Showing posts with label PIE. Show all posts
Showing posts with label PIE. Show all posts

Tuesday, October 25, 2016

Makalah Pengantar Ilmu Ekonomi

TUGAS PAPER

CINA, INDIA DAN INDONESIA 2030 DALAM KERJA SAMA
“TRIUMVIRAT ASIA”

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Akhir
Mata Kuliah Pengantar Ilmu Ekonomi

Di susun Oleh :

Ibnu Aprilyanto



FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016





BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Abad ke-21 adalah abad milik Asia. Pada tahun 2050 separuh lebih produk nasional bruto dunia bakal dikuasai Asia.China, menggusur Amerika Serikat, akan menjadi pemain terkuat dunia, diikuti India di posisi ketiga. Lalu, apa peran dan di mana posisi Indonesia waktu itu?
China dan India dengan segala ekspansinya, berdasarkan sejumlah parameter saat ini dan prediksi ke depan, sudah jelas adalah pemenang dalam medan pertarungan terbuka dunia di era globalisasi, di mana tidak ada lagi sekat-sekat bukan saja bagi pergerakan informasi, modal, barang, jasa, manusia, tetapi juga ideologi dan nasionalisme negara.
Sedangkan Indonesia tertera dalam indeks 60 negara gagal tahun 2007 (failed state index 2007)ukuran secara umum dalam pengukurun indeks ini antara lain, pemerintah pusat sangat lemah dan tak efektif, pelayanan umum sangat jelek, korupsi dan kriminalitas menyebar, ekonomi rakyat merosot.
Negara paling gagal adalah sudan, irak somalia, afganistan, zimbawe, timor-timor, myanmar, konggo, ethiopia, haiti, uganda dll. Dengan kata lain kita disejajarkan dengan negara-negara tersebut, betapa menyedihkan negara kita saat sekarang ini sedangkan pada tahun 1990-an kita merupakan salah satu calon macan asia.



B.Tujuan pembahasan


1. Mengetahui Penyebab Pesat Nya Peningkatan Ekonomi Cindia (Cina Dan India)
2. Mengetahui Solusi Atau Terobasan Apa Yang Bisa Kita Capai Di Masa Depan
3. Memberikan Gambaran Peluang Yang Bisa Kita Raih Bersama Cina Dan India Nantinya


BAB II

A. LOMPATAN BESAR

Ketika China membuka diri pada dunia dua dekade lalu, orang hanya membayangkan potensi China sebagai pasar raksasa dengan lebih dari semiliar konsumen sehingga sangat menarik bagi perusahaan ritel dan manufaktur dunia. Belakangan, China bukan hanya menarik dan berkembang sebagai pasar, tetapi juga sebagai basis produksi berbagai produk manufaktur untuk memasok pasar global. China awal abad ke-21 ini seperti Inggris abad ke-19 lalu.
China tidak berhenti hanya sampai di sini. Jika pada awal 1990-an hanya dipandang sebagai lokasi menarik untuk basis produksi produk padat karya sederhana, dewasa ini China membuktikan juga kompetitif dalam berbagai industri berteknologi maju. Masuknya China dalam keanggotaan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) semakin melapangkan jalan bagi negeri Tirai Bambu ini untuk menjadi kekuatan yang semakin sulit ditandingi di pasar global.
Di sektor padat karya, seperti tekstil dan pakaian jadi, diakhirinya rezim kuota di negara-negara maju membuat ekspor China membanjiri pasar dunia dan membuat banyak industri tekstil dan pakaian jadi di sejumlah negara berkembang pesaing harus tutup. Pangsa ekspor pakaian dari China diperkirakan akan melonjak dari sekitar 17 persen dari total ekspor dunia saat ini menjadi 45 persen pada paruh kedua dekade ini.
Hal serupa terjadi pada produk-produk berteknologi tinggi. Bagaimana China menginvasi dan membanjiri pasar global dengan produk-produknya, dengan menggusur negara-negara pesaing, bisa dilihat dari data WTO berikut.
Pangsa China di pasar elektronik AS meningkat dari 9,5 persen (tahun 1992) menjadi 21,8 persen (1999). Sementara pada saat yang sama, pangsa Singapura turun dari 21,8 persen menjadi 13,4 persen. Kontribusi China terhadap produksi personal computer dunia naik dari 4 persen (1996) menjadi 21 persen (2000), sementara kontribusi ASEAN secara keseluruhan pada kurun waktu yang sama menciut dari 17 persen menjadi 6 persen.
Pangsa China terhadap total produksi hard disk dunia juga naik dari 1 persen (1996) menjadi 6 persen (2000), sementara pangsa ASEAN turun dari 83 persen menjadi 77 persen. Pangsa China untuk produksi keyboard naik dari 18 persen (1996) menjadi 38 persen (2000), sementara pangsa ASEAN tergerus dari 57 persen menjadi 42 persen.
Semua gambaran itu jelas memperlihatkan China terus naik kelas, membuat lompatan besar dari waktu ke waktu, dan pada saat yang sama terus memperluas diversifikasi produk dan pasarnya. Gerakan sapu bersih China di berbagai macam industri—mulai dari yang berintensitas teknologi sangat sederhana hingga intensitas teknologi dan nilai tambah sangat tinggi—ini semakin mempertegas posisi China sebagai the world’s factory memasuki abad ke-21.
Sementara pada saat yang sama, negara-negara tetangganya justru mengalami hollowing out di industri manufaktur berteknologi tinggi dengan cepat. Di industri berintensitas teknologi rendah yang cenderung padat karya, China menekan negara-negara seperti Vietnam dan Indonesia yang basis industrinya masih sempit, yakni teknologi yang tidak terlalu complicated dan bernilai tambah rendah.
Sementara di industri yang berintensitas teknologi tinggi, China semakin menjadi ancaman tidak saja bagi negara seperti Taiwan dan Korsel, tetapi juga AS dan Jepang. China tidak hanya membanjiri dunia dengan garmen, sepatu, dan mainan, tetapi juga produk-produk komputer, kamera, televisi, dan sebagainya.
China memasok 50 persen lebih produksi kamera dunia, 30 persen penyejuk udara (air conditioners/AC), 30 persen televisi, 25 persen mesin cuci, 20 persen lemari pendingin, dan masih banyak lagi.

B. INOVASI

Bagaimana China bisa melakukan itu semua? Ada beberapa faktor. Pertama, perusahaan-perusahaan teknologi asing, menurut Deloitte Research, sekarang ini berebut masuk untuk investasi di China, antara lain agar bisa memanfaatkan akses ke pasar China yang sangat besar dan bertumbuh dengan cepat. Kedua, perusahaan-perusahaan lokal yang menarik modal dari investor China di luar negeri (terutama Taiwan) juga semakin terampil memproduksi barang-barang berteknologi tinggi.
Tidak statis di industri padat karya yang mengandalkan upah buruh murah, China kini mulai lebih selektif menggiring investasi ke industri yang menghasilkan high end products dan padat modal. Ini antara lain untuk mengurangi ketergantungan pada tenaga kerja murah yang mulai berkurang ketersediaannya.
Ketiga, perguruan-perguruan tinggi di China mampu mencetak barisan insinyur baru dalam jumlah besar setiap tahunnya, dengan upah yang tentu relatif murah dibandingkan jika menyewa insinyur asing. Setiap tahun, negara ini menghasilkan 2 juta-2,5 juta sarjana, dengan 60 persennya dari jurusan teknologi (insinyur). Sebagai perbandingan, di Indonesia lulusan jurusan teknologi hanya 18 persen, AS 25 persen, dan India 50 persen.
Untuk mendukung pertumbuhan industri teknologi tinggi padat modal yang menghasilkan high end products, pemerintahan China juga sangat agresif mendorong berbagai kegiatan penelitian dan pengembangan (R&D), sejalan dengan ambisinya menjadi The Fastest Growing Innovation Centre of the World, dengan tahapan, strategi, dan implementasi yang sangat jelas untuk sampai ke sana.
Hampir di setiap ibu kota provinsi ada R&D centre-nya. Positioning strategy ini mengindikasikan China mulai masuk babak kedua dalam pembangunan ekonominya.
Ketiga, negara ini relatif memiliki infrastruktur yang sangat bagus untuk mengangkut komponen dan barang dari luar dan juga di seluruh penjuru negeri. China, dengan 1,3 miliar penduduk, memiliki 88.775 kilometer jalan arteri dan 100.000 kilometer jalan tol, atau rasio panjang jalan per sejuta penduduk 1.384 kilometer.
Sebagai perbandingan, Indonesia dengan 220 juta penduduk baru memiliki jalan arteri 26.000 kilometer dan jalan tol 620 kilometer (121 kilometer per sejuta penduduk). Itu pun sebagian besar dalam kondisi rusak. Pelabuhan-pelabuhan di China sudah mampu melayani seperlima volume kontainer dunia dan negara ini terus membangun jalan-jalan tol dan pelabuhan-pelabuhan baru.
Keempat, kebijakan pemerintah yang sangat mendukung, termasuk perizinan investasi, perpajakan, dan kepabeanan. Kelima, pembangunan zona-zona ekonomi khusus (20 zona) sebagai mesin pertumbuhan ekonomi sehingga perkembangan ekonomi bisa lebih terfokus dan pembangunan infrastruktur juga lebih efisien.
Hasilnya, tahun 2004 China berhasil menarik investasi langsung asing 60,6 miliar dollar AS dan 500 perusahaan terbesar dunia hampir seluruhnya melakukan investasi di sana. Bagaimana kompetitifnya China bisa dilihat dari hasil yang dicapai tersebut. Dimana China kelihatan sudah memperhitungkan segala aspek untuk bisa bersaing dan merebut abad ke-21 dalam genggamannya.
Hal serupa terjadi pada India yang mengalami pertumbuhan pesat sejak program liberalisasi dengan membongkar ”License raj" pada era Menteri Keuangan Manmohan Singh tahun 1991. India kini sudah masuk tahap kedua strategi pembangunan ekonomi dengan menggunakan teknologi informasi (IT) sebagai basis pembangunan ekonominya.
Hampir seluruh pemain bisnis IT dunia sudah membuka usahanya di India, terutama di Bangalore. Tahun 2006, pendapatan dari IT India mencapai 36 miliar dollar AS. Malaysia, Thailand, dan Filipina juga beranjak ke produk-produk yang memiliki tingkat teknologi lebih kompleks dan bernilai tambah tinggi. Singapura dan Korsel mengarah ke teknologi informasi dan perancangan produk.

C. MENGEJAR LAJU CINDIA
1. Ekonomi
Bangkitnya perekonomian Cina dan India dapat kita golongkan sebagai gelombang kebangkitan negara-negara Asia setelah Jepang dan Korea. Perbedaan fundamental dari lahirnya kedua gelombang tersebut yaitu bangkitnya industri Jepang dan Korea pasca Perang Dunia II ditempuh melalui dorongan ekspor, sedangkan bagi Cina dan India lebih banyak dipengaruhi oleh masuknya investasi asing yang begitu besar. Pola ekspor ke luar negeri merupakan strategi yang sangat penting manakala suatu negara tidak mempunyai pasar domestik yang mencukupi. Oleh karenanya, bagi Cina maupun India yang memiliki pasar domestik terbesar di dunia, mereka mencoba untuk lebih memanfaatkan potensi tersebut sebagai titik pangkal dalam membangun perekonomiannya.
Cindia yang baru saja memulai perjalanan panjangnya kini menyandang gelar sebagai “laboratorium dunia”, dengan Cina sebagai laboratorium manufaktur dan India sebagai laboratorium jasa serta pelayanan IT. Namun demikian, sebagaimana negara-negara industri maju yang telah ada sebelumnya, seiring berjalanannya waktu Cina akan segera mengalihkan kegiatan manufakturnya dengan cara outsourcing kepada negara-negara ekonomi berkembang lainnya di Asia Tenggara, Karibia, Afrika, ataupun Eropa Timur. Salah satu yang sudah terjadi yaitu ketika Haier mulai membangun aplikasinya di Indonesia, Malaysia dan Yugoslavia, serta Shanghai Baosteel yang mulai melakukan operasinya di Brasil. Sementara itu, produk-produk manufaktur tekstil Cina juga telah dialihkan ke negara-negara Afrika.
Begitu pula dengan India, bisnis call center dan outsourcing sebagai jantung dari pelayanan dan jasa IT lambat laun akan mulai beralih ke negara lain karena beberapa alas an utama, yaitu adanya perbedaan jam kerja yang begitu kontras, pelayanan yang kurang prima dari tenaga kerja India, serta adanya keinginan negara maju untuk mengurangi terciptanya ketergantungan terhadap satu negara tertentu. Peluang bisnis dalam bidang ini amatlah menjanjikan. Berdasarkan catatan yang terhimpun, sejak tahun 2003 Amerika Serikat telah memindahkan satu juta white-collar job dengan cara offshore dan Inggris telah memindahkan sebanyak 250.000 industri pelayanannya ke negara-negara lain. Pada tahun 2008, McKinsey Global Institute memperkirakan bahwa Amerika direncanakan akan kembali memindahkan sekitar 2,3 juta pekerjaan pelayanan industri ke berbagai negara dan Inggris akan melakukan offshoring sebanyak 650.000 pekerjaan ke berbagai negara.
Melihat situasi seperti tersebut di atas, Indonesia bisa pula memanfaatkan kesempatan ini untuk mengangkat roda perekonomian nasional sekaligus membangun kerjasama profesional dengan negara-negara maju dunia. Terlebih lagi, Cina, India dan ASEAN telah dan terus bekerjasama untuk meingkatkan infrastruktur dasar ekonomi Asia, serta berencana untuk menciptakan integrasi ekonomi dan mata uang layaknya Uni Eropa, sebagaimana pernah diutarakan oleh Manmohan Singh dalam Asian Summit 2005 di Kuala Lumpur dengan menggagas Pan-Asian Economic Community.
Cindia menyadari bahwa pola pekerjaan yang dilakukannya saat ini tidaklah akan berlangsung selamanya. Oleh karenanya, mereka kini akan menghadapi tantangan berikutnya, yaitu dengan menjadi mesin pencetak para ilmuwan, ahli, dan pakar di berbagai bidang.
Indonesia dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia dan jumlah tenaga kerja tebesar kedua di masa yang akan datang, harus mampu mengambil alih posisi mereka sebagai awal mula partisipasi persaingan global sekaligus membuka lapangan kerja sementara waktu bagi jutaan anak bangsa.
2. Pendidikan
Dengan semakin meningkatnya kuantitas dan kualitas lulusan yang dimiliki oleh Cina dan India, kini pengembangan ilmu dan teknologi tingkat tinggi tidak lagi dimonopoli oleh negara-negara tertentu saja. Di tahun 2006, Cina memproduksi lulusan universitas sebanyak 4,1 juta orang dengan 800.000 lulusan diantaranya berasal dari bidang ilmu alam dan teknologi. Sedangkan India menghasilkan lulusan sekitar 2,7 juta orang, dimana sekitar 500.000 diantaranya merupakan lulusan dengn kualitas yang siap dipekerjakan oleh perusahaan-perusahaan besar dari Amerika dan Inggris.
Pada masa yang lalu, banyak para elit Cindia di bidang pendidikan memilih untuk melanjutkan studi atau berkarir di Amerika, Inggris ataupun negara-negara lainnya guna memperoleh penghasilan yang lebih menjanjikan. Namun dengan seiring membaiknya perekonomian dan iklim usaha di dalam negeri, kini mereka secara hampir bersamaan kembali hijrah ke negaranya masing-masing. Sebagi contoh, terdapat lebih dari 40.000 warga negara India yang kembali dan mulai bekerja di kota Bangalore selama beberapa tahun terakhir ini.
Tentunya kondisi-kondisi di atas terjadi setelah kedua negara berhasil menciptakan atmosfer pendidikan yang sangat baik, mulai dari tingkat pendidikan dasar hingga tingkat pendidikan tinggi. Pada tingkat pendidikan dasar, diundangkannya UU tentang Wajib Belajaroleh pemerintah Cina di tahun 1986 dengan target seluruh anak yang berumur enam tahun diwajibkan untuk memperoleh pendidikan dasar sembilan tahun, telah membawa perubahan meningkatnya persentase melek huruf dari sebesar 66 persen di tahun 1950-an menjadi 80 persen di tahun 1990-an.
Untuk memacu hasil riset dan teknologi yang menunjang terciptanya kemakmuran suatu bangsa, UNDP telah mensyaratkan angka minimal 1% dari GDP masing-masing negara. Oleh karenanya, baik Cina maupun India hampir setiap tahunnya selalu berusaha menaikkan anggaran di bidang Research and Development (R&D). Di akhir tahun 1990-an, Cina hanya mengalokasikan anggaran R&D kurang dari 1% dari total GDP, namun saat ini anggaran telah meningkat menjadi 1,5% dan direncanakan akan terus meningkat hingga mencapai angka 2,5% di tahun 2020. Inovasi ilmu pengetahuan yang telah diciptakan oleh Cina telah turut mendongkrak terjadi permohonan aplikasi paten sebesar lebih dari 130.000 di tahun 2004. Menurut laporan Paris-based Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), Cina menghabiskan lebih dari US$ 136 miliar khusus untuk R&D di tahun 2006, melewati anggaran yang dialokasikan oleh Jepang sebesar US$ 130 miliar
Saat ini, kebanyakan dari perusahaan multinasional besar telah mempunyai pusat R&D secara khusus dan tersendiri di kota-kota Cina dan India, sehingga locus pengembangan teknologi secara otomatis juga berpindah ke dalam dua negara tersebut. Menilik keberhasilan India di bidang ITC, tentunya tidak dapat pula dipisahkan dari peran human capital yang ditelurkan dari tujuh institut elit di bidang ilmu alam dan teknik yang dikenal dengan Indian Institute of Technology (IITs). Keterlibatan yang tidak kalah pentingnya yaitu berasal dari organisasi-organisasi profesi diaspora India, seperti halnya Silicon Valley
Indian Professionals Association (SIPA) yang telah menjadi organisasi dunia dalam menjembatani pernyediaan informasi dan kontak bagi perusahan-perusahaan besar yang ingin melakukan outsourcing terhadap para ahli IT asal India.
Melihat persaingan global yang begitu ketat, Indonesia mau tidak mau harus segera memberikan perhatian yang lebih serius pada dunia pendidikan. Setiap kebijakan nasional harus pula bermuara pada dorongan terhadap peningkatan mutu, kualitas, anggaran pendidikan dan riset, serta penuntasan program buta huruf dan wajib belajar sembilan tahun. Investasi di bidang pendidikan merupakan suatu hal yang tidak dapat ditawar-tawar lagi.
Selain terus memacu peningkatan anggaran di bidang Research and Development (R&D), setidaknya terdapat empat hal yang patut dipertimbangkan dengan melihat kebijakan umum pemerintah India terhadap dunia pendidikannya:
1. Pendidikan yang murah, terjangkau dan berkualitas disediakan bagi seluruh anak bangsa, baik dari tingkat sekolah dasar hingga tingkatan Universitas;
2. Kebijakan harga dasar kertas dan buku-buku, khususnya buku pelajaran dikontrol secara ketat oleh National Book Trust of India (NBT) agar selalu sesuai dengan kemampuan daya beli masyarakat, khususnya bagi kalangan terpelajar dan akademisi;
3. Perhatian khusus pemerintah melalui University Grant Commission (UGC) untuk memberikan beasiswa sebesar satu hingga dua bulan gaji rata-rata di India kepada setiap mahasiswa S-3 yang terdaftar. Hal ini maksudkan untuk memacu para calon mahasiswa S-3 lainnya dan penelitian yang dikerjakan benar-benar terfokus;
4. Kesejahteraan dan fasilitas yang memadai disedikan bagi para tenaga pendidik sehingga mereka dapat berkonsentrasi penuh untuk mengajar tanpa harus melakukan aktivitas lain guna menambah pendapatannya yang dirasakan kurang layak.

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kebangkitan Cindia haruslah disikapi secara bijak oleh kita semua, karena dampaknya terhadap Indonesia bisa saja merugikan namun bisa pula justru menguntungkan. Dengan adanya keterbatasan tempat, tulisan singkat ini tentu saja belum sampai pada uraian terperinci mengenai keunggulan dan kekurangan dari kedua negara tersebut. Pun tulisan ini juga bukan bermaksud untuk membandingkan konsep manakah yang terbaik dari kedua negara tersebut untuk dapat diterapkan di Indonesia. Hanya berbagai kelebihan dan energi positifnya sajalah yang harus kita ambil, untuk kemudian kita gunakan dalam membangun bangsa Indonesia dengan pola dan karakter kita sendiri.
Kurangnya perhatian terhadap dunia pendidikan, khususnya pendidikan bagi anak dan perempuan, diyakini sebagai salah satu alasan utama mengapa bangsa Indonesia sangat sulit untuk keluar dari keterpurukannya. Untuk itu, sementara struktur pendidikan nasional terus dibenahi guna membangun infrastruktur dasar para intelektual, brain-power secara cepat dapat diperoleh dengan melakukan technology transfer. Selain dapat menjadi saluran yang tepat agar terciptanya transfer teknologi, pola pengembangan Special Economic Zones (SEZs) juga dapat menciptakan lapangan pekerjaan di bidang manufaktur, pelayanan jasa, serta modernisasi di bidang pertanian. Untuk itu, jiwa kewirausahaan dan bisnis harus pula mulai ditumbuhkembangkan sejak dini di setiap sanubari anak negeri.
Dengan nilai indeks yang lebih baik dari Cina di ranah demokrasi sipil dan politik, serta infrastruktur pembangunan fisik yang lebih mumpuni dibandingkan dengan India, Indonesia sudah selayaknya masuk dalam jajaran pemain kelas atas di Asia. The new Chindian dapat menjadi jembatan emas untuk meraih cita-cita tersebut, sebab agresifitas mereka memiliki karakter yang berbeda dengan negara-negara superpower lainnya. Esensi kerjasama dengan Cindia berangkat bukan dari nilai “power politics” tetapi “economy partnership”, bukan pula melalui pola “exploitation” melainkan dengan “cooperation”.
Persaingan yang terjadi antara Cina dan India dapat pula kita ibaratkan sebagai dongeng tentang perlombaan sang kura-kura. India seringkali disematkan dengan simbol gajah dalam pembangunannya. Ia tidak mempunyai kecepatan tinggi, tetapi akan selalu mempunyai stamina yang konstan dan akhirnya akan memenangkan perlombaan. Dengan gaya otoritariannya, Cina tentu akan sangat mudah memenangkan pertandingan lari cepat, namun India sebagai negara demokrasi akan tampil sebagai pemenang dalam pertandingan marathon.
Cina, India, dan Indonesia (Cindonesia) yang diikat dalam satu regional benua yang sama dan menjadi tempat hunian dari hampir separuh umat manusia di muka bumi, sudah seyogyanya saling bekerjasama dan belajar satu sama lainnya. Dengan memberikan perhatian lebih khusus terhadap Cindia seraya memperkuat hubungan kerjasama dengan keduanya, mulai dari sektor perdagangan, ilmu pengetahuan, kebudayaan, hingga militer, Indonesia diprediksi akan menjelma menjadi “Macan” Asia berikutnya untuk kemudian bergabung menjadi pemain utama dunia bersama dengan Cina dan India membentuk kekuatan baru, “Triumvirat Asia”.


DAFTAR PUSTAKA
Faiz, Pan Mohamad, Brain Drain dan Sumber Daya Manusia Indonesia: Studi Analisa terhadap Reversed Brain Drain di India, disampaikan pada International
Conference for Indonesian Students di Sydney, Australia, September 2007.
Nasution, amran, surat untuk presiden, jakarta, tani merdeka edisi april 2008.
Faiz, Pan Mohamad, “Menanti Political Will Pemerintah di Sektor Pendidikan”, Jurnal Visi No.1 Vol. VIII, 2006.
Faiz, Pan Mohamad, “Meneropong Visi Bangsa: Analisa Kritis Visi Indonesia 2030 vis-a-vis Visi India 2020”, Jurnal Visi, No. 1 Vol IX, 2007.