Showing posts with label HUKUM PERATURAN PERIKANAN. Show all posts
Showing posts with label HUKUM PERATURAN PERIKANAN. Show all posts

Monday, March 21, 2016

PENTINGNYA HUBUNGAN INTERNASIONAL TERHADAP PENGELOLAAN SUMBERDAYA KELAUTAN DI INDONESIA



MAKALAH
UNTUK MEMENUHI NILAI TUGAS
HUKUM PERATURAN PERIKANAN
Yang diajar oleh Bapak Dr. Ir. Gatut Bintoro, M.Sc


Oleh :

ADYAKSA BHASKARA
ALI AHSAN
M. CHOIRUL ANAM

YANUAR EKA F





UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
MARET
2016


BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Hukum  laut  internasional  adalah  seperangkat  norma  hukum  yang  mengatur  hubungan antara  Negara  pantai  atau  yang  berhubungan  dengan  pantai.  Yang  terkurung  oleh  daratan  dan atau organisasi maupun subjek hukum internasional lainnya. Yang mengatur tentang kedaulatan Negara di laut. Yuridiksinya Negara dan hak  –  hak Negara atas perairan tersebut. Hukum laut internasional menpelajari tentang aspek  –  apek hukum di laut dan peristiwa hukum yang terjadi di laut.
Hukum  laut  internasional  mengalami  perkembangan  secara  terus  –  menerus  dan mengalami penyempurnaan dari waktu ke waktu untuk kepentingan umat manusia melalui aturan – aturan yg berlaku tiap – tiap Negara.
Pada zaman Romawi , penguasaan laut belum menimbulkan persoalan perlintasan laut, karena  kekuatan  Romawi  sebagai  kekuasaan  kekaisaran  (imperium)  masih  menguasai  Laut Tengah dan belum ada kerajaan-kerajaan yang mengimbangi kekuatan kekaisaran Romawi pada waktu  itu.  Pada  masa  abad  pertengahan  imperium  Romawi  runtuh,  maka  bermunculanlah negara-negara  yang  menuntut  sebagian  laut  yang  berbatasan  dengan  pantainya,  antara  lain  Venetia  mengklaim  Laut  Adriatik,  Genoa  mengklaim  laut  Liguria  dan  Pisa  mengklaim  laut  Thyrrhenia.  Klaim  negara-negara  ini  menimbulkan  keadaan  yang  menyebabkan  laut  tidak  lagi  menjadi  milik  bersama,  sehingga  diperlukan  peraturan  untuk  menjelaskan  kedudukan  hak-hak  atas  laut  menurut  hukum.  Perjalanan  hukum  laut  cukup  panjang  hingga  sampailah  pada  Konferensi  Perserikatan  Bangsa-Bangsa  tentang  Hukum  Laut  I  tahun  1958  (UNCLOS  I), Konferensi Hukum Laut UNCLOS II tahun 1960 dan UNCLOS III tahun 1982.
Konvensi  Perserikatan  Bangsa-Bangsa  tentang  Hukum  Laut  (Bahasa  Inggris:  United  Nations Convention on the Law of the Sea) disingkat (UNCLOS), juga disebut Konvensi Hukum  Laut  atau  Hukum  perjanjian  Laut,  adalah  perjanjian  internasional  yang  dihasilkan  dari  Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut yang ketiga (UNCLOS III ) yang  berlangsung  dari  tahun  1973  sampai  dengan  tahun  1982.  Konvensi  Hukum  Laut  ini  mendefinisikan  hak  dan  tanggung  jawab  negara  dalam  penggunaan  lautan  di  dunia  serta menetapkan  pedoman  untuk  bisnis,  lingkungan,  dan  pengelolaan  sumber  daya  alam  laut.  Konvensi  kesimpulkan  pada  tahun  1982,  menggantikan  perjanjian  internasional  mengenai  laut  tahun 1958. UNCLOS diberlakukan pada tahun 1994, setahun setelah Guyana menjadi negara ke  60 untuk menandatangani perjanjian Untuk saat ini telah 158 negara dan Masyarakat Eropa telah  bergabung dalam Konvensi.

B.      Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sejarah pembentukan hukum laut ?
2.      Berapa kali tahapan-tahapan hukum laut internasional ?
3.      Pentingnya hukum internasional dalam pengelolaan sumber daya perikanan di Indonesia.

C.      Tujuan dan Manfaat Penulisan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui sejarah perkembangan hukum laut yang pertama kali berlaku sehingga bisa berkembang hingga saat sekarang ini.
2.      Memberikan  gambaran  tentang  laut  territorial  Indonesia   baik  berdasarkan  peraturan nasional maupun peraturan internasional.
3.      Melalui makalah ini diharapkan dapat memberikan pemahaman kepadA masyarakat luas pada  umumnya  dan  pada  penulis  khususnya   mengenai  laut   teritorial  sehingga masyarakat dapat ikut secara bersama sama menjaga kedaulatan indonesia.
Adapun manfaat yang ingin dicapai adalah sebagai berikut :
1.    Manfaat Teoritis, yaitu melihat perkembangan sejarah dan perkembangan hukum yangdi terapkan di laut dengan menggunakan hukum laut internasional.
2.  Manfaat  Praktis,  yaitu  sebagai  bahan  tambahan  pengetahuan  mahasiswa  mengenai batasan batasan hukum lautinternasional dengan hukum laut nasional.


BAB II
ISI

A.                 Sejarah Lahirnya Hukum Laut Internasional
Sejak dahulu kala telah  terdapat dua konsepsi mengenai laut,  yaitu: res  nullius dan res commanis.
1. Res nullius, berpendapat bahwa laut sebagai ranah tak bertuan, atau  kawasa yang tidak ada pemiliknya.  Karena  tidak  ada  pemiliknya,  maka  laut  dapat  diambil  atau  dimiliki  oleh  masingmasing Negara.
2. Res communis, berpendapat bahwa laut adalah milik masyarakat dunia, karena itu tidak dapat diambil  dan  dimiliki  secara  individual  oleh  Negara-negara.  Sebagai  milik  bersama,  maka  laut harus  dipergunakan untuk kepentingan semua Negara, dan pemanfaatannya terbuka bagi semua Negara.   Ini  sesuai  dengan  pendapat  Ulpian  yang  menyatakan  bahwa  “the  sea  is  open  to everybody  by  nature”,  dan  Celcius  yang  menyatakan  “  the  sea  like  the  air,  is  common  to  all mankind”.
Dalam pelaksanaannya, kedua teori tersebut tak dapt diterapkan secara kaku. Keduanya saling melengkapi, yakni dalam batas-batas tertentu dapat dimiliki, tetapi dibatasi sampai jarak tertentu ini dapat dilihat dalam praktik yang dianut Negara-negara sejak dahulu sampai sekarang.
1. Zaman sebelum Romawi
Punisia  kuno,  sebuah  kerajaan  sebelum  zaman  Romawi  menganggap  laut  yang  mereka kuasai  sebagai  milik  Negara  mereka.  Paham  ini  juga  dianut  oleh  bangsa  Persia,  Yunani  dan Rhodia. Di zaman Rhodia, hokum laut telah mulai berkembang, yang kemudian menjadi dasar bagi Hukum Romawi tentang laut.
2. Zaman Romawi
Setelah perang Punis III Romawi telah menjadi penguasa tunggal di Laut Tengah. Laut Tengah  kemudian  dianggap  oleh  orang-orang  Romawi  sebagai  “danau”  mereka.  Dalam melaksanakan  kekuasaannya  di  laut  tersebut  banyak  tanda  yang  menunjukkan  bahwa  dalam pandangan  orang  Romawi  laut  bias  dimiliki.  Orang  Romawi  memandang  laut  sebagai  “public property” yakni sebagai milik Kerajaan Romawi.

3. Setelah Zaman Romawi
Setelah zaman Romawi terdapat banyak Negara di sekitar Laut Tengah yang merupakan pecahan dari Kerajaan Romawi. Negara-negara ini menuntut laut yang berdekatan dengan pantai mereka  sebagai  wilayah  mereka.  Karena  itu  masa  ini  dipandang  sebagai  awal  dari berkembangnya konsep laut wilayah. Tuntutan atas kepemilikan laut ini misalnya dilakukan oleh: (a) Venesia yang menuntut sebagian  besar  Laut  Adriatik.  Tuntutan  ini  diakui  oleh  Alexander  III  pada  Tahun  1117.  Di kawasan ini Venesia memungut kepada setiap kapal  yang melewati kawasan laut Adriatik, (b) Genoa  menuntut  Laut  Liguarian  dan  sekitarnya,  dan  (c)  Pysa  menuntut  dan  melaksanakan kedaulatannya atas laut Tyraania. Tuntutan-tuntutan itu cenderung menimbulkan penyalahgunaan hak oleh Negara-negara tersebut  (misalnya  memungut  biaya  pelayaran).  Untuk  mengatasi  hal  ini,  para  penulis  pada waktu itu membatasi tuntutan tersebut sampai batas tertentu saja. Misalnya, Bartolus, Solorzan dan Cosaregis membatasi laut Negara pantai itu sampai 100 mil Italia (pada waktu itu = 1480 m). Baldus, Bodin dan Targa membatasinya sampai 60 mil, Loccanius membatasinya sampai batas yang diinginkan oleh Negara pantai tanpa merugikan negara tetangganya.
4. Zaman Portugal dan Spanyol
Jatuhnya Constantinopel ke tangan Turki pada tahun 1443, menyebabkan bangsa Portugis mencari jalan laut lain ke timur menuju Indonesia melalui Samudera Hindia. Selain itu, Portugal juga menuntut Laut Atlantik sebelah selatan Maroko sebagai wilayah mereka. Bersamaan dengan ini,  Spanyol  sudah  samapi  di  Maluku  melalui  Samudera  Pasifik,  dan  menuntut  Samudera  ini bersama dengan bagian Barat Samudera Atlantik dan Teluk Mexico sebagai kepunyaan mereka. Tuntutan kedua Negara ini diakui oleh Paus Alexander VI, yang membagi dua lautan di dunia  menjadi  dua  bagian  dengan  batas  garis  meridian  100  leagues  (lk.  400  mil  laut)  sebelah Barat Azores. Sebelah barat dari meridian tersebut (Samudera Atlantik Barat, Teluk Mexico dan Samudera Pasifik) menjadi miliki Spanyol, dan sebelah Timur (Atlantik sebelah Selatan Maroko, dan  Samudera  Hindia)  menjadi  milik  Portugal.  Pembagian  ini  kemudian  diperkuat  dengan perjanjian  Tordissilias  antara  Spanyol  dan  Portugis  (1494)  dengan  memindahkan  garis perbatasannya  menjadi  370  leagues  sebelah  Barat  Pulau-pulau  Cape  Verde  di  pantai  Barat Afrika. Sementara itu, Swedia dan Denmark menuntut kedaulatan atas Laut Baltik, dan Inggris atas Narrow Seas, dan Samudera Atlantik dari Cape Utara sampai ke Cape Finnistere,3 atau laut di sekitar kepulauan  Ingrris (Mare Anglicanum).4 dan untuk melaksanakan kedaulatannya atas laut-laut tersebut, pada abad ke-17 Inggris memaksa orang-orang asing untuk mendapat lisensi Inggris  untuk  melakukan  penangkapan  ikan  di  Laut  Utara,  dan  ketika  dalam  1636  Belanda mencoba  menangkap  ikan,  mereka  diserang  dan  dipaksa  mebayar  30.000  found  sebagai  harga kegemaran (the price of indulgence).
5. Belanda
Tuntutan  kedaulatan  atas  Samudera  Pasifik,  Atlantik,  dan  Hindia  oleh  Portugal  dan Spanyol serta kedaulatan atas Mare Anglicanum oleh Inggris dirasa sangat merugikan Belanda di bidang pelayaran dan perikanan. Di bidang pelayaran Belanda sudah sampai di Indonesia melaluiSamudera Hindia pada tahun 1596, dan mendirikan Verenigde Oost Indische Compgnie (VOC) pada  tahun  1602.  Penerobosan  melalui  Samudera  Hindia  ini  langsung  berbenturan  dengan kepentingan dan tuntutan Portugal. Di bidang perikanan orang-orang Belanda selama berabadabad telah menangkap ikan di sekitar perairan Mare Anglicanum, dan kegiatan ini telah dijamin oleh berbagai perjanjian antara kedua Negara. Untuk  memperkuat  dalil  penentangannya  atas  kepemilikan  laut,  Belanda  berusaha  mencari  dasar-dasar  hokum  yang  menyatakan  laut  adalah  bebas  untuk  semua  bangsa.  Untuk  kepentingan  ini  Belanda  menyewa  Hugo  de  Groot,  seorang  ahli  hokum  untuk  menulis  sebuah  buku yang membenarkan pendirian Belanda, shingga orang-orang Belanda dapat bebas berlayar  ke Indonesia. Hasilnya, Grotius menyusun sebuah buku dengan judul “Mare Liberum”. Buku ini menguraikan teori kebebasan lautan dalam arti bahwa laut bebas bagi setiap orang, dan tak dapat dimiliki oleh siapa pun. Teori Gratius mendapat tentangan dari banyak penulis seangkatannya. Gentilis misalny,  membela tuntutan Spanyol dan Inggris dalam bukunya “Advocatio Hispanica” yang diterbitkan  setelah ia meninggal, tahun 1613. Pada tahun yang sama William Wellwood membela tuntutan Inggris  dalam  bukunya  “de  Dominio  Maris”.njohn  Seldon  menulis  Mare  Clausum  sive  de Domino  Marsnya  pada  tahun  1618  dan  terbit  pada  tahun  1635.  Paolo  Sarpi  menerbitkan  “Del Dominio del mare Adriatico” 1676 untuk membela tuntutan Venesia  atas laut lautan  Adriatik.  Yang terpenting dari buku-buku yang membela kepentingan kepemilikan atas laut adalaah Mare Clausum  Shelden.  Karya  ini  diperintahkan  untuk  diterbitkan  pada  tahun  1635  pada  masa  raja Charles I, yang meminta agar penulis Mare Liberium dihukum.
6. Inggris
Pada mulanya, sebelum tahun 604 Inggris menganut faham kebebasan lautan. Faham ini  dianut  terutama  untuk  menghadapi  tuntutan  Denmark  atas  kebebasan  di  laut  Utara..  namun dalam tahun 1604 Charles I memproklamirkan “King Chamber Area” yang meliputi 26 wilyayah di sepanjang dan sekitar lautan Inggris (Mare Anglicanum) sebagai wilayah kedaulatan Inggris. Di  daerah-daerah  ini,  diantaranya  ada  yang  melebihi  100  mil,  Charles  I  melarang  kapal-kapal nelayan asing menangkap ikan di kawasan tersebut. Tuntutan ini ditentang oleh Belanda. Dalam  perkembangan  selanjutnya,  umum  diterima  bahwa  Negara-negara  dapat memiliki jalur-jalur laut yang terletak di sekitar atau di sepanjang pantainya, dan  di luar jalurjalur tersebut dianggap bebas bagi semua umat manusia. Beberapa jalur laut yang dapat dimiliki tidak  sama  untuk  semua  Negara,  dan  ini  tergantung  pada  jenis  dan  fungsi  jalur-jalur  tersebut. Lebar  laut  untuk  kepentingan  perikanan  misalnya,  tidak  sama  dengan  untuk  kepentingan netralitas, pengawasan pabean dan kepentingan yurisdiksi perdata, pidana dan lain-lain.
B.  Tahapan-tahapan Pelaksanaan Konferensi Hukum Laut
1. Konferensi Kodifikasi Den Haag Tahun 1930
Salah satu masalah Hukum  Internasional  yang dibicarakan dalam konferensi ini adalah perairan  teritorial  (territorial  water).  Walaupun  di  dalam  konferensi  ini  belum  diperoleh kesepakatan mengenai lebar laut territorial (laut wilayah), Namun demikian, sudah ada rekaman hukum atau kejadian di dalam praktek bernegara mengenai batasan wilayah laut. Konferensi  Internasional  utama  yang  membahas  masalah  laut  teritorial  ialah “codificationconference”  (13  Maret  –  12  April  1930)  di  Den  Haag,  di  bawah  naungan  Liga Bangsa Bangsa, dan dihadiri delegasi dari 47 negara. Konferensi ini tidak mencapai kata sepakat tentang  batas  luar  dari  laut  teritorial  dan  hak menangkap  ikan  dari  negara-negara  pantai  pada zona tambahan. Ada yang menginginkan lebar laut teritorial 3 mil (20 negara), 6 mil (12 negara), dan4 mil
Konferensi ini menetapkan :
1.      wilayah  negara  yang  meliputi  jalur  laut  disebut  Laut  Teritorial.  Wilayah  negara  pantai meliputi  ruang  udara  di  atas  laut  territorial,  dasar  laut  dan  tanah  dibawahnya  yang  dikenal dengan istilah tiga demensi laut  teritorial. Khusus batasan ruang udara, dikenal teori grafitasi, yaitu benda yang masih jatuh ke bawah, masih masuk ke dalam wilayah ruang udara/angkasa negara tersebut.
2.      Hak Lintas Damai, pada prinsipnya kapal asing boleh masuk, melintas wilayah laut asal tidak membuang  jangkar,  mencemarkan  lingkungan,  menyelundup,  dan  lain-lain  yang  dapat menimbulkan keadaan tidak damai (the right of innoucense)
3.      Yurisdiksi criminal dan sipil atas kapal-kapal asing
4.      Pengejaran seketika (hot porsuit) bila melanggar Sesudah Perang Dunia Kedua (tahun 1945).
Sesudah perang dunia kedua, ada 2 (dua ) hal yang dipermasalahkan, yaitu
1.      Proklamasi Presiden Amerika Serikat tahun 1945 (Truman), menyatakan
Continental  self  (landas  continental)  menjadi  bagian  wilayah  laut  negara  yang bersangkutan.  Tujuannya  untuk  mencadangkan  kekayaan  alam  pada  dasar  laut  (seabed)  dan tanah  di  bawahnya  (subsoil)  yang  berbatasan  dengan  dan  gas  bumi)  Kontinental  self  dapat dianggap sebagai kelanjutan alamiah daratan, sehingga kekuasaan untuk  mengaturnya ada pada negara pantai yang berbatasan dengan daratan kontenen yang bersangkutan. Penggunaan wilayah ini  tidak  untuk  mengganggu  pelayaran  bebas  melalui  perairan  di  atasnya  yang  tetap  sebagai status laut lepas.
Dengan adanya Proklamasi Presiden  Amerika Serikat, Truman ini , walaupun dianggap tindakan sepihak Amerika Serikat, tetapi membawa akibat yang besar atas perkembangan hukum laut  internasional,  karena  banyak  diikuti  oleh  negara-negara  lain.  Proklamasi  Truman  ini mendorong untuk diadakannya  konferensi hukum laut di Jenewa tahun 1958 guna menentukan batas-batas dan isi yang pasti dari continental shelf .
2.      Perikanan
Walaupun  Perikanan  tidak  sepenting  dengan  continental  self,  tetapi  dari  sudut  adanya kebebasan  menagkap  ikan  di  laut  lepas  merupakan  contoh  pemanfaatan  hak  suatu  negara menyangkut Perikanan di luar batas laut teritorialnya. Suatu monument sejarah yang terjadi pada tahun  1951,  yaitu  sengketa  antara  Inggeris  dan  Norwegia  tentang  pemilikan  dan  pemanfaatanlaut.  Norwegia  menetapkan  batas  wilayah  laut  dengan  cara  straight  baselines  (garis  pangkal lurus). Inggris menggugat pada Mahkamah Internasional mengenai keabsahan penetapan batas Perikanan  exclusif  yang  ditetapkan  sepihak  oleh  Norwegia  tahun  1935  sebagai  hukum internasional.  Gugatan  Inggeris  bukan  lebar  laut  yang  ditetapkan  Norwegia  sepanjang  4  mil, tetapi  cara  penarikan  garis  pangkal  lurus  yang  menghubungkan  titik-titik  terluar  pada  pantai Norwegia (straight baselines). Keputusan Mahkamah Internasional ini menolak gugatan Inggeris dan  menyatakan  bahwa  cara  penarikan  garis  pangkal  lurus  oleh  Norwegia  dapat  dibenarkan sebagai  penetapan  dari  suatu  kaidah  Hukum  Internasional  yang  berlaku  umum  pada  suatu keadaan  khusus.  Keputusan  Mahkamah  Internasional  ini  menjadi  salah  satu  sumber  hukum internasional (yurisprodensi).
2. Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957 tentang Hukum Laut
Sebagaimana halnya Amerika Serikat, yang membuat hukum laut secara sepihak melalui proklamasi  Presiden  Truman  tentang  continental  self    dan  Norwegia  yang menetapkan  straight baselines  (Gambar 2), Indonesia setelah Perang Dunia ke dua, yaitu tahun 1957 juga tidak ketinggalan membuat Deklarasi yang dikenal dengan nama Deklarasi Djuanda 13  Desember  1957  tentang  Hukum  Laut.  Hal  ini  dilakukan  karena  ketentuan  peninggalan Belanda Kringen Ordonansi 1939 mengenai perairan Indonesia, dianggap bisa berbahaya sebagai negara  kepulauan,  karena  masing-masing  pulau  mempunyai  laut  sendiri  yang  disebut  perairan Nusantara, sehingga perairan antara pulau adalah laut lepas Dengan demikian, pertimbangan deklarasi Djuanda adalah :
·         Bila  diantara  pulau-pulau  terdapat  laut  bebas,  maka  Indonesia  tidak  dapat  melakukan kedaulatannya secara penuh di perairan Indonesia.
·         Dapat  membahayakan  integritas  negara  kesatuan  Republik  Indonesia.  Deklarasi  Djuanda, merupakan strategi Indonesia dan mengandung 4 (empat) hal, yaitu :
1.      Seluruh  kepulauan  Indonesia  merupakan  satu  kesatuan  dan  laut  antara  pulau-pulau Indonesia dianggap perairan pedalaman.
2.      Lalulintas damai bagi Kapal asing dimungkinkan diperairan pedalaman (hak lintas damai = right of innocence passage),asal tidak berhenti, membuang jangkar, membuang limbah, mondar-mandir
3.      Lebar laut wilayah Indonesia adalah 12 mil laut
4.      Penentuan  lebar  laut  wilayah  diukur  dari  garis  yang  menghubungkan  titik  pulau-pulau terluar.
·         Laut wilayah laut yang terletak sebelah luar pulau.
·         Laut perairan pedalaman adalah laut yang terletak sebelah dalam pulau-pulau.

3.  Konferensi  Perserikatan  Bangsa-Bangsa  tentang  Hukum  Laut  I  tahun 1958 (UNCLOS I)
Setelah  perdebatan  panjang  dan  tidak  menemukan  kata  kesepakatan  diantara  negaranegara  yang bersengketa tentang wilayah maritim, maka PBB  yang sebelumnya bernama  Liga Bangsa-Bangsa  mengadakan  konferensi  hukum  laut  pertama  pada  tahun  1958  dan  konfrensi hukum  laut  yang  kedua  pada  tahun  1960  yaitu  yang  lebih  dikenal  dengan  istilah  UNCLOS  1 dan UNCLOS 2.
Dalam  konfrensi  hukum  laut  pertama  ini  melahirkan  4  buah  konvensi,  dan  isi  dari konvensi Unclos pertama ini adalah:
1.      Konvensi tentang laut teritorial dan jalur tambahan (convention on the territorial sea and contiguous zone) belum ada kesepakatan dan diusulkan dilanjutkan di UNCLOS II
2.      Konvensi tentang laut lepas (convention on the high seas)  Kebebasan pelayaran,
a.      Kebebasan menangkap ikan,
b. Kebebasan meletakkan kabel di bawah laut dan pipa-pipa,
c. Kebebasan terbang di atas laut lepas
3.  Konvensi  tentang  perikanan  dan  perlindungan  sumber-sumber  hayati  di  laut  lepas (convention onfishing and conservation of the living resources of the high sea)
4. Konvensi  tentang  landas  kontinen  (convention  on  continental  shelf).  Konvensi  ini  telah disetujui. Pada tanggal 17 Maret – 26 April 1960 kembali dilaksanakn konferensi hukum laut yang  kedua  atau  UNCLOS  II,  membicarakan  tentang  lebar  laut  teritorial  dan  zona tambahan perikanan,  namun  masih  mengalami  kegagalan  untuk  mencapai  kesepakatan, sehingga perlu diadakan konferensi lagi
4. Konferensi Hukum Laut UNCLOS II tahun 1960 dan UNCLOS III tahun 1982.
Pada  pertemuan  konfrensi  hukum  laut  kedua,  telah  disapakati  untuk  mengadakan kembali pertemuan  untuk  mencari  kesepakatan  dalam  pengaturan  kelautan  maka  diadakan kembali  Konferensi  Hukum  Laut  PBB  III  atau  Unclos  III  yang  dihadiri  119  negara.  Dalam pertemuan ini,disepakati 2 konvensi yaitu:
Ø  Konvensi  hukum  laut  1982  merupakan  puncak  karya  dari  PBB  tentang  hukum  laut, yangdisetujui di Montego Bay, Jamaica (10 Desember1982), ditandatangani oleh 119 negara.
Ø   Ada  15  negara  yang  memiliki  ZEE  besar:  Amerika  Serikat,  Australia,  Indonesia,  New Zealand,Kanada,  Uni  Soviet,  Jepang,  Brazil,  Mexico,  Chili,  Norwegia,  India,  Filipina, Portugal, danRepublik Malagasi.
Tidak kurang dari 12 kali siding konferensi, UNCLOS, sejak tahun 1973 sampai 1982, dalam  mencapai  hasil  yang  diharapkan,  yang  dimulai  dengan  suatu  sidang  pertama “keorganisasian”  pada  tahun  1973  dan  berakhir  pada  pengesahan  naskah  akhir  konvensi  dan penanda  tanganannya  di  Montego  Bay  tanggal  10  desember  1982,  oleh  118  negara.  Catatan resmi mengenai prosedur pengesahan, dan keputusan-keputusan yang tercapai pada tiap tahapan, dimuat-ulang dalam Final Act UNCLOS yang juga ditanda tanggani pada tanggal yang sama.
Hasil pertemuan UNCLOS III Secara garis besar Konvensi memuat beberapa hal penting, yaitu:
1.      Negara-negara  pantai  memiliki  kedaulatan  teritorial  sampai  12  mil,  tetapi kapal-kapal asing diizinkan melakukan lintas damai melalui perairan tersebut;
2.      Kapal  dan  pesawat  udara  dari  semua  negara  diizinkan  melakukan  lintas  transit  melalui selat  yang  dipergunakan  bagi  pelayaran  internasional,  negara-negara  yang  terletak  di sepanjang selat bias mengatur navigasi dan segi-segi lintas lainnya;
3.      Negara-negara kepulauan  adalah negara yang terdiri dari satu kelompok atau kelompokkelompok  pulau  yang  saling  berhubungan  memiliki  kedaulatan  atas  laut  wilayah  yang tertutup oleh garis selat dari kepulauan tersebut; negara lain berhak melakukan lintas di garis yang ditetapkan.
4.      Negara-negara pantai memiliki hak berdaulat atas zona ekonomi eksklusif (ZEE) 200 mil laut  dalam  hubungannya  dengan  sumber-sumber  alam  dan  kegiatan-kegiatan  ekonomi tertentu,  dan  juga  memiliki  yurisdiksi  atas  riset  ilmiah  kepulauan  dan  perlindungan lingkungan.  Negara-negara  lain  memiliki  kebebasan  penerbangan  di  atas  kawasan tersebut serta kebebasan meletakkan kabel bawah laut dan jaringan pipa. Negara-negara yang  hanya  dikelilingi  daratan  dan  letak  geografisnya  tidak  menguntungkan  memiliki kesempatan turut mengeksploitasi bagian penangkapan ikan berdasarkan prinsip sederajat bila  negara  pantai  tidak  dapat  melakukannya  sendiri.  Spesie  ikan  yang  tingkat perpindahannya  tinggi  dan  binatang-binatang  laut  menyusui  akan  dilindungi  secara khusus.
5.      Negara-negara  pantai  memiliki  hak  berdaulat  atas  eksploitasi  dan  eksplorasi  landas kontinen.  Landas  kontinen  ini  sekurangnya  200  mil  dari  garis  pangkal,  dan  dalam keadaan  tertentu  dapat  lebih  jauh.  Negara-negara  pantai  berbagi  dengan  masyarakat internasional dari bagian  yang mereka peroleh dari pengelolaan sumber kekayaan alam yang berasal dari dasar laut dalam yang berada di luar batas 200 mil. Komisi mengenai batas-batas  Landas  Kontinen  akan  memberikan  rekomendasi  kepada  negara-negara mengenai batas di luar zona ekonomi eksklusif (ZEE).
6.      Semua negara menikmati kebebasan pelayaran tradisional, lintas penerbangan, penelitian ilmiah dan penagkapan ikan di laut bebas, dan wajib bekerjasama dengan negara-negara lain untuk mengelola dan melestarikan sumber-sumber hayati.
7.      Laut  wilayah,  ZEE  dan  landas  kontinen  dari  kepulauan  akan  ditentukan  sesuai  dengan ketentuan yang bias diterapkan atas wilayah daratan, tetapi karang tak dapat menampung habitat manusia atau kehidupan ekonomi mereka sendiri, tidak memiliki ZEE dan landaus kontinen.
8.      Negara-negara  yang  berbatasan  dengan  laut  tertutup  atau  setengah  tertutup  diharapkan bekerjasama  dalam  pengelolaan  sumber-sumber  daya  hayati  dan  dalam  kebijakan  dan kegiatan lingkungan dan penelitian;
9.      Negara-negara yang dikelilingi hanya oleh daratan memiliki hak akses ked an dari laut, dan bebas melakukan transit melalui negara-negara transit;
10.  Semua kegiatan eksploitasi dan eksplorasi di wilayah dasar laut internasional berada di bawah kekuasaan Otorita Dasar Laut Internasional (International Seabed Authority) yang akan dibentuk berdasarkan Konvensi Hukum Laut ini. Otorita ini akan diberi wewenang untuk  melaksanakan  operasi  pengembangaannya  sendiri  melalui  badan  operasionya, Enterprise,  dan  juga  melaksanakan  kontrak  dengan  perusahaan-perusahaan  swasta  dan negara-negara untuk memberikan kepada mereka hak penambangan di wilayah tersebut sehingga mereka dapat  beroperasi sejalan dengan Otorita tersebut. generasi penambang dasar laut pertama, pioneer investor, akan memiliki jaminan produksi jika wewenang itu sudah diberikan.
11.  Negara-negara  terikat  untuk  mencegah  dan  mengendallikan  pencemaran  laut  dan  dapat dituntut atas kerusakan yang disebabkan oleh pelanggaran kewajiban-kewajiban mereka untuk memerangi pencemaran seperti itu.
12.  Semua  penelitian  ilmiah  ZEE  dan  landas  kontinen  harus  disetujui  oleh  negara-negara pantai,  tetapi  dalam  banyak  hal  kegiatan  seperti  itu  akan  memperoleh  persetujuan  jika penelitian ini dilakukan untuk tujuan damai dan memenuhi criteria tertentu.
13.  Negara-negara  terikat  untuk  menggalakkan  pembangunan  dan  alih  teknologi  laut “berdasarkan  ketentuan-ketentuan  dan  syarat-syarat  yang  adil  dan  masuk  akal”  dengan memperhatikan secara seksama semua kepentingan yang sah.
14.  Negara-negara  berkewajiban  menyelesaikan  sengketa  mereka  secara  damai  sejauh menyangkut  penafsiran  atau  penerapan  Konvensi;  sengketa  dapat  diajukan  kepada Pengadilan  International  untuk  Hukum  Laut  (International  Tribunal  for  the  Law  of  the Sea)  yang  akan  dibentuk  berdasarkan  Konvensi  Hukum  Laut  ini,  kepada  Mahkamah Internasional, atau kepada badan arbitrasi. Juga dapat dilakukan melalui konsiliasi, dan dalam keadaan tertentu kepatuhan kepada konsiliasi merupakan keharusan.
15.  Namun, sekalipun memberikan keseimbangan jaminan kepentingan antar negara-negara maju  dengan  negara-negara  berkembang,  KHL  1982  dianggap  oleh  sebagian  pakar sebagai  terlalu  ambisius  dan  tidak  akan  tercapai.  Sikap  apatis  ini  kelihatannya  hamper menjadi  kenyataan  mengingat  sampai  10  tahun  setelah  dibukanya  penandatanganan Konvensi,  Konvensi  belum  juga  dapat  diberlakukan.  Menurut  data  di  Perserikatan Bangsa-Bangsa  sampai  dengan  31  Maret  1992  Konvensi  ini  baru  diratifikasi  oleh  51 negara.
16.  Keraguan ini ditolak TTB Koch dengan mengemukakan alas an-alasan sebagai berikut.
17.  Konvensi  akan  mendorong  pemeliharaan  perdamaian  dan  keamanan  sebab  Konvensi akan  menggantikan  banyak  sekali  tuntutan  yang  saling  bersaing  oleh  negara-negara pantai yang secara universal menyetujui batas-batas laut wilayah, zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen.
18.  Kepentingan  masyarakat  dunia  dalam  kebebasan  pelayaran  akan  dipermudah  oleh kompromi-kompromi  penting  atas  zona  ekonomi  eksklusif,  oleh  rezim  lintas  damai melalui  laut  wilayah,  dan  rejim  lintas  transit  melalui  selat  yang  dipergunakan  untuk pelayaran internasional dan oleh rezim lintas alur kepulauan.
19.  Kepentingan  masyarakat  dunia  dalam  pelestarian  dan  penggunaan  optimum  sumbersumber  daya  hayati  laut  dengan  penerapan  secara  sadar  ketentuan-ketentuan  dalam Konvensi yang berkaitan dengan zona ekonomi eksklusif.
20.  Konvensi  memuat  aturan-aturan  baru  yang  penting  bagi  pelestarian  dan  perlindungan lingkungan laut dari pencemaran.
21.  Konvensi  memuat  aturan-aturan  mengenai  penelitian  ilmiah  yang  memberikan keseimbangan antara negara-negara yang melakukan penelitian dan kepentingan negaranegara pantai di zona ekonomi eksklusif atau landas kontinen tempat dilakukan penelitian tersebut.
22.  Kepentingan  masyarakat  dunia  dengan  penyelesaian  secara  damai  dan  diajukan pencegahan penggunaan kekerasan di antara negara-negara dengan system penyelesaian sengketa yang bersifat wajib dalam Konvensi.
23.  Konvensi  berhasil  menerjemahkan  asa  bahwa  sumber  daya  alam  dasar  laut  dalam merupakan warisan bersama umat manusia ke dalam institusi  yang adil(fair) dan dapat dilaksanakan (workable).
24.  Walaupun  belum  ideal,  namun  kita  dapat  menemukan  unsure-unsur  keadilan  (equity) internasional  dalam  Konvensi  seperti  pembagian  hasil  atas  landas  kontinen  di  luar  200 mil,  pemberian  akses  kepada  negara-negara  yang  tertutup  daratan  dan  negara-negara yang  secara  geografis  tidak  menguntungkan  atas  sumber  daya  hayati  ZEE  dan  negaranegara tetangga mereka, hubungan nelayan pantai (coastal fisheries) dan nelayan perairan yang jauh dari pantai (distant water fisheries), dan pembagian keuntungan yang diperoleh dari eksploitasi sumber laut dalam.
25.  Penolakan  Koch  tersebut  menjadi  kenyataan,  yakni  dengan  penyimpanan  (depository) instrument  ratifikasi  ke-60  KHL  1982  pada  Sekretaris  Jendral  Perserikatan  BangsaBangsa 16 Nopember 1993. Dan, sesuai dengan ketentuan pasal 308 (1), maka 1 tahun kemudian, 16 Nopember 1994 KHL III  1982 yang terdiri dari 320 pasal dan 9 lampiran tersebut berlaku bagi masyarakt internasional.

5.                  Pentingnya Hukum Internasional Terhadap Pengelolaan Sumber Daya Perikanan di Indonesia.
Sikap suatu negara dalam mengimplementasikan  UNCLOS 1982, dipengaruhi  oleh sejumlahfaktor, antara lain,  geografis, sumber daya alam, kependudukan, ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya, pertahanan dan keamanan.  Pengimplementasian  UNCLOS 1982, dapat dibagi kedalam enam tindakan implementasi berupa :

1.      Penetapan, Penyesuaian dan Perubahan Peraturan Perundang-undangan  Nasional . Negara-negara  pihak  sebaiknya  membuat  daftar  tentang  hal-hal  mana  yang  memerlukan pengaturan melalui peraturan perundang-undangan nasional. Untuk itu juga perlu dibuat suatu  analisis  tentang  dampak  UNCLOS  1982  terhadap  peraturan  perundang-undangan yang  sudah  ada,  sehingga  dapat  diidentifikasikan  mana  yang  hanya  memerlukan perubahan kecil, mana yang perlu dicabut dan diubah sesuai dengan ketentuan UNCLOS 1982, atau mana yang memerlukan pengaturan  yang baru sama sekali. Ke dalam peraturan perundang-undangan yang sudah ada termasuk ratifikasi terhadap konvensi atau perjanjian internasional  lain  yang  mungkin  juga  mengandung  ketentuan  yang  dapat  dipakai  untuk mengatur sebagian besar dari hal-hal tersebut.
2.      Publikasi dan Notifikasi Di samping  itu  berbagai ketentuan dalam  UNCLOS 1982  juga mewajibkan  Negara pihak untuk  melakukan  publikasi  dan  notifikasi,  antara  lain  mengenai  peraturan  perundangundangan; pertukaran informasi; publikasi laporan-laporan persiapan, dan lain-lain.
3.      Pelaksanaan termasuk Pengawasan dan Penegakan Hukumnya Di  samping  memberi  dampak  pada  perluasan  wilayah  dan  yurisdiksi  negara  di  laut, UNCLOS 1982  juga membebani negara-negara pihak dengan berbagai kewajiban dalam pelaksanaan, pengawasan dan penegakan hukum di laut.
4.      Administratif dan Kelembagaan Secara  garis  besar  kegiatan  implementasi  di  bidang  ini  meliputi  antara  lain  mekanisme untuk  menetapkan  suatu  kebijaksanaan  kelautan  (ocean  policy),  prosedur  penyusunan, perubahan dan penyesuaian peraturan perundang-undangan, pembagian tugas dan fungsi implementasi  antar  berbagai  sektor  pemerintahan  dan  koordinasi  antar  sektor-sektor tersebut.
5.      Kerjasama Internasional UNCLOS  1982  mengandung  berbagai  ketentuan  yang  menunjuk  kepada  kewajiban negara-negara  untuk  bekerjasama  dalam  pengimplementasiannya.  Kerjasama  dapat dilakukan secara langsung atau melalui organisasi internasional. Implementasi mengenai hal  ini  meliputi,  antara  lain  dengan  mengindikasikan  ruang  lingkup  kegiatan-kegiatan kerjasama  yang  mungkin  dilaksanakan,  dan  implikasinya  terhadap pengaturan  dan pelaksanaannya.
6.      Penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Sebagian  besar  dari  ketentuan-ketentuan  dalam  UNCLOS  1982  pengimplementasiannya bergantung kepada penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi kelautan secara effektif, serta  kerjasama  internasional  untuk  mengembangkan  dan  meningkatkan  kemampuan negara-negara berkembang.
7.      Hal  tersebut  dimaksudkan  agar  implementasi  ketentuan-ketentuan  UNCLOS  1982  harus dilihat  dari  segi  tugas  penyerasian  dan  penyusunan  peraturan  perundang-undangan (legislatif), penegakan hukum (judikatif), dan dari segi administrasi pemerintahan (eksekutif). Di dalam UNCLOS 1982 digunakan berbagai terminologi yang beragam sehingga sulit untuk membedakan  antara  implementasi  yang  memerlukan  penetapan  peraturan  perundangundangan, atau yang cukup dengan bentuk persyaratan administratif saja.
8.      UNCLOS 1982 merupakan pengaturan yang sangat komprehensif dan kompleks, oleh karena itu akan banyak pengulangan langkah implementasi yang serupa karena dalam substansi yang mengatur berbagai kegiatan di laut  tersebut ditemukan  pengulangan tentang hal-hal serupa, yang  pelaksanaannya  dikaitkan  dengan  kegiatan-kegiatan  atau  zona-zona  maritim  yang berbeda.

6.  Keuntungan Indonesia saat mengImplementasi UNCLOS 1982 oleh Indonesia.
1.  Penetapan, Penyesuaian atau Perubahan Peraturan Perundang-Undangan Nasional.
Indonesia  merupakan  negara  yang  cukup  awal  dalam  meratifikasi  UNCLOS  1982  dengan mengundangkan  Undang-undang  No.  17  tahun  1985  pada  tanggal  31  Desember  1985. UNCLOS 1982  sangat penting karena telah memberikan landasan hukum internasional bagi kedudukan  Indonesia  sebagai  suatu  negara  kepulauan.  Wawasan  Nusantara  yang dideklarasikan  pada  tahun  1957  pada  akhirnya  diakui  oleh  masyarakat  internasional,  dan dimasukkan  ke  dalam  Bab  IV  UNCLOS  1982.  Sebagai  negara  yang  telah  meratifikasinya, Indonesia  berkewajiban untuk segera melakukan tindak lanjut dengan mengimplementasikan ketentuan-ketentuan  hukum  internasional  tersebut  ke  dalam  peraturan  perundang-undangan nasional.  Dua  hal  yang  penting  yang  berkaitan  dengan  wilayah  kedaulatan  dan  yurisdiksi negara di laut adalah Penetapan  Batas-Batas  Terluar  dari  Berbagai  Zona  Maritim  yang  Berada  di  Bawah Kedaulatan dan Yurisdiksi Negara  Untuk  itu  pada  tanggal  8  Agustus  1996,  Pemerintah  menetapkan  Undang-undang  No.  6 tahun  1996  tentang  Perairan  Indonesia    untuk  menggantikan  Perpu  No.  4  tahun  1960. Melalui  Undang-undang  tersebut  untuk  pertama  kalinya  Indonesia  menetapkan  dirinya sebagai  suatu  negara  kepulauan  sebagaimana  dinyatakan  dalam  Pasal  2  Undang-undangini. Lebih jauh  Undang-undang  ini juga telah menempatkan bagian penting dari Deklarasi Djuanda 1957 dalam Pasal yang sama, yang berbunyi: “Segala  perairan  di  sekitar,  di  antara,  dan  yang  menghubungkan  pulau-pulau  atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak memperhitungkan luas atau lebarnya merupakan bagian integral dari wilayah daratanNegara Republik Indonesia sehingga merupakan bagian dari perairan Indonesia yang berada di bawah kedaulatan Negara Republik Indonesia.” Pasal 6 Undang-Undang tersebut menetapkan bahwa garis-garis pangkal lurus kepulauan Indonesia  dicantumkan  dalam  peta  dengan  skala  atau  skala-skala  yang  memadai  untuk menegaskan  posisinya,  atau  dapat  pula  dibuat  daftar  titik-titik  koordinat  geografis  yang secara jelas memerinci datum geodetiknya. Peta  atau daftar koordinat  geografis tersebut lebih  lanjut  diatur  dengan  Peraturan  Pemerintah  No.  38  tahun  2002  tentang  Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. Kurang  lebih  satu  dekade  sebelum  UNCLOS  1982  mulai  berlaku,  Indonesia  telah mengumumkan juga  Undang-undang  No. 5 tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia yang mengatur tentang pelaksanaan hak-hak berdaulat dan yurisdiksi Indonesia di  Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Pelaksanaan lebih lanjut  Undang-undang  ini diatur dalam Peraturan  Pemerintah  No. 15 tahun 1984 tentang Pengelolaan  Sumber Daya Alam Hayati di Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia. Pengaturan tentang perikanan secara umum kemudian  dituangkan  ke  dalam  Undang-undang  No.  9  tahun  1985  tentang  Perikanan beserta  beberapa  peraturan  pelaksanaannya,  yang  sejak  berdirinya  Departemen  Kelautan dan  Perikanan  telah  mengalami  beberapa  kali  perubahan,  khususnya  dalam  pengaturan tentang usaha perikanan termasuk di  Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. DPR mencoba untuk  mengubah  Undang-undang  No.  9  tahun  1985  tersebut  melalui  mekanisme  hak inisiatif  dan  telah  berhasil  menyusun  Undang-undang  No.  31  tahun  2004  tentang Perikanan yang kemudian diubah dengan Undang-undang No. 43 tahun 2009.
Upaya untuk    menyesuaikan  Undang-undang  No. 1 tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia dengan ketentuan  UNCLOS 1982  telah dilakukan oleh Kementrian Hukum dan HAM.  Konvensi ini memberi peluang kepada  Indonesia untuk menetapkan batas terluarlandas kontinen, minimal sampai dengan 200 mil-laut, dan maksimal sampai dengan batas 350 mil-laut dari titik-titik pangkal pada garis-garis pangkal Indonesia, atau pada jarak 100 mil  dari  kedalaman  (isobath)  2500  meter.  Apabila  secara  teknis-ilmiah  Indonesia  dapat mencapai  batas  maksimal  tersebut,  menurut  ketentuan  Pasal  4  dari  Annex  II  UNCLOS 1982,   batas  tersebut  harus  diserahkan  kepada  Commission  on  the  Limits  of  the Continental  Shelf  (beyond  200  Miles)  paling  lambat  10  tahun  setelah  mulai  berlakunya UNCLOS  1982  tersebut,  jadi  batas  waktu  sesuai  dengan  ketentuan  tersebut  akan  jatuh pada tanggal 16 November 2004. Berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB, batas waktu tersebut  telah  diperpanjang  hingga  tahun  2009.  Pada  tanggal  16  Juni  2008  pemerintah Indonesia    telah menyampaikan kepada  CLCS,  sesuai dengan ketentuan Pasal 76 ayat (8) UNCLOS 1982,  submisi  tentang batas terluar  landas kontinen Indonesia diluar batas 200 mil diukur dari garis pangkal di daerah Barat Laut pulau Sumatera. Pada tanggal  28 Maret2011  CLCS  menetapkan  “Recommendations  of  the  Commission  on  the  Limits  of  the Continental Shelf in regard to the submission made by Indonesia in respect of the area North West of Sumatra on 16 June 2008”. Belum diketahui apakah dengan rekomendasi tersebut  submisi  Indonesia  dapat  disetujui  sehingga  Indonesia  dapat  memperluas  landas kontinennya di daerah tersebut, Disamping  itu,  penetapan  titik-titik  pangkal  dan  garis-garis  pangkal  Indonesia  dapat dijadikan dasar untuk meninjau kembali ketentuan Undang-Undang No. 1 tahun 1973, dan menetapkan  batas  terluar  landas  kontinen  Indonesia  sesuai  dengan  ketentuan  hukum internasional yang baru
2. Kerjasama Internasional.
Mengingat  bahwa  Indonesia  belum  memiliki  kemampuan  yang  cukup  memadai  untuk menangani  hampir  semua  permasalahan  di  bidang  kelautan,  adanya  ketentuan-ketentuan UNCLOS 1982 yang mewajibkan kerja sama antar negara, akan dapat membantu Indonesia dalam pelaksanaannya.
Di  bidang  keselamatan  di  laut  misalnya,  salah  satu  contoh  kerja  sama  yang  sangat  baikbahkan  jauh  sebelum  UNCLOS  1982  terbentuk.  Kerja  sama  di  Selat  Malaka  dan  Selat Singapura  dilakukan  oleh  Indonesia,  Malaysia  dan  Singapura  sebagai  negara  tepi  selat, dengan  Jepang  sebagai  negara  pemakai  selat.  Selain  dari  itu  negara-negara  tepi  selat  juga mengadakan kerjasama secara bilateral untuk melakukan patroli secara terkoordinasi.
Dalam  perkembangannya  masalah  keselamatan  di  laut  (maritime  safety)  telah  bergeser menjadi  masalah  keamanan  di  laut  (maritime  security).  Kerja  sama  antar  tiga  negara  tepi Selat  Malaka  dan  Selat  Singapura  di  atas  pernah  menghadapi  tantangan  karena  adanya keinginan  negara  adidaya  untuk  turut  berperan  dalam  menangani  masalah  ini  dengan  caracara yang dikhawatirkan akan menimbulkan dampak terhadap kedaulatan ketiga negara tepi. Akhirnya atas inisiatif Indonesia kerja sama antara tiga negara tepi dapat terjalin kembali.
Selama ini International Maritime Organization  (IMO)  sebagai organisasi internasional yang memiliki  kewenangan  untuk  menangani  masalah-masalah  teknis  pelayaran  telah  banyak memberikan  bantuan  kepada  ketiga  negara  tepi.  Meskipun  UNCLOS  1982  mengandung ketentuan  yang  mengatur  tentang  kerja  sama  antara  negara  tepi  dan  negara  pemakai  selat, untuk  sekian  lama  hanya  Jepang  yang  telah  melaksanakan  kerja  sama  demikian.  Dalam perkembanganmnya kemudian, sejalan dengan ketentuan Pasal 43 UNCLOS 1982, sejumlah negara  telah  menyatakan  kesediaannya  untuk  membantu  tiga  negara  tepi  untuk mengimplementasikannya.
Dalam  upaya  perlindungan  dan  pelestarian  laut  khususnya  dari  pencemaran  oleh  minyak, upaya  penyusunan  regional  contingency  plan  yang  pernah  diusahakan  perlu  digalakkan kembali  mengingat  minyak  masih  merupakan  sumber  pencemaran  yang  mengganggu pelestarian lingkungan laut.
Masih  banyak  bidang-bidang  kerja  sama  internasional  lainnya  yang  diwajibkan  oleh UNCLOS  1982  yang  belum  dilaksanakan  oleh  Indonesia,  seperti  misalnya  di  bidang pengelolaan  dan  konservasi  sumber  daya  hayati  secara  umum,  khususnya  untuk  jenis-jenis straddling  atau  shared  stocks,  dan  jenis-jenis  ikan  yang  bermigrasi  jauh.  Untuk  ini keikutsertaan  dalam  organisasi  perikanan  regional  akan  sangat  bermanfaat  bagi  Indonesia.Dewasa  ini  Indonesia  sudah  menjadi  anggota  dari  tiga  organisasi  pengelolaan  perikanan regional, yaitu Commission for the Conservation of Southern Blue-fin Tuna (CCSBT), Indian Ocean  Rtuna  Commission(IOTC)  dan  Western  and  Central  Pacific  Fisheries  Commission (WCPFC).
3. Penggunaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek)
Penggunaan  ilmu  pengetahuan  dan  teknologi  sangat  berperan  dalam  implementasi  tehnis UNCLOS 1982. Beberapa ketentuan tentang pengelolaan dan konservasi sumber daya hayati misalnya mensyaratkan penggunaan bukti-bukti ilmiah yang terbaik (best scientific evidence). Indonesia  perlu  untuk  mencari  kesempatan  untuk  dapat  mengggunakan  ilmu  pengetahuan selain melalui kerja sama internasional juga melalui alih teknologi.


BAB III
PENUTUP

A.       Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang bisa didapat dari makalah tentang Pentingnya Hubungan Internasional Terhadap Pengelolan Sumberdaya Kelautan di Indonsesia yakni:
1.      Sejarah pembentukan hukum laut meliputi: Zaman Portugal dan Spanyol, Setelah Zaman Romawi, Sebelum Romawi Zaman Romawi, Belanda, Inggris.
2.      Untuk tahapan-tahapan Hukum Laut Internasional sebanyak 4 kali: Konferensi Kodifikasi Den Haag Tahun 1930, Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957 tentang Hukum Laut, Konferensi  Perserikatan  Bangsa-Bangsa  tentang  Hukum  Laut  I  tahun  1958 (UNCLOS I), Konferensi Hukum Laut UNCLOS II tahun 1960 dan UNCLOS III tahun 1982.
3.      Pentingnya Peranan Hukum Laut Internasional terhadap pengelolahan sumberdaya kelautan di Indonesia adalah Penetapan, Penyesuaian dan Perubahan Peraturan Perundang-undangan  Nasional, Kerjasama Internasional,  Penggunaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek).

B.                  Saran
Dalam menjalani hubungan internasional utamanya laut. Setidaknya Indonesia dapat mengambil peran strategis dengan dasar luasnya perairan laut Indonesia. salah satunya dengan mengexplore perjanjian-perjanjian yang sudah dilaksanakan.

C.                  Kritik
Banyaknya perjanjian yang sudah Indonesia teken belum mampu berimbas banyak utamanya dalam mensejahterakan harkat martabat dan kesejahteraan masyarakat Indonesia. hal ini berbalik dengan luasnya perairan yang Indonesia miliki.
Daftar Pustaka

www.suaramerdeka.com/Sengketa-Dengan-Negara-Lain.html
Prijanto Heru. 2007. Hukum Laut Internasional. Bayumedia Publishing.Malang
Arsana Andi I Made. 2008. Batas Maritim Antarnegara, Sebuah Tinjauan Teknis dan Yuridis. Yogyakarta
Agoes. Etty R. 2015. Penguatan Hukum Internasional Kelautan. Universitas Padjajaran
Kusumaatmadja Mochtar. 1986. Hukum Laut Internasional. Binacipta. Bandung
http://kuliahitukeren.blogspot.com/2011/03/pengertian-laut-lepas.html
Subagyo P. Joko. 2005. Hukum Laut Indonesia. Rineka Cipta. Jakarta
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
G.J Starke,Q.C. 2008. Pengantar hukum internasional. Sinar Gerafika. Jakarta
http://blogpajak.com/pengertian-zona-ekonomi-eklusif-zee