TUGAS
PAPER
CINA, INDIA DAN INDONESIA 2030 DALAM KERJA SAMA
“TRIUMVIRAT ASIA”
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas
Akhir
Mata Kuliah Pengantar Ilmu
Ekonomi
Di susun
Oleh :
Ibnu
Aprilyanto
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU
KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Abad
ke-21 adalah abad milik Asia. Pada tahun 2050 separuh lebih produk nasional
bruto dunia bakal dikuasai Asia.China, menggusur Amerika Serikat, akan menjadi
pemain terkuat dunia, diikuti India di posisi ketiga. Lalu, apa peran dan di
mana posisi Indonesia waktu itu?
China dan India dengan segala ekspansinya,
berdasarkan sejumlah parameter saat ini dan prediksi ke depan, sudah jelas
adalah pemenang dalam medan pertarungan terbuka dunia di era globalisasi, di
mana tidak ada lagi sekat-sekat bukan saja bagi pergerakan informasi, modal,
barang, jasa, manusia, tetapi juga ideologi dan nasionalisme negara.
Sedangkan Indonesia tertera
dalam indeks 60 negara gagal tahun 2007 (failed state index 2007)ukuran secara
umum dalam pengukurun indeks ini antara lain, pemerintah pusat sangat lemah dan
tak efektif, pelayanan umum sangat jelek, korupsi dan kriminalitas menyebar,
ekonomi rakyat merosot.
Negara paling gagal adalah
sudan, irak somalia, afganistan, zimbawe, timor-timor, myanmar, konggo,
ethiopia, haiti, uganda dll. Dengan kata lain kita disejajarkan dengan
negara-negara tersebut, betapa menyedihkan negara kita saat sekarang ini
sedangkan pada tahun 1990-an kita merupakan salah satu calon macan asia.
B.Tujuan pembahasan
1. Mengetahui Penyebab
Pesat Nya Peningkatan Ekonomi Cindia (Cina Dan India)
2. Mengetahui Solusi Atau
Terobasan Apa Yang Bisa Kita Capai Di Masa Depan
3. Memberikan Gambaran
Peluang Yang Bisa Kita Raih Bersama Cina Dan India Nantinya
BAB II
A. LOMPATAN BESAR
A. LOMPATAN BESAR
Ketika China membuka diri pada
dunia dua dekade lalu, orang hanya membayangkan potensi China sebagai pasar
raksasa dengan lebih dari semiliar konsumen sehingga sangat menarik bagi
perusahaan ritel dan manufaktur dunia. Belakangan, China bukan hanya menarik
dan berkembang sebagai pasar, tetapi juga sebagai basis produksi berbagai
produk manufaktur untuk memasok pasar global. China awal abad ke-21 ini seperti
Inggris abad ke-19 lalu.
China tidak berhenti hanya
sampai di sini. Jika pada awal 1990-an hanya dipandang sebagai lokasi menarik
untuk basis produksi produk padat karya sederhana, dewasa ini China membuktikan
juga kompetitif dalam berbagai industri berteknologi maju. Masuknya China dalam
keanggotaan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) semakin melapangkan jalan bagi
negeri Tirai Bambu ini untuk menjadi kekuatan yang semakin sulit ditandingi di
pasar global.
Di sektor padat karya, seperti
tekstil dan pakaian jadi, diakhirinya rezim kuota di negara-negara maju membuat
ekspor China membanjiri pasar dunia dan membuat banyak industri tekstil dan
pakaian jadi di sejumlah negara berkembang pesaing harus tutup. Pangsa ekspor
pakaian dari China diperkirakan akan melonjak dari sekitar 17 persen dari total
ekspor dunia saat ini menjadi 45 persen pada paruh kedua dekade ini.
Hal serupa terjadi pada
produk-produk berteknologi tinggi. Bagaimana China menginvasi dan membanjiri
pasar global dengan produk-produknya, dengan menggusur negara-negara pesaing,
bisa dilihat dari data WTO berikut.
Pangsa China di pasar
elektronik AS meningkat dari 9,5 persen (tahun 1992) menjadi 21,8 persen (1999).
Sementara pada saat yang sama, pangsa Singapura turun dari 21,8 persen menjadi
13,4 persen. Kontribusi China terhadap produksi personal computer dunia naik
dari 4 persen (1996) menjadi 21 persen (2000), sementara kontribusi ASEAN
secara keseluruhan pada kurun waktu yang sama menciut dari 17 persen menjadi 6
persen.
Pangsa China terhadap total
produksi hard disk dunia juga naik dari 1 persen (1996) menjadi 6 persen
(2000), sementara pangsa ASEAN turun dari 83 persen menjadi 77 persen. Pangsa
China untuk produksi keyboard naik dari 18 persen (1996) menjadi 38 persen
(2000), sementara pangsa ASEAN tergerus dari 57 persen menjadi 42 persen.
Semua gambaran itu jelas
memperlihatkan China terus naik kelas, membuat lompatan besar dari waktu ke
waktu, dan pada saat yang sama terus memperluas diversifikasi produk dan
pasarnya. Gerakan sapu bersih China di berbagai macam industri—mulai dari yang
berintensitas teknologi sangat sederhana hingga intensitas teknologi dan nilai
tambah sangat tinggi—ini semakin mempertegas posisi China sebagai the world’s
factory memasuki abad ke-21.
Sementara pada saat yang sama,
negara-negara tetangganya justru mengalami hollowing out di industri manufaktur
berteknologi tinggi dengan cepat. Di industri berintensitas teknologi rendah yang
cenderung padat karya, China menekan negara-negara seperti Vietnam dan
Indonesia yang basis industrinya masih sempit, yakni teknologi yang tidak
terlalu complicated dan bernilai tambah rendah.
Sementara di industri yang
berintensitas teknologi tinggi, China semakin menjadi ancaman tidak saja bagi
negara seperti Taiwan dan Korsel, tetapi juga AS dan Jepang. China tidak hanya
membanjiri dunia dengan garmen, sepatu, dan mainan, tetapi juga produk-produk
komputer, kamera, televisi, dan sebagainya.
China memasok
50 persen lebih produksi kamera dunia, 30 persen penyejuk udara (air
conditioners/AC), 30 persen televisi, 25 persen mesin cuci, 20 persen lemari
pendingin, dan masih banyak lagi.
B. INOVASI
Bagaimana China bisa melakukan
itu semua? Ada beberapa faktor. Pertama, perusahaan-perusahaan
teknologi asing, menurut Deloitte Research, sekarang ini berebut masuk untuk
investasi di China, antara lain agar bisa memanfaatkan akses ke pasar China
yang sangat besar dan bertumbuh dengan cepat. Kedua, perusahaan-perusahaan
lokal yang menarik modal dari investor China di luar negeri (terutama Taiwan)
juga semakin terampil memproduksi barang-barang berteknologi tinggi.
Tidak statis di industri padat
karya yang mengandalkan upah buruh murah, China kini mulai lebih selektif
menggiring investasi ke industri yang menghasilkan high end products dan padat
modal. Ini antara lain untuk mengurangi ketergantungan pada tenaga kerja murah
yang mulai berkurang ketersediaannya.
Ketiga, perguruan-perguruan
tinggi di China mampu mencetak barisan insinyur baru dalam jumlah besar setiap
tahunnya, dengan upah yang tentu relatif murah dibandingkan jika menyewa
insinyur asing. Setiap tahun, negara ini menghasilkan 2 juta-2,5 juta sarjana,
dengan 60 persennya dari jurusan teknologi (insinyur). Sebagai perbandingan, di
Indonesia lulusan jurusan teknologi hanya 18 persen, AS 25 persen, dan India 50
persen.
Untuk mendukung pertumbuhan
industri teknologi tinggi padat modal yang menghasilkan high end products,
pemerintahan China juga sangat agresif mendorong berbagai kegiatan penelitian
dan pengembangan (R&D), sejalan dengan ambisinya menjadi The Fastest
Growing Innovation Centre of the World, dengan tahapan, strategi, dan
implementasi yang sangat jelas untuk sampai ke sana.
Hampir di setiap ibu kota
provinsi ada R&D centre-nya. Positioning strategy ini mengindikasikan China
mulai masuk babak kedua dalam pembangunan ekonominya.
Ketiga, negara ini relatif
memiliki infrastruktur yang sangat bagus untuk mengangkut komponen dan barang
dari luar dan juga di seluruh penjuru negeri. China, dengan 1,3 miliar
penduduk, memiliki 88.775 kilometer jalan arteri dan 100.000 kilometer jalan
tol, atau rasio panjang jalan per sejuta penduduk 1.384 kilometer.
Sebagai perbandingan,
Indonesia dengan 220 juta penduduk baru memiliki jalan arteri 26.000 kilometer
dan jalan tol 620 kilometer (121 kilometer per sejuta penduduk). Itu pun
sebagian besar dalam kondisi rusak. Pelabuhan-pelabuhan di China sudah mampu
melayani seperlima volume kontainer dunia dan negara ini terus membangun
jalan-jalan tol dan pelabuhan-pelabuhan baru.
Keempat, kebijakan pemerintah
yang sangat mendukung, termasuk perizinan investasi, perpajakan, dan
kepabeanan. Kelima, pembangunan zona-zona ekonomi khusus (20 zona) sebagai
mesin pertumbuhan ekonomi sehingga perkembangan ekonomi bisa lebih terfokus dan
pembangunan infrastruktur juga lebih efisien.
Hasilnya, tahun 2004 China
berhasil menarik investasi langsung asing 60,6 miliar dollar AS dan 500
perusahaan terbesar dunia hampir seluruhnya melakukan investasi di sana.
Bagaimana kompetitifnya China bisa dilihat dari hasil yang dicapai tersebut.
Dimana China kelihatan sudah memperhitungkan segala aspek untuk bisa bersaing
dan merebut abad ke-21 dalam genggamannya.
Hal serupa terjadi pada India
yang mengalami pertumbuhan pesat sejak program liberalisasi dengan membongkar
”License raj" pada era Menteri Keuangan Manmohan Singh tahun 1991. India
kini sudah masuk tahap kedua strategi pembangunan ekonomi dengan menggunakan
teknologi informasi (IT) sebagai basis pembangunan ekonominya.
Hampir seluruh pemain bisnis
IT dunia sudah membuka usahanya di India, terutama di Bangalore. Tahun 2006,
pendapatan dari IT India mencapai 36 miliar dollar AS. Malaysia, Thailand, dan
Filipina juga beranjak ke produk-produk yang memiliki tingkat teknologi lebih
kompleks dan bernilai tambah tinggi. Singapura dan Korsel mengarah ke teknologi
informasi dan perancangan produk.
C. MENGEJAR LAJU CINDIA
1. Ekonomi
Bangkitnya perekonomian Cina
dan India dapat kita golongkan sebagai gelombang kebangkitan negara-negara Asia
setelah Jepang dan Korea. Perbedaan fundamental dari lahirnya kedua gelombang
tersebut yaitu bangkitnya industri Jepang dan Korea pasca Perang Dunia II
ditempuh melalui dorongan ekspor, sedangkan bagi Cina dan India lebih banyak
dipengaruhi oleh masuknya investasi asing yang begitu besar. Pola ekspor ke
luar negeri merupakan strategi yang sangat penting manakala suatu negara tidak
mempunyai pasar domestik yang mencukupi. Oleh karenanya, bagi Cina maupun India
yang memiliki pasar domestik terbesar di dunia, mereka mencoba untuk lebih
memanfaatkan potensi tersebut sebagai titik pangkal dalam membangun
perekonomiannya.
Cindia yang baru saja memulai
perjalanan panjangnya kini menyandang gelar sebagai “laboratorium dunia”, dengan
Cina sebagai laboratorium manufaktur dan India sebagai laboratorium jasa serta
pelayanan IT. Namun demikian, sebagaimana negara-negara industri maju yang
telah ada sebelumnya, seiring berjalanannya waktu Cina akan segera mengalihkan
kegiatan manufakturnya dengan cara outsourcing kepada negara-negara ekonomi
berkembang lainnya di Asia Tenggara, Karibia, Afrika, ataupun Eropa Timur.
Salah satu yang sudah terjadi yaitu ketika Haier mulai membangun aplikasinya di
Indonesia, Malaysia dan Yugoslavia, serta Shanghai Baosteel yang mulai
melakukan operasinya di Brasil. Sementara itu, produk-produk manufaktur tekstil
Cina juga telah dialihkan ke negara-negara Afrika.
Begitu pula dengan India,
bisnis call center dan outsourcing sebagai jantung dari pelayanan dan jasa IT
lambat laun akan mulai beralih ke negara lain karena beberapa alas an utama,
yaitu adanya perbedaan jam kerja yang begitu kontras, pelayanan yang kurang
prima dari tenaga kerja India, serta adanya keinginan negara maju untuk
mengurangi terciptanya ketergantungan terhadap satu negara tertentu. Peluang
bisnis dalam bidang ini amatlah menjanjikan. Berdasarkan catatan yang
terhimpun, sejak tahun 2003 Amerika Serikat telah memindahkan satu juta
white-collar job dengan cara offshore dan Inggris telah memindahkan sebanyak
250.000 industri pelayanannya ke negara-negara lain. Pada tahun 2008, McKinsey
Global Institute memperkirakan bahwa Amerika direncanakan akan kembali
memindahkan sekitar 2,3 juta pekerjaan pelayanan industri ke berbagai negara
dan Inggris akan melakukan offshoring sebanyak 650.000 pekerjaan ke berbagai
negara.
Melihat situasi seperti
tersebut di atas, Indonesia bisa pula memanfaatkan kesempatan ini untuk
mengangkat roda perekonomian nasional sekaligus membangun kerjasama profesional
dengan negara-negara maju dunia. Terlebih lagi, Cina, India dan ASEAN telah dan
terus bekerjasama untuk meingkatkan infrastruktur dasar ekonomi Asia, serta
berencana untuk menciptakan integrasi ekonomi dan mata uang layaknya Uni Eropa,
sebagaimana pernah diutarakan oleh Manmohan Singh dalam Asian Summit 2005 di
Kuala Lumpur dengan menggagas Pan-Asian Economic Community.
Cindia menyadari bahwa pola
pekerjaan yang dilakukannya saat ini tidaklah akan berlangsung selamanya. Oleh
karenanya, mereka kini akan menghadapi tantangan berikutnya, yaitu dengan
menjadi mesin pencetak para ilmuwan, ahli, dan pakar di berbagai bidang.
Indonesia dengan jumlah
penduduk terbesar keempat di dunia dan jumlah tenaga kerja tebesar kedua di
masa yang akan datang, harus mampu mengambil alih posisi mereka sebagai awal
mula partisipasi persaingan global sekaligus membuka lapangan kerja sementara
waktu bagi jutaan anak bangsa.
2. Pendidikan
Dengan semakin meningkatnya
kuantitas dan kualitas lulusan yang dimiliki oleh Cina dan India, kini
pengembangan ilmu dan teknologi tingkat tinggi tidak lagi dimonopoli oleh
negara-negara tertentu saja. Di tahun 2006, Cina memproduksi lulusan
universitas sebanyak 4,1 juta orang dengan 800.000 lulusan diantaranya berasal
dari bidang ilmu alam dan teknologi. Sedangkan India menghasilkan lulusan
sekitar 2,7 juta orang, dimana sekitar 500.000 diantaranya merupakan lulusan
dengn kualitas yang siap dipekerjakan oleh perusahaan-perusahaan besar dari
Amerika dan Inggris.
Pada masa yang lalu, banyak
para elit Cindia di bidang pendidikan memilih untuk melanjutkan studi atau
berkarir di Amerika, Inggris ataupun negara-negara lainnya guna memperoleh
penghasilan yang lebih menjanjikan. Namun dengan seiring membaiknya
perekonomian dan iklim usaha di dalam negeri, kini mereka secara hampir
bersamaan kembali hijrah ke negaranya masing-masing. Sebagi contoh, terdapat
lebih dari 40.000 warga negara India yang kembali dan mulai bekerja di kota
Bangalore selama beberapa tahun terakhir ini.
Tentunya kondisi-kondisi di
atas terjadi setelah kedua negara berhasil menciptakan atmosfer pendidikan yang
sangat baik, mulai dari tingkat pendidikan dasar hingga tingkat pendidikan
tinggi. Pada tingkat pendidikan dasar, diundangkannya UU tentang Wajib Belajaroleh
pemerintah Cina di tahun 1986 dengan target seluruh anak yang berumur enam
tahun diwajibkan untuk memperoleh pendidikan dasar sembilan tahun, telah
membawa perubahan meningkatnya persentase melek huruf dari sebesar 66 persen di
tahun 1950-an menjadi 80 persen di tahun 1990-an.
Untuk memacu hasil riset dan
teknologi yang menunjang terciptanya kemakmuran suatu bangsa, UNDP telah
mensyaratkan angka minimal 1% dari GDP masing-masing negara. Oleh karenanya,
baik Cina maupun India hampir setiap tahunnya selalu berusaha menaikkan
anggaran di bidang Research and Development (R&D). Di akhir tahun 1990-an,
Cina hanya mengalokasikan anggaran R&D kurang dari 1% dari total GDP, namun
saat ini anggaran telah meningkat menjadi 1,5% dan direncanakan akan terus
meningkat hingga mencapai angka 2,5% di tahun 2020. Inovasi ilmu pengetahuan
yang telah diciptakan oleh Cina telah turut mendongkrak terjadi permohonan
aplikasi paten sebesar lebih dari 130.000 di tahun 2004. Menurut laporan
Paris-based Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), Cina
menghabiskan lebih dari US$ 136 miliar khusus untuk R&D di tahun 2006,
melewati anggaran yang dialokasikan oleh Jepang sebesar US$ 130 miliar
Saat ini, kebanyakan dari
perusahaan multinasional besar telah mempunyai pusat R&D secara khusus dan
tersendiri di kota-kota Cina dan India, sehingga locus pengembangan teknologi
secara otomatis juga berpindah ke dalam dua negara tersebut. Menilik
keberhasilan India di bidang ITC, tentunya tidak dapat pula dipisahkan dari peran
human capital yang ditelurkan dari tujuh institut elit di bidang ilmu alam dan
teknik yang dikenal dengan Indian Institute of Technology (IITs). Keterlibatan
yang tidak kalah pentingnya yaitu berasal dari organisasi-organisasi profesi
diaspora India, seperti halnya Silicon Valley
Indian Professionals
Association (SIPA) yang telah menjadi organisasi dunia dalam menjembatani
pernyediaan informasi dan kontak bagi perusahan-perusahaan besar yang ingin
melakukan outsourcing terhadap para ahli IT asal India.
Melihat persaingan global yang
begitu ketat, Indonesia mau tidak mau harus segera memberikan perhatian yang
lebih serius pada dunia pendidikan. Setiap kebijakan nasional harus pula
bermuara pada dorongan terhadap peningkatan mutu, kualitas, anggaran pendidikan
dan riset, serta penuntasan program buta huruf dan wajib belajar sembilan
tahun. Investasi di bidang pendidikan merupakan suatu hal yang tidak dapat
ditawar-tawar lagi.
Selain terus memacu
peningkatan anggaran di bidang Research and Development (R&D), setidaknya
terdapat empat hal yang patut dipertimbangkan dengan melihat kebijakan umum
pemerintah India terhadap dunia pendidikannya:
1. Pendidikan yang
murah, terjangkau dan berkualitas disediakan bagi seluruh anak bangsa, baik
dari tingkat sekolah dasar hingga tingkatan Universitas;
2. Kebijakan harga
dasar kertas dan buku-buku, khususnya buku pelajaran dikontrol secara ketat
oleh National Book Trust of India (NBT) agar selalu sesuai dengan kemampuan
daya beli masyarakat, khususnya bagi kalangan terpelajar dan akademisi;
3. Perhatian khusus
pemerintah melalui University Grant Commission (UGC) untuk memberikan beasiswa
sebesar satu hingga dua bulan gaji rata-rata di India kepada setiap mahasiswa
S-3 yang terdaftar. Hal ini maksudkan untuk memacu para calon mahasiswa S-3
lainnya dan penelitian yang dikerjakan benar-benar terfokus;
4. Kesejahteraan dan
fasilitas yang memadai disedikan bagi para tenaga pendidik sehingga mereka
dapat berkonsentrasi penuh untuk mengajar tanpa harus melakukan aktivitas lain
guna menambah pendapatannya yang dirasakan kurang layak.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kebangkitan Cindia haruslah
disikapi secara bijak oleh kita semua, karena dampaknya terhadap Indonesia bisa
saja merugikan namun bisa pula justru menguntungkan. Dengan adanya keterbatasan
tempat, tulisan singkat ini tentu saja belum sampai pada uraian terperinci
mengenai keunggulan dan kekurangan dari kedua negara tersebut. Pun tulisan ini
juga bukan bermaksud untuk membandingkan konsep manakah yang terbaik dari kedua
negara tersebut untuk dapat diterapkan di Indonesia. Hanya berbagai kelebihan
dan energi positifnya sajalah yang harus kita ambil, untuk kemudian kita
gunakan dalam membangun bangsa Indonesia dengan pola dan karakter kita sendiri.
Kurangnya perhatian terhadap
dunia pendidikan, khususnya pendidikan bagi anak dan perempuan, diyakini
sebagai salah satu alasan utama mengapa bangsa Indonesia sangat sulit untuk
keluar dari keterpurukannya. Untuk itu, sementara struktur pendidikan nasional
terus dibenahi guna membangun infrastruktur dasar para intelektual, brain-power
secara cepat dapat diperoleh dengan melakukan technology transfer. Selain dapat
menjadi saluran yang tepat agar terciptanya transfer teknologi, pola
pengembangan Special Economic Zones (SEZs) juga dapat menciptakan lapangan
pekerjaan di bidang manufaktur, pelayanan jasa, serta modernisasi di bidang
pertanian. Untuk itu, jiwa kewirausahaan dan bisnis harus pula mulai
ditumbuhkembangkan sejak dini di setiap sanubari anak negeri.
Dengan nilai indeks yang lebih
baik dari Cina di ranah demokrasi sipil dan politik, serta infrastruktur
pembangunan fisik yang lebih mumpuni dibandingkan dengan India, Indonesia sudah
selayaknya masuk dalam jajaran pemain kelas atas di Asia. The new Chindian dapat
menjadi jembatan emas untuk meraih cita-cita tersebut, sebab agresifitas mereka
memiliki karakter yang berbeda dengan negara-negara superpower lainnya. Esensi
kerjasama dengan Cindia berangkat bukan dari nilai “power politics” tetapi
“economy partnership”, bukan pula melalui pola “exploitation” melainkan dengan
“cooperation”.
Persaingan yang terjadi antara
Cina dan India dapat pula kita ibaratkan sebagai dongeng tentang perlombaan
sang kura-kura. India seringkali disematkan dengan simbol gajah dalam pembangunannya.
Ia tidak mempunyai kecepatan tinggi, tetapi akan selalu mempunyai stamina yang
konstan dan akhirnya akan memenangkan perlombaan. Dengan gaya otoritariannya,
Cina tentu akan sangat mudah memenangkan pertandingan lari cepat, namun India
sebagai negara demokrasi akan tampil sebagai pemenang dalam pertandingan
marathon.
Cina, India, dan Indonesia
(Cindonesia) yang diikat dalam satu regional benua yang sama dan menjadi tempat
hunian dari hampir separuh umat manusia di muka bumi, sudah seyogyanya saling
bekerjasama dan belajar satu sama lainnya. Dengan memberikan perhatian lebih
khusus terhadap Cindia seraya memperkuat hubungan kerjasama dengan keduanya,
mulai dari sektor perdagangan, ilmu pengetahuan, kebudayaan, hingga militer,
Indonesia diprediksi akan menjelma menjadi “Macan” Asia berikutnya untuk
kemudian bergabung menjadi pemain utama dunia bersama dengan Cina dan India
membentuk kekuatan baru, “Triumvirat Asia”.
DAFTAR
PUSTAKA
Faiz, Pan Mohamad, Brain Drain
dan Sumber Daya Manusia Indonesia: Studi Analisa terhadap Reversed Brain Drain
di India, disampaikan pada International
Conference for Indonesian
Students di Sydney, Australia, September 2007.
Nasution, amran, surat untuk presiden, jakarta,
tani merdeka edisi april 2008.
Faiz, Pan Mohamad, “Menanti
Political Will Pemerintah di Sektor Pendidikan”, Jurnal Visi No.1 Vol. VIII,
2006.
Faiz, Pan
Mohamad, “Meneropong Visi Bangsa: Analisa Kritis Visi Indonesia 2030
vis-a-vis Visi India 2020”, Jurnal Visi, No. 1 Vol IX, 2007.