Saturday, March 19, 2016

DIBALIK KEHIDUPAN PARA TANTE-TANTE 13


*Alie Ahsan Al-Haris


Scene 13


Bagi yang belum membaca scene 11 dan 12, dapat di cek di :
Scene 11              : Cerita 11
Scene 12              : CERITA 12


Sekar kulirik sedang sibuk mengetik pada gadgetnya. Nampaknya perempuan-perempuan dihadapanku ini penganggum peradaban sosialita. Novita. Novi. Hanya memandangi obrolan kita yang terkesan perkuliahan gender.

“Kau boleh sebut komunitas kita dengan nama Teman Sarah.  Aku sendiri yang mengagas,” –aku matikan rokok untuk lebih fokus pada Anisa. –“mau dua tahun jalan. Tak ada label resmi bahkan strukutur pengurus organisasi seperti yang Bagas lihat setiap hari jika masuk ke kantor.” –aku tahu Anisa sengeja meledekku dengan pernyataanya.

Lama aku bicara pada Anisa. Sebagai pengagas komunitas ini memang aku fokuskan pertanyaan demi pertanyaan padanya. Sekar dan Novi terkadang menimpali untuk menambahkan pedanpat maupun memperkuat pernyataan dari Anisa dan Sekar. Begitupun sebaliknya, mereka terlihat kompak menguatkan dan menopang argument masing-masing. Dari sini dapat kutarik sedikit kesimpulan kompaknya orang-orang ini.

Aku ketahui betul mana pendapat yang di ada-ada dan sikap yang sok membenarkan argument. Aku memang tak menempuh kuliah Psikologi seperti Anisa. Namun pengalaman menjadi wartawan memberikan aku segudang pengalaman dan pelajaran segudang karakter manusia yang aku ajak bicara.

Kisaran jam sepuluh kurang sepuluh menit malam aku akhiri obrolan dengan tiga dara ini. Sesuai perjanjian awal yang Novi utarakan aku takan mendapat upah wawancara. Itu termasuk kopi dan roti bakar yang masuk hitungan mereka.

Mereka bertiga nampaknya masih tak mau meninggalkan coffe tersebut. Diantarkanya aku sampai luar coffe oleh Anisa dan Novi. Sekar didalam menjaga barang-barang teman mereka. Anisa dan Novi melempar senyum terimakasih padaku. Jabatan tangan Anisa masih seperti awal aku bertemu denganya. Halus dan hangat. Saat aku berjabat tangan dengan Novi, kepalan tanganku terganjal oleh suatu yang aku rasakan adalah ketas. Saat kulihat adalah amplop. Ini melanggar perjanjian. “Itu bukan honor, itu uang bensin untuk Bagas pulang. Terlepas terbit atau tidak itu urusan belakang.” –sahut Anisa padaku.

Kuucapkan terimakasih banyak pada mereka. Bergegas aku pulang ke kos, badan ini sudah tak kuasa menahan rasa capek yang tiada tara. Kurobohkan badan pada kasur lantai yang kubeli dipasar. Tak terlalu besar memang, namun kenyamanan yang kurasakan lebih dari ini.

Kupakai celana pendek. Hampir mirip berbentuk seperti celana dalam. Kipas angin kuhidupkan. Betapa segarnya udara malam ini. Kamar kecil ini serasa menjadi surga duniawi saja. Kugulingkan badan ini kekiri dan kanan. Kuambil handphone disisi kiri kasur lantai. Rosa menanyakan apakah aku sudah makan belum. Kau perempuan yang manis disana, betapa perhatianya kau padaku. Hasil dipecatnya aku dari perusahaan itu adalah kenangan manis denganmu Ros.

Teringat jelas obrolanku dengan tiga dara tadi. Anisa, Sekar dan Novitasari. Perempuan-perempuan diluar dugaan. Komunitas yang awalnya kukira perkumpulan sastrawati penggiat pengarusutamaan gender terjawab semua disana. Mereka hanya beberapa perwakilan dari salah satu komunitas penyuka sesama jenis terbesar di Surabaya. Kok bisa aku terjebak dalam wawancara itu. Kenapa juga aku harus menuruti permintaan liputan dengan orang yang tak kukenal sebelumnya. Apa jadinya jika hasil liputan naik cetak. Bisa gempar masyarakat Surabaya dan sekitarnya. Terlebih kantor. Terlebih lagi aku. Redaktur plus peliput. Mengapa bisa seperti ini.

Aku berdiri menuju gantungan pakaian dibelakang satu-satunya pintu dikamar ini. Tanganku merogoh saku baju kerja mengambil rekaman yang menjadi saksi penting wawancara yang berjalan hampir tiga jam. Kupersiapkan laptop, kubuka jendela kamar disisi samping, asbak rokok kukosongkan, alat tulis sudah lengkap. Terasa satu yang kurang, kubuat kopi dibelakang. Semua sudah siap. Aku siap merekap hasil wawancara ini. Tak perduli besok masih harus kerja lagi. Rasa penasaran dan tuntutan menjadikanku lupa waktu yang semakin kedepan mengejar tengah malam.

Rekaman kuputar tiga kali, kuperlamabat, suara terkadang aku kerasakan agar terdengar jelas, tak urung juga aku harus memutar kembali dari tengah ke belakang, begitupun sebaliknya. Rekapan selesai kutulis kisaran pukul satu dinihari. Kerangkanya sudah kudapatkan, setting lokasinya sengaja aku samarkan, begitupun dengan nara sumber. Sempat terbesit dalam benak fikiranku bagaimana format saat naik cetak, artikel, sekedar hasil wawancara atau aku ulangi kesuksesanku saat menerbitkan naskah Pukat Cinta milik Sonson. Dialektika yang dibarengi rasa lelah luar biasa akhirnya tiba pada suatu kesimpulan hasil wawancara ini akan naik cetak dalam bentuk cerita bersambung. Lagi. Ya, akan kuulangi gayaku.

Yang penting aku sudah dapat kerangkanya. Mungkin terlalu pendek, itu tak masalah. Toh ini masih rekapan orisinal. Belum masuk dapur redaksi. Karena saat ini aku lebih memposisikan diriku sebagai Bagas. Bukan redaktur. Aku baca, baca, kurenungi, kucari celah diantara kata dan kalimat yang kurang tepat kurang lebih memang seperti ini.

Meski kini seperti tak ada jarak dan bedanya perilaku seks pria dan wanita, tapi kalau diamati selalu ada sisi yang beda. Banyak kalangan masih mengamini hubungan lawan jenis adalah hubungan badan alias persetubuhan yang luar biasa nikmat. Namun, perlu diketahui bagi pembaca semua. Seiringnya berkembangnya zaman, benturan peradaban yang membawa seluruh isi-isinya ke negeri ini menjadikan seks adalah part of life. Terbukti dengan banyaknya prostitusi yang legal dengan wanita-wanita berumur ABG sampai dengan kepala empat. Dari harga rendahan kelas tukang metro mini sampai kelas senayan.

Hal ini juga diterima oleh para wanita menjadikan seks sebagai hal yang anonim, nikmat; mau samau mau dan membutuhkan satu dengan lainya. Fenomena jajan, pijat plus plus hanya satu dari sekian model jajanan kota metropolitan macam Surabaya. Pantas memang, kota terbesar kedua di Indonesia. sudah menjadi rahasia umum pula, paket-paket macam striptease live show singkat yang hanya dilakukan kurang lebih selama 30 menit menjadi trend dikalangan cukong-cukong rumah plesiran. Konsumen-konsumen itu sudi merogoh koceknya Rp. 300 – 400Ribu hanya untuk menonton striptease live show selama 30 menit tanpa boleh menyentuh sedikitpun wanita-wanita didepanya bergoyang meliuk-meliuk memamerkan bodynya.

Singkatnya, setiap malam. Bukan hanya di Surabaya saja, lelaki berkeliaran dengan segebok nafsu liarnya bertamu dibalik tirai-tirai kamar seukuran 2x1 M demi jasa pelayanan cinta kilat. Rumah plesiran. Rumah bordil. Prostitusi.

Bagaimana kalau kontradiksi ini tiba-tiba berbalik. Lesbian. Ya, plesiran sesama jenis bukan hanya mengancam. Diam-diam komunitas pasangan sejenis telah membangun pondasinya, siap datang memperkenalkan jati dirinya diantara kepungan manusia yang sekarang tak peduli dengan lingkungan dan sekitarnya.

Nampaknya hubungan badan lawan jenis sudah tak masuk dalam kamus para pelaku-pelaku ini. Dengan sadar mereka melakukan rajutan cinta sesama jenis. Mengggelikan. Apakah  ini adalah salah satu antrian dari Globalisasi !

Memang sementara ini yang jadi sasaran kaum lesbian masih kota-kota besar macam Jakarta, Bandung, Surabaya dan Denpasar. Mall-Mall besar dan Coffe menjadi tempat favorit komunitas ini. Berikut sedikit uraian Jurnalisme Investigasi dari Team Apa Kabar Surabaya.

Merasa tenang dan nyaman dengan sesama wanita. Unik memang, bertemu untuk sekedar gosip, ngopi dan melepas hasrat seksual. Sebulan sekali komunitas lesbian di Surabaya ‘Teman Sarah’. Komunitas Lesbian yang usianya menjelang dua tahun ini dalam satu bulan sering kumpul-kumpul di Mall dan Coffe di daerah Tunjungan. Sekilas orang tak akan mengira spot-spot Mall dan Coffe menjadi lokasi komunitas ini berkumpul. Layaknya pengunjung, penampilan mereka terlihat normal. Ngobrol, membaca buku, majalah atau gossip tentang bisnis dan teman kerja.  Tidak ada data yang jelas berapa total anggota dalam Teman Sarah. Saat narasumber ditanya, menganggap tak ada ikatan dalam komunitas, sekali anggota baru ikut nongkrong maka tak luput akan dengan sendirinya mengikuti dimanapun komunitas ini mengadakan konkow-kongkow bareng.

Sebelum aku rekap, Anisa beberapa kali mengirim pesan pendek untuku. Tak masalah jika mempergunakan nama perkenalan kita di coffe, dia mengakui nama-nama tadi hanya nama lapang mereka. Tak ada masala bagiku jika dalam penulisan ini.

Team Apa Kabar Surabaya mewancarai Anisa (Nama Samaran). Pengagas dari komunitas Teman Sarah. Wanita berumur 31 Tahun ini menggas Taman Sarah dengan dua teman lainya; Novitasari dan Sekar (Nama Samaran). Ketiganya penyuka sesama jenis. Berkenalan saat masih menempuh pendidikan tinggi. Anisa mengatakan, Teman Sarah tidak memiliki anggota tetap. Kawan penyuka sesama jenis seperti dia dalam sekali pertemuan paling banyak berkisar antara 14-20 wanita. Meraka berbeda meja agar tidak mencolok dilihat orang lain, selain itu mereka dengan sendirinya akan berkumpul pada pasangan masing-masing.

Apa hanya sebatas memenuhi kebutuhan hormonal ? –tanya kita. “Tentu tidak. Kita juga menjadikan pertemuan ajang saling share dan saling membantu kalau ada anggota mengalami kesulitan.” –jawab Anisa.

Masalah apa yang biasa anggota bahas dan bantu? “Mayoritas ada tekanan dari keluarga, lingkungan, pasangan dan kerjaan. Kita akan bantu semaksimal mungkin agar anggota kita dianggap sama oleh orang lain. Ini masalah pilihan jalan hidup. Anggota kami berhak mendapatkan tanpa adanya tekanan dari pihak lain.”

Dimana biasa anggota Teman Sarah melakukan hasrat berhubungan badan ? “Ada beberapa hotel di Surabaya yang menjadi langganan kami. Kalau  ingin ramai-ramai biasa kita pakai salah satu villa dari teman kita.”

Kalian lakukan persis dengan apa yang pasangan lawan jenis lakukan saat seranjang ? “Kalau aku sendiri tak tahu menahu apa yang teman-teman lakukan. Banyak dari anggota memiliki pasangan Lesbian lebih dari dua. Kalau pengalamanku, aku akan menuruti apa saja, tanpa terkecuali bahkan dengan beragam variasi. Agar pasanganku senang.”

Siapa pasangan anda ? “Anisa menunjuk pada Sekar. Wanita disampingnya.

Apa yang Anisa maksut dengan beragam variasi ? dan sepengetahuan Sekar. Variasi macam apa yang anggota Teman Sarah favoritkan ? –mereka berdua tukar pandang meminta saran satu sama lain dengan angggukanya siapa yang menjawab dulu, Anisa memulai- “Ya tiap pengen berbeda gaya donk, masa itu-itu aja. Kita juga sering explore kaliii.” –Sekar melanjutkan- “Temen-temen anggoota Teman Sarah termasuk aku juga,” –dia perlihatkan senyumnya –“paling suka gaya sashimi. Fantasi dan gregetnya luar biasa nikmat.”

Kami sempat kaget dengan istilah Sashimi  yang mereka utarakan. Kemudian –Jelaskan sedikit bagaimana gambaran gaya sashimi yang anda maksut ? “Biasa kami menyediakan meja lebar dengan panjang sesuai bahkan lebih dari tinggi badan wanita yang akan jadi nyonya-nya. Tanpa benang yang melilit tubuh, nyonya akan telentang diatas meja. Diatas dada sampai perut kita beri sayur, buah, daging sesuai keinginan kita,” –Sekar menahan senyumnya, kedua pipinya terlihat mengembang kemerahan. –“kita santap makanan diatas dada sampai perut itu tanpa ampun.”

Team sempat terdiam sejenak. Tak kuasa mendengar apa yang pelaku sesama jenis utarakan. Kami terus kejar ketiga wanita ini dengan pertanyaan-pertanyaan sesuai yang dia utarakan. Kami melanjutkan :

Apakah variasi-variasi tersebut memiliki trend setiap bulanya ? –kali ini pertanyaan kiami ajukan pada wanita satunya lagi. Novitasari. “Kalau trend itu tergantung selera para anggota. Setahuku dari obrolan teman-teman anggota Teman Sarah, variasi favorit adalah sashimi dan coking dada super.”

Permunculan istilah-istilah kami catat secara detail. Tak luput dengan penjelasan dari ketiga sumber yang sedang kita wawancarai. Apakah coking dada super cara kerjanya sama dengan sashimi ? “Beda donk. Coking dada super hanya dapat dilakukan oleh anggota Teman Sarah yang memiliki ukuran dada besar. Contoh kalau aku pengen variasi tersebut, tinggal calling aja anggota yang memiliki ukuran dada besar. Saat prakteknya, aku diem aja di atas ranjang. Nanti dengan menari-narikan tubuh dan dada yang sudah banyak diolesi pelicin aku nikmati aja servicenya.” –Novi tertawa selepas menceritakan cara kerja coking dada super.

Kurang lebih hampir tiga jam berjalan kami akhiri obrolan yang meraka rasa santai tanpa perlu yang ada ditutup-tutupi. Dari sekian ratus pertanyaan yang kami tanyakan akan kami ulas pada terbitan selanjutnya. Salam baca, salam Surabaya.

***

Begitulah kiranya rekapan hasil wawancara, setidaknya aku sudah dapat kerangkanya. Untuk selanjutnya aku tinggal mengembangkanya. Tak terasa jam dinding pada kamar kos ku menunjukan pukul setengah dua dinihari. Besok aku harus ke kantor. Masih banyak pekerjaan dikantor, terlebih membalas email tanggapan terbitnya opini-opini beberapa tokoh masyarakat dan akademisi di Surabaya terkait momen Pemilihan Presiden 2004. Lelah sekali badan ini. Tidur menjadi cumbuan impian.


Bersambung ke Scene 14 

No comments:

Post a Comment