DIBALIK KEHIDUPAN PARA TANTE-TANTE 11
Sumber Ilustrasi Gambar : segiempat[dot]com |
*Alie Ahsan
Al-Haris
Scene 11
“Ya
sudah disampaikan pak” –tanya kepala redaksi padaku tentang honor yang akan
diterima Sonson. Untuk satu naskah yang terbit diharian kami. Biasa di
apresiasi Rp. 150.000 – Rp. 350.000 per naskah. Itu semua tergantung dengan
bobot tulisan dan banyaknya tanggapan. Mengingat banyaknya tanggapan yang masuk
melalui email. Kepala redaksi menyarankan untuk memberi Sonson upah Rp. 550.000
dikarenakan naik cetak sebanyak empat kali. “Kapan dia datang Gas ?” –katanya
memulai lagi.
Lebih
dari empat kali aku coba hubungi Sonson namun belum ada tanggapan. Dia harus
ambil honor atas cerpenya ini ke kantor. Kalaupun menolak Sonson dapat
mengkonfirmasi pihak redaksi. Setidaknya honor yang dia terima takan menggantung
agar laporan neraca kuangan perusahaan pada saat akhir bulan nanti dapat jelas.
Aku
berharap Sonson datang. Karena ada beberapa persoalan yang ingin aku utarakan
padanya. Terutama masalah tanggapan dari para pelanggan Apa Kabar Surabaya tentang cerpenya yang menuai banyak apresiasi.
Dari banyaknya tanggapan yang masuk dapatku pilah-pilah yang sekiranya memang
perlu untuku diskusinya denganya dan pelajaran buatku sendiri. Berikut beberapa
tanggapan dari pelanggan.
Pertama
: “Sejak kapan Apa Kabar Surabaya memuat opini-opini tak bermutu seperti ini.
Apakah sudah kehilangan para penulis-penulis handalnya.”
Kedua
: “Sampaikan pada penulisnya.
Bahasanya dalam penyampaian terlalu banyak diksi. Harusnya pihak redaksi dapat meminimalisir
hal itu.”
Ketiga
: “Menyentuh sekali cerpen
tersebut, berharap ada kisah selanjutnya tentang perempuan berjulukan Pukat.”
Keempat
: “Tentu maksud penulis sangat baik
untuk mengutarakan perasaan cintanya yang sudah menggebu. Tapi sayang dia tak
berani. Apakah kisah tersebut benar adanya ?.” –dan yang terakhir yang
sekiranya sangat penting bagiku.
Kelima
: “Maaf. Aku sangat kagum pada
penulis ini. Yang diluar logika lagi, Apa
Kabar Surabaya sekarang sudah mau untuk menerbitkan kisah-kisah sastra
empiris realistik. Kalaupun berkenan, pihak redaksi dapat bertemu dengan aku
atau sekedar membuat janji untuk meliput komunitas kami.”
Sabtu sore aku
bersiap pulang ke Gresik. Email masuk yang mengutuk untuk segera kupilah dan
baca aku sengaja tinggalkan. Setidaknya pada hari senin esok sudah ada naskah
lain yang siap naik cetak. Memang kusengaja tiap minggu dengan tema yang
berbeda-beda. Untuk tema kali ini lebih fokus ke sikap masyarakat menghadapi
pilkada yang akan dilaksanakan tahun 2003.
Sesampai rumah
dan bersih-bersih aku langsung menjenguk Rosa. Ini hal wajib yang memang aku
harus jalani. Kalau aku tak menjenguknya, sama saja dengan aku menghianati
komitmenku untuk menghargai orang yang telah baik padaku.
“Nampaknya hasil
kerjamu banyak dapat tanggapan dari para pembaca Gas ?,” –Rosa dari dulu memang
telah menjadi langganan tetap Koran Apa
Kabar Surabaya. Kemudian dia melanjutkan “Apakah kau sudah bertemu dengan
penulis cerita itu Gas ? Sampaikan salamku padanya. Mengiris hati memang, kau
akan lebih mengerti bagiamana rasanya saat yang membaca adalah para perempuan
Gas.”
“Belum Ros. Pasti
kusampaikan salammu. Sepertinya dia hanya ingin aku menemui naskahnya semata.
Bukan orangnya. Misterius sekali penulis ini,” –Rosa menatapku seakan ingin
memberitahu sesuatu, dan “dia juga tak butuh honor. Dia hanya ingin naskahnya
terbit. Itu saja.”
“Kau memang suka
bergaul dengan orang yang tidak menentu.”
“Berarti kau.
Ros. Juga orang yang tak menentu pula. Kau tak sadar kau telah berteman
denganku melebihi saudara seperti ini.” –ledeku ke Rosa.
“Bukan begitu,”
–katanya cepat-cepat. “Jangan gusar gitu Gas. Kita sudah lama kenal. Hubungan
antara kau dan aku juga seperti ibu dan anak. Mana pernah aku bandingkan kau
dengan anak-anaku. Mengertilah.”
“Aku adalah
manusia yang beruntung karena dapat mengenal dan sedekat ini padamu Ros.”
“Ya itu benar
sekali Gas,” –Rosa tersenyum menimpali. Terlihat dia memang membenarkan
ucapanku. “Setidaknya aku juga merasa nyaman denganmu Gas.”
“Nyaman. Kau
bilang nyaman denganku Ros ? Aku ini bocah kemarin sore. Seumuran dengan Surya.
Memang perasaan apa yang kau pendam padaku Ros.” –aku sengaja mendesaknya
dengan kejaran pertanyaanku.
Rosa batuk-batuk.
Terdengar memang batuk yang disengaja.
“Kau cepat makan
malam Gas. Giman dan istrinya sudah menyiapkan. Ayo aku temani kau makan
malam.” –setidak-tidaknya Rosa sudah merasa terdesak dan mengelak menjawab
pertanyaanku. Aku rasai Rosa memang menaruh perasaan padaku. Tapi perasaan apa
? misteri sekali.
Istri Giman.
Suryati keluar menyilakan kami untuk makan malam. Baru kusadari ternyata Giman
beserta istrinya tinggal dirumah Rosa.
Kami makan malam
berdua tanpa adanya obrolan antara aku dan Rosa. Begitupun setelah kami
menghabiskan buah-buah untuk cuci mulut.
Kami berdua
kembali ke ruang santai yang memang tergabung dengan ruang baca keluarga ini.
Ruangan itu sepi tanpa adanya obrolan kami berdua. Rosa sibuk dengan buku yang
belum habis dia baca. Sedangkan aku habiskan waktu untuk menulis dan menulis
tanggapan pelanggan yang belum sempat aku selesaikan.
“Gas … gas …. Ayo
bangun sudah pagi”, -aku buka mata. Terlihat sosok perempuan menyubit-nyubit
pipiku. Rasa sakit mulai menjalar ke saraf akibat cubitan itu. “Bangun dulu.
Langsung kau mandi, kutunggu di meja makan untuk sarapan.” –aku tersadar dalam
tidur malamku. Ternyata dari tadi malam aku tertidur di ruang baca. Rosa
terlihat berjalan ke ruang makan, nampaknya dia sudah selesai mandi. Parfumnya
yang masih tertinggal membuatku semangat untuk bergegas mandi.
“Nampaknya kau
lelah sekali Gas. Tidurmu memberitahuku.”
“Iya Ros. Mungkin
karena teralu kenyang juga sehingga membuat kantuk berat.”
Kami sarapan
berdua. Surya dan adik-adiknya sedang di Surabaya. Praktis yang tinggal dirumah
ini hanya Rosa beserta Giman dan istrinya. Itupun berbeda rumah.
Selesai makan
kita berdua berjalan ke taman disamping rumah. Terdapat kolam berisi ikan-ikan
koi seukuran lengan anak kecil. Banyak tumbuhan hias dimanapun mata memandang.
Pohon bambu kuning yang tak terlalu tinggi dengan daun-daunya yang terhuyung ke
arah kursi tempat kita berdua duduk serasa menjadi saksi hubungan kita berdua
yang tak dapat didefinisikan.
“Minggu depan aku
tak janji untuk dapat meluangkan waktu ke rumah Ros. Ada banyak pekerjaan
dikantor. Salah satunya bertemu dengan beberapa responden untuk mengisi kolom
opini masyarakat di Apa Kabar Surabaya.”
-Rosa tak mengindahkan bicaraku. Dia
tetap pandangi ikan-ikan koi yang berputar-putar saling kejar mengejar satu
dengan lainya.
Aku ceritakan
sekedarnya tentang banyaknya pekerjaan yang menantiku setidaknya dua minggu
kedepan ke Rosa. Mulai dari editing naskah, bertemu responden, menanggapi
tanggaan dari pelanggan dan rapat pimpinan.
Rosa mendengarkan
dengan sungguh-sungguh. Dia tidak menyela juga tak bertanya satu pertanyaanpun
padaku.
“Semakin hari
semakin seru saja Ros. Aku harap dapat menikmati pekerjaan baruku ini. Aku
bahagia sekali dengan pekerjaan ini.”
“Pekan demi pekan
aku rasa sama saja,” –Rosa sekarang angkat bicara. “kalau kau tak menemuiku.
Setidaknya kau telfon aku. Kalau kau tak sempat menelfonku, carilah waktu untuk
sekedar sms aku. Dan kalau kesemuanya
tak dapat kau lakukan Gas. Fikirkan aku meski sejenak. Hanya itu saja.”
Kami terdiam. Aku
tak dapat mejawab pernyataan Rosa yang seakan berontak atas kesibukanku. Namun
sayang dia tak mampu untuk melanjutkanya. Dia berusaha bijak menyikapi
kesibukanku sebagai journalist baru.
“Ros … kau tak
ingin kawin lagi ?” –entah apa yang ada difikiranku sehingga bertanya seperti
itu ke Rosa. Mungkin ini hasil dari pembisuan kita yang hanya beberapa menit. Maafkan
aku Ros kalau menyinggungmu.
“Perkawinanku ?”
–Rosa membelakak serius menatapku. Terlihat sekali dia sedang menahan tawanya.
“Kau tak usah
campuri urusanku yang ini Gas. Aku sudah sangat nyaman dengan kedewasaan
anak-anaku. Ditambah lagi,” –kali ini Rosa semakin serius bicara. Dia pandangi
aku persis saat pertama kali bertemu. Paras wajahnya yang sangat anggun dengan
bibir sensual seakan orang takan fokus dengan apa yang Rosa bicarakan. Memang,
mereka akan berfokus pada gerak leluasanya bibir Rosa yang terkadang
memperlihatkan barisan gigi kecil putihnya. -“ditambah lagi dengan kehadiranmu
ditengah-tengah keluarga ini Gas.”
“Tentu masalah
perkawinanmu jelas-jelasnya itu adalah hakmu Ros. Kau tak perlu gusar,”
–terlihat Rosa mengkerutkan wajah beserta alisnya padaku. –kau masih sangat
cantik. Berilah kesempatan lelaki untuk mengsuntingmu. Atau setidaknya dekat
saja sudah cukup.”
Rosa berdiri,
mengangguk padaku, kemudian masuk kembali keruang baca. Fikiranku berkecamuk
dengan apa yang baru saja kubicarakan. Apakah aku telah menyakiti hatinya ?. oh
Rosa, aku hanya berniat bercanda padamu. Mengapa kau seserius ini padaku.
Sambil berjalan
keruang baca. Terlihat jenjang kakinya yang kelihatan putih mulus sesuai sekali
dengan mini skirt yang Rosa kenakan. Goyangan pantatnya terlihat tercetak jelas
dihapanku.
“Kau Gas. Bicara
seperti itu macam kau sudah mempersiapkan calon suami untuku saja.” –Rosa
bicara dengan nada menggerutu. Kemudian.
“Cukup
anak-anakku yang selalu ada disampingku dan kehadiranmu untuku sudah menjadi
pelengkapku dalam menjada.”
Jawabanya
itu. Mebuat mataku liar melihat seluk beluk taman ini. Kulihat dari ujung ke
ujung tanpa suatu kejelasan. Aku salah tingkah sendiri dengan pernyataan Rosa.
Rosa
semakin jauh melangkah kedalam. Aku sahuti dia dengan keras “Kau ada perasaan
apa denganku Ros ? Mengapa jawabanmu seperti itu ?.”
“Jangan
bicara seperti itu keras-keras Gas. Nanti Suryati dan Giman mendengarnya.” –Tak
kelihatan lagi tubuhnya. Rosa sudah masuk kedalam ruang baca.
Ternyata
Rosa memang lebih memilih menyembunyikan perasaanya padaku. Dia tak mau
mengatakanya. Apa jangan-jangan Rosa memang ingin aku yang melamarnya langsung.
Fikirku.
Aku
bergegas menyusul Rosa keruang baca. Akan aku kejar dia dengan
pertanyaan-pertanyaan yang memang sengaja tak mau dia jawab. Sekarang dia duduk
di kursi goyang sambil membaca buku. Kurobohkan diriku pada dipan samping kursi
goyangnya. Kupandangi Rosa terus, mengapa sengaja kulakukan hal ini. Berharap
dia terpojok atas sikap agresifku.
“Apakah
kau masih trauma dengan kegagalan perceraianmu Ros ?.” –tanyaku memulai.
“Bukan
lagi itu menjadi masalah Gas. Perkawinan adalah perintah agama. Dimana hasil
perkawinan adalah kebahagiaan menjelang ajal. Aku sudah merasakanya. Aku
menikamatinya.”
Aku
menganggap Rosa tak bicara padaku. Suaranya lebih tepat dinilai dengan bisikan.
Rendah dan berat. Hampir-hampir saja aku tak mendengarnya. Mungkin Rosa memang
trauma dengan kegagalan pernikahanya. Terlebih aku telah tahu dengan sendirinya
mengapa rumah tangganya gagal diperjalanan.
Untuk
mencairkan suasana aku menceritakan kondisi pernikahan Tante Dina yang lama
kukenal sebelum Rosa. Tentunya aku tak terang-terangan menyebut nama dan lokasi
seperti persis apa yang Dina alami. Namun setidaknya setting ceritanya sengaja
aku samakan agar dapat esensinya.
“Hina
sekali ya Gas. Aku takan membiarkan anak-anaku tahu terlebih mengalaminya.”
–tanggpan Rosa dalam saat aku selesai bercerita padanya. Kemudian.
“Aku
sementara tak punya keinginan untuk menikah lagi Gas. Biarpun demikian masih ada waktu untuk
memikirkanya. Kalaupun nanti ditengah perjalanan ada yang cocok dan
berkesempatan untuk membina keluarga kembali. Mengapa tidak Gas.” –Rosa semakin
rendah bicaranya. Serasa serak dan berat. Aku sadar kalau pertanyaanku malah
membuat drinya masuk dalam pusaran kenangan memilukan.
“Mari
kuantarkan ke kamar Ros. Kau perlu istirahat.”
Rosa
berdiri. Tangan kananya bertumpu pada pergelangan kursi goyangnya. Tangan
kirinya dia ulurkan padaku. Terasa halus dan hangat saat menyentuh tangan
kasarku. Aku gandeng tangan kananya masuk kedalam kamar. Entah kenapa tiba-tiba
jalanya tertatih. Apakah kenangan perpecahan pernikahanya tak ayal membuat
fisik dan batinya ikut lumpuh juga. Beginikah perempuan.
Sampai
dipintu kamar Rosa. kuputar kenop pintunya. Genggaman tangan Rosa terasa semakin erat. Kulihat
wajahnya termanggu-manggu padaku. Masih didepan pintu Rosa bicara padaku.
“Jangan
kau hajar aku dengan pertanyaan seperti itu lagi ya Gas,” –wajahnya
menginterpretasikan keinginan yang tak patut untuk ditolak -“aku harap kau
mengerti hal itu Gas.”
“Sepertinya
kepercayaanmu telah hilang Ros. Kau telah kalah dengan kenyataan. Kemana Rosa
yang kukenal selama ini.”
“Aku
sendiri memang merasainya Gas. Aku sangat takut untuk menikah lagi.” –jawabnya
lemas. Dia sandarkan kepalanya pada pundaku. Tangan kananya setengah memeluk
pinggangku, sedangkan tangan kirinya bertumpu pada daun pintu. Rosa
melanjutkan.
“Biar
begitu aku sudah berusaha untuk bangkit dari keterpurukan ini Gas. Siapa tahu,
Gas, dengan usiaku yang semakin kedepan ini aku dapat bijak menyikapi
masalah dengan segala isinya.”
“Kau
pasti bisa Ros.” –hiburku.
“Semua
ini soal harapan dan kesempatan Ros. Kenyataan masih dapat dirubah dengan kedua
hal itu. Kau semakin lemas saja Ros,” –dia memelukku dengan erat. Kali ini dia
peluk aku dengan kedua tanganya. Sangat erat. Erat sekali, sepersekian detik
kemudian aku hampir tak dapat bisa bernafas karena diciuminya aku. Aku sampai
terengah-engah dibuatnya. Tersadar olehku ternyata Rosa menangis. Ciuman
bibirnya yang mendarat ke pipiku meninggalkan bekas air matanya. –“sudahlah
Ros. Lebih baik kau tidur saja agar dirimu lebih tenang. Masuklah.”
Rosa
telah hilang dibalik pintu kamarnya yang sedari tadi menjadi saksi bisu
romantisme kita berdua. Romantisme seorang janda yang tak kuasa menahan
perihnya perceraian. Tabahlah Ros
Reading
Scene 09 on Cerita 09
Reading
Scene 10 on Cerita 10
Bersambung ke Scene 12
No comments:
Post a Comment