MAKALAH
UNTUK
MEMENUHI NILAI TUGAS
HUKUM
PERATURAN PERIKANAN
Yang
diajar oleh Bapak Dr. Ir. Gatut Bintoro, M.Sc
Oleh :
ADYAKSA BHASKARA
ALI AHSAN
M. CHOIRUL ANAM
YANUAR EKA F
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
MARET
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hukum
laut internasional adalah
seperangkat norma hukum
yang mengatur hubungan antara Negara
pantai atau yang
berhubungan dengan pantai.
Yang terkurung oleh
daratan dan atau organisasi
maupun subjek hukum internasional lainnya. Yang mengatur tentang kedaulatan Negara
di laut. Yuridiksinya Negara dan hak
– hak Negara atas perairan
tersebut. Hukum laut internasional menpelajari tentang aspek – apek
hukum di laut dan peristiwa hukum yang terjadi di laut.
Hukum laut
internasional mengalami perkembangan
secara terus –
menerus dan mengalami
penyempurnaan dari waktu ke waktu untuk kepentingan umat manusia melalui aturan
– aturan yg berlaku tiap – tiap Negara.
Pada zaman Romawi , penguasaan laut belum
menimbulkan persoalan perlintasan laut, karena
kekuatan Romawi sebagai
kekuasaan kekaisaran (imperium)
masih menguasai Laut Tengah dan belum ada kerajaan-kerajaan
yang mengimbangi kekuatan kekaisaran Romawi pada waktu itu.
Pada masa abad
pertengahan imperium Romawi
runtuh, maka bermunculanlah negara-negara yang
menuntut sebagian laut
yang berbatasan dengan
pantainya, antara lain
Venetia mengklaim Laut
Adriatik, Genoa mengklaim
laut Liguria dan
Pisa mengklaim laut
Thyrrhenia. Klaim negara-negara
ini menimbulkan keadaan yang
menyebabkan laut tidak
lagi menjadi milik
bersama, sehingga diperlukan
peraturan untuk menjelaskan
kedudukan hak-hak atas
laut menurut hukum.
Perjalanan hukum laut
cukup panjang hingga
sampailah pada Konferensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang
Hukum Laut I
tahun 1958 (UNCLOS
I), Konferensi Hukum Laut UNCLOS II tahun 1960 dan UNCLOS III tahun
1982.
Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang
Hukum Laut (Bahasa
Inggris: United Nations Convention on the Law of the Sea)
disingkat (UNCLOS), juga disebut Konvensi Hukum
Laut atau Hukum
perjanjian Laut, adalah
perjanjian internasional yang
dihasilkan dari Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang
Hukum Laut yang ketiga (UNCLOS III ) yang
berlangsung dari tahun
1973 sampai dengan
tahun 1982. Konvensi
Hukum Laut ini
mendefinisikan hak dan
tanggung jawab negara
dalam penggunaan lautan
di dunia serta menetapkan pedoman
untuk bisnis, lingkungan,
dan pengelolaan sumber
daya alam laut.
Konvensi kesimpulkan pada
tahun 1982, menggantikan
perjanjian internasional mengenai
laut tahun 1958. UNCLOS diberlakukan
pada tahun 1994, setahun setelah Guyana menjadi negara ke 60 untuk menandatangani perjanjian Untuk saat
ini telah 158 negara dan Masyarakat Eropa telah
bergabung dalam Konvensi.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah pembentukan hukum
laut ?
2. Berapa kali tahapan-tahapan hukum laut
internasional ?
3. Pentingnya hukum internasional dalam
pengelolaan sumber daya perikanan di Indonesia.
C.
Tujuan dan Manfaat Penulisan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam
penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui sejarah perkembangan
hukum laut yang pertama kali berlaku sehingga bisa berkembang hingga saat
sekarang ini.
2. Memberikan gambaran
tentang laut territorial
Indonesia baik berdasarkan
peraturan nasional maupun peraturan internasional.
3. Melalui makalah ini diharapkan dapat
memberikan pemahaman kepadA masyarakat luas pada umumnya
dan pada penulis
khususnya mengenai laut
teritorial sehingga masyarakat
dapat ikut secara bersama sama menjaga kedaulatan indonesia.
Adapun manfaat yang ingin dicapai
adalah sebagai berikut :
1. Manfaat
Teoritis, yaitu melihat perkembangan sejarah dan perkembangan hukum yangdi
terapkan di laut dengan menggunakan hukum laut internasional.
2.
Manfaat Praktis, yaitu
sebagai bahan tambahan
pengetahuan mahasiswa mengenai batasan batasan hukum
lautinternasional dengan hukum laut nasional.
BAB
II
ISI
A.
Sejarah Lahirnya Hukum Laut
Internasional
Sejak dahulu kala telah terdapat dua konsepsi mengenai laut, yaitu: res
nullius dan res commanis.
1. Res nullius, berpendapat bahwa laut
sebagai ranah tak bertuan, atau kawasa
yang tidak ada pemiliknya. Karena tidak
ada pemiliknya, maka
laut dapat diambil
atau dimiliki oleh
masingmasing Negara.
2. Res communis, berpendapat bahwa
laut adalah milik masyarakat dunia, karena itu tidak dapat diambil dan
dimiliki secara individual
oleh Negara-negara. Sebagai
milik bersama, maka
laut harus dipergunakan untuk
kepentingan semua Negara, dan pemanfaatannya terbuka bagi semua Negara. Ini
sesuai dengan pendapat
Ulpian yang menyatakan
bahwa “the sea
is open to everybody
by nature”, dan
Celcius yang menyatakan
“ the sea
like the air,
is common to all
mankind”.
Dalam pelaksanaannya, kedua teori tersebut tak
dapt diterapkan secara kaku. Keduanya saling melengkapi, yakni dalam
batas-batas tertentu dapat dimiliki, tetapi dibatasi sampai jarak tertentu ini
dapat dilihat dalam praktik yang dianut Negara-negara sejak dahulu sampai
sekarang.
1. Zaman sebelum Romawi
Punisia
kuno, sebuah kerajaan
sebelum zaman Romawi
menganggap laut yang
mereka kuasai sebagai milik
Negara mereka. Paham
ini juga dianut
oleh bangsa Persia,
Yunani dan Rhodia. Di zaman
Rhodia, hokum laut telah mulai berkembang, yang kemudian menjadi dasar bagi
Hukum Romawi tentang laut.
2. Zaman Romawi
Setelah perang Punis III Romawi telah menjadi
penguasa tunggal di Laut Tengah. Laut Tengah
kemudian dianggap oleh
orang-orang Romawi sebagai
“danau” mereka. Dalam melaksanakan kekuasaannya
di laut tersebut
banyak tanda yang
menunjukkan bahwa dalam pandangan orang
Romawi laut bias
dimiliki. Orang Romawi
memandang laut sebagai
“public property” yakni sebagai milik Kerajaan Romawi.
3. Setelah Zaman Romawi
Setelah zaman Romawi terdapat banyak Negara di
sekitar Laut Tengah yang merupakan pecahan dari Kerajaan Romawi. Negara-negara
ini menuntut laut yang berdekatan dengan pantai mereka sebagai
wilayah mereka. Karena
itu masa ini
dipandang sebagai awal
dari berkembangnya konsep laut wilayah. Tuntutan atas kepemilikan laut
ini misalnya dilakukan oleh: (a) Venesia yang menuntut sebagian besar
Laut Adriatik. Tuntutan
ini diakui oleh
Alexander III pada
Tahun 1117. Di kawasan ini Venesia memungut kepada setiap
kapal yang melewati kawasan laut
Adriatik, (b) Genoa menuntut Laut
Liguarian dan sekitarnya,
dan (c) Pysa
menuntut dan melaksanakan kedaulatannya atas laut
Tyraania. Tuntutan-tuntutan itu cenderung menimbulkan penyalahgunaan hak oleh
Negara-negara tersebut (misalnya memungut
biaya pelayaran). Untuk
mengatasi hal ini,
para penulis pada waktu itu membatasi tuntutan tersebut
sampai batas tertentu saja. Misalnya, Bartolus, Solorzan dan Cosaregis
membatasi laut Negara pantai itu sampai 100 mil Italia (pada waktu itu = 1480
m). Baldus, Bodin dan Targa membatasinya sampai 60 mil, Loccanius membatasinya
sampai batas yang diinginkan oleh Negara pantai tanpa merugikan negara
tetangganya.
4. Zaman Portugal dan Spanyol
Jatuhnya Constantinopel ke tangan Turki pada
tahun 1443, menyebabkan bangsa Portugis mencari jalan laut lain ke timur menuju
Indonesia melalui Samudera Hindia. Selain itu, Portugal juga menuntut Laut
Atlantik sebelah selatan Maroko sebagai wilayah mereka. Bersamaan dengan
ini, Spanyol sudah
samapi di Maluku
melalui Samudera Pasifik,
dan menuntut Samudera
ini bersama dengan bagian Barat Samudera Atlantik dan Teluk Mexico
sebagai kepunyaan mereka. Tuntutan kedua Negara ini diakui oleh Paus Alexander
VI, yang membagi dua lautan di dunia
menjadi dua bagian
dengan batas garis
meridian 100 leagues
(lk. 400 mil
laut) sebelah Barat Azores.
Sebelah barat dari meridian tersebut (Samudera Atlantik Barat, Teluk Mexico dan
Samudera Pasifik) menjadi miliki Spanyol, dan sebelah Timur (Atlantik sebelah
Selatan Maroko, dan Samudera Hindia)
menjadi milik Portugal.
Pembagian ini kemudian
diperkuat dengan perjanjian Tordissilias
antara Spanyol dan
Portugis (1494) dengan
memindahkan garis perbatasannya menjadi
370 leagues sebelah
Barat Pulau-pulau Cape
Verde di pantai
Barat Afrika. Sementara itu, Swedia dan Denmark menuntut kedaulatan atas
Laut Baltik, dan Inggris atas Narrow Seas, dan Samudera Atlantik dari Cape
Utara sampai ke Cape Finnistere,3 atau laut di sekitar kepulauan Ingrris (Mare Anglicanum).4 dan untuk
melaksanakan kedaulatannya atas laut-laut tersebut, pada abad ke-17 Inggris
memaksa orang-orang asing untuk mendapat lisensi Inggris untuk
melakukan penangkapan ikan
di Laut Utara,
dan ketika dalam
1636 Belanda mencoba menangkap
ikan, mereka diserang
dan dipaksa mebayar
30.000 found sebagai
harga kegemaran (the price of indulgence).
5. Belanda
Tuntutan
kedaulatan atas Samudera
Pasifik, Atlantik, dan
Hindia oleh Portugal
dan Spanyol serta kedaulatan atas Mare Anglicanum oleh Inggris dirasa
sangat merugikan Belanda di bidang pelayaran dan perikanan. Di bidang pelayaran
Belanda sudah sampai di Indonesia melaluiSamudera Hindia pada tahun 1596, dan mendirikan
Verenigde Oost Indische Compgnie (VOC) pada
tahun 1602. Penerobosan
melalui Samudera Hindia
ini langsung berbenturan
dengan kepentingan dan tuntutan Portugal. Di bidang perikanan
orang-orang Belanda selama berabadabad telah menangkap ikan di sekitar perairan
Mare Anglicanum, dan kegiatan ini telah dijamin oleh berbagai perjanjian antara
kedua Negara. Untuk memperkuat dalil
penentangannya atas kepemilikan
laut, Belanda berusaha mencari
dasar-dasar hokum yang
menyatakan laut adalah
bebas untuk semua
bangsa. Untuk kepentingan
ini Belanda menyewa
Hugo de Groot,
seorang ahli hokum
untuk menulis sebuah buku yang membenarkan pendirian Belanda,
shingga orang-orang Belanda dapat bebas berlayar ke Indonesia. Hasilnya, Grotius menyusun
sebuah buku dengan judul “Mare Liberum”. Buku ini menguraikan teori kebebasan
lautan dalam arti bahwa laut bebas bagi setiap orang, dan tak dapat dimiliki
oleh siapa pun. Teori Gratius mendapat tentangan dari banyak penulis seangkatannya.
Gentilis misalny, membela tuntutan
Spanyol dan Inggris dalam bukunya “Advocatio Hispanica” yang diterbitkan setelah ia meninggal, tahun 1613. Pada tahun
yang sama William Wellwood membela tuntutan Inggris dalam
bukunya “de Dominio
Maris”.njohn Seldon menulis
Mare Clausum sive
de Domino Marsnya pada
tahun 1618 dan
terbit pada tahun
1635. Paolo Sarpi
menerbitkan “Del Dominio del mare
Adriatico” 1676 untuk membela tuntutan Venesia
atas laut lautan Adriatik. Yang terpenting dari buku-buku yang membela
kepentingan kepemilikan atas laut adalaah Mare Clausum Shelden.
Karya ini diperintahkan
untuk diterbitkan pada tahun
1635 pada masa
raja Charles I, yang meminta agar penulis Mare Liberium dihukum.
6. Inggris
Pada mulanya, sebelum tahun 604 Inggris
menganut faham kebebasan lautan. Faham ini
dianut terutama untuk
menghadapi tuntutan Denmark
atas kebebasan di
laut Utara.. namun dalam tahun 1604 Charles I
memproklamirkan “King Chamber Area” yang meliputi 26 wilyayah di sepanjang dan
sekitar lautan Inggris (Mare Anglicanum) sebagai wilayah kedaulatan Inggris.
Di daerah-daerah ini,
diantaranya ada yang
melebihi 100 mil,
Charles I melarang
kapal-kapal nelayan asing menangkap ikan di kawasan tersebut. Tuntutan
ini ditentang oleh Belanda. Dalam
perkembangan selanjutnya, umum
diterima bahwa Negara-negara
dapat memiliki jalur-jalur laut yang terletak di sekitar atau di
sepanjang pantainya, dan di luar
jalurjalur tersebut dianggap bebas bagi semua umat manusia. Beberapa jalur laut
yang dapat dimiliki tidak sama untuk
semua Negara, dan
ini tergantung pada
jenis dan fungsi
jalur-jalur tersebut. Lebar laut
untuk kepentingan perikanan
misalnya, tidak sama
dengan untuk kepentingan netralitas, pengawasan pabean dan
kepentingan yurisdiksi perdata, pidana dan lain-lain.
B. Tahapan-tahapan Pelaksanaan Konferensi Hukum
Laut
1.
Konferensi Kodifikasi Den Haag Tahun 1930
Salah satu
masalah Hukum Internasional yang dibicarakan dalam konferensi ini adalah
perairan teritorial (territorial
water). Walaupun di
dalam konferensi ini
belum diperoleh kesepakatan
mengenai lebar laut territorial (laut wilayah), Namun demikian, sudah ada
rekaman hukum atau kejadian di dalam praktek bernegara mengenai batasan wilayah
laut. Konferensi Internasional utama
yang membahas masalah
laut teritorial ialah “codificationconference” (13
Maret – 12
April 1930) di
Den Haag, di
bawah naungan Liga Bangsa Bangsa, dan dihadiri delegasi
dari 47 negara. Konferensi ini tidak mencapai kata sepakat tentang batas
luar dari laut
teritorial dan hak menangkap
ikan dari negara-negara
pantai pada zona tambahan. Ada
yang menginginkan lebar laut teritorial 3 mil (20 negara), 6 mil (12 negara),
dan4 mil
Konferensi ini menetapkan :
1. wilayah negara
yang meliputi jalur
laut disebut Laut
Teritorial. Wilayah negara
pantai meliputi ruang udara
di atas laut
territorial, dasar laut
dan tanah dibawahnya
yang dikenal dengan istilah tiga
demensi laut teritorial. Khusus batasan
ruang udara, dikenal teori grafitasi, yaitu benda yang masih jatuh ke bawah,
masih masuk ke dalam wilayah ruang udara/angkasa negara tersebut.
2. Hak Lintas Damai, pada prinsipnya
kapal asing boleh masuk, melintas wilayah laut asal tidak membuang jangkar,
mencemarkan lingkungan, menyelundup,
dan lain-lain yang
dapat menimbulkan keadaan tidak damai (the right of innoucense)
3. Yurisdiksi criminal dan sipil atas
kapal-kapal asing
4. Pengejaran seketika (hot porsuit) bila
melanggar Sesudah Perang Dunia Kedua (tahun 1945).
Sesudah
perang dunia kedua, ada 2 (dua ) hal yang dipermasalahkan, yaitu
1. Proklamasi Presiden Amerika Serikat
tahun 1945 (Truman), menyatakan
Continental self
(landas continental) menjadi bagian
wilayah laut negara
yang bersangkutan. Tujuannya untuk
mencadangkan kekayaan alam
pada dasar laut
(seabed) dan tanah di
bawahnya (subsoil) yang
berbatasan dengan dan
gas bumi) Kontinental
self dapat dianggap sebagai
kelanjutan alamiah daratan, sehingga kekuasaan untuk mengaturnya ada pada negara pantai yang
berbatasan dengan daratan kontenen yang bersangkutan. Penggunaan wilayah
ini tidak untuk
mengganggu pelayaran bebas
melalui perairan di
atasnya yang tetap
sebagai status laut lepas.
Dengan adanya Proklamasi Presiden Amerika Serikat, Truman ini , walaupun
dianggap tindakan sepihak Amerika Serikat, tetapi membawa akibat yang besar
atas perkembangan hukum laut
internasional, karena banyak
diikuti oleh negara-negara
lain. Proklamasi Truman
ini mendorong untuk diadakannya
konferensi hukum laut di Jenewa tahun 1958 guna menentukan batas-batas
dan isi yang pasti dari continental shelf .
2. Perikanan
Walaupun Perikanan
tidak sepenting dengan
continental self, tetapi
dari sudut adanya kebebasan menagkap
ikan di laut
lepas merupakan contoh
pemanfaatan hak suatu
negara menyangkut Perikanan di luar batas laut teritorialnya. Suatu
monument sejarah yang terjadi pada tahun
1951, yaitu sengketa
antara Inggeris dan
Norwegia tentang pemilikan
dan pemanfaatanlaut. Norwegia
menetapkan batas wilayah
laut dengan cara
straight baselines (garis
pangkal lurus). Inggris menggugat pada Mahkamah Internasional mengenai
keabsahan penetapan batas Perikanan
exclusif yang ditetapkan
sepihak oleh Norwegia
tahun 1935 sebagai
hukum internasional. Gugatan Inggeris
bukan lebar laut
yang ditetapkan Norwegia
sepanjang 4 mil, tetapi
cara penarikan garis
pangkal lurus yang
menghubungkan titik-titik terluar
pada pantai Norwegia (straight
baselines). Keputusan Mahkamah Internasional ini menolak gugatan Inggeris
dan menyatakan bahwa
cara penarikan garis
pangkal lurus oleh
Norwegia dapat dibenarkan sebagai penetapan
dari suatu kaidah
Hukum Internasional yang
berlaku umum pada
suatu keadaan khusus. Keputusan
Mahkamah Internasional ini
menjadi salah satu
sumber hukum internasional
(yurisprodensi).
2. Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957
tentang Hukum Laut
Sebagaimana halnya Amerika Serikat, yang
membuat hukum laut secara sepihak melalui proklamasi Presiden
Truman tentang continental
self dan Norwegia
yang menetapkan straight
baselines (Gambar 2), Indonesia setelah
Perang Dunia ke dua, yaitu tahun 1957 juga tidak ketinggalan membuat Deklarasi
yang dikenal dengan nama Deklarasi Djuanda 13
Desember 1957 tentang
Hukum Laut. Hal
ini dilakukan karena
ketentuan peninggalan Belanda
Kringen Ordonansi 1939 mengenai perairan Indonesia, dianggap bisa berbahaya
sebagai negara kepulauan, karena
masing-masing pulau mempunyai
laut sendiri yang
disebut perairan Nusantara,
sehingga perairan antara pulau adalah laut lepas Dengan demikian, pertimbangan
deklarasi Djuanda adalah :
·
Bila diantara
pulau-pulau terdapat laut
bebas, maka Indonesia
tidak dapat melakukan kedaulatannya secara penuh di
perairan Indonesia.
·
Dapat membahayakan
integritas negara kesatuan
Republik Indonesia. Deklarasi
Djuanda, merupakan strategi Indonesia dan mengandung 4 (empat) hal,
yaitu :
1. Seluruh kepulauan
Indonesia merupakan satu
kesatuan dan laut
antara pulau-pulau Indonesia
dianggap perairan pedalaman.
2. Lalulintas damai bagi Kapal asing
dimungkinkan diperairan pedalaman (hak lintas damai = right of innocence
passage),asal tidak berhenti, membuang jangkar, membuang limbah, mondar-mandir
3. Lebar laut wilayah Indonesia adalah 12
mil laut
4. Penentuan lebar
laut wilayah diukur
dari garis yang
menghubungkan titik pulau-pulau terluar.
·
Laut
wilayah laut yang terletak sebelah luar pulau.
·
Laut
perairan pedalaman adalah laut yang terletak sebelah dalam pulau-pulau.
3.
Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
tentang Hukum Laut
I tahun 1958 (UNCLOS I)
Setelah
perdebatan panjang dan
tidak menemukan kata
kesepakatan diantara negaranegara
yang bersengketa tentang wilayah maritim, maka PBB yang sebelumnya bernama Liga Bangsa-Bangsa mengadakan
konferensi hukum laut
pertama pada tahun
1958 dan konfrensi hukum laut
yang kedua pada tahun 1960
yaitu yang lebih
dikenal dengan istilah
UNCLOS 1 dan UNCLOS 2.
Dalam konfrensi
hukum laut pertama
ini melahirkan 4
buah konvensi, dan
isi dari konvensi Unclos pertama
ini adalah:
1. Konvensi tentang laut teritorial dan
jalur tambahan (convention on the territorial sea and contiguous zone) belum
ada kesepakatan dan diusulkan dilanjutkan di UNCLOS II
2. Konvensi tentang laut lepas
(convention on the high seas) Kebebasan
pelayaran,
a. Kebebasan menangkap ikan,
b. Kebebasan
meletakkan kabel di bawah laut dan pipa-pipa,
c. Kebebasan
terbang di atas laut lepas
3. Konvensi
tentang perikanan dan
perlindungan sumber-sumber hayati
di laut lepas (convention onfishing and conservation
of the living resources of the high sea)
4.
Konvensi tentang landas
kontinen (convention on
continental shelf). Konvensi
ini telah disetujui. Pada tanggal
17 Maret – 26 April 1960 kembali dilaksanakn konferensi hukum laut yang kedua
atau UNCLOS II,
membicarakan tentang lebar
laut teritorial dan
zona tambahan perikanan,
namun masih mengalami
kegagalan untuk mencapai
kesepakatan, sehingga perlu diadakan konferensi lagi
4.
Konferensi Hukum Laut UNCLOS II tahun 1960 dan UNCLOS III tahun 1982.
Pada pertemuan
konfrensi hukum laut
kedua, telah disapakati
untuk mengadakan kembali pertemuan untuk
mencari kesepakatan dalam
pengaturan kelautan maka
diadakan kembali Konferensi Hukum
Laut PBB III
atau Unclos III
yang dihadiri 119
negara. Dalam pertemuan ini,disepakati
2 konvensi yaitu:
Ø Konvensi hukum
laut 1982 merupakan
puncak karya dari
PBB tentang hukum
laut, yangdisetujui di Montego Bay, Jamaica (10 Desember1982),
ditandatangani oleh 119 negara.
Ø Ada
15 negara yang
memiliki ZEE besar:
Amerika Serikat, Australia,
Indonesia, New
Zealand,Kanada, Uni Soviet,
Jepang, Brazil, Mexico,
Chili, Norwegia, India,
Filipina, Portugal, danRepublik Malagasi.
Tidak kurang dari
12 kali siding konferensi, UNCLOS, sejak tahun 1973 sampai 1982, dalam mencapai
hasil yang diharapkan,
yang dimulai dengan
suatu sidang pertama “keorganisasian” pada
tahun 1973 dan
berakhir pada pengesahan
naskah akhir konvensi
dan penanda tanganannya di
Montego Bay tanggal
10 desember 1982,
oleh 118 negara.
Catatan resmi mengenai prosedur pengesahan, dan keputusan-keputusan yang
tercapai pada tiap tahapan, dimuat-ulang dalam Final Act UNCLOS yang juga
ditanda tanggani pada tanggal yang sama.
Hasil pertemuan
UNCLOS III Secara garis besar Konvensi memuat beberapa hal penting, yaitu:
1. Negara-negara pantai
memiliki kedaulatan teritorial
sampai 12 mil,
tetapi kapal-kapal asing diizinkan melakukan lintas damai melalui
perairan tersebut;
2. Kapal
dan pesawat udara
dari semua negara
diizinkan melakukan lintas
transit melalui selat yang
dipergunakan bagi pelayaran
internasional, negara-negara yang
terletak di sepanjang selat bias
mengatur navigasi dan segi-segi lintas lainnya;
3. Negara-negara kepulauan adalah negara yang terdiri dari satu kelompok
atau kelompokkelompok pulau yang
saling berhubungan memiliki
kedaulatan atas laut
wilayah yang tertutup oleh garis
selat dari kepulauan tersebut; negara lain berhak melakukan lintas di garis
yang ditetapkan.
4. Negara-negara pantai memiliki hak
berdaulat atas zona ekonomi eksklusif (ZEE) 200 mil laut dalam
hubungannya dengan sumber-sumber
alam dan kegiatan-kegiatan ekonomi tertentu, dan
juga memiliki yurisdiksi
atas riset ilmiah
kepulauan dan perlindungan lingkungan. Negara-negara
lain memiliki kebebasan
penerbangan di atas
kawasan tersebut serta kebebasan meletakkan kabel bawah laut dan
jaringan pipa. Negara-negara yang
hanya dikelilingi daratan
dan letak geografisnya
tidak menguntungkan memiliki kesempatan turut mengeksploitasi
bagian penangkapan ikan berdasarkan prinsip sederajat bila negara
pantai tidak dapat
melakukannya sendiri. Spesie
ikan yang tingkat perpindahannya tinggi
dan binatang-binatang laut
menyusui akan dilindungi
secara khusus.
5. Negara-negara pantai
memiliki hak berdaulat
atas eksploitasi dan
eksplorasi landas kontinen. Landas
kontinen ini sekurangnya
200 mil dari
garis pangkal, dan
dalam keadaan tertentu dapat
lebih jauh. Negara-negara
pantai berbagi dengan
masyarakat internasional dari bagian
yang mereka peroleh dari pengelolaan sumber kekayaan alam yang berasal
dari dasar laut dalam yang berada di luar batas 200 mil. Komisi mengenai
batas-batas Landas Kontinen
akan memberikan rekomendasi
kepada negara-negara mengenai
batas di luar zona ekonomi eksklusif (ZEE).
6. Semua negara menikmati kebebasan
pelayaran tradisional, lintas penerbangan, penelitian ilmiah dan penagkapan
ikan di laut bebas, dan wajib bekerjasama dengan negara-negara lain untuk
mengelola dan melestarikan sumber-sumber hayati.
7. Laut
wilayah, ZEE dan
landas kontinen dari
kepulauan akan ditentukan
sesuai dengan ketentuan yang bias
diterapkan atas wilayah daratan, tetapi karang tak dapat menampung habitat manusia
atau kehidupan ekonomi mereka sendiri, tidak memiliki ZEE dan landaus kontinen.
8. Negara-negara yang
berbatasan dengan laut
tertutup atau setengah
tertutup diharapkan
bekerjasama dalam pengelolaan
sumber-sumber daya hayati
dan dalam kebijakan
dan kegiatan lingkungan dan penelitian;
9. Negara-negara yang dikelilingi hanya
oleh daratan memiliki hak akses ked an dari laut, dan bebas melakukan transit
melalui negara-negara transit;
10. Semua kegiatan eksploitasi dan
eksplorasi di wilayah dasar laut internasional berada di bawah kekuasaan
Otorita Dasar Laut Internasional (International Seabed Authority) yang akan
dibentuk berdasarkan Konvensi Hukum Laut ini. Otorita ini akan diberi wewenang
untuk melaksanakan operasi
pengembangaannya sendiri melalui
badan operasionya,
Enterprise, dan juga
melaksanakan kontrak dengan
perusahaan-perusahaan swasta dan negara-negara untuk memberikan kepada
mereka hak penambangan di wilayah tersebut sehingga mereka dapat beroperasi sejalan dengan Otorita tersebut.
generasi penambang dasar laut pertama, pioneer investor, akan memiliki jaminan
produksi jika wewenang itu sudah diberikan.
11. Negara-negara terikat
untuk mencegah dan
mengendallikan pencemaran laut
dan dapat dituntut atas kerusakan
yang disebabkan oleh pelanggaran kewajiban-kewajiban mereka untuk memerangi
pencemaran seperti itu.
12. Semua
penelitian ilmiah ZEE
dan landas kontinen
harus disetujui oleh
negara-negara pantai, tetapi dalam
banyak hal kegiatan
seperti itu akan
memperoleh persetujuan jika penelitian ini dilakukan untuk tujuan
damai dan memenuhi criteria tertentu.
13. Negara-negara terikat
untuk menggalakkan pembangunan
dan alih teknologi
laut “berdasarkan
ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat
yang adil dan
masuk akal” dengan memperhatikan secara seksama semua
kepentingan yang sah.
14. Negara-negara berkewajiban
menyelesaikan sengketa mereka
secara damai sejauh menyangkut penafsiran
atau penerapan Konvensi;
sengketa dapat diajukan
kepada Pengadilan
International untuk Hukum
Laut (International Tribunal
for the Law
of the Sea) yang
akan dibentuk berdasarkan
Konvensi Hukum Laut
ini, kepada Mahkamah Internasional, atau kepada badan
arbitrasi. Juga dapat dilakukan melalui konsiliasi, dan dalam keadaan tertentu
kepatuhan kepada konsiliasi merupakan keharusan.
15. Namun, sekalipun memberikan
keseimbangan jaminan kepentingan antar negara-negara maju dengan
negara-negara berkembang, KHL
1982 dianggap oleh
sebagian pakar sebagai terlalu
ambisius dan tidak
akan tercapai. Sikap
apatis ini kelihatannya
hamper menjadi kenyataan mengingat
sampai 10 tahun
setelah dibukanya penandatanganan Konvensi, Konvensi
belum juga dapat
diberlakukan. Menurut data
di Perserikatan
Bangsa-Bangsa sampai dengan
31 Maret 1992
Konvensi ini baru
diratifikasi oleh 51 negara.
16. Keraguan ini ditolak TTB Koch dengan
mengemukakan alas an-alasan sebagai berikut.
17. Konvensi akan
mendorong pemeliharaan perdamaian
dan keamanan sebab
Konvensi akan menggantikan banyak
sekali tuntutan yang
saling bersaing oleh
negara-negara pantai yang secara universal menyetujui batas-batas laut wilayah,
zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen.
18. Kepentingan masyarakat
dunia dalam kebebasan
pelayaran akan dipermudah
oleh kompromi-kompromi
penting atas zona
ekonomi eksklusif, oleh
rezim lintas damai melalui
laut wilayah, dan
rejim lintas transit
melalui selat yang
dipergunakan untuk pelayaran
internasional dan oleh rezim lintas alur kepulauan.
19. Kepentingan masyarakat
dunia dalam pelestarian
dan penggunaan optimum
sumbersumber daya hayati
laut dengan penerapan
secara sadar ketentuan-ketentuan dalam Konvensi yang berkaitan dengan zona
ekonomi eksklusif.
20. Konvensi memuat
aturan-aturan baru yang
penting bagi pelestarian
dan perlindungan lingkungan laut
dari pencemaran.
21. Konvensi memuat
aturan-aturan mengenai penelitian
ilmiah yang memberikan keseimbangan antara negara-negara
yang melakukan penelitian dan kepentingan negaranegara pantai di zona ekonomi
eksklusif atau landas kontinen tempat dilakukan penelitian tersebut.
22. Kepentingan masyarakat
dunia dengan penyelesaian
secara damai dan
diajukan pencegahan penggunaan kekerasan di antara negara-negara dengan
system penyelesaian sengketa yang bersifat wajib dalam Konvensi.
23. Konvensi berhasil
menerjemahkan asa bahwa
sumber daya alam
dasar laut dalam merupakan warisan bersama umat manusia
ke dalam institusi yang adil(fair) dan
dapat dilaksanakan (workable).
24. Walaupun belum
ideal, namun kita
dapat menemukan unsure-unsur
keadilan (equity)
internasional dalam Konvensi
seperti pembagian hasil
atas landas kontinen
di luar 200 mil,
pemberian akses kepada
negara-negara yang tertutup
daratan dan negara-negara yang secara
geografis tidak menguntungkan
atas sumber daya
hayati ZEE dan
negaranegara tetangga mereka, hubungan nelayan pantai (coastal fisheries)
dan nelayan perairan yang jauh dari pantai (distant water fisheries), dan pembagian
keuntungan yang diperoleh dari eksploitasi sumber laut dalam.
25. Penolakan Koch
tersebut menjadi kenyataan,
yakni dengan penyimpanan
(depository) instrument
ratifikasi ke-60 KHL
1982 pada Sekretaris Jendral
Perserikatan BangsaBangsa 16
Nopember 1993. Dan, sesuai dengan ketentuan pasal 308 (1), maka 1 tahun kemudian,
16 Nopember 1994 KHL III 1982 yang
terdiri dari 320 pasal dan 9 lampiran tersebut berlaku bagi masyarakt
internasional.
5.
Pentingnya Hukum Internasional Terhadap
Pengelolaan Sumber Daya Perikanan di Indonesia.
Sikap suatu negara dalam
mengimplementasikan UNCLOS 1982,
dipengaruhi oleh sejumlahfaktor, antara
lain, geografis, sumber daya alam, kependudukan,
ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya, pertahanan dan keamanan. Pengimplementasian UNCLOS 1982, dapat dibagi kedalam enam
tindakan implementasi berupa :
1. Penetapan, Penyesuaian dan Perubahan
Peraturan Perundang-undangan Nasional . Negara-negara pihak
sebaiknya membuat daftar
tentang hal-hal mana
yang memerlukan pengaturan
melalui peraturan perundang-undangan nasional. Untuk itu juga perlu dibuat
suatu analisis tentang
dampak UNCLOS 1982
terhadap peraturan perundang-undangan yang sudah
ada, sehingga dapat
diidentifikasikan mana yang
hanya memerlukan perubahan kecil,
mana yang perlu dicabut dan diubah sesuai dengan ketentuan UNCLOS 1982, atau
mana yang memerlukan pengaturan yang
baru sama sekali. Ke dalam peraturan perundang-undangan yang sudah ada termasuk
ratifikasi terhadap konvensi atau perjanjian internasional lain
yang mungkin juga
mengandung ketentuan yang
dapat dipakai untuk mengatur sebagian besar dari hal-hal
tersebut.
2. Publikasi dan Notifikasi Di
samping itu berbagai ketentuan dalam UNCLOS 1982
juga mewajibkan Negara pihak
untuk melakukan publikasi
dan notifikasi, antara
lain mengenai peraturan
perundangundangan; pertukaran informasi; publikasi laporan-laporan
persiapan, dan lain-lain.
3. Pelaksanaan termasuk Pengawasan dan
Penegakan Hukumnya Di samping memberi
dampak pada perluasan
wilayah dan yurisdiksi
negara di laut, UNCLOS 1982 juga membebani negara-negara pihak dengan
berbagai kewajiban dalam pelaksanaan, pengawasan dan penegakan hukum di laut.
4. Administratif dan Kelembagaan Secara garis
besar kegiatan implementasi
di bidang ini
meliputi antara lain
mekanisme untuk menetapkan suatu
kebijaksanaan kelautan (ocean
policy), prosedur penyusunan, perubahan dan penyesuaian
peraturan perundang-undangan, pembagian tugas dan fungsi implementasi antar
berbagai sektor pemerintahan
dan koordinasi antar
sektor-sektor tersebut.
5. Kerjasama Internasional UNCLOS 1982
mengandung berbagai ketentuan
yang menunjuk kepada
kewajiban negara-negara
untuk bekerjasama dalam
pengimplementasiannya.
Kerjasama dapat dilakukan secara
langsung atau melalui organisasi internasional. Implementasi mengenai hal ini
meliputi, antara lain
dengan mengindikasikan ruang
lingkup kegiatan-kegiatan
kerjasama yang mungkin
dilaksanakan, dan implikasinya
terhadap pengaturan dan
pelaksanaannya.
6. Penggunaan ilmu pengetahuan dan
teknologi (Iptek). Sebagian besar dari
ketentuan-ketentuan dalam UNCLOS
1982 pengimplementasiannya
bergantung kepada penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi kelautan secara
effektif, serta kerjasama internasional
untuk mengembangkan dan
meningkatkan kemampuan
negara-negara berkembang.
7. Hal
tersebut dimaksudkan agar
implementasi ketentuan-ketentuan UNCLOS
1982 harus dilihat dari
segi tugas penyerasian
dan penyusunan peraturan
perundang-undangan (legislatif), penegakan hukum (judikatif), dan dari
segi administrasi pemerintahan (eksekutif). Di dalam UNCLOS 1982 digunakan berbagai
terminologi yang beragam sehingga sulit untuk membedakan antara
implementasi yang memerlukan
penetapan peraturan perundangundangan, atau yang cukup dengan
bentuk persyaratan administratif saja.
8. UNCLOS 1982 merupakan pengaturan yang
sangat komprehensif dan kompleks, oleh karena itu akan banyak pengulangan
langkah implementasi yang serupa karena dalam substansi yang mengatur berbagai
kegiatan di laut tersebut ditemukan pengulangan tentang hal-hal serupa, yang pelaksanaannya dikaitkan
dengan kegiatan-kegiatan atau
zona-zona maritim yang berbeda.
6. Keuntungan
Indonesia saat mengImplementasi UNCLOS 1982 oleh Indonesia.
1. Penetapan, Penyesuaian atau Perubahan
Peraturan Perundang-Undangan Nasional.
Indonesia
merupakan negara yang cukup awal
dalam meratifikasi UNCLOS
1982 dengan mengundangkan Undang-undang
No. 17 tahun
1985 pada tanggal
31 Desember 1985. UNCLOS 1982 sangat penting karena telah memberikan
landasan hukum internasional bagi kedudukan
Indonesia sebagai suatu
negara kepulauan. Wawasan
Nusantara yang
dideklarasikan pada tahun
1957 pada akhirnya
diakui oleh masyarakat
internasional, dan
dimasukkan ke dalam
Bab IV UNCLOS
1982. Sebagai negara
yang telah meratifikasinya, Indonesia berkewajiban untuk segera melakukan tindak
lanjut dengan mengimplementasikan ketentuan-ketentuan hukum
internasional tersebut ke
dalam peraturan perundang-undangan nasional. Dua
hal yang penting
yang berkaitan dengan
wilayah kedaulatan dan
yurisdiksi negara di laut adalah Penetapan Batas-Batas
Terluar dari Berbagai
Zona Maritim yang
Berada di Bawah Kedaulatan dan Yurisdiksi Negara Untuk
itu pada tanggal
8 Agustus 1996,
Pemerintah menetapkan Undang-undang
No. 6 tahun 1996
tentang Perairan Indonesia
untuk menggantikan Perpu
No. 4 tahun
1960. Melalui Undang-undang tersebut
untuk pertama kalinya
Indonesia menetapkan dirinya sebagai suatu
negara kepulauan sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal
2 Undang-undangini. Lebih
jauh Undang-undang ini juga telah menempatkan bagian penting
dari Deklarasi Djuanda 1957 dalam Pasal yang sama, yang berbunyi: “Segala perairan
di sekitar, di
antara, dan yang
menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan
Negara Republik Indonesia, dengan tidak memperhitungkan luas atau lebarnya
merupakan bagian integral dari wilayah daratanNegara Republik Indonesia
sehingga merupakan bagian dari perairan Indonesia yang berada di bawah
kedaulatan Negara Republik Indonesia.” Pasal 6 Undang-Undang tersebut
menetapkan bahwa garis-garis pangkal lurus kepulauan Indonesia dicantumkan
dalam peta dengan
skala atau skala-skala
yang memadai untuk menegaskan posisinya,
atau dapat pula
dibuat daftar titik-titik
koordinat geografis yang secara jelas memerinci datum
geodetiknya. Peta atau daftar
koordinat geografis tersebut lebih lanjut
diatur dengan Peraturan
Pemerintah No. 38
tahun 2002 tentang
Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan
Indonesia. Kurang lebih satu
dekade sebelum UNCLOS
1982 mulai berlaku,
Indonesia telah mengumumkan juga Undang-undang
No. 5 tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia yang mengatur
tentang pelaksanaan hak-hak berdaulat dan yurisdiksi Indonesia di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Pelaksanaan
lebih lanjut Undang-undang ini diatur dalam Peraturan Pemerintah
No. 15 tahun 1984 tentang Pengelolaan
Sumber Daya Alam Hayati di Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia. Pengaturan
tentang perikanan secara umum kemudian
dituangkan ke dalam
Undang-undang No. 9
tahun 1985 tentang
Perikanan beserta beberapa peraturan
pelaksanaannya, yang sejak
berdirinya Departemen Kelautan dan
Perikanan telah mengalami
beberapa kali perubahan,
khususnya dalam pengaturan tentang usaha perikanan termasuk
di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. DPR
mencoba untuk mengubah Undang-undang
No. 9 tahun
1985 tersebut melalui
mekanisme hak inisiatif dan
telah berhasil menyusun
Undang-undang No. 31
tahun 2004 tentang Perikanan yang kemudian diubah dengan
Undang-undang No. 43 tahun 2009.
Upaya untuk
menyesuaikan Undang-undang No. 1 tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia
dengan ketentuan UNCLOS 1982 telah dilakukan oleh Kementrian Hukum dan HAM. Konvensi ini memberi peluang kepada Indonesia untuk menetapkan batas terluarlandas
kontinen, minimal sampai dengan 200 mil-laut, dan maksimal sampai dengan batas 350
mil-laut dari titik-titik pangkal pada garis-garis pangkal Indonesia, atau pada
jarak 100 mil dari kedalaman
(isobath) 2500 meter.
Apabila secara teknis-ilmiah
Indonesia dapat mencapai batas
maksimal tersebut, menurut
ketentuan Pasal 4
dari Annex II
UNCLOS 1982, batas tersebut
harus diserahkan kepada
Commission on the
Limits of the Continental Shelf
(beyond 200 Miles)
paling lambat 10 tahun setelah
mulai berlakunya UNCLOS 1982
tersebut, jadi batas
waktu sesuai dengan
ketentuan tersebut akan
jatuh pada tanggal 16 November 2004. Berdasarkan Resolusi Majelis Umum
PBB, batas waktu tersebut telah diperpanjang
hingga tahun 2009.
Pada tanggal 16
Juni 2008 pemerintah Indonesia telah menyampaikan kepada CLCS,
sesuai dengan ketentuan Pasal 76 ayat (8) UNCLOS 1982, submisi
tentang batas terluar landas
kontinen Indonesia diluar batas 200 mil diukur dari garis pangkal di daerah
Barat Laut pulau Sumatera. Pada tanggal
28 Maret2011 CLCS menetapkan
“Recommendations of the
Commission on the
Limits of the Continental Shelf in regard to the
submission made by Indonesia in respect of the area North West of Sumatra on 16
June 2008”. Belum diketahui apakah dengan rekomendasi tersebut submisi
Indonesia dapat disetujui
sehingga Indonesia dapat
memperluas landas kontinennya di
daerah tersebut, Disamping itu, penetapan
titik-titik pangkal dan
garis-garis pangkal Indonesia
dapat dijadikan dasar untuk meninjau kembali ketentuan Undang-Undang No.
1 tahun 1973, dan menetapkan batas terluar
landas kontinen Indonesia
sesuai dengan ketentuan
hukum internasional yang baru
2.
Kerjasama Internasional.
Mengingat bahwa
Indonesia belum memiliki
kemampuan yang cukup
memadai untuk menangani hampir
semua permasalahan di
bidang kelautan, adanya
ketentuan-ketentuan UNCLOS 1982 yang mewajibkan kerja sama antar negara,
akan dapat membantu Indonesia dalam pelaksanaannya.
Di bidang
keselamatan di laut
misalnya, salah satu
contoh kerja sama
yang sangat baikbahkan
jauh sebelum UNCLOS
1982 terbentuk. Kerja
sama di Selat
Malaka dan Selat Singapura dilakukan
oleh Indonesia, Malaysia
dan Singapura sebagai
negara tepi selat, dengan
Jepang sebagai negara
pemakai selat. Selain
dari itu negara-negara
tepi selat juga mengadakan kerjasama secara bilateral
untuk melakukan patroli secara terkoordinasi.
Dalam perkembangannya masalah
keselamatan di laut
(maritime safety) telah
bergeser menjadi masalah keamanan
di laut (maritime
security). Kerja sama
antar tiga negara
tepi Selat Malaka dan
Selat Singapura di
atas pernah menghadapi
tantangan karena adanya keinginan negara
adidaya untuk turut
berperan dalam menangani
masalah ini dengan
caracara yang dikhawatirkan akan menimbulkan dampak terhadap kedaulatan
ketiga negara tepi. Akhirnya atas inisiatif Indonesia kerja sama antara tiga
negara tepi dapat terjalin kembali.
Selama
ini International Maritime Organization
(IMO) sebagai organisasi
internasional yang memiliki
kewenangan untuk menangani
masalah-masalah teknis pelayaran
telah banyak memberikan bantuan
kepada ketiga negara
tepi. Meskipun UNCLOS
1982 mengandung ketentuan yang
mengatur tentang kerja
sama antara negara
tepi dan negara
pemakai selat, untuk sekian
lama hanya Jepang
yang telah melaksanakan kerja
sama demikian. Dalam perkembanganmnya kemudian, sejalan
dengan ketentuan Pasal 43 UNCLOS 1982, sejumlah negara telah
menyatakan kesediaannya untuk
membantu tiga negara
tepi untuk mengimplementasikannya.
Dalam upaya
perlindungan dan pelestarian
laut khususnya dari
pencemaran oleh minyak, upaya
penyusunan regional contingency
plan yang pernah diusahakan
perlu digalakkan kembali mengingat
minyak masih merupakan
sumber pencemaran yang
mengganggu pelestarian lingkungan laut.
Masih banyak
bidang-bidang kerja sama
internasional lainnya yang
diwajibkan oleh UNCLOS 1982
yang belum dilaksanakan
oleh Indonesia, seperti misalnya
di bidang pengelolaan dan
konservasi sumber daya
hayati secara umum, khususnya
untuk jenis-jenis straddling atau
shared stocks, dan
jenis-jenis ikan yang bermigrasi
jauh. Untuk ini keikutsertaan dalam
organisasi perikanan regional
akan sangat bermanfaat
bagi Indonesia.Dewasa ini
Indonesia sudah menjadi
anggota dari tiga
organisasi pengelolaan perikanan regional, yaitu Commission for the
Conservation of Southern Blue-fin Tuna (CCSBT), Indian Ocean Rtuna
Commission(IOTC) dan Western
and Central Pacific
Fisheries Commission (WCPFC).
3.
Penggunaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek)
Penggunaan
ilmu pengetahuan dan
teknologi sangat berperan
dalam implementasi tehnis UNCLOS 1982. Beberapa ketentuan
tentang pengelolaan dan konservasi sumber daya hayati misalnya mensyaratkan
penggunaan bukti-bukti ilmiah yang terbaik (best scientific evidence).
Indonesia perlu untuk
mencari kesempatan untuk
dapat mengggunakan ilmu
pengetahuan selain melalui kerja sama internasional juga melalui alih
teknologi.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang bisa didapat dari
makalah tentang Pentingnya Hubungan Internasional Terhadap Pengelolan
Sumberdaya Kelautan di Indonsesia yakni:
1. Sejarah pembentukan hukum laut
meliputi: Zaman Portugal dan Spanyol, Setelah Zaman Romawi, Sebelum Romawi Zaman
Romawi, Belanda, Inggris.
2. Untuk tahapan-tahapan Hukum Laut
Internasional sebanyak 4 kali: Konferensi
Kodifikasi Den Haag Tahun 1930, Deklarasi
Djuanda 13 Desember 1957 tentang Hukum Laut, Konferensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa tentang Hukum
Laut I tahun
1958 (UNCLOS I), Konferensi Hukum Laut UNCLOS II tahun 1960 dan UNCLOS
III tahun 1982.
3. Pentingnya Peranan Hukum Laut
Internasional terhadap pengelolahan sumberdaya kelautan di Indonesia adalah Penetapan,
Penyesuaian dan Perubahan Peraturan Perundang-undangan Nasional, Kerjasama Internasional, Penggunaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
(Iptek).
B.
Saran
Dalam menjalani hubungan internasional
utamanya laut. Setidaknya Indonesia dapat mengambil peran strategis dengan
dasar luasnya perairan laut Indonesia. salah satunya dengan mengexplore
perjanjian-perjanjian yang sudah dilaksanakan.
C.
Kritik
Banyaknya perjanjian yang sudah
Indonesia teken belum mampu berimbas banyak utamanya dalam mensejahterakan
harkat martabat dan kesejahteraan masyarakat Indonesia. hal ini berbalik dengan
luasnya perairan yang Indonesia miliki.
Daftar Pustaka
www.suaramerdeka.com/Sengketa-Dengan-Negara-Lain.html
Prijanto Heru. 2007. Hukum Laut Internasional.
Bayumedia Publishing.Malang
Arsana Andi I Made. 2008. Batas Maritim
Antarnegara, Sebuah Tinjauan Teknis dan Yuridis. Yogyakarta
Agoes. Etty R. 2015. Penguatan Hukum
Internasional Kelautan. Universitas Padjajaran
Kusumaatmadja Mochtar. 1986. Hukum Laut
Internasional. Binacipta. Bandung
http://kuliahitukeren.blogspot.com/2011/03/pengertian-laut-lepas.html
Subagyo P. Joko. 2005. Hukum Laut Indonesia.
Rineka Cipta. Jakarta
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia
bebas
G.J Starke,Q.C. 2008. Pengantar hukum
internasional. Sinar Gerafika. Jakarta
http://blogpajak.com/pengertian-zona-ekonomi-eklusif-zee
No comments:
Post a Comment