Di sudut kampung yang kental dengan budaya Jawa, hidup seorang lelaki bernama Darmo, ia hidup harmonis dengan istri dan ketiga anaknya. Darmo berprofesi sebagai tukang mebel. Ekonomi keluarganya cukup mapan karena sering ekspor ke Eropa. Tak hanya dikenal karena keterampilan tangannya, Darmo juga dikenal sebagai orang yang sangat taat pada ajaran dan budaya Jawa. Langkah dan tutur katanya sangat sopan, membuat orang yang pertama kali mengenalnya terkagum-kagum. Sopan, murah senyum, pakaian yang ia kenakan sederhana dan guyub dengan masyarakat sekitar.
Namun dalam hati Darmo, ia merasa dirinya lebih dari sekadar tukang ukir. Ia merasa darah kebangsawanan mengalir dalam tubuhnya, meski ia sendiri tidak pernah tahu dari mana perasaan itu muncul.
"Perawa’an iki cocok dari rojo Jowo," gumamnya setiap kali bercermin.
Pagi itu, Darmo tengah bersiap untuk menikahkan anak mbarepnya. Sebagai penganut taat tradisi Jawa, ia sekeluarga akan mengenakan pakaian adat yang biasa dikenakan oleh raja dan permaisuri kerajaan Jawa. Sambil merapikan ikat kepala blangkon yang dikenakannya, ia kembali mengagumi bayangannya di cermin.
"Memang, aku ini cocok jadi raja," katanya dengan bangga.
Jam menunjukkan pukul 10 pagi, saat Darmo keluar dari rumahnya. Warga desa yang datang menghadiri pernikahan berbisik-bisik melihat penampilan Darmo dan keluarganya. Mereka takjub, bukan oleh keanggunan busana yang dikenakan, melainkan oleh keyakinan yang terpatri di wajah Darmo—keyakinan bahwa ia benar-benar adalah seorang raja.
Di altar pernikahan, Darmo memandang putrinya yang tersenyum bahagia. Namun dalam pikirannya, ia melihat lebih dari sekadar anak mbarepnya menikah. Ia melihat kerajaan masa depan, dengan dirinya di atas takhta, dikelilingi oleh putra-putri yang akan meneruskan garis kebangsawanan yang, menurutnya, sudah ada dalam darah mereka. Anak-anaknya bukan hanya keturunan tukang ukir, pikir Darmo, tetapi keturunan raja!
Upacara berlangsung khidmat, tetapi bagi Darmo, itu lebih dari sekadar pernikahan. Itu adalah penobatan. Saat doa dipanjatkan, Darmo tak bisa menahan diri untuk menambahkan permohonan dalam hatinya, "Semoga keturunanku bisa menjadi raja-raja yang bijaksana dan dihormati, seperti aku hari ini."
Dinoyo Malang, 23 Agustus 2024
Ali Ahsan Al Haris
No comments:
Post a Comment