Thursday, March 17, 2016

DIBALIK KEHIDUPAN PARA TANTE-TANTE 11

DIBALIK KEHIDUPAN PARA TANTE-TANTE 11

Sumber Ilustrasi Gambar : segiempat[dot]com


*Alie Ahsan Al-Haris


Scene 11

“Ya sudah disampaikan pak” –tanya kepala redaksi padaku tentang honor yang akan diterima Sonson. Untuk satu naskah yang terbit diharian kami. Biasa di apresiasi Rp. 150.000 – Rp. 350.000 per naskah. Itu semua tergantung dengan bobot tulisan dan banyaknya tanggapan. Mengingat banyaknya tanggapan yang masuk melalui email. Kepala redaksi menyarankan untuk memberi Sonson upah Rp. 550.000 dikarenakan naik cetak sebanyak empat kali. “Kapan dia datang Gas ?” –katanya memulai lagi.

Lebih dari empat kali aku coba hubungi Sonson namun belum ada tanggapan. Dia harus ambil honor atas cerpenya ini ke kantor. Kalaupun menolak Sonson dapat mengkonfirmasi pihak redaksi. Setidaknya honor yang dia terima takan menggantung agar laporan neraca kuangan perusahaan pada saat akhir bulan nanti dapat jelas.

Aku berharap Sonson datang. Karena ada beberapa persoalan yang ingin aku utarakan padanya. Terutama masalah tanggapan dari para pelanggan Apa Kabar Surabaya tentang cerpenya yang menuai banyak apresiasi. Dari banyaknya tanggapan yang masuk dapatku pilah-pilah yang sekiranya memang perlu untuku diskusinya denganya dan pelajaran buatku sendiri. Berikut beberapa tanggapan dari pelanggan.

Pertama : “Sejak kapan Apa Kabar Surabaya memuat opini-opini tak bermutu seperti ini. Apakah sudah kehilangan para penulis-penulis handalnya.”

Kedua : “Sampaikan pada penulisnya. Bahasanya dalam penyampaian terlalu banyak diksi. Harusnya pihak redaksi dapat meminimalisir hal itu.”

Ketiga : “Menyentuh sekali cerpen tersebut, berharap ada kisah selanjutnya tentang perempuan berjulukan Pukat.”

Keempat : “Tentu maksud penulis sangat baik untuk mengutarakan perasaan cintanya yang sudah menggebu. Tapi sayang dia tak berani. Apakah kisah tersebut benar adanya ?.” –dan yang terakhir yang sekiranya sangat penting bagiku.

Kelima : “Maaf. Aku sangat kagum pada penulis ini. Yang diluar logika lagi, Apa Kabar Surabaya sekarang sudah mau untuk menerbitkan kisah-kisah sastra empiris realistik. Kalaupun berkenan, pihak redaksi dapat bertemu dengan aku atau sekedar membuat janji untuk meliput komunitas kami.”

Sabtu sore aku bersiap pulang ke Gresik. Email masuk yang mengutuk untuk segera kupilah dan baca aku sengaja tinggalkan. Setidaknya pada hari senin esok sudah ada naskah lain yang siap naik cetak. Memang kusengaja tiap minggu dengan tema yang berbeda-beda. Untuk tema kali ini lebih fokus ke sikap masyarakat menghadapi pilkada yang akan dilaksanakan tahun 2003.

Sesampai rumah dan bersih-bersih aku langsung menjenguk Rosa. Ini hal wajib yang memang aku harus jalani. Kalau aku tak menjenguknya, sama saja dengan aku menghianati komitmenku untuk menghargai orang yang telah baik padaku.

“Nampaknya hasil kerjamu banyak dapat tanggapan dari para pembaca Gas ?,” –Rosa dari dulu memang telah menjadi langganan tetap Koran Apa Kabar Surabaya. Kemudian dia melanjutkan “Apakah kau sudah bertemu dengan penulis cerita itu Gas ? Sampaikan salamku padanya. Mengiris hati memang, kau akan lebih mengerti bagiamana rasanya saat yang membaca adalah para perempuan Gas.”

“Belum Ros. Pasti kusampaikan salammu. Sepertinya dia hanya ingin aku menemui naskahnya semata. Bukan orangnya. Misterius sekali penulis ini,” –Rosa menatapku seakan ingin memberitahu sesuatu, dan “dia juga tak butuh honor. Dia hanya ingin naskahnya terbit. Itu saja.”

“Kau memang suka bergaul dengan orang yang tidak menentu.”

“Berarti kau. Ros. Juga orang yang tak menentu pula. Kau tak sadar kau telah berteman denganku melebihi saudara seperti ini.” –ledeku ke Rosa.

“Bukan begitu,” –katanya cepat-cepat. “Jangan gusar gitu Gas. Kita sudah lama kenal. Hubungan antara kau dan aku juga seperti ibu dan anak. Mana pernah aku bandingkan kau dengan anak-anaku. Mengertilah.”

“Aku adalah manusia yang beruntung karena dapat mengenal dan sedekat ini padamu Ros.”

“Ya itu benar sekali Gas,” –Rosa tersenyum menimpali. Terlihat dia memang membenarkan ucapanku. “Setidaknya aku juga merasa nyaman denganmu Gas.”

“Nyaman. Kau bilang nyaman denganku Ros ? Aku ini bocah kemarin sore. Seumuran dengan Surya. Memang perasaan apa yang kau pendam padaku Ros.” –aku sengaja mendesaknya dengan kejaran pertanyaanku.

Rosa batuk-batuk. Terdengar memang batuk yang disengaja.

“Kau cepat makan malam Gas. Giman dan istrinya sudah menyiapkan. Ayo aku temani kau makan malam.” –setidak-tidaknya Rosa sudah merasa terdesak dan mengelak menjawab pertanyaanku. Aku rasai Rosa memang menaruh perasaan padaku. Tapi perasaan apa ? misteri sekali.

Istri Giman. Suryati keluar menyilakan kami untuk makan malam. Baru kusadari ternyata Giman beserta istrinya tinggal dirumah Rosa.

Kami makan malam berdua tanpa adanya obrolan antara aku dan Rosa. Begitupun setelah kami menghabiskan buah-buah untuk cuci mulut.

Kami berdua kembali ke ruang santai yang memang tergabung dengan ruang baca keluarga ini. Ruangan itu sepi tanpa adanya obrolan kami berdua. Rosa sibuk dengan buku yang belum habis dia baca. Sedangkan aku habiskan waktu untuk menulis dan menulis tanggapan pelanggan yang belum sempat aku selesaikan.

“Gas … gas …. Ayo bangun sudah pagi”, -aku buka mata. Terlihat sosok perempuan menyubit-nyubit pipiku. Rasa sakit mulai menjalar ke saraf akibat cubitan itu. “Bangun dulu. Langsung kau mandi, kutunggu di meja makan untuk sarapan.” –aku tersadar dalam tidur malamku. Ternyata dari tadi malam aku tertidur di ruang baca. Rosa terlihat berjalan ke ruang makan, nampaknya dia sudah selesai mandi. Parfumnya yang masih tertinggal membuatku semangat untuk bergegas mandi.

“Nampaknya kau lelah sekali Gas. Tidurmu memberitahuku.”

“Iya Ros. Mungkin karena teralu kenyang juga sehingga membuat kantuk berat.”
Kami sarapan berdua. Surya dan adik-adiknya sedang di Surabaya. Praktis yang tinggal dirumah ini hanya Rosa beserta Giman dan istrinya. Itupun berbeda rumah.

Selesai makan kita berdua berjalan ke taman disamping rumah. Terdapat kolam berisi ikan-ikan koi seukuran lengan anak kecil. Banyak tumbuhan hias dimanapun mata memandang. Pohon bambu kuning yang tak terlalu tinggi dengan daun-daunya yang terhuyung ke arah kursi tempat kita berdua duduk serasa menjadi saksi hubungan kita berdua yang tak dapat didefinisikan.

“Minggu depan aku tak janji untuk dapat meluangkan waktu ke rumah Ros. Ada banyak pekerjaan dikantor. Salah satunya bertemu dengan beberapa responden untuk mengisi kolom opini masyarakat di Apa Kabar Surabaya.”  -Rosa tak mengindahkan bicaraku. Dia tetap pandangi ikan-ikan koi yang berputar-putar saling kejar mengejar satu dengan lainya.

Aku ceritakan sekedarnya tentang banyaknya pekerjaan yang menantiku setidaknya dua minggu kedepan ke Rosa. Mulai dari editing naskah, bertemu responden, menanggapi tanggaan dari pelanggan dan rapat pimpinan.

Rosa mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Dia tidak menyela juga tak bertanya satu pertanyaanpun padaku.

“Semakin hari semakin seru saja Ros. Aku harap dapat menikmati pekerjaan baruku ini. Aku bahagia sekali dengan pekerjaan ini.”

“Pekan demi pekan aku rasa sama saja,” –Rosa sekarang angkat bicara. “kalau kau tak menemuiku. Setidaknya kau telfon aku. Kalau kau tak sempat menelfonku, carilah waktu untuk sekedar sms aku. Dan kalau kesemuanya tak dapat kau lakukan Gas. Fikirkan aku meski sejenak. Hanya itu saja.”

Kami terdiam. Aku tak dapat mejawab pernyataan Rosa yang seakan berontak atas kesibukanku. Namun sayang dia tak mampu untuk melanjutkanya. Dia berusaha bijak menyikapi kesibukanku sebagai journalist baru.

“Ros … kau tak ingin kawin lagi ?” –entah apa yang ada difikiranku sehingga bertanya seperti itu ke Rosa. Mungkin ini hasil dari pembisuan kita yang hanya beberapa menit. Maafkan aku Ros kalau menyinggungmu.

“Perkawinanku ?” –Rosa membelakak serius menatapku. Terlihat sekali dia sedang menahan tawanya.

“Kau tak usah campuri urusanku yang ini Gas. Aku sudah sangat nyaman dengan kedewasaan anak-anaku. Ditambah lagi,” –kali ini Rosa semakin serius bicara. Dia pandangi aku persis saat pertama kali bertemu. Paras wajahnya yang sangat anggun dengan bibir sensual seakan orang takan fokus dengan apa yang Rosa bicarakan. Memang, mereka akan berfokus pada gerak leluasanya bibir Rosa yang terkadang memperlihatkan barisan gigi kecil putihnya. -“ditambah lagi dengan kehadiranmu ditengah-tengah keluarga ini Gas.”

“Tentu masalah perkawinanmu jelas-jelasnya itu adalah hakmu Ros. Kau tak perlu gusar,” –terlihat Rosa mengkerutkan wajah beserta alisnya padaku. –kau masih sangat cantik. Berilah kesempatan lelaki untuk mengsuntingmu. Atau setidaknya dekat saja sudah cukup.”

Rosa berdiri, mengangguk padaku, kemudian masuk kembali keruang baca. Fikiranku berkecamuk dengan apa yang baru saja kubicarakan. Apakah aku telah menyakiti hatinya ?. oh Rosa, aku hanya berniat bercanda padamu. Mengapa kau seserius ini padaku.

Sambil berjalan keruang baca. Terlihat jenjang kakinya yang kelihatan putih mulus sesuai sekali dengan mini skirt yang Rosa kenakan. Goyangan pantatnya terlihat tercetak jelas dihapanku.

“Kau Gas. Bicara seperti itu macam kau sudah mempersiapkan calon suami untuku saja.” –Rosa bicara dengan nada menggerutu. Kemudian.

“Cukup anak-anakku yang selalu ada disampingku dan kehadiranmu untuku sudah menjadi pelengkapku dalam menjada.”

Jawabanya itu. Mebuat mataku liar melihat seluk beluk taman ini. Kulihat dari ujung ke ujung tanpa suatu kejelasan. Aku salah tingkah sendiri dengan pernyataan Rosa.

Rosa semakin jauh melangkah kedalam. Aku sahuti dia dengan keras “Kau ada perasaan apa denganku Ros ? Mengapa jawabanmu seperti itu ?.”

“Jangan bicara seperti itu keras-keras Gas. Nanti Suryati dan Giman mendengarnya.” –Tak kelihatan lagi tubuhnya. Rosa sudah masuk kedalam ruang baca.

Ternyata Rosa memang lebih memilih menyembunyikan perasaanya padaku. Dia tak mau mengatakanya. Apa jangan-jangan Rosa memang ingin aku yang melamarnya langsung. Fikirku.

Aku bergegas menyusul Rosa keruang baca. Akan aku kejar dia dengan pertanyaan-pertanyaan yang memang sengaja tak mau dia jawab. Sekarang dia duduk di kursi goyang sambil membaca buku. Kurobohkan diriku pada dipan samping kursi goyangnya. Kupandangi Rosa terus, mengapa sengaja kulakukan hal ini. Berharap dia terpojok atas sikap agresifku.

“Apakah kau masih trauma dengan kegagalan perceraianmu Ros ?.” –tanyaku memulai.

“Bukan lagi itu menjadi masalah Gas. Perkawinan adalah perintah agama. Dimana hasil perkawinan adalah kebahagiaan menjelang ajal. Aku sudah merasakanya. Aku menikamatinya.”

Aku menganggap Rosa tak bicara padaku. Suaranya lebih tepat dinilai dengan bisikan. Rendah dan berat. Hampir-hampir saja aku tak mendengarnya. Mungkin Rosa memang trauma dengan kegagalan pernikahanya. Terlebih aku telah tahu dengan sendirinya mengapa rumah tangganya gagal diperjalanan.

Untuk mencairkan suasana aku menceritakan kondisi pernikahan Tante Dina yang lama kukenal sebelum Rosa. Tentunya aku tak terang-terangan menyebut nama dan lokasi seperti persis apa yang Dina alami. Namun setidaknya setting ceritanya sengaja aku samakan agar dapat esensinya.

“Hina sekali ya Gas. Aku takan membiarkan anak-anaku tahu terlebih mengalaminya.” –tanggpan Rosa dalam saat aku selesai bercerita padanya. Kemudian.

“Aku sementara tak punya keinginan untuk menikah lagi  Gas. Biarpun demikian masih ada waktu untuk memikirkanya. Kalaupun nanti ditengah perjalanan ada yang cocok dan berkesempatan untuk membina keluarga kembali. Mengapa tidak Gas.” –Rosa semakin rendah bicaranya. Serasa serak dan berat. Aku sadar kalau pertanyaanku malah membuat drinya masuk dalam pusaran kenangan memilukan.

“Mari kuantarkan ke kamar Ros. Kau perlu istirahat.”
Rosa berdiri. Tangan kananya bertumpu pada pergelangan kursi goyangnya. Tangan kirinya dia ulurkan padaku. Terasa halus dan hangat saat menyentuh tangan kasarku. Aku gandeng tangan kananya masuk kedalam kamar. Entah kenapa tiba-tiba jalanya tertatih. Apakah kenangan perpecahan pernikahanya tak ayal membuat fisik dan batinya ikut lumpuh juga. Beginikah perempuan.

Sampai dipintu kamar Rosa. kuputar kenop pintunya. Genggaman  tangan Rosa terasa semakin erat. Kulihat wajahnya termanggu-manggu padaku. Masih didepan pintu Rosa bicara padaku.

“Jangan kau hajar aku dengan pertanyaan seperti itu lagi ya Gas,” –wajahnya menginterpretasikan keinginan yang tak patut untuk ditolak -“aku harap kau mengerti hal itu Gas.”

“Sepertinya kepercayaanmu telah hilang Ros. Kau telah kalah dengan kenyataan. Kemana Rosa yang kukenal selama ini.”

“Aku sendiri memang merasainya Gas. Aku sangat takut untuk menikah lagi.” –jawabnya lemas. Dia sandarkan kepalanya pada pundaku. Tangan kananya setengah memeluk pinggangku, sedangkan tangan kirinya bertumpu pada daun pintu. Rosa melanjutkan.

“Biar begitu aku sudah berusaha untuk bangkit dari keterpurukan ini Gas. Siapa tahu, Gas, dengan usiaku yang semakin kedepan ini aku dapat bijak menyikapi masalah  dengan segala isinya.”

“Kau pasti bisa Ros.” –hiburku.

“Semua ini soal harapan dan kesempatan Ros. Kenyataan masih dapat dirubah dengan kedua hal itu. Kau semakin lemas saja Ros,” –dia memelukku dengan erat. Kali ini dia peluk aku dengan kedua tanganya. Sangat erat. Erat sekali, sepersekian detik kemudian aku hampir tak dapat bisa bernafas karena diciuminya aku. Aku sampai terengah-engah dibuatnya. Tersadar olehku ternyata Rosa menangis. Ciuman bibirnya yang mendarat ke pipiku meninggalkan bekas air matanya. –“sudahlah Ros. Lebih baik kau tidur saja agar dirimu lebih tenang. Masuklah.”

Rosa telah hilang dibalik pintu kamarnya yang sedari tadi menjadi saksi bisu romantisme kita berdua. Romantisme seorang janda yang tak kuasa menahan perihnya perceraian. Tabahlah Ros

Reading Scene 09 on Cerita 09
Reading Scene 10 on Cerita 10

Bersambung ke Scene 12






No comments:

Post a Comment