Diantara yang lain, saya paling Bocil di tongkrongan rumah. Rata–rata umur rekan tongkrongan sudah di atas kepala empat, saya sendiri masih di kepala tiga. Menjadi Bocil diantara mereka, banyak cerita–cerita unik dan jokes khas bapak–bapak sering terucap. Antara jokes, kopi dan gorengan, ada sepenggal cerita yang membuatku merasa *makjedideg*, saya bingung membahasakannya.
Yang membuatku makjedideg itu adalah hubungan antara ia dan Anaknya. Kawan tongkrongan saya itu, merantau sejak anaknya berumur 8 bulan, berpindah dari satu kota dan pulau. Dua bulan bekerja, dua Minggu dapat jatah cuti, lanjut lagi terbang, lanjut lagi berlayar, lanjut lagi naik bus pindah provinsi. Ia melakukan itu ±13 tahun.
Dalam fase ia merantau, ada episode yang tidak pernah dilupakannya sampai sekarang.
Saat ia pulang merantau dari Jawa Barat, ia disambut oleh istri dan anaknya di depan pintu. Haiiii, suami dan lelaki mana yang tidak bahagia, pulang merantau, bekerja demi anak istri dan mendapati dua permata hidupnya itu menyambutnya pulang.
"Ma, ini Bapak ta? Bapak ku ini ta, Ma?"
Duaarrrrrrrrrrrrrrrrrrr
Kejadian itu menjadi episode yang tidak pernah ia lupakan sampai sekarang.
"Jujur saya menyesal tidak menemani masa kecil anak ku, Mas".
"Saat saya sudah gak merantau lagi, anak ku masuk pondok pesantren. Malah jarang ketemu lagi sama dia".
"Lha yaopo, Mas. Namanya juga kondisi yang memaksa saya harus merantau"—ucapnya.
Saat ia cerita, kebetulan malam itu memang sedang dingin, suhu Malang di malam hari bisa mencapai 15 derajat Celcius. Yang membuat bertambah dingin, efek dari lama ia merantau itu, hubungan dengan anaknya terasa jauh, formil, seperlunya saja—atau kalau anak sekarang bilangnya gak lossssss.
Yang membuatnya berabak mau nangis, ia iri ketika melihat seorang Bapak bisa dekat dan bercanda dengan anak–anaknya.
Saat mau bertanya balik apa yang ia lakukan agar bisa lebih dekat dengan anaknya, mulut saya tercekat. Tidak ingin membuatnya menangis di tongkrongan kami yang menjadi kanal kebahagiaan para kepala keluarga di rumitnya pekerjaan dan berumah tangga.
Berbahagia dan bersyukurlah kita yang senantiasa dekat menemani proses anak–anak kita menuju dewasa.
Terima kasih banyak untuk para istri di luar sana yang telah mengerti dan berbagi kebahagiaan menemani anak–anaknya menuju dewasa. Terima kasih juga untuk orangtua kita semua. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmatnya kepada kedua orangtua kita. Aminn.