*Alie Ahsan
Al-Haris
Scene 13
Bagi yang belum membaca scene 11 dan 12, dapat di cek di :
Scene 11 : Cerita 11
Scene 12 : CERITA 12
Sekar
kulirik sedang sibuk mengetik pada gadgetnya. Nampaknya perempuan-perempuan
dihadapanku ini penganggum peradaban sosialita. Novita. Novi. Hanya memandangi
obrolan kita yang terkesan perkuliahan gender.
“Kau
boleh sebut komunitas kita dengan nama Teman
Sarah. Aku sendiri yang mengagas,”
–aku matikan rokok untuk lebih fokus pada Anisa. –“mau dua tahun jalan. Tak ada
label resmi bahkan strukutur pengurus organisasi seperti yang Bagas lihat
setiap hari jika masuk ke kantor.” –aku tahu Anisa sengeja meledekku dengan
pernyataanya.
Lama
aku bicara pada Anisa. Sebagai pengagas komunitas ini memang aku fokuskan
pertanyaan demi pertanyaan padanya. Sekar dan Novi terkadang menimpali untuk
menambahkan pedanpat maupun memperkuat pernyataan dari Anisa dan Sekar.
Begitupun sebaliknya, mereka terlihat kompak menguatkan dan menopang argument
masing-masing. Dari sini dapat kutarik sedikit kesimpulan kompaknya orang-orang
ini.
Aku
ketahui betul mana pendapat yang di ada-ada dan sikap yang sok membenarkan
argument. Aku memang tak menempuh kuliah Psikologi seperti Anisa. Namun
pengalaman menjadi wartawan memberikan aku segudang pengalaman dan pelajaran
segudang karakter manusia yang aku ajak bicara.
Kisaran
jam sepuluh kurang sepuluh menit malam aku akhiri obrolan dengan tiga dara ini.
Sesuai perjanjian awal yang Novi utarakan aku takan mendapat upah wawancara.
Itu termasuk kopi dan roti bakar yang masuk hitungan mereka.
Mereka
bertiga nampaknya masih tak mau meninggalkan coffe tersebut. Diantarkanya aku
sampai luar coffe oleh Anisa dan Novi. Sekar didalam menjaga barang-barang
teman mereka. Anisa dan Novi melempar senyum terimakasih padaku. Jabatan tangan
Anisa masih seperti awal aku bertemu denganya. Halus dan hangat. Saat aku
berjabat tangan dengan Novi, kepalan tanganku terganjal oleh suatu yang aku
rasakan adalah ketas. Saat kulihat adalah amplop. Ini melanggar perjanjian.
“Itu bukan honor, itu uang bensin untuk Bagas pulang. Terlepas terbit atau
tidak itu urusan belakang.” –sahut Anisa padaku.
Kuucapkan
terimakasih banyak pada mereka. Bergegas aku pulang ke kos, badan ini sudah tak
kuasa menahan rasa capek yang tiada tara. Kurobohkan badan pada kasur lantai
yang kubeli dipasar. Tak terlalu besar memang, namun kenyamanan yang kurasakan
lebih dari ini.
Kupakai
celana pendek. Hampir mirip berbentuk seperti celana dalam. Kipas angin kuhidupkan.
Betapa segarnya udara malam ini. Kamar kecil ini serasa menjadi surga duniawi
saja. Kugulingkan badan ini kekiri dan kanan. Kuambil handphone disisi kiri
kasur lantai. Rosa menanyakan apakah aku sudah makan belum. Kau perempuan yang
manis disana, betapa perhatianya kau padaku. Hasil dipecatnya aku dari perusahaan
itu adalah kenangan manis denganmu Ros.
Teringat
jelas obrolanku dengan tiga dara tadi. Anisa, Sekar dan Novitasari.
Perempuan-perempuan diluar dugaan. Komunitas yang awalnya kukira perkumpulan
sastrawati penggiat pengarusutamaan gender terjawab semua disana. Mereka hanya
beberapa perwakilan dari salah satu komunitas penyuka sesama jenis terbesar di
Surabaya. Kok bisa aku terjebak dalam wawancara itu. Kenapa juga aku harus
menuruti permintaan liputan dengan orang yang tak kukenal sebelumnya. Apa
jadinya jika hasil liputan naik cetak. Bisa gempar masyarakat Surabaya dan
sekitarnya. Terlebih kantor. Terlebih lagi aku. Redaktur plus peliput. Mengapa
bisa seperti ini.
Aku
berdiri menuju gantungan pakaian dibelakang satu-satunya pintu dikamar ini.
Tanganku merogoh saku baju kerja mengambil rekaman yang menjadi saksi penting
wawancara yang berjalan hampir tiga jam. Kupersiapkan laptop, kubuka jendela
kamar disisi samping, asbak rokok kukosongkan, alat tulis sudah lengkap. Terasa
satu yang kurang, kubuat kopi dibelakang. Semua sudah siap. Aku siap merekap
hasil wawancara ini. Tak perduli besok masih harus kerja lagi. Rasa penasaran
dan tuntutan menjadikanku lupa waktu yang semakin kedepan mengejar tengah
malam.
Rekaman
kuputar tiga kali, kuperlamabat, suara terkadang aku kerasakan agar terdengar
jelas, tak urung juga aku harus memutar kembali dari tengah ke belakang,
begitupun sebaliknya. Rekapan selesai kutulis kisaran pukul satu dinihari.
Kerangkanya sudah kudapatkan, setting lokasinya sengaja aku samarkan, begitupun
dengan nara sumber. Sempat terbesit dalam benak fikiranku bagaimana format saat
naik cetak, artikel, sekedar hasil wawancara atau aku ulangi kesuksesanku saat
menerbitkan naskah Pukat Cinta milik Sonson. Dialektika yang dibarengi rasa
lelah luar biasa akhirnya tiba pada suatu kesimpulan hasil wawancara ini akan
naik cetak dalam bentuk cerita bersambung. Lagi. Ya, akan kuulangi gayaku.
Yang
penting aku sudah dapat kerangkanya. Mungkin terlalu pendek, itu tak masalah.
Toh ini masih rekapan orisinal. Belum masuk dapur redaksi. Karena saat ini aku
lebih memposisikan diriku sebagai Bagas. Bukan redaktur. Aku baca, baca,
kurenungi, kucari celah diantara kata dan kalimat yang kurang tepat kurang
lebih memang seperti ini.
Meski kini seperti tak ada jarak dan
bedanya perilaku seks pria dan wanita, tapi kalau diamati selalu ada sisi yang
beda. Banyak kalangan masih mengamini hubungan lawan jenis adalah hubungan
badan alias persetubuhan yang luar biasa nikmat. Namun, perlu diketahui bagi
pembaca semua. Seiringnya berkembangnya zaman, benturan peradaban yang membawa
seluruh isi-isinya ke negeri ini menjadikan seks adalah part of life. Terbukti dengan banyaknya prostitusi yang legal
dengan wanita-wanita berumur ABG sampai dengan kepala empat. Dari harga
rendahan kelas tukang metro mini sampai kelas senayan.
Hal ini juga diterima oleh para wanita
menjadikan seks sebagai hal yang anonim, nikmat; mau samau mau dan membutuhkan
satu dengan lainya. Fenomena jajan, pijat
plus plus hanya satu dari sekian model jajanan kota metropolitan macam
Surabaya. Pantas memang, kota terbesar kedua di Indonesia. sudah menjadi
rahasia umum pula, paket-paket macam striptease
live show singkat yang hanya
dilakukan kurang lebih selama 30 menit menjadi trend dikalangan cukong-cukong
rumah plesiran. Konsumen-konsumen itu sudi merogoh koceknya Rp. 300 – 400Ribu
hanya untuk menonton striptease live show selama 30 menit tanpa boleh
menyentuh sedikitpun wanita-wanita didepanya bergoyang meliuk-meliuk memamerkan
bodynya.
Singkatnya, setiap malam. Bukan hanya
di Surabaya saja, lelaki berkeliaran dengan segebok nafsu liarnya bertamu
dibalik tirai-tirai kamar seukuran 2x1 M demi jasa pelayanan cinta kilat. Rumah
plesiran. Rumah bordil. Prostitusi.
Bagaimana kalau kontradiksi ini
tiba-tiba berbalik. Lesbian. Ya, plesiran sesama jenis bukan hanya mengancam.
Diam-diam komunitas pasangan sejenis telah membangun pondasinya, siap datang memperkenalkan
jati dirinya diantara kepungan manusia yang sekarang tak peduli dengan lingkungan
dan sekitarnya.
Nampaknya hubungan badan lawan jenis
sudah tak masuk dalam kamus para pelaku-pelaku ini. Dengan sadar mereka
melakukan rajutan cinta sesama jenis. Mengggelikan. Apakah ini adalah salah satu antrian dari
Globalisasi !
Memang sementara ini yang jadi sasaran
kaum lesbian masih kota-kota besar macam Jakarta, Bandung, Surabaya dan
Denpasar. Mall-Mall besar dan Coffe menjadi tempat favorit komunitas ini.
Berikut sedikit uraian Jurnalisme Investigasi dari Team Apa Kabar Surabaya.
Merasa tenang dan nyaman dengan sesama
wanita. Unik memang, bertemu untuk sekedar gosip, ngopi dan melepas hasrat
seksual. Sebulan sekali komunitas lesbian di Surabaya ‘Teman Sarah’. Komunitas Lesbian yang usianya menjelang dua tahun
ini dalam satu bulan sering kumpul-kumpul di Mall dan Coffe di daerah
Tunjungan. Sekilas orang tak akan mengira spot-spot Mall dan Coffe menjadi
lokasi komunitas ini berkumpul. Layaknya pengunjung, penampilan mereka terlihat
normal. Ngobrol, membaca buku, majalah atau gossip tentang bisnis dan teman
kerja. Tidak ada data yang jelas berapa
total anggota dalam Teman Sarah. Saat
narasumber ditanya, menganggap tak ada ikatan dalam komunitas, sekali anggota
baru ikut nongkrong maka tak luput akan dengan sendirinya mengikuti dimanapun
komunitas ini mengadakan konkow-kongkow bareng.
Sebelum aku
rekap, Anisa beberapa kali mengirim pesan pendek untuku. Tak masalah jika
mempergunakan nama perkenalan kita di coffe, dia mengakui nama-nama tadi hanya
nama lapang mereka. Tak ada masala bagiku jika dalam penulisan ini.
Team Apa
Kabar Surabaya mewancarai Anisa (Nama Samaran). Pengagas dari komunitas Teman Sarah. Wanita berumur 31 Tahun ini
menggas Taman Sarah dengan dua teman
lainya; Novitasari dan Sekar (Nama Samaran). Ketiganya penyuka sesama jenis.
Berkenalan saat masih menempuh pendidikan tinggi. Anisa mengatakan, Teman Sarah tidak memiliki anggota
tetap. Kawan penyuka sesama jenis seperti dia dalam sekali pertemuan paling
banyak berkisar antara 14-20 wanita. Meraka berbeda meja agar tidak mencolok
dilihat orang lain, selain itu mereka dengan sendirinya akan berkumpul pada pasangan
masing-masing.
Apa hanya sebatas memenuhi kebutuhan hormonal
? –tanya kita. “Tentu tidak. Kita juga menjadikan pertemuan ajang saling share
dan saling membantu kalau ada anggota mengalami kesulitan.” –jawab Anisa.
Masalah apa yang biasa anggota bahas dan
bantu? “Mayoritas ada tekanan dari keluarga, lingkungan, pasangan dan kerjaan.
Kita akan bantu semaksimal mungkin agar anggota kita dianggap sama oleh orang
lain. Ini masalah pilihan jalan hidup. Anggota kami berhak mendapatkan tanpa
adanya tekanan dari pihak lain.”
Dimana biasa anggota Teman Sarah melakukan
hasrat berhubungan badan ? “Ada beberapa hotel di Surabaya yang menjadi
langganan kami. Kalau ingin ramai-ramai
biasa kita pakai salah satu villa dari teman kita.”
Kalian lakukan persis dengan apa yang pasangan
lawan jenis lakukan saat seranjang ? “Kalau aku sendiri tak tahu menahu apa
yang teman-teman lakukan. Banyak dari anggota memiliki pasangan Lesbian lebih
dari dua. Kalau pengalamanku, aku akan menuruti apa saja, tanpa terkecuali
bahkan dengan beragam variasi. Agar pasanganku senang.”
Siapa pasangan anda ? “Anisa menunjuk pada
Sekar. Wanita disampingnya.
Apa yang Anisa maksut dengan beragam variasi ?
dan sepengetahuan Sekar. Variasi macam apa yang anggota Teman Sarah favoritkan ? –mereka berdua tukar pandang meminta saran
satu sama lain dengan angggukanya siapa yang menjawab dulu, Anisa memulai- “Ya
tiap pengen berbeda gaya donk, masa itu-itu aja. Kita juga sering explore
kaliii.” –Sekar melanjutkan- “Temen-temen anggoota Teman Sarah termasuk aku
juga,” –dia perlihatkan senyumnya –“paling suka gaya sashimi. Fantasi dan gregetnya luar biasa nikmat.”
Kami sempat kaget dengan istilah Sashimi yang mereka utarakan. Kemudian –Jelaskan
sedikit bagaimana gambaran gaya sashimi
yang anda maksut ? “Biasa kami menyediakan meja lebar dengan panjang sesuai
bahkan lebih dari tinggi badan wanita yang akan jadi nyonya-nya. Tanpa benang yang melilit tubuh, nyonya akan telentang
diatas meja. Diatas dada sampai perut kita beri sayur, buah, daging sesuai
keinginan kita,” –Sekar menahan senyumnya, kedua pipinya terlihat mengembang
kemerahan. –“kita santap makanan diatas dada sampai perut itu tanpa ampun.”
Team sempat terdiam sejenak. Tak kuasa mendengar
apa yang pelaku sesama jenis utarakan. Kami terus kejar ketiga wanita ini
dengan pertanyaan-pertanyaan sesuai yang dia utarakan. Kami melanjutkan :
Apakah variasi-variasi tersebut memiliki trend
setiap bulanya ? –kali ini pertanyaan kiami ajukan pada wanita satunya lagi.
Novitasari. “Kalau trend itu tergantung selera para anggota. Setahuku dari
obrolan teman-teman anggota Teman Sarah, variasi favorit adalah sashimi dan coking dada super.”
Permunculan istilah-istilah kami catat secara
detail. Tak luput dengan penjelasan dari ketiga sumber yang sedang kita
wawancarai. Apakah coking dada super cara kerjanya sama dengan sashimi ? “Beda
donk. Coking dada super hanya dapat dilakukan oleh anggota Teman Sarah yang memiliki ukuran dada besar. Contoh kalau aku
pengen variasi tersebut, tinggal calling aja anggota yang memiliki ukuran dada
besar. Saat prakteknya, aku diem aja di atas ranjang. Nanti dengan
menari-narikan tubuh dan dada yang sudah banyak diolesi pelicin aku nikmati aja
servicenya.” –Novi tertawa selepas menceritakan cara kerja coking dada super.
Kurang lebih
hampir tiga jam berjalan kami akhiri obrolan yang meraka rasa santai tanpa
perlu yang ada ditutup-tutupi. Dari sekian ratus pertanyaan yang kami tanyakan
akan kami ulas pada terbitan selanjutnya. Salam baca, salam Surabaya.
***
Begitulah
kiranya rekapan hasil wawancara, setidaknya aku sudah dapat kerangkanya. Untuk
selanjutnya aku tinggal mengembangkanya. Tak terasa jam dinding pada kamar kos
ku menunjukan pukul setengah dua dinihari. Besok aku harus ke kantor. Masih banyak
pekerjaan dikantor, terlebih membalas email tanggapan terbitnya opini-opini
beberapa tokoh masyarakat dan akademisi di Surabaya terkait momen Pemilihan
Presiden 2004. Lelah sekali badan ini. Tidur menjadi cumbuan impian.
Bersambung
ke Scene 14
No comments:
Post a Comment