Siwa.


Terkejut, Dewa Siwa menjawab, “Minggir kau bocah, saya punya hak untuk masuk ke kamar istri saya”.


Anak kecil dan pemberani itu tidak bergerak sama sekali dari depan pintu. Karena Dewa Siwa tidak tahu kalau bocah kecil itu adalah putranya sendiri, Dewa Siwa yang sangat marah itu kemudian memotong leher bocah kecil tersebut.


Dewi Parvathi sekembalinya dari kamar mandi melihat putranya terbaring mati bersimbah darah. Dia sangat marah dan sedih atas kematian anaknya itu. Melihat hal tersebut, Dewa Siwa kemudian mengirim ajudannya untuk ke hutan mengambil kepala binatang yang pertama kali mereka lihat. Para ajudannya bergegas dan akhirnya menemukan sebuah anak gajah. Mereka segera memotong leher anak gajah tersebut dan memberikannya ke Dewa Siwa. Dengan kekuatannya yang besar, di tempelkannya kepala Gajah tersebut ke leher anak kecil yang ia bunuh tadi lantas meniupkan roh kehidupan ke mayat tersebut.


Terimakasih
Malang 12 Februari 2020
Ali Ahsan Al haris 

IMAN TIMBUL TENGGELAM


IMAN TIMBUL TENGGELAM


Ada sebuah kisah sederhana, tentang seorang Guru yang memiliki satu Murid yang tinggal di padepokannya. Suatu hari, Murid itu pergi ke suatu tempat. Tak berapa lama selepas kepergiannya, tiba-tiba turun hujan yang sangat deras disertai petir yang mengerikan dan memekakan telinga. Ditengah-tengah derasnya hujan itu, Murid ini kembali ke padepokan untuk bertemu Gurunya dan menceritakan semua masalah yang dihadapi selama dalam perjalanan.


Setelah Murid ini selesai bercerita, Gurunya berkata, "Kamu harus percaya pada Tuhan. Dia akan menyelamatkanmu dari semua masalah yang kau hadapi”


Murid itu menurut dan melanjutkan perjalanannya. Selama perjalanan dia terus melafalkan nama demit-demit dan mendoktrin dirinya sendiri dapat menghadapi semua rintangan.


Hari berikutnya, guru tersebut giliran menyusul muridnya dengan menempuh rute yang sama. Ketika dia akan melewati sungai yang dalam dan memiliki arus yang deras, dia ragu apakah Tuhan akan menyelamatkannya atau tidak. Dengan ragu-ragu, Guru itu menyeberangi sungai lalu tenggelam.


Dengan demikian, keraguan menenggelamkannya dan iman menyelamatkan kita.



Terimakasih
Malang, 11 Februari 2020
Ali Ahsan Al haris

WAKTU YANG BERHARGA


WAKTU YANG BERHARGA


Ali adalah anak yang sangat malas dan selalu menunda-nunda sesuatu untuk dikerjakan. Suatu hari Ayahnya menelepon dan menasehatinya tentang pentingnya menggunakan waktu, nasihat dari Ayahnya itu membuatnya tersadar dan dia berjanji ke dirinya untuk akan selalu tepat waktu.


Suatu hari, Ali mengetahui bahwa dia memenangkan hadiah utama dalam kompetisi lomba baca Puisi di sekolahnya yang di adakan bulan lalu. Ali diminta oleh pihak panitia untuk mengambil hadiahnya di hari itu juga. Tapi dia tidak peduli dan memilih mengambil hadiah ke esokan harinya.


Esoknya saat Ali mengambil hadiah ke panitia. Hadiah itu sudah tidak berguna lagi, karena isinya adalah tiket ke pertunjukan teater yang diadakan hari sebelumnya.




Terimakasih
Malang, 11 Februari 2020
Ali Ahsan Al haris

Monday, February 10, 2020

TONGKAT YANG TIDAK SAKTI


TONGKAT YANG TIDAK SAKTI



Suatu hari, seorang juragan Tuak datang ke Ali. Dia berkata kepada Ali, “Di rumah, saya memiliki tujuh pembantu. Salah satu dari mereka saya yakin telah mencuri tas mutiara istri keduaku. “Hai Ali, tolong datang ke rumahku dan cari tahu siapa pencurinya”, pinta Juragan Tuak kepada Ali.


Ali lantas pergi ke rumah juragan Tuak itu. Dia memanggil tujuh pembantu itu di sebuah ruangan. Ali kemudian berkata, “Saya memiliki tujuh tongkat yang sama panjangnya. Silahkan simpan tongkat Ini, besok sore akan saya ambil lagi. Jika tongkat ini disimpan si pencuri tas milik istri juragan kalian, tongkatnya akan tumbuh satu sentimeter”.


Malamya, salah seorang pembantu yang mencuri tas itu ketakutan. Dia berpikir, “Jika saya memotong tongkat ini satu sentimeter saja, besok sore saya tidak akan ditangkap dan tetap bekerja di sini". Jadi, pembantu itu memotong tongkatnya dan membuatnya lebih pendek satu sentimeter.


Keesokan harinya Ali kembali mengumpulkan tongkat dari para pembantu itu. Dia menemukan tongkat seorang pembantu yang memiliki pendek satu sentimeter dari tongkat yang lain. Ali kemudian mengarahkan telunjuknya ke arah pembantu tersebut dan berkata, "Ini dia pencuri tas istrimu"


Pembantu yang dituduh Ali mengakui kejahatannya. Dia mengembalikan tas curiannya ke istri juragan Tuak tadi. Pembantu itu langsung dipecat.


Karena senang dan rasa terimakasih, Ali dipersilahkan mabuk Tuak sepuasnya.

Terimakasih
Malang, 10 Februari 2020
Ali Ahsan Al Haris

JURAGAN PUREL BERNASIB BAIK


JURAGAN PUREL BERNASIB BAIK


Suatu malam, tiga pencuri mencuri banyak uang dari rumah juragan Purel. Mereka menaruh uang dalam tas besar dan pergi ke dalam hutan. Di tengah hutan, tiba-tiba mereka merasa sangat lapar. Jadi, salah satu dari mereka pergi ke desa terdekat untuk membeli makanan. Dua lainnya tetap di hutan untuk menghitung uang hasil curian mereka.


Pencuri yang membeli makanan itu memiliki ide busuk. Dia makan terlebih dahulu makanannya di warung. Lalu dia membungkus dua makanan yang sudah diberi racun mematikan untuk kedua temanya yang ada di dalam hutan. Dia berpikir, "Mereka akan memakan makanan beracun ini lalu mati. Saya akan mendapatkan semua uang hasil curian untuk diri saya sendiri. "


Sementara itu, dua pencuri lain yang ada di dalamm hutan memiliki rencana untuk membunuh temanya yang membeli makanan saat kembali. Mereka berpikir kalau uang hasil curian akan di bagi berdua saja.


Saat pencuri yang membeli makanan datang, ia dipukul dan ditusuk membabi buta kedua temannya. Saat ia dipastikan mati, kedua pencuri itu memakan makanan yang dibeli oleh temannya tadi. Kemudian mereka mati karena keracunan makanan.


Ketiga pencuri itu menemui akhir hidupnya masing-masing.


Esoknya, lelaki tua yang hendak mencari rumput untuk ternaknya menemukan ada tiga mayat dan segebok uang. Dengan hati-hati, lelaki pencari rumput itu mengambil tas besar berisi uang hasil curian dan membawanya pulang. Sesampainya di ujung kampung, lelaki tua itu dituduh sebagai pencuri rumah juragan Purel yang semalam kecolongan.


Kini lelaki tua itu mendekam di penjara.

Terimakasih
Malang, 10 Februari 2020
Ali Ahsan Al Haris

LELAKI DI SEBUAH DESA


LELAKI DI SEBUAH DESA



Ada seorang penduduk desa. Dia tidak tahu cara membaca dan menulis. Dia sering melihat orang yang memakai kacamata untuk membaca buku atau koran. Dia berpikir, “Andaikan saya memiliki kacamata, saya bisa juga membaca seperti orang lain. Saya harus pergi ke Kota dan membeli kacamata sendiri.” Pikirnya.


Kemudian suatu hari dia pergi ke kota. Dia memasuki toko kacamata. Dia meminta penjaga toko untuk mengambilkan sepasang kacamata baca. Penjaga toko memberinya berbagai pasang kacamata dan sebuah buku. Warga desa yang diketahui bernama Ali itu mencoba semua kacamata yang ada di toko. Hasilnya nihil, dia tetap tidak bisa membaca.


Ali lalu mengatakan kepada penjaga toko jika semua kacamata itu tidak berguna baginya. Dengan heran penjaga toko menghampirinya, kemudian dia melihat buku itu dalam keadaan terbalik. Penjaga toko berkata, "Mungkin Bapak tidak tahu cara membaca."


Ali yang merasa geram menjawab, “Tidak, kacamatamu yang salah. Coba carikan saya kacamata yang lain sehingga saya bisa membaca seperti orang lain.


Sembari menahan tawa, penjaga toko menjelaskan dengan ramah ke Ali., "Pak, bukan kacamata dari toko kami yang salah. Apa Bapak buta huruf?”. Tetap menahan tawanya, penjaga toko melanjutkan “Bapak yang baik, perlu Bapak tahu jika Kacamata tidak dapat membantu Bapak pandai membaca atau menulis. Kacamata hanya membantu Bapak melihat lebih baik. Pertama-tama Bapak harus belajar membaca dan menulis terlebih dahulu."


Cerita ini terinspirasi dari seseorang bernama Ali yang ingin sekali menjadi penulis, sampai pada perjuanganya dia membeli laptop yang mahal agar dia dapat mengetik banyak naskah. Waktunya banyak ia habiskan di depan laptop, sampai ia tersadar jika laptop mahal bukan jaminan seseorang dapat menulis. Pun dengan sebuah tulisan, panjanganya sebuah tulisan sama sekali tidak ada hubunganya dengan kualitas tulisan.

Terimakasih
Malang, 10 Februari 2020
Ali Ahsan Al Haris

Saturday, February 8, 2020

ADU KUAT ANTARA ANGIN DAN MATAHARI


ADU KUAT ANTARA ANGIN DAN MATAHARI


Suatu ketika di atas Pulau Jawa, Angin dan Matahari adu mulut. "Aku lebih kuat darimu" kata si Angin. "Tidak, kamu tidaklah kuat", kata Matahari. Ditengah perdebatan yang tak berujung itu, terlihat seorang musafir berjalan di seberang sungai.

Musafir itu memakai topi di kepalanya. Matahari dan Angin sepakat bahwa siapa yang berhasil memisahkan topi dari kepala si musafir itu lah yang lebih kuat.

Angin mengambil kesempatan pertama. Dia meniup dengan sekuat tenaga untuk menghempaskan topi itu dari pemiliknya. Tetapi semakin keras dia meniup, semakin kencang si musafir mencengkeram topi itu ke kepalanya. Perjuangan berlanjut sampai giliran Angin berakhir.

Sekarang giliran Matahari. Matahari memancarkan radiasinya sekuat tenaga agar musafir kepanasan. Dan benar, musafir itu merasa kepanasan. Musafir membuka topinya, hal itu membuat Matahari makin tersenyum. Saat musafir merasa tambah kepanasan, dia membuka semua bajunya, menjatuhkan pakaian dan barang bawaanya ke tanah. Kini si musafir telanjang bulat.

Saat Matahari merasa dirinya menang dari Angin karena telah membuat musafir melepaskan topi dari kepalanya, tiba-tiba si musafir lari ke pelataran sungai dan mejeburkan tubuhnya ke sungai.

Di tengah kebingungan Matahari dan Angin, tiba-tiba Air berkata “Aku lah yang paling di antara kalian”

Malang, 8 Februari 2020
Ali Ahsan Al Haris

BEKERJA ADALAH IBADAH


BEKERJA ADALAH IBADAH



Suatu hari yang cerah di musim hujan, seekor Jangkrik berjemur di bawah sinar matahari yang hangat. Tapi dia merasa sangat kelaparan, dia belum makan apa pun sejak tadi malam.


Jadi, dia mencari sesuatu untuk menenangkan rasa laparnya. Tiba-tiba, dia melihat beberapa semut
membawa benih ke lubang rumahnya.


Jangkrik pergi mendatangi semut yang tampak keberatan membawa benih-benih untuk mereka timbun, Jangkrik bertanya dengan rendah hati, "Bisakah kamu menolong aku?, berikan saya beberapa biji untuk saya makan. Sahut Jangkrik.


“Saya belum makan apapun sejak kemarin. Saya hampir mati kelaparan”, Sahutnya lagi


Sembari keheranan, Semut bertanya kepada Jangkrik, "Apa yang kamu lakukan sepanjang musim panas? Apakah kamu tidak menyimpan makanan untuk musim hujan? "


Dengan wajah memelas si Jangkrik menjawab, "Sebenarnya saya menyimpan makanan sepertimu, tapi sudah saya habiskan sebelum musim hujan tiba. Makannya musim ini saya tidak memiliki persedian makanan apa pun."


Semut tersenyum dan berkomentar, "Lantas kau hendak meminta jatah makanan kami? Bukanya musim hujan tahun lalu kau juga melakukan hal yang sama kepadaku."


Si Jangkrik memalingkan wajahnya dan berjalan pergi.


Sambil menatap punggung si Jangkrik, Semut berkata "Hei Jangkrik, Bekerja adalah sebuah ibadah nyata".


Malang, 8 Februari 2020
Ali Ahsan Al Haris

Monday, January 13, 2020

Saya Kepengen Wik Wik

Saya Kepengen Wik Wik



"Lho kamu belum tau ya, suaminya dia kan dipenjara gara-gara kasus Narkoba. Sudah hamil di luar nikah, akadnya mereka dipenjara pula", tutur Mak Romlah penjual sayur keliling.


Ini adalah cerita lanjutan dari cerita sebelumnya. Tentu ini cerita hanya guyonan, bagaimana kita menganggap kesusahan orang lain menjadi bahan lelucon. Atau ini memang watak kita, memandang kesusahan bukan lagi menjadi musibah. Melainkan bahan guyonan dan rasan-rasan.


Pagi itu saya dan Istri bermain ke kontrakan barunya Adit. Jarak dari pusat kota sekitar 36 menit, jauh dari keramaian. Penting harga sewa murah, bungkus. Setiba di lokasi, tampak Aziz dan istrinya yang sedang mengandung 7 bulan sudah sibuk mempersiapkan acara. Adit memang berencana mengadakan syukuran kecil-kecilan. Sebagai sahabat semasa sekolah, istri-istri kami juga di persahabatkan karena persekawanan kita. Ada fase di mana kita ngobrol serius dan istri kita menyingkir untuk tidak menganggu. Hal-hal naluriah semacam ini menjadikan kami betah berlama-lama saat kopdar. Padahal, konten yang kita obrolkan ya gak berat-berat amat. Banyakan malah ngerasani tonggo dan konco. Oalah


Ada beberapa tetangga kontrakanya Adit yang datang, salah satunya seorang perempuan yang saya taksir seumuran dengan istri saya. Sebut saja dia Ida (Nama Samaran). Ida datang barengan dengan seorang perempuan paruh baya, belakangan saya tahu kalau perempuan paruh baya itu adalah mertuanya Ida.




Acara berlangsung dengan tidak khidmat-khidmat banget, penting lancar dan terkendali. Sebelum acara di tutup, Adit mengenalkan diri beserta istri ke para tamu undangan yang hadir. Termasuk ke Pak RT. Sebagai warga baru itu hal lumrah, bahkan wajib bagi orang dari kampung macam Adit. Para tetangga juga memperkenalkan dirinya masing-masing, termasuk menawarkan bantuan jikalau diperlukan. Termasuk mendoakan Adit dan Istri semoga segera mendapatkan momongan.


Selepas para tamu undangan pulang, kami para lelaki pindah ke balkon. Ngobrol sembari makan camilan dan merokok. Obrolan kami fokus ngerasani si Mbak Ida. Perempuan yang kata Mak Romlah, suaminya dipenjara karena kasus narkoba. Kata Adit, sehari sebelum acara syukuran. Istrinya di undang Mbak Ida untuk hadir di acara 7 bulanan anaknya.  Acara 7 bulanan itu terbilang ramai, dihadiri banyak tetangga dan kolega. Tabuhan terbang dan lantunan barjanji mengiringi acara sampai tuntas.


Saat istrinya Adit berjalan pulang ke rumah. Ibu-ibu yang turut hadir dalam acara ngobrol tentang Mbak Ida. Mereka  merasa kasihan dengan dia dan anaknya yang masih kecil. Sejak kelahiran si kecil, tidak pernah mendapatkan perhatian dari Ayahnya. Beruntung Mbak Ida memiliki mertua yang baik hati, mau menampung dan membiayai seluruh biaya persalinan dan hidup mantu dan cucunya itu.


Baca Tulisan Saya Yang Lain: Banjir dan Cerita-Cerita di Dalamnya


Sembari berjalan ke rumah masing-masing, gerombolan ibuk-ibuk itu menasehati istrinya Adit untuk kelak lebih berhati-hati dalam mendidik anak. Jangan sampai seperti suaminya Mbak Ida. Termasuk harus bersyukur karena mendapatkan suami yang baik dan perhatian seperti Adit. Tentu perbandingan semacam itu berangkat dari kasus keluarga kecilnya Mbak Ida. Akan berbeda cerita jika keluarganya Adit di komparasi dengan keluarga lainnya. Dalam satu sisi nasihat itu baik, di sisi lain hal semacam itu tidaklah elok. Sampai kapan kita selesai dengan acara banding membandingkan?


Jika mereka para ibuk-ibuk memilih bahan gosip seputar kasihan mengkasihani. Berbeda banyolan yang saya, Adit dan Aziz obrolkan. Kami sebagai lelaki. Tentu versi kasihan mengkasihani itu akan sedikit bergeser ke ranah lain. Ranah yang lebih tepatnya kami sebut sebagai "Wik Wik". Saya sendiri belum tahu sejak kapan kata Wik Wik diartikan sebagai bersetubuh. Setahu saya kata Wik Wik itu berasal dari lirik penyanyi Thailand. Tapi jikalau kita menonton Official Video Clipnya, ya wajar kalau lagu wik wik kita artikan lagu bersetubuh. Hehe. Konteks kasihan yang kita maksut disini adalah, pengen Wik wik saja harus ke prodeo. Memang sih pernah kami dapatkan info, di dalam sana tersedia kamar khsus Wik Wik bagi pasangan suami istri yang menginginkan. Namun berapa jumlah kamar yang tersedia itu yang menjadi soal. Sudah mafhum kita ketahui jikalau para penjenguk memiliki jam kunjungan terbatas. Masalahnya, Wik Wik itu kan butuh ketenangan dan ke rileks kan. Jikalau dalam satu hari kunjungan ada 3 pasang pasutri, bisa kebayang dong antrian mau Wik Wik saja seperti antrian hendak masuk WC umum saja.


"Tok..tok..tokkk", bunyi pintu diketuk.


"Wes mari a Kang Wik Wik nya", terdengar suara lelaki dibalik pintu.



"Seg Pak, urung crot iki", jawaban dari dalam pintu.



Sekian Terimakasih
Jangan Dibuat Tegang
Santai Saja

Malang, 13 Januari 2020

Thursday, January 9, 2020

Kenaikan Harga di Pasar Tradisional dan Sewa Rumah Itu Perang Harga atau Hasil Musyawarah? Bingung Aku

Kenaikan Harga di Pasar Tradisional dan Sewa Rumah Itu Perang Harga atau Hasil Musyawarah? Bingung Aku



Akhir dan awal tahun adalah masa para karyawan menyelesaikan laporan, banyak dari mereka yang berhari-hari lembur menyelesaikan kewajibannya. Termasuk Adit (Kawan saya sekolah asli Sine, Ngawi), dia sekarang menjadi staf ahli di salah satu Pusat Kajian Masyarakat. Kebetulan saya ada perlu dengannya, membicarakan buku bekas dan rencana menjajal bisnis tersebut ke skala yang (Agak) besar. Naas pertemuan kita selalu gagal karena dia selalu pulang dinihari. Kita berdua berkesempatan bertemu kemarin sore, 7 Januari di kedai kopi dekat kantornya. Obrolan kami malah tidak membahas buku dan rencana bisnis kita berdua, dia malah bercerita kendala-kendala yang ia alami selama mengerjakan laporan. Ditambah dia sedang mencari kontrakan, praktis sore itu tidak ada obrolan yang awalnya kita sepakati bersama. Jual buku itu.


Katanya kontrakan sekarang mahal-mahal. Berbeda sekali dengan kontrakan yang Aziz (Kawan kantor Adit) sewa dengan istrinya. Waktu saya tanya di mana lokasi kontrakanya Aziz, ternyata berada jauh dari pusat kota. Sedangkan Adit mencari kontrakan yang dekat dengan kantornya. Ya wajar jika memilki perbedaan harga yang siginifikan. Bukankah hal semacam ini sudah mafhum kita ketahui. Perbedaan harga kontrakan bisa terjadi karena beberapa sebab. Salah satunya akses, tingkat kepadatan penduduk dan tipe rumah yang ditawarkan.


Baca tulisan saya yang lain: Banjir dan Cerita-cerita di Dalamnya


Adit meminta tolong ke saya nanti malam ditemani mencari rumah kontrakan lagi. Maklum, dia dikejar waktu karena penghabisan bulan satu istrinya pindah kantor ke Malang.


Malam harinya, saya bertemu Ibu Titin. Mantan Ibu Kos saya dulu selama sekolah. Bu Titin memiliki kos-kosan per kamar, tapi pertemuan kita dengan Bu Titin untuk meminta tolong ke dia siapa tahu ada tetangga atau kawan Bu Titin yang menyewakan rumahnya. Obrolan kita dengan Bu Titin seperti saudara saja, maklum. Dulu saya termasuk penghuni yang rutin membayar iuran kos tepat waktu. Karena teringat obrolan dengan Adit sore tadi tentang mahalnya harga sewa rumah kontrakan. Kegelisahan itu saya tanyakan langsung ke Bu Titin selaku pelaku usaha tersebut.


Bu Titin menerangkan ke kita berdua jika di Kota Malang, khususnya di RW rumah Bu Titin memang ada perkumpulan pengusaha yang membuka jasa sewa kos atau rumah kontrakan. Harga yang dibebankan ke penyewa sudah termasuk pajak yang dipatok oleh Pemerintah Kota Malang. Selain itu, ada harga minimal dan maksimal hasil musyawarah yang harus diterapkan oleh pemilik rumah kontrakan atau kosan. Jika ada perbedaan harga, biasanya meliputi fasilitas yang di tawarkan, ukuran kamar dan akses jalan. Selain itu, perkumpulan pemilik rumah kontrakan atau kos wajib patuh pada standar yang disepakati bersama. Jadi, maklum jika setiap wilayah memiliki range harga masing-masing. Ada wilayah yang terkenal mahal pun sebaliknya. Tapi, tidak semua wilayah menerapkan kesepakatan seperti itu. Hanya beberapa wilayah saja yang tingkat permintaanya tinggi.


Karena waktu semakin malam, saya dan Adit minta undur diri. Rasa terimakasih kita sampaikan untuk Bu Titin berkat jamuan dan obrolan hangatnya.


Motor yang kita kendarai tidak membawa pulang ke rumah, Adit lebih memilih ngemper ke kedai kopi di sudut perempatan. Saya memesan Jahe Panas dan Adit memesan Kopi Letek. Teringat penjelasan Bu Titin tentang perbedaan harga sewa rumah kontrakan di Kota Malang. Saya jadi ingat komentar ramai-ramai di group facebook desa saya. Mereka sibuk mengkritik Pemerintah Desa, Pengurus Bumdes dan Pengelola Pasar karena terkesan tidak dapat mengintervensi para pedagang yang menaikan harga se enaknya sendiri.


Berapa besaran kenaikan harga makanan di Pasar desa saya tinggal juga tak dapat dikonfirmasi kepastiannya. Hanya beberapa akun saja yang menyuarakan kenaikan harga yang tidak wajar itu telah membuat mereka resah. Klaim nya, banyak kawan mereka yang 'Ngerasani' kalau para pedagang telah 'Meremo' (Menaikan harga secara mendadak) ke pembeli yang bukan warga desa. Sekali lagi, benar tidaknya informasi itu, hanya beberapa akun saja yang menyuarakan hal itu. Ekstrimnya, ada akun yang berpendapat jika sebaiknya Pasar di desa saya di tutup saja. Bukankan itu pendapat yang sangat dangkal, semacam politik bumi hangus saja.


Baca Tulisan Saya Yang Lain: Cerita Dari Pasar Tradisional


Sembari ngopi dengan Adit, malam itu saya menghubungi James, salah satu tokoh pemuda desa. Ada beberapa pertanyaan yang saya tanyakan, termasuk kejadian ramai-ramai di group facebook desa. Menariknya, isu yang sempat menjadi trending itu dibumbui konflik kepentingan. Untuk hal ini lebih baik saya tidak membahasnya karena rawan sekali tulisan saya di plintir kanan kiri.


Oke jadi begini, hasil korespondensi saya dengan James menemukan beberapa hasil menarik. Dalam hal ini, saya berusaha menulis secara objektif.


Pertama, Pemerintah Desa yang diwakili BumDes telah menyebar brosur himbauan kepada pedagang untuk tidak 'Meremo' ke warga non desa. Boleh 'Meremo', asalkan di hari libur atau pasaran saja. Karena dalam prakteknya, ada beberapa pedagang yang menerapkan harga berbeda ke warga asli desa dan tidak. Sehingga imbasnya, pasar yang telah lama menjadi ikon desa menjadi bahan rasan-rasan se Kabupaten.


Baca Tulisan Saya Yang Lain: Emas Ghaib dan Sang Penjaga Wilayah


Kedua, paham ekonomi yang di anut negara kita adalah diberlakukannya Pemerintah mengintervensi pasar. Hal ini dilakukan agar harga bahan pokok yang beredar di pasaran tidak mengalami kelonjakan harga di momen-momen genting semacam Bulan Ramadhan, Idul Fitri, Tahun baru dll. Karena lingkupnya kecil, intervensi yang dilakukan Pemerintah Desa salah satunya dengan membuat himbauan seperti di alasan pertama, juga memberikan kenyamanan kepada pengunjung dengan adanya lahan parkir yang luas dan aman.


Ketiga, James dan saya belum mendapatkan data resmi jumlah bedak atau stand yang ada di pasar dan berapa jumlah pedagang yang asli desa pun sebaliknya. Mengapa hal ini penting? Hasil obrolan kita berdua, kita sepakat jika Pemerintah Desa melalui pengelola pasar lebih memprioritaskan pedagang yang asli desa. Kalau pun ada pedagang dari luar desa, pengelola wajib menarik uang sewa yang berbeda dengan pedagang yang asli desa. Hal ini demi terwujudnya pemerataan ekonomi masyarakat desa sendiri.


Keempat, sebagai salah satu sumber pendapatan tambahan kas desa. BumDes dapat ikut berdagang di pasar. Teknisnya tinggal di atur saja, apa yang mereka jual dan bagaimana sistem pengupahan karyawannya. Selain itu, adanya stand/bedak BumDes di pasar, dapat menjadikan sistem kontrol jika sewaktu-waktu terjadi pedagang yang menaikan harga semena-mena kepada pengunjung non warga desa.


Kelima, setiap stand/bedak lebih di tata rapi mulai dari luas dan harga sewa. Selain itu, tidak boleh dalam satu Kartu Keluarga memiliki lebih dari satu stand. Kalau pun praktek ini tetap terjadi, pengelola pasar kudu tegas memberikan harga sewa lebih tinggi. Tujuannya jelas, agar semua warga desa dapat mencari rezeki. Menghindari adanya monopoli pasar demi terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur.


Waktu saya lirik, Adit masih sibuk dengan gim nya, obrolan saya dengan James kita pungkasi dengan menyisakan beberapa keresahan. Tapi itu tak jadi soal, besok saya telpon dia lagi. Teringat obrolan dengan Bu Titin, di depan rumahnya ada pembangunan kos-kosan 50 kamar. Katanya, pemiliknya adalah orang Surabaya. Memang ada beberapa warga yang menjual rumah atau lahannya ke orang lain, alasannya karena ingin pindah rumah, anak-anaknya sudah mentas semua sehingga mau balik kampung atau karena faktor ekonomi. Lahan dan rumah yang dijual itu tetap menjadi rumah kontrakan, bahkan direnovasi lebih besar dan luas.


Baca Tulisan Saya Yang Lain: Lelaki Tua dan Kebiasaan Anehnya


Residu obrolan dengan Bu Titin malam itu menjadikan kekhawatiran baru. Saya membayangkan bagaimana jika bedak-bedak di pasar desa saya di kuasai oleh pemodal besar, bagaimana jika sawah-sawah di desa berubah menjadi supermarket atau rumah kontrakan, bagaimana jika kelak orang-orang asli desa saya malah menjadi buruh di bekas lahan dan bedak yang dulunya mereka miliki. Kekhawatiran itu selalu muncul berulang. "Mungkin terjadi, barangkali juga tidak". -Batinku.


Saat hendak bertanya ke Adit kira-kira akan mengontrak di mana. Tiba-tiba dia menoleh dan memberitahu selama aku telpon dengan James. Ibunya Adit berencana menjual bedaknya di Pasar untuk biaya Adit dan istrinya mengontrak rumah. Lho lah


Padahal saya mau bertanya ke Adit, kira-kira kenaikan harga di pasar dan kontrakan yang sedang kita obrolkan itu perang harga atau hasil musyawarah? Atau malah, perang harga yang di musyawarahkan!!!!!!!



Sekian terimakasih.
Salam hangat dan jangan lupa ngopi.
Malang, 9 Januari 2019.

Friday, December 20, 2019

Emas Ghaib dan Sang Penjaga Wilayah

Emas Ghaib dan Sang Penjaga Wilayah


Tiga kali panggilan WhatsApp nomor tidak kenal, saya biarkan. Selang beberapa menit nomor tersebut mengirim personal chat, "Posisi?" Bunyi pesan tersebut, dan masih saya biarkan. Mungkin ada tiga jam saya tidak membalas pesan tanpa nama itu, sampai pekerjaan saya agak lenggang dan iseng melihat avatar pengirim pesan tadi.

"Lhooo, Cok. Iki kan konco lawas". Ternyata yang menelpon tiga kali tadi adalah kawan lama saya. Kita sudah lima tahun tidak bersua, maklum sekarang dia bekerja di luar Jawa. "Palingan bocah iki lagi neng Malang, mangkane ngubungi aku", batinku.

Singkat cerita kita janjian untuk bertemu, tapi karena kawan saya tidak memiliki banyak waktu, saya hanya bisa menemui dia di hotel tempatnya menginap. Sesampainya di hotel, saya menuju resto bintang empat tersebut. Bellboy bertanya ke saya apa yang sekiranya bisa dia bantu, saya hanya menjawab kalau ada janji bisnis dengan kawan saya yang menginap di hotel ini (Padahal ya cuman mampir ngopi, hehe).

Lima menit selepas saya duduk, kawan lama saya datang. Kita berdua berpelukan, kita saling melempar senyum dan adu pukul karena lama tak jumpa dan memberi kabar. Ya, terakhir ketemu dia waktu mendaki gunung. Saya sedikit protes ke dia, mengapa setelah bekerja dengan gaji lebih dari cukup malah membuat badannya kurus seperti ini, berbeda sekali saat kita terakhir bertemu. Tapi sudahlah, itu bukanlah inti dari tulisan ini.

Sebelum saya lanjut, perlu saya utarakan di awal tulisan jika akan ada kalimat sesepuh. Kalimat tersebut tentu memiliki tafsiran tersendiri, bisa jadi sebagai ahli spiritual, wali, kyai, dukun, penghayat dll. Saya tidak berani menyebut secara gamblang siapa sosok sesepuh ini, biarlah para pembaca blog saya yang menafsirkan apa yang saya tulis. Saya hanya berusaha menulis sesuai lanskap yang bagiku menarik untuk pembaca ketahui.

Oke fokus kembali.

Pada sela obrolan dengan kawan lama saya, iseng saya tanyakan di luar Jawa pernah ngapain saja (Konteks yang saya tanyakan diluar pekerjaan), dan dari sinilah keseruan cerita itu dimulai.

Kawan saya ini sempat ingin membeli rumah bekas di kota tempatnya bekerja, rumah tersebut dimiliki oleh seorang abdi negara yang masih aktif bertugas. Hubungan kawan saya dengan pemilik rumah terbilang akrab meski negosiasi harga selama dua bulan belum bertemu muaranya. Pada pertemuan ke empat kawan saya dengan pemilik rumah untuk nego harga, tiba-tiba sang pemilik rumah meminta bantuan yang sifatnya sangat rahasia. Si pemilik rumah tahu kalau kawan saya berasal dari daerah X, dia meminta untuk dibawakan "Jarik (Selendang Batik yang biasa dipergunakan untuk menggendong bayi) yang bekas dibuat membantu proses melahirkan (Jarik yang dimaksud pernah kena darah si jabang bayi). Jika tidak ada, pemilik rumah meminta tolong untuk dicarikan sendal (Saya lupa istilah nama sendalnya, yang jelas ini adalah sandal kuno dengan bentuk besar). Dan kedua barang itu harus berasal dari daerah X, tempat kawan saya lahir. Entah untung atau buntung, posisi waktu itu kawan saya memiliki Jarik bekas proses kelahirannya semasa kecil dulu yang selalu dia bawa kemana-mana. (Ada cerita khusus mengapa kawan saya selalu membawa Jarik ini).

Usut punya usut, Jarik tersebut rencananya dipergunakan untuk menarik "Emas" ghaib yang berada dirumah yang rencana ia beli. Saya sempat bertanya,

"Berapa prosentase yang kamu dapatkan jika berhasil menarik emas ghaib itu?"

"Lumayan, cukuplah untuk empat kali turunan ku", jawabnya sambil terkekeh ketawa.

Ritual Dimulai
Kawan saya diminta untuk datang pada malam rabu, karena sifatnya sangat rahasia. Kawan saya tidak mengajak siapapun, dan tentu tak lupa Jarik yang pemilik rumah pesan jangan lupa untuk dibawa ke lokasi ritual.


Sesampainya di lokasi, kawan saya bertemu dengan adik perempuan si pemilik rumah (Zuleha, nama samaran), Pak Ceko (Sesepuh 1, nama samaran) dan Pak Kafka (Sesepuh 2, nama samaran).

Sebelum ritual dimulai, mereka ngobrol hangat di ruang tamu dan saling berkenalan, termasuk Pak Ceko dan Pak Kafka saling memperkenalkan diri, keheranan kawanku dimulai saat melihat Pak Ceko yang tidak berani menatap wajah Pak Kafka saat diajak ngobrol dan hal ini dialami juga oleh Zuleha yang tak berani melihat wajah Pak Kafka.

Waktu memasuki pukul sebelas malam, mereka bersepakat untuk memulai ritual penarikan emas ghaib tersebut. Dari sini saya mulai paham mengapa peran Zuleha terbilang penting. Menurut penuturan kawanku, Zuleha adalah penjelmaan (Bisa dari ritual atau memang dipilih) pasukan dari Kerajaan pantai selatan yang bertugas menjaga emas ghaib ini.

Ritual dilaksanakan di dapur (Karena tempatnya agak lebar), peserta duduk melingkar dan tampak ditengah lingkaran tersebut ada jajan pasar dan kemenyan. Kedua sesepuh berdoa, Pak Kafka (Berdoa bahasa Arab), Pak Ceko (Berdoa memakai bahasa Jawa). Sedangkan peserta yang lain hanya diam termasuk kawan saya ini. Sampai pada waktu Pak Ceko naik dari duduk sila nya dan kini agak berjongkok, sambil menutup mata dan mengacungkan jari manisnya ke atas. Pak Ceko berkomunikasi dengan bangsa halus (Jin penjaga emas) apa sudah diperbolehkan menggali emas!
Komunikasi yang terjadi antara Pak Ceko dengan Jin penjaga emas ini terbilang lama, penuturan kawanku menyebut sempat hilang komunikasi dengan Jin penjaga emas tersebut.

Singkat cerita, Pak Ceko mendapat kontak dari Jin penjaga emas jika mereka sudah dapat menggali emas. Kemudian Pak Kafka mengarahkan ke pemilik rumah untuk mencangkul tanah di dekat pintu dapur. Proses mencangkul sudah mencapai kedalaman 30 cm dan belum ada tanda adannya emas. Pemilik rumah meminta Pak Ceko untuk berkomunikasi dengan Jin penjaga emas, lalu Pak Ceko memberitahu sedikit lagi nanti ketemu emasnya.

Sampai ujung cangkul itu menghantam benda keras, saat di cek, pemilik rumah menemukan satu emas batangan bergambar presiden pertama Indonesia. Karena penasaran, kawanku ikut memegang, dia heran mengapa emas batangan ini terasa hangat seperti baru keluar dari microwave saja.

Hasil cangkulannya mendapatkan hasil, pemilik rumah melanjutkan lebih dalam. Tapi naas, tetap tidak ada hasil dan Pak Ceko juga kehilangan komunikasi dengan Jin penjaga emasnya.

Lelah dengan proses penggalian, mereka sempat istirahat sejenak sembari meminum kopi dan merokok. Di sela obrolan, Pak Kafka memberitahu jika galian malam ini tidak akan mendapatkan banyak hasil. Dan hal itu di iyakan oleh Pak Ceko dengan anggukannya, seakan sudah paham dengan apa yang terjadi.

Hasil galian yang tak maksimal, dan waktu sudah menuju subuh. Para tamu undangan itu berniat undur diri, Pak Ceko diantar pulang oleh pemilik rumah. Sedangkan Pak Kafka memaksa kawan saya ini untuk diantarkan pulang kerumahnya, aslinya sedikit keberatan. Tapi dari situlah apa yang terjadi dibalik tidak maksimalnya hasil galian terjawab.

Pertarungan Kedua Sesepuh
Sampai dirumahnya Pak Kafka, kawan saya tidak diperkenankan langsung pulang karena ada pesan penting yang ingin disampaikan. Teh hangat, rokok dan angin malam menemani obrolan mereka berdua. Kawan saya ini akhirnya diberitahu oleh Pak Kafka mengapa proses penggalian emas tidak maksimal dan mengapa kontak dengan Jin selalu putus.


Singkatnya seperti ini.
Pemilik rumah tahu kalau Pak Ceko adalah orang yang dikenal ahli dalam hal ghaib, tahu jika rumahnya banyak harta berharga yang terpendam secara ghaib. Pemilik rumah meminta tolong ke Pak Ceko untuk menarik harta tersebut, namun ada syarat yang harus dipenuhi oleh pemilik rumah. Yaitu Jarik yang saya ceritakan di atas dan proses penggalian harta ghaib tersebut wajib ditemani oleh Pak Kafka. Mengapa harus Pak Kafka yang menemani? Menurut penuturan kawanku, Pak Kafka ini adalah sesepuh yang ditugasi menjaga kestabilan di wilayah tersebut (Kestabilan yang saya maksut ini berhubungan dengan hal ghaib).

Ternyata sebelum ritual dimulai, Pak Kafka dan pemilik rumah sudah ada perjanjian jika berhasil menarik harta ghaib akan disumbangkan ke orang yang tidak mampu, membangun masjid, pesantren dll termasuk prosentase yang wajib dibagi secara adil kepada peserta ritual. Namun dalam prakteknya, saat proses Pak Ceko berkomunikasi dengan dengan Jin penjaga harta. Si Jin ini meminta nyawa kawan saya. Hal inilah yang Pak Kafka tidak setuju sehingga dengan sengaja menghambat proses penarikan harta ghaib tersebut.

"Ada yang tidak benar dalam proses penggalian itu, saya sengaja menghambatnya agar tidak ada nyawa melayang demi harta yang aslinya bukanlah milik kita", begitu tutur Pak Kafka ke kawan saya.

Pak Kafka berpesan untuk menyimpan baik-baik Jarik yang dimiliki kawan saya, jika takut dipergunakan hal yang tidak-tidak. Pak Kafka menyarankan untuk membakarnya saja. Pak Kafka juga berpesan untuk jangan mau diajak menjalani ritual itu lagi, sebesar apapun bayarannya. Karena itu menyangkut nyawa kawan saya.

Pak Kafka juga bercerita kalau Pak Ceko mengajaknya ke Lumpur Lapindo di Sidoarjo. Ada ratusan dukun yang hadir disana yang berniat memberhentikan semburan lumpur tesebut. Akan tetapi Pak Kafka menolak ajakan tersebut, saat kawan saya bertanya mengapa menolak. Bukankah itu sebuah kebaikan karena memberhentikan bencana. Jawaban Pak Kafka malah membuat kaget, "Itu sudah digariskan memang terjadi, bahkan kelak daerah Tanggulangin Sidoarjo akan runtuh (Ambles kedalam tanah). Benar tidaknya hal tersebut, kita berdoa saja demi kebaikan dan keamanan Indonesia.

Pernyataan demi pernyataan Pak Kafka ini semakin membuat heran dan penasaran kawan saya. Alhasil kawan saya memberanikan diri untuk bertanya lebih detail dan kompleks.
Ringkasan dari pertanyaan kawan saya ke Pak Kafka, jika saya ringkas akan seperti ini.

Apakah benar banyak emas terpendam di Indonesia?
Benar, bangsa dan leluhur kita dulu sangat kaya raya. Banyak harta benda berupa emas perak termasuk pusaka yang tertimbun didalam tanah. Status dari harta tersebut ada yang tertimbun secara alami, dan ada yang leluhur kita sengaja menitipkannya ke bangsa Jin. Hal tersebut dilakukan karena pada zaman dahulu tidak ada tempat yang terbilang aman selain menitipkannya ke bangsa Jin. Memang ada laku ritual khusus yang harus dilakukan antara pemilik harta dan Jin penjaga harta ini, hal tersebut dapat berupa sesajian bahkan tumbal manusia. Harta terpendam itu hanya bisa diambil oleh pemilik atau ahli warisnya. Akan tetapi, tetap ada laku ritual tertentu jika ingin menarik harta tersebut ke dunia nyata. Kawan saya bertanya mengapa tidak diambil saja untuk melunasi hutang Indonesia?, Jawab Pak Kafka, "Semua itu bisa dilalukan, tapi kami (Para Sesepuh) lebih senang harta ini terpendam karena melihat banyak ketidakjujuran yang ada pemimpin negeri ini". Kawan saya lanjut bertanya, "Mengapa Pak Kafka tidak mengambil harta tersebut untuk dinikmati sendiri saja?", Jawab Pak Kafka singkat dan mengena sekali "Saya tidak butuh harta, ada yang lebih bernilai dari itu semua", jawaban Pak Kafka ini sangat multitafsir. Namun saya menilai bahwa yang dimaksud Pak Kafka adalah dicintai oleh Allah SWT nilainya lebih berharga dari dunia seisinya. Oh iya, menurut kawanku, rumah Pak Kafka sangatlah sederhana.


Apa benar setiap wilayah memilki kuncen? 
Bagi pembaca mungkin sedikit bingung apa itu kuncen, anggap saja istilah tersebut berarti juru kunci, sesepuh atau orang yang dituakan di daerah tersebut.

Menurut penuturan kawanku, informasi ini ia dapatkan selepas berbulan-bulan sering silaturahmi dengan Pak Kafka. Banyak hal yang ia tanyakan termasuk apakah setiap wilayah memiliki kuncen dan bagaimana sistem komunikasi antar kuncen.

Jawabannya ada, namun tidak setiap wilayah (Kecamatan atau Kabupaten) memiliki kuncen. Untuk kasus yang diceritakan oleh Pak Kafka, para kuncen ini biasa membawahi minimal 4 kecamatan disekitar rumahnya. Untuk kuncen yang statusnya lebih tinggi, bisa membawahi langsung minimal 4 kabupaten sekaligus (Tentu ini hasil dari logika berpikir saya saja, semoga tidak mengurangi substansinya).

Yang menarik adalah bagaimana antar kuncen ini berkomunikasi, ternyata mereka para kuncen ini memiliki forum khusus yang dalam kehadirannya tidak berupa jasad alias seperti kita kopdar di warung kopi yang secara jelas fisik kita berada pada ruangan warung kopi tersebut. Mereka cukup berkomunikasi dengan batin, saling menyampaikan kabar di daerahnya masing-masing.

Hubungan kuncen yang masih hidup dan leluhur Nusantara.
Pak Kafka menyampaikan bahwasannya hubungan leluhur Nusantara dari zaman Majapahit bahkan jauh sebelum itu dengan kuncen yang sekarang masih hidup masih berjalan dengan baik. Pak Kafka menerangkan ada forum khusus yang dihadiri dan dipandu langsung oleh para leluhur Nusantara dengan kuncen yang ada saat ini membahas strategi yang perlu dilakukan demi Indonesia yang lebih baik. Mereka memiliki tempat khusus, bahkan nama tempat tersebut familiar kita dengar, maaf karena saya tidak diperkenankan memberitahukan tempat tersebut.


Para kuncen dan leluhur Nusantara sedang mempersiapkan Bangsa ini kembali gagah berdiri. Gagah dalam arti manusianya yang pandai, pintar, ekonominya melonjak naik, rakyatnya kuat dan pemimpinya berjiwa ksatria. Kita akan mengalami hal itu pada fase 2035-2045, ini bukan hanya isapan jempol belaka. Meski saya belum pernah bertemu dengan Pak Kafka,  sudah saya dengar sendiri dari beberapa sesepuh yang saya kenal jika Indonesia akan memimpin peradaban dunia di 100 tahun kemerdekaannya. Namun, tantangan menuju kesana sangat berat. Terutama Indonesia akan mengalami fase porak poranda kedaulatan negaranya pada medio 2024-2035. Pembaca boleh percaya dan tidak, semua kembali ke pribadi masing-masing.

Tidak terasa obrolan saya dengan kawan lama saya ini sampai subuh, saya akhirnya bergegas pulang karena pagi harus bekerja dan kawan saya kembali ke perantauan.

Sebelum jalan ke parkiran, saya meminta izin untuk menuliskan apa yang kita berdua obrolkan ke blog saya. Kawan saya menyetujui dengan beberapa catatan, salah satunya menyamarkan karakter semua tokoh. Dan apa yang kalian baca hari ini, adalah resensi dari apa yang kita berdua obrolkan.


Sekian terimakasih.
Salam hangat.
Salam hangat bagi sesepuh yang barangkali membaca atau mendengar kisah ini.

Thursday, September 5, 2019

SENJA






SENJA


Halaman belakang SMA Nagari dikelilingi belasan pohon mangga yang akan berbuah pada masanya. Berbagai macam mangga menggambarkan keanekaragaman di negara kita. Salah satu pohon tertua disana, pohon mangga madu, ditanam bibitnya oleh Direktur SMA Nagari, Pak Harun yang merupakan Ayah Galang, sebelas tahun yang lalu. Di halaman belakang ini jarang dimanfaatkan oleh murid-murid sehingga rumput liar tumbuh dengan subur disana.

Di pinggiran halaman terdapat kursi panjang yang kini di atasnya terbaring dua orang siswa masih lengkap dengan seragam putih abu-abunya. Jam sudah menunjukkan pukul lima sore tapi mereka masih setia menetap di sekolah berteman dengan sapu lidi dan pengki.



Galang selesai dari tugasnya membuang sampah ke bak sampah besar di pojok selatan halaman. Dia berjalan ke arah kedua temannya yang sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Semenjak kejadian berdarah di gedung olahraga bulan lalu, Galang selalu turut andil mengerjakan hukumannya sendiri maupun hukuman teman-temannya sepenuh hati. Membuat hubungannya dengan Vano beranjak baik.
Drrrtttt. Galang melepas sarung tangannya kemudian merogoh sakunya untuk mengambil ponsel di saku celananya. “Halo??” Suara lemah seorang wanita terdengar dari seberang. Ekspresi yang awalnya biasa saja, hanya sedikit kelelahan, beranjak panik.
“Kau dimana??”
“…”
“Baiklah, aku kesana”

Nino hanya melirik Galang yang tampak tergesa-gesa, sementara Vano masih tidur di depannya. Dia pasti juga kelelahan dengan persiapannya mencalonkan diri menjadi Ketua OSIS dan lagi-lagi menjalani hukuman yang kadang bukan karena ulahnya.

Setelah terlelap sekitar dua puluh menit, Vano membuka matanya, ia menggeliatkan tubuhnya. Hal pertama yang ia lihat adalah Nino si pria tampan populer yang sibuk dengan smartphone di tangannya. Sudah tentu sibuk bermain game yang sedang viral sekarang. “Kemana yang lainnya?” Menyadari tersisa dua per lima saja teman-temannya. “Ricky dan Arga membeli minuman, kalau Galang-” Dia menggantung kalimatnya, karena dia sendiri juga belum sempat bertanya kemana pria itu pergi, “sepertinya dia terburu-buru, dia pergi setelah menerima telepon.” Vano menganggukkan kepalanya setuju kemudian kembali memicingkan matanya.

Sementara di halaman depan baru tiba dari minimarket di depan sekolahnya, Ricky dan Arga membawa dua kantung kresek putih berisi minuman dingin dan beberapa makanan ringan. Kantin sekolahnya sudah tutup sejak jam empat, saat jam pulang sekolah. “Aku akan memukul mereka jika sampah yang tinggal sedikit tadi masih belum beres juga,” Ucap Ricky sambil menghisap es krim rasa melon di tangannya. Urutan yang paling banyak bekerja saat menjalankan hukuman adalah Arga, Vano, Ricky, Nino, terakhir Galang.

“Kupikir kau akan memukul mereka-“ Arga menyeruput minuman isotonik berbotol biru, “aku yakin mereka sedang bermalas-malasan sekarang.” Cibir Arga dan benar saja mereka tak akan bekerja tanpa Arga atau Vano yang meneriakinya. Sedangkan Vano sudah sangat kelelahan.
Sampai di lorong yang menghubungkan kelas X dan XI, Arga melihat Galang berlari dengan tergesa-gesa menaiki tangga milik gedung selatan, gedung dimana kelas mereka bernaung. Gedung selatan juga satu-satunya gedung yang memiliki atap tanpa genteng alias atapnya hanya campuran semen dan batu yang dapat diinjak. “Itu kan-” Arga melambatkan langkahnya, ia memastikan lalu melihat ke atas gedung atau tepatnya di atap. Terdapat seorang gadis berambut sebahu dengan seragam abu-abu dan sweater merah muda.

“Ada apa??” Ricky yang sudah cukup jauh di depannya, sebelum Ricky kembali padanya dan semakin penasaran, Arga segera menuju kepada Ricky, “Kau kenapa sih??” Ricky mengerutkan dahinya.
“Kau duluan kesana,” Arga menyerahkan kantung plastik berisi minuman yang ia bawa, “Aku sudah tidak tahan, aku harus ke toilet,” Ucapnya panik sambil memingkupkan kakinya untuk mempernyata sandiwaranya. Semoga Ricky yang tidak peka itu tidak menyadari bahwa ia menutupi sesuatu. Ricky mengangguk, “Baiklah, jangan lama-lama, kau bisa tidak kebagian makanannya,” Ricky akhirnya beranjak mendahuluinya.

Bukannya Arga ingin menyembunyikan hal yang bahkan ia belum tahu apa, namun memastikannya sendiri lebih dulu dapat meminimalisir bersitegang antara teman-temannya nanti. Dia sangat khawatir terjadi perang saudara antara teman-temannya lagi.

Dia berjalan menuju gedung selatan. Gadis itu, dia tahu itu Stella. Gadis yang dikejar Vano sejak awal kelas X tapi mereka semua juga tahu, gadis itu menyukai Galang. Gadis yang berasal dari keluarga miskin itu namun berwajah cantik menyukai seorang pangeran Nagari yang bahkan ditakuti para guru. Bak si pungguk yang merindukan sang bulan. Sejak tahu kebenaran ini dua bulan lalu, pertemanan mereka benar-benar rapuh, mudah bertengkar dan berkelahi.

“Ada apa, Stel??” Tanyanya canggung. Sejak tahu gadis di depannya ini menyukainya, ia belum pernah bicara berdua saja seperti ini. Ini pertama kalinya. Selain tak ada yang harus dibicarakan, Vano-lah alasan Galang menghindari Stella. Dia sadar persahabatannya lebih berharga dari sedikit perasaannya untuk Stella.
Stella berbalik, menampilkan senyum, rambut hitamnya tertiup angin senja kala itu. Dia belum mengatakan apapun tapi seolah Galang mampu membaca mata sedih dan kesepian milik Stella. Sudah jadi rahasia umum di SMA Nagari bahwa gadis yang menjadi kembang Nagari itu mengalami banyak kesulitan disini. Dia banyak disukai murid laki-laki sehingga banyak yang menggodanya, namun lebih banyak juga murid perempuan yang membencinya hingga sering melakukan tindakan bullying. Dia tidak punya banyak teman karena keadaan ekonominya dan peringkatnya yang biasa saja.

“A-aku-“ Stella menatapnya nanar, “aku telah kehilangan semuanya, Galang,” satu tetes air mata menetes dari pelupuk matanya, “tidak ada seorangpun yang menginginkanku di dunia ini..” Stella semakin terisak hingga badannya terhuyung ke tanah. Galang ragu haruskah ia menenangkannya, ia tak pernah terlibat dalam adegan drama semacam ini dengan perempuan. Drama dalam hidupnya hanya tentang pertarungan sesama pria.

Di halaman belakang, Vano minum sebotol cola sekali teguk, lalu bersendawa yang bagi Ricky menjijikkan. “Kau tidak akan berhasil menjadi Ketua OSIS, aku yakin-” Ricky menepuk bahu Vano sekalian mengejeknya. “Mereka tidak akan mau punya ketua kunyuk sepertimu, jadi menyerah saja, oke??” Ricky ganti mengusap-usap kepala Vano. Padahal jelas-jelas Vano lebih tua beberapa bulan darinya.
“Kau mau mati??” Hanya dengan tatapan tajam Vano saja cukup membungkam mulut ceriwis Ricky.
“Ngomong-ngomong kemana Galang?? Apa dia kabur lagi seperti biasanya??” Ricky mengalihkan pembicaraan namun cemas-cemas mengucapkan pertanyaannya, takut Vano akan terprovokasi. Vano mengendikkan bahunya.
Nino yang masih sibuk dengan gadget-nya sambil makan keripik kentang rasa barbeque menjawab, “Sepertinya tidak, tadi dia buru-buru pergi, lagipula tasnya masih disini,” ucapnya sambil menunjuk tas mereka yang ditaruh sembarangan di bawah pohon.
“Arga juga kenapa lama sekali sihh, nanti dia pasti menghajarku kalau aku menghabiskan makanannya, dasar..” Gerutu Ricky sendirian, “No, coba kau telfon Arga, aku akan telfon Galang..” Nino hanya meresponnya dengan anggukan, lalu melaksanakannya. Karena dia yang termuda, semua titah teman-temannya selalu ia laksanakan. Nino memang pribadi penurut, namun ada kalanya ketika ia terkekang, ia akan berontak.

Selang beberapa saat mereka menghubungi, Galang tiba dengan tersengal-sengal. Eskpresinya ia coba netralkan sebaik mungkin. “Kau darimana??” Tanya Ricky dengan tampang ingin tahunya. Seperti biasa.
“A-aku d-dari-“ Sebelum Galang sempat menjawab, Arga tiba dengan senyumnya yang selalu merekah, dia memang terkenal selalu ceria seperti Ricky. “Maafkan aku lama ya..”
“Hei kunyuk!! Kau pergi ke toilet rumahmu ya?? Atau ke toilet gedung timur?? Atau jangan-jangan kau lupa cara pipis di toilet??” Cerca Ricky. Untungnya kedatangan tiba-tiba Arga membuat Galang tidak perlu menerangkan darimana dia pergi, bertemu siapa, dan melakukan apa.
“Ada masalah dengan perutku, lagipula ini juga kan gara-gara kau menyuruhku banyak makan..”
“Siapa suruh badanmu kurus kering begitu?? Ini makan!!” Ricky menyodorkan sebungkus roti isi. Arga ikut duduk di samping Ricky, menyusul Galang yang sudah duduk lebih dulu. Dia memandangi Galang dari sisi samping wajahnya, ia tertawa dan bergurau bersama seperti biasanya. Bahkan dengan Vano, hubungan mereka benar-benar sudah akrab kembali. Setiap orang memiliki rahasia yang tidak selalu bisa dikatakan.
Mereka berlima menyelesaikan hukuman terakhir sebelum ujian kenaikan kelas. Bisa dikatakan terakhir, karena tidak mungkin kan mereka melakukan kebodohan saat ujian, tapi tak ada yang tak mungkin bagi para pembuat onar ini. Setidaknya hukuman pasti diberikan setelah tahun ajaran baru, atau saat liburan. Tetap datang ke sekolah saat liburan demi menjalankan hukuman, sudah bukan hal asing.
Berjalan serentak ke arah tempat parkir motor, mereka seperti segerombol preman dengan seragam murid sekolah menengah atas. Lelucon demi lelucon yang lucu maupun tidak saling mereka lontarkan. Peringkat paling bisa membuat tawa menggelegar adalah Ricky, Arga, Nino, Galang lalu Vano.
“Teman kecilku akan pindah ke sekolah kita semester depan, tapi ingat jangan ada yang mengusiknya,” Ricky dengan wajah seriusnya sedangkan keempat temannya terkikik geli. Ricky yang mereka kenal tak pernah peduli urusan perempuan.
“Ya.. ya.. cinta pertamamu itu kan?? Kami sudah sering mendengar omong kosongmu itu..” Cibir Vano sambil merangkul bahu Ricky.
“Omong kosong?? Hahh dengar ya kau, ya terutama kau, kau yang paling mudah menyukai gadis diantara kita, jangan coba mengganggunya!!“ Vano tertegun, tapi ucapannya ada benarnya, “lagipula dia bukan cinta pertamaku, aku tidak menyukainya, aku bersahabat dengannya..” Sebenarnya mereka percaya dengan Ricky. Ricky walaupun sering dengan mudahnya bilang suka pada perempuan tapi sesungguhnya dia yang paling sulit jatuh cinta dan terlihat jauh secara hati dari gadis.
“Tenang, tidak mungkin Vano menyukainya, dia kan hanya suka pada satu gadis..” Tiba-tiba semua diam karena ucapan frontal Arga. Stella, jelas gadis itu yang Arga maksud. Mereka semua juga tahu akan hal itu. Namun atmosfer jadi memburuk karena juga ada Galang disana. “Hahahahahha-” Tawa Ricky bergema sambil sesekali memukul lengan Arga, “kau bercanda?? Ahahhaha.. atau kau mau mati?? Hahhahah kau sudah bosan hidup??” Ricky dan Arga memang yang selalu berbuat konyol diantara mereka.
“T-tidak m-maksudku itu karena Vano orang yang setia..” Bela Arga tapi terlihat sandiwaranya. Arga memang tak pandai berbohong. “Kalian benar-benar memuakkan!” Kesal Vano lalu berjalan mendahului mereka.

Nino yang bergidik dengan Vano, berjalan mengekorinya, “Aku setuju, kenapa kita berteman dengan pecundang seperti mereka..” Cibir Nino.
“Hei kunyuk, kami bisa mendengarmu..” Teriak Ricky lalu mengejar pria yang sangat pendiam bahkan jarang sekali mendengar suaranya diantara perbincangan mereka. Dia hanya akan bicara disaat tertentu, untuk melumerkan suasana, atau membela teman-temannya.
“AAAAAAAAAAAAAA…!!!”
Teriakan histeris seorang wanita dari dalam sekolah. Keadaannya mereka sudah berada di area halaman depan yang sudah dekat dengan tempat parkir motor. Kelima siswa itu saling menatap, saling bertanya lewat tatapan sebelum akhirnya bersama berlari ke dalam. “Ada apa ya???” Tanya Ricky sambil mereka sama-sama menelisik dimana sumber suara nyaring yang menempatkan mereka di sana sekarang. Kelimanya tampak resah, terutama Arga, ketakutannya berkaitan dengan Stella, dia gadis terakhir yang ia lihat berkeliaran di sekolah di senja ini. Khawatir terjadi sesuatu yang buruk pada gadis itu.
Mereka menyusuri setiap sudut sekolah. Bodohnya mereka tidak menyebar, mereka bergerombol ke setiap tempat setia mengekori Vano, sungguh pertemanan yang erat. Vano, sebagai pemimpin jalan, orang yang ada di paling depan menghentikan langkahnya karena merasa ada suara aneh di sekitar mereka. Tentu saja empat orang lain mengikutinya.
Matahari sudah terbenam membuat keadaan SMA Nagari gelap, lampu-lampu belum dinyalakan. Sudah pasti mereka menggerutuinya, “Sial, kenapa lampunya tidak dinyalakan!!” Benar kan gerutu Galang yang merupakan putra direktur sekolah terdengar. Ricky merangkul leher Galang, “Inilah gunanya anak direktur menjadi murid di sini, kau harus menceritakan ketidakprofesionalan ini pada Pak Direktur, oke?” Ricky menepuk bahunya, Galang hanya memandangnya sinis.
Sampailah mereka di lorong kelas X dan XI, disanalah biasanya jalan yang sering menemukan kelas X dan XI pada saat jam istirahat. Galang reflek melihat ke atas gedung selatan yang kelihatan cukup jelas dari situ, mengingat kejadian beberapa jam lalu, “Ekh.. ada apa itu???” Nino yang pertama menyadari ada keganjilan di sekitar gedung selatan karena seorang tukang kebun sekolah dan satpam berlari ke bagian belakang gedung itu. Sentak mereka turut berlari kesana, mungkin disana mereka mendapat jawaban.
Sesampainya disana, mereka tercekat, ada dua orang pria paruh baya, yakni yang dilihat berlari kesana oleh Nino barusan, serta seorang wanita terduduk lemas di tanah. Dia yang berteriak histeris tadi, keadaannya tak stabil sepertinya dia hampir tak sadarkan diri, kemudian dibopong oleh tukang kebun. Tak terlalu jelas siapa wanita itu karena keadaan langit yang semakin gelap. Sementara pak satpam menuju ke arah lain, tempat yang dari posisi wanita tadi duduk tepat di depannya.
“Pak ini kenapa?” Tanya Vano langsung saat tukang kebun hampir melewati mereka, ternyata wanita itu adalah istri dari penjaga sekolah SMA Nagari. Wanita itu menggantikan tugas suaminya untuk mengunci setiap ruangan kelas dan akan berkeliling untuk menekan saklar lampu. Jadi ini alasan lampu-lampu masih mati.
“Kalian sedang apa masih di sini??” Tanya bapak itu, wajahnya panik, sementara wanita direngkuhannya mulai membuka matanya. “Gadis itu-“ Lirih wanita yang biasa dipanggil Bu Fatma. Dia menyebutkan seorang gadis, Vano dibuat mengerutkan dahi, “g-gadis i-itu” Ibu itu mulai menangis, Vano dapat merasakan ketakutan tapi juga kesedihan dari ibu ini, dia seperti syok usai melihat sesuatu. Bapak yang membopongnya mencoba menenangkannya, “gadis itu meninggal!” wanita paruh baya itu tercekat, dia kembali tersedu-sedu kemudian tak sadarkan diri.
Sementara Vano berbicara dengan tukang kebun, yang lainnya yang penasaran dengan yang dilihat pak satpam mengikuti mereka. “Pak Yud, ada apa sih??” Tanya Ricky diantara keheningan serta langit gelap gulita karena lampu tak kunjung menyala. Tak ada jawaban. Pak Yudi -nama satpam- menundukkan tubuhnya diantara semak-semak.
Arga yang paling cepat mencapai tempat di dekat Pak Yudi, menyelidik apa yang sedang diperhatikan Pak Yudi. Seketika seluruh penerangan sekolah menyala. Badannya membeku, ia membekap mulutnya sendiri dengan tangannya. Benarkah hal yang ada di depannya sekarang? “Tidak mungkin..” Desisnya. Ricky hadir di sampingnya, “Ada ap-” Tenggorokannya seperti tercekik sama dengan Arga. Tubuh mereka gemetaran, diikuti Nino dan Galang. Vano tiba paling akhir dan segera memastikan keterangan yang dikatakan wanita yang seusia dengan ibunya tadi. “Tidak mungkin, tidak mungkin, ini tidak benar kan???!!!” Vano yang paling terkejut diantara mereka. Air mata bahkan tak terbendung melihat gadis yang ia kasihi meninggal dengan cara seperti ini, Nino memeluknya untuk menenangkannya.
Galang yang daritadi masih diam mematung, mulai menggerakkan kakinya, ia beranjak dari sana. Tak ia sangka perbincangannya senja tadi dengan gadis itu adalah yang pertama sejak dua bulan lalu dan terakhir. Arga melirik sahabatnya yang tiba-tiba pergi disaat memilukan seperti ini. Dia masih tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa gadis dengan sweater merah muda itu menerjunkan dirinya dari ketinggian sekitar 20 meter? Mengapa harus sekarang disaat mereka semua ada disana dan menjadi saksi kejadian mengerikan ini?
“Ketika senja yang indah, ketika matahari mulai digantikan dengan sinar bulan, dia harus mengakhiri hidupnya dan memberikan persoalan baru bagi kami, pertemanan kami, dan sekolah kami. Saat senja aku mendengar semuanya, kenapa aku harus mendengarnya? Aku bahkan tak bisa mengubah apapun setelah mendengar kebenarannya. Aku tak bisa menjaganya lalu membiarkannya pergi dengan cara seperti ini.”
TAMAT