Friday, January 3, 2020

Cerita Dari Pasar Tradisional

Cerita Dari Pasar Tradisional


Saya masih menjadi anak desa, meski dalam realitanya menjadi kaum urban. Saya masih merasa menjadi anak desa, meski tempat tinggal saya dikepung lautan beton yang menjulang tinggi. Saya masih merasa menjadi anak desa, meski terkadang belanja di pasar modern. Saya masih merasa menjadi anak desa, karena Indonesia adalah bagian dari desa saya.

Sore hari (2 Januari 2019), selepas memposting tulisan saya berjudul "Lelaki Tua dan Kebiasaan Anehnya". Senior saya, memposting pada dinding facebook sebuah foto tampak kemacetan yang mengular dari gang depan rumahnya sampai pasar tradisional yang kira-kira jaraknya mencapai 100 meter. Pada foto tersebut tertulis kurang lebih kalimat yang menginformasikan berkah libur tahun baru yang membuat pasar tradisional di desanya padat merayap oleh pengunjung.

Saya sebagai anak desa, tentu sangat senang membaca postingan senior saya itu. Jadi teringat saat saya jalan ke pasar tradisional bersama istri. Mencium aroma pasar yang sangat khas, bau bawang, amis ikan, daging, kol busuk, kencing manusia yang mengering bercampur dengan peluh wangi buah. Melihat para pedagang dan konsumen berdialog dan bertatap muka secara jujur. Saya sangat menyukai tempat dan suasana semacam itu. Sungguh menikmatinya.

Postingan senior saya mendapat banyak like dan komentar. Selain yang ia posting informatif, secara personal dia juga dikenal dikalangan orang-orang desa. Berbicara dengan apa yang dia posting, foto kemacetan itu juga menimbulkan antrian panjang di kolom komentar facebooknya. Mereka kompak membicarakan satu hal. Para pedagang di pasar tradisional itu menjual dagangannya dengan harga (Yang katanya) mahal. Berapa prosentase kenaikannya, saya tidak memiliki informasi pasti. Jika saya ada kesempatan, ingin sekali berkunjung ke pasar tradisional di desa senior saya itu. Semoga saja kesampaian.

Saya bukan orang ekonomi, bukan juga peneliti koperasi dan distribusi produk. Namun pengalaman saya keluar masuk pasar tradisional, kenaikan harga dapat terjadi oleh beberapa faktor. Bisa karena inflasi (Itu sangat jelas), kelangkaan produk dan naiknya BBM.

Tapi jauh sebelum senior saya memposting foto tersebut pada dinding facebooknya. Senior saya pernah bercerita kalau daerahnya lebih maju dibanding dekade sebelumnya. Terbukti dengan banyaknya pabrik tekstil dan sepatu yang masuk ke daerahnya. Hal ini senada dengan banyak terserapnya tenaga kerja di Kabupaten tempat senior saya tinggal. UMK naik, banyak ditemukan gerai elektronik dan makanan yang dulunya sepi, dan kongkritnya jalanan semakin macet berkat semakin mampunya masyarakat membeli sepeda motor.

Jika hukum pemasaran bicara permintaan dan penawaran. Wajar jikalau akan mahal suatu produk jika banyak permintaan. Selain itu, semakin meningkatnya tingkat pendapatan per kapita pada suatu daerah. Dapat dipastikan akan semakin tinggi pengeluaran pada daerah tersebut. Masalahnya, senior saya pernah bercerita jikalau daerahnya sudah banyak pabrik dan itu berpengaruh pada meningkatnya pendapatan di daerah senior saya tinggal.

Ini saya yang salah menangkap informasi, atau masyarakat sekarang se enaknya sendiri dalam menawar dagangan di pasar tradisional. Menganggap rendah dan murahan apa yang pedagang jual. Sehingga mereka kejam dan arogan menawar dengan harga rendah.


Atau jangan-jangan. Pedagang dan kita sebagai konsumen sama arogannya dengan Pemerintah yang menganggap remeh suatu hal berlabel tradisional?

No comments:

Post a Comment