Wednesday, March 16, 2016

DIBALIK KEHIDUPAN PARA TANTE-TANTE SCENE 10

*Alie Ahsan Al-Haris

Sumber Ilustrasi Gambar : segiempat[dot]com


Scene 10

Son. Aku sudah baca naskahmu sebanyak tiga kali. Aku tak tahu harus mengedit kolosal percintaanmu ini dari mana. Dibilang hidup tak juga hidup. Aku hanya dapat bicara betapa pintarnya kau mempertajam karakter perempuan idolamu ini. Kau sebut dia Pukat. Kau bilang dialah perempuan yang sampai saaat ini menggelorakan jiwamu. Apakah kau baru pertama kali jatuh cinta. Aku tak tahu. Apa memang kau adalah seorang pujangga. Son. Terserahlah. Itu hak para pembaca. Yang jelas aku sudah berusaha sebaik mungkin mengedit naskahmu. Timbul dalam hati ini rasa takut dan khawatir Son. Bukan karena takut didepak dari kantor bersebab naskah konyolmu. Tapi aku takut membuatmu kecewa Son. Kecewa karena hasil editingku akan menghilnagkan betapa tulusnya kau menuliskan ini untuk perempuan pujaanmu. Si Pukat. Pukat Cinta.

Mengingat naskah kiriman Sonson yang terlalu panjang. Maka aku muat dalam harian sebanyak empat kali berturut-turut. Terhitung dari senin sampai kamis.  Banyak email masuk menanggapi terbitnya cerpen karangan Sonson. Aku akan bahas tanggapan itu dilain kesempatan saja.

Naskah Sonson. Laki-laki yang sampai detik ini tak aku ketahui berumur berapa. Asli Surabaya atau orang perantauan. Dengan gaya tulisanya telah mendatangkan banyak reaksi dari para pelanggan harian Apa Kabar Surabaya. Buruk, membangun dan penasaran denganya. Itu urusan nanti saja. Yang jelas sekarang, kalian harus tahu. Berikut naskah Sonson yang naik cetak. Aku ketik ulang, hampir menyerupai naskah aslinya yang dia kirimkan lewat email. Cermatilah ketulusanya.

Naskah sederhana ini kutunjukan untuk gadis pujaanku, tahu bukan mengerti.
Sebuah confessions yang jujur, berharap kau membaca ini dengan suasana hati yang nyaman.
Salam dariku.

PUKAT CINTA
“Hanya dengan hati orang dapat melihat dengan tepat; sesuatu yang sejati tak dapat dilihat dengan mata”.

Apakah ada buku yang membahas tentang  filsafat cinta? Kalau memang ada apakah buku tersebut dapat menjawab perasaan ku yang sedang merasakan cinta sesaat ini, lagi-lagi ada sosok yang menggodaku untuk ingin lebih dekat denganya. Berawal dari pertemanan yang ku rasakan, sekarang malah menjurus ke perasaan alam bawah sadar, sosoknya membuatku terus menerus ingin berjumpa dirinya, aku mencoba menahanya, tapi perasaan ini malah semakin berontak, terus berontak.

Apakah dia disana juga memikirkanku? Aku rasa tidak, atau bisa jadi benar. Manakala perasaan lawan jenis yang konon memang amat sulit untuk di fahami malah membuat ku penasaran dengan apa yang sebenarnya dia fikirkan, berbagai cara untuk menebarkan pukat demi hasil tangkapan yang melimpah membuat nurani ini semakin penasaran denganya.

Apakah perasaan ini hanya sementara? kiasan dari bunga yang sedang mekar-mekarnya, tapi mengapa begitu lama, sampai-sampai dalam tidurku berjumpa denganya, bertukar sapa dan senyum yang begitu indah nan sulit untuk dilupakan.

Apakah teori psikologi yang sering mengatakan bahwa jika kita berniat untuk melupakan yang ada malah sebaliknya itu benar, apakah kisah ini sama dengan Vita Brevis yang di tulis Gaarder, sesekali aku mencoba untuk membencinya agar perasaan tak jelas ini hilang dengan segera, tapi aku sadar ini tipuan kecil, tipuan bagi nuraniku. Bagaimana tidak! Aku berusaha membencinya, tapi dalam hati merindunya. Pembohong besar.

Kecintaan Antonio Gramsci terhadap masyarakat proletar mungkin agak mirip dengan kisahku, meskipun dalam realnya aku hanya memaksa agar mirip saja, konteksnya lain, aku terperangkap dalam belenggu sosoknya, sungguh. Sosoknya yang membuatku bingung karena yang ku bicarakan pada akhirnya hanya berputar-putar saja, benar bukan?

Perasaan ini menyiksaku, parasnya yang menawan membuatku terbayang terus menerus. Bayanganya malah membuat hatiku terluka karena takut harapan ku tak berjodoh dengan kenyataan, rasa sakit ini nampaknya telah menjadi nanah sehingga memborok parah di perasaanku, tapi karena rasa sakit ini pula akhirnya ku dapat kebal dari sakit karena selalu membayangkan parasnya, mati rasa.

Gie, sampai mati menyetubuhinya memang belum pernah merasakan merajut cinta bersama, perasaan yang terlalu di pendamnya malah menjadi bomerang buatnya. Apakah aku akan seperti dia? Saya harap tidak, mungkin secara longitudinal dia tahu apa maksudku, tapi secara harfiah aku juga ingin mengetahui apa jawabnya, apakah dia rela membiarkanku mati tanpa harapan? Semoga tidak, tapi di sisi lain aku juga berfikir apa sosok sejenisnya memang suka permainan yang sembunyi-sembunyi seperti yang kita lakukan ini. Dentuman momentum mana yang harus aku tunggu? Sesabar apa lagi aku harus menunggu pukat yang selama ini ku tebar untuk di angkat.

Aku hanya ketakutan buta, sungguh. Pukat yang selama ini ku pasang takut kalau dia anggap hanya macam Vita Brevis semata. Lantas aku harus bagaimana? Kalau ku angkat terlalu cepat, aku takut tak sesuai harapanku, kenyataan berkehendak lain, cuaca belum stabil, masih riskan, aku takut.

Apakah filsafat hanya membahas tentang asal muasal kehidupan? Apakah filsafat tidak pernah bertanya matrial dari cinta? Apakah cinta termasuk matrealisme metafisik semata? Apakah yang kulakukan sebodoh itu? Damn, cemburu buta apakah sebuah kebodohan juga, lantas mengapa ada rasa cemburu jikalau tak ada sebabnya. Apakah hukum sebab-akibat tak berlaku lagi jika membahas tentang cinta, membahas tentang sosoknya, parasnya. Sampai kapan kebodohan ini membelengguku? Sampai kapan aku harus berjumpa dia dalam tidurku! Padahal yang ku inginkan adalah berjumpa langsung denganya, memandang sosoknya, melihat parasnya yang selama ini telah menyakitiku.

Tapi kalau ku fikir-fikir kenapa juga aku takut bertatap muka langsung denganya? Padahal aku mengharapnya, sungguh. Kenapa aku harus sembunyi-sembunyi sewaktu bertemu denganya, mungkin dia sebenarnya juga ingin bertemu denganku –oh betapa sombongnya diriku. Aku takut jika perasaan ini memborok saat memandang langsung parasnya, cukup dengan tulisan sederhana ini aku meluapkan emosiku, ku harap begitu.

Malam ini, hawa dingin kota perantauan terasa menusuk ke tulang sumsum yang mengharap sebuah penjelasan tentang arti dari sebuah perasaan pengharapan. Sosoknya mulai merasuk dalam sanubariku lagi, pertemuan pada hari itu masih terkenang berat di otak, lemparan senyum manis yang dia tunjukan padaku membuatku terbius sesaat, lekukan wajahnya yang teramat manis masih terkenang jelas sampai aku ketikan tulisan ini yang entah aku tunjukan untuk siapaaku pun tak tahu.

    Aku mengaharap malam ini dia menghubungiku, sungguh. Pengharapan ini semoga terkabul meski dia sedang ada kesibukan entah apa aku juga tak tahu, karena jelas, aku hanya berharap di malam yang dingin ini dia mengingatku walau sebentar.

    Aku berusaha mengingat kejadian saat aku bertemu denganya –di kampus. Meski memang terkadang sakit tapi entah kenapa aku suka mengingat kejadian tersebut, bahkan berusaha untuk terus mengingatnya. Aku mencoba menyetabilkan perasaan senang ini, aku harap bayang-bayang semu itu tak kunjung pergi dariku agar aku tetap bisa mengigatnya.  Aku ingat saat itu menaiki tangga lantai dua gedung Ki Hajar Dewantara untuk pergi ke ruang kuliah 1B, saat aku hendak berbelok ke arah ruang kelas tiba-tiba ada sosok manis yang melempar senyum bidadari kepadaku –oh sungguh indahnya.

Sebenarnya aku punya banyak kenangan tentangnya, salah satunya sewaktu kita bertemu di taman baca hendak pergi ke kegiatan kawan-kawan, sebelum beranjak pergi dia menyapaku, dia melempar senyum padaku sembari memintaku untuk ikut di kegiatanya. Dalam kegiatan tersebut akupun tak mensia-siakan pandanganku ke parasnya, sungguh betapa indahnya hidupku pada saat itu, meski hal tersebut kalah saat aku bertemu denganya di lantai tujuh kampus.

Satu hal yang membuatku penasaran denganya, aku berfikir dia adalah ahli di bidang psikologi, hal ini aku utarakan karena dia sering menebak fikiranku, aku juga tak terlalu yakin dengan hal tersebut, tapi secara longitudinal kenyataan itu ada. Dia menyebutku keppo –entah kenapa dia menyebutku seperti itu, tapi bahasa keppo sekarang memang sedang tenar layaknya karya sastra kontemporer. Entah julukan itu dia artikan kepadaku sebagai maksud jelek atau baik saya juga tak terlalu faham, pastinya aku hanya merasa senang karena dari julukan itulah aku dapat lebih akrab denganya –tentunya untuk lebih masuk ke kehidupanya.

Memang sebelumnya aneh juga mengapa sosok yang aku impikan untuk dapat aku miliki menyebut aku keppo, tapi setelah aku tanya dia hanya menjawab karena aku orangnya sok tahu. Sok tahu bagiku adalah sebuah watak, karena memang dasarnya aku adalah orang yang sok tahu dan sombong, ya aku mengakui hal tersebut karena aku berusaha untuk jujur pada diri ku sendiri, seperti aku jujur mengutarakan apa yang kualami lewat tulisan yang tak ada tujuan mau ditunjukan kemana –hanya untaian kalimat yang ku rasa kalimat putus asa seorang pembohong besar.

Selama ini memang aku simpan rapi kisah ini, aku tak berani membicarakan dengan orang lain walau itu adalah teman kepercayaanku. Aku hanya percaya pada kertas ini, dia hanya diam dan setia menemaniku menerima limpahan emosiku yang tak stabil, kertas ini adalah teman baiku, dia dengan sabar tak membalas jika dalam menulis aku marah padanya karena tak ada kejelasan aku menulis ini dikirimkan untuk siapa. Yang jelas, aku menulis hanya ingin menyatakan perasaanku pada sosok tersebut.

Terkadang  aku hanya termenung di saat aku tak menorehkan tinta di atasnya, aku hanya diam membaca tulisanku kembali. Aku mengecek apa kisah ini telah jujur aku sampaikan ke kertas tak berdosa ini, agar nanti aku tak di tuntut olehnya karena telah mempergunakanya untuk hal yang tak berguna, biarlah kertas ini yang bicara pada sosok yang kunanti, ya hanya itu yang bisa kulakukan, sekarang adalah waktuku untuk bercerita tentang siapa sosok yang ku idamkan ke kertas sederhana yang setia menemaniku.

Kisah ini ku namakan“Pukat Cinta”, pada permulaan semester lima aku ikut berpartisipasi di sebuah lembaga kampus, kebetulan saat itu pasca pembentukan pengurus baru sehingga program kerja yang menumpuk menanti para pengurus baru –termasuk aku. Dibantu oleh teman-teman kita membuka Staff Muda sebagai ajang maggang untuk anggota muda yang duduk di semester tiga, di saat proses screening aku mulai melihat sosoknya, tinggi dan berbadan tegap, mempunyai ciri khas senyuman yang menyenangkan serta mempunyai cara jalan yang khas diantara cewek lain.

Seingatku, waktu itu aku sedang berfikir apakah dia sudah mempunyai pasangan! Atau lebih tepatnya sudah mempunyai pacar atau tunangan mungkin. Rasanya memang aneh membayangkan hal seperti itu, padahal untuk berkenalan saja belum ku lakukan. Tapi entah kenapa juga pemikiran yang menurutku agak radikal selalu membayangiku, mulai dari sinilah perasaan itu muncul.

      Hal pertama yang menarik mataku adalah cara dia duduk menunggu giliran screening, aku melihat dia tersenyum manis ke teman lawan bicaranya, wajahnya yang kelihatan tegas adalah alasanku kedua tertarik padanya, waktu itu dia memakai celana panjang dan style kerudung yang sedang di gandrungi para mahasiswi-mahasiswi sekarang. Aku sadari bahwa ada sesuatu yang istimewa tentang dia, sesuatu magis yang memikat tapi tak terjelaskan.

Satu hal yang perlu di ketahui adalah cara dia memandangku dan seolah-olah dia telah memilihku dari semua orang lain yang berada di sekretariat saat screening. Beberapa menit dia menatapku lurus seakan ingin memberitahuku sesuatu, kami saling menatap tajam beberapa menit, dan barangkali akulah yang mengalihkan pandangan untuk pertama kali. Dalam pandangan tersebutlah aku merasa yakin kalau ada sesuatu yang terikat diantara kita berdua. Hal aneh yang ku alami setelah memalingkan wajah sisi hidung sebelah kananku keduten –menurut kepercayaan orang jawa ini menandakan akan bertemu seorang kekasih. Hal ini membuatku yakin –dialah kekasihku.

Aku dan dia sepertinya lebih tinggi dia, atau mungkin sama karena kita tak pernah mengukur tinggi badan bersama, selain itu aku juga tak mengetahui berapa tinggi badanya. Yang jelas dia mempunyai badan agak kurus dariku, kulit tubuhnya sawo matang, mencirikan orang Indonesia banget. Cara dia berjalan menunjukan ketegasan dan keteguhan pribadi, sorot matanya tajam menandakan dia sedang mengoreksi orang yang sedang di lihatnya.

Senyumnya menghadirkan sepasang matahari dan rembulan secara bersamaan di hatiku, dia mengigatkanku pada gerhana rembulan dan gerhana matahari yang menyorot tajam ke permukaan bumi; dia memang manis dalam segala hal, sungguh.

     Satu koreksi darinya ialah, mengapa dia selalu melempar senyum begitu sok kenal dan mengundang? Apakah dia benar-benar tersenyum kepadaku atau dia tersenyum karena ada sesuatu yang lucu dariku, atau jangan-jangan dia tak tersenyum kepadaku?, itu adalah salah satu kemungkinan yang harus ku pertimbangkan, padahal aku dandan tak terlalu norak, tampangku juga biasa saja, atau mungkin dia tertawa melihat tingkahku yang kocak ? Jika hal ini benar, berarti selama ini senyuman yang membius itu adalah sebuah kekonyolan bagiku –aku terlalu percaya diri.

Seingatku, aku tak pernah berjabat tangan denganya untuk menanyakan siapa nama atau meminta nomor handphone-nya, sebelum adanya screening aku bertemu dia di kepanitaan Ospek mahasiswa baru, ya itu saat pertama kali kita bertemu, pandangan pertama kali ku sudah dapat menebak bahwa dia adalah orang yang humoris tegas, tentunya hal ini kulakukan dengan sikap sok tahuku. Dia menjabat menjadi kordinator divisi acara, pada berlangsungnya rangkaian ospek aku tak bertemu dia sama sekali karena memang aku banyak berada di dalam ruangan. Tapi tak lama pasca ospek berakhir pendaftaran untuk staff muda dibuka sehingga Tuhan mempertemukan kita berdua lagi.

      Tidak diragukan lagi, rasa magis yang tak terjawab pasca bertemu pertama kali denganya. Tuhan mempertemukan kita karena tuhan ingin aku mencari jawaban padanya mengapa dia begitu magis sekali bagiku. Data para pendaftar staff muda aku bawa semua, spontan aku langsung membaca biographinya, di secarik kertas tersebut aku jadi tahu informasi pribadi terkait dirinya, dari mulai nama lengkap; nomor handphone; alamat facebook dan twitter. Manuver pertama kulakukan, aku add dan follow terlebih dahulu media sosialnya untuk mengetahui kesibukan apa serta lontaran kalimat apa yang ia lakukan di dunia maya. Setidaknya  caraku ini termasuk berhasil, sosok yang aku idamkan ini mulai akrab denganku meski tak seberapa dekat, sms dan media social (medsos) adalah cara-caraku untuk mengetahui kepribadianya secara sekunder, hal ini biasa di lakukan oleh Freud untuk menganalisis kepribadian seseorang.

Sering mengikuti kesibukanya di media sosial dan menanyakan kabar lewat sms lama kelamaan membuahkan hasil, hubungan pertemanan kita semakin erat bahkan kata renggang diantara kita hampir tidak ada lagi. Meski terkadang aku sering malu sendiri jikalau mengobrol denganya. Ekspresi wajahnya serasa mengucapkan sesuatu padaku, seolah dia ingin berbicara yang sangat rahasia, terlepas isyarat itu konyol atau tidak aku tetap menganggap dia juga bersimpati padaku. Tidak diragukan bahwa dia pikir aku ini mengaharap cinta darinya, sorot matanya dan lemparan senyumnya memang menandakan hal tersebut, lantas jikalau dia memang tahu kalau aku memendam perasaan cintaku untuknya mengapa sikapnya hanya biasa saja? Apakah karakter kaum hawa memang seperti ini? Mungkin benar juga yang dikatakan Erich Fromm, bahwasanya kaum wanita itu hanya pasif sebelum mendapatkan reaksi dari kaum laki-laki yang membuat dia candu ke kita. Tapi, lagi-lagi hanya ada satu tujuan dalam fikiranku: aku harus sesegera mungkin mendapatkan cinta dari sosok yang aku idam-idamkan ini.

      Meski aku telah mempelajari banyak lekuk kehidupanya dari medsos, aku masih tidak tahu seberapa baik mengenal dirinya, karena memang medsos tak bisa menjadi jaminan untuk mengenal secara mendalam kebenaran karakter dari seorang hawa, tapi keadaan ini tak separah sewaktu pertama kali aku mengenalnya –aku tak mengenal apapun tentangnya. Akan tetapi, kemungkinan yang dapat kusimpulkan sementara tentangnya adalah, dia cewek yang tak bertipikal romantis –agak tomboy mungkin. Tentunya kesimpulan sembrono tersebut ku cetuskan dengan hati-hati agar jalan untuk merebut hatinya berjalan mulus dan lancar tanpa halangan yang berarti, ini adalah langkah sangat penting untuk mengetahui karakter seorang hawa sebelum kalian ingin berjalan jauh denganya. Tapi jika cinta berkehendak lebih cepat, banyak pasangan yang mempelajari karakter masing-masing saat hubungan itu berjalan, ada yang sukses dan sebaliknya, aku menjadi takut kalau cinta berkehendak lebih cepat sehingga aku tak sempat belajar mendalam terkait kepribadianya, yang ujung-ujungnya nanti dia malah tak nyaman denganku –menyedihkan bukan.

Aku menepis bayangan-bayangan pesimisme yang melanda batinku, itu tidak tertahankan. Dan kurasa rasa pesimis mengalahkanku, aku mulai hilang harapan saat aku sms dia tapi di balasnya dengan lama, bahkan beberapa kali tak dibalasnya, hal tersebut berlanjut terus menerus sehingga membuatku hampir putus asa. Entah, mungkin karena aku terlalu takut tak mendapatkan cintanya, bisa juga karena aku terlalu hati-hati dalam berkomunikasi denganya, padahal hal ini ku lakukan agar dia nyaman dengan cara komunikasiku –ternyata tidak.

      Aku memang benar-benar kalah telak, aku tak tahan dengan cara dia membalas sms ku, aku tipe-tipe tak suka menunggu tanpa kejelasan apalagi dengan waktu yang lama. Keputusan ku ambil, aku mencoba untuk tak sms dia selama kurang lebih satu bulan setengah, hal ini aku lakukan untuk mengatur psikologisku kembali agar rasa percaya diriku timbul kembali, dalam lose contact tersebut aku sempat beberapa kali bertemu dengan bidadari pujaanku di kampus, dia terlihat cantik sekali, masih seperti dulu, lemparan senyum dan sorotan matanya yang dia arahkan padaku membuatku sungguh-sungguh serasa jatuh dalam peluknya, aku benar-benar telah di mabuk olehnya.

Lama ku tak sms dia, aku tiba pada pemikiran bahwa si gadis pujaanku ini mempunyai sifat yang suka di goda, atau setidaknya dia adalah wanita yang bertipe seperti Vita Brevis. Kalau demikian masuk akal juga bukan, kebiasaanya memang mengarah pada hal tersebut, maka tak salah pula jika aku menggunakan jurus godaan seribu bayangan miliku untuk menggoda dirinya supaya dia tertarik denganku, jika aku harus berfikir hati-hati lagi yang ada belum tentu kesimpulanku benar, yang ada hanya pesimisme yang merontokan sanubari –ini adalah sebuah gugatan cinta dariku pujaanku. Akan tetapi, tentu ada banyak variasi. Aku harus berusaha mengerti dan melihat fakta lain tentangnya. Barangkali, dia telah mempunyai pasangan memang benar adanya, lantas perjuangan dan usahaku selama ini hanya sia-sia. Ya, mengapa tidak? Aku takbisa mengasumsikan bahwa dirinya itu jomblo sehingga aku bebas langsung mengutarakan perasaanku padanya. Asumsi-asumsi ini akan matang dengan sendirinya meski memerlukan waktu yang lama. Sebenarnya pemikiran ini menjalar seperti getaran listrik di sekujur tubuhku –dia memang sudah mempunyai pacar atau mungkin dia sudah tunangan yang berjanji saat dia lulus akan menikah, oh betapa mengerikan sekali jika hal ini selalu ku bayangkan, toh lebih baik aku mencoba tanya langsung padanya saja daripada fikiran tak jelas meracuniku.

Aku selalu jagoan dalam hal analisis dan menggabungkan fakta-fakta, atau lebih tepatnya adalah aku merasa jagoan dalam hal ini. Meski faktanya sering salah kaprah, kita harus percaya dirikan? Ya, maka dari itu aku menyebut diriku jagoan dalam hal analisis bukan. Bukan hanya dalam kasus dengan gadis pujaanku, melainkan aku pernah tepat memprediksi jikalau aku akan bolos kuliah jam tujuh pagi karena aku baru tidur jam lima pagi, teryata prediksi ku berhasil, aku tak masuk kuliah karena aku bangun jam sepuluh siang –jenius atau bodoh?

Mungkin gaya penulisanku sedikit aneh dan sedikit berbumbu lebay tentang kronologis hubungan kita. Tapi, aku mengenangya sebagai sebuah kisah yang menggelikan, nyaris seperti film bisu, dan seperti itulah aku ingin memandangnya.

      Ini tidak berarti aku merasa enteng ketika menuliskanya. Sebenarnya, aku benar-benar tak terlipur –untuk lebih jujurnya. Aku tidak sedang mencoba untuk menyembunyikan, tapi itu bukan sesuatu yang perlu di khawatirkan. Kamu takan pernah melihat betapa aku bingung terheran-heran saat bayanganmu membius malamku, dan aku akan bisa mengontrol diriku sendiri.

      Perasaan cintaku padamu sebenarnya takterbendung, apakah kamu ingat, saat aku sms sering membuat bercandaan tentang pukat, pancing atau alat tangkap nelayan sejenisnya, mengapa aku lebih suka memanggilmu pukat? Karna filosofi pukat adalah interpretasi dari pukat cincin, yakni mendapatkan hasil tangkapan dengan cara mengelilingi ikan dalam bentuk melingkar sehingga ketika pukat siap di angkat hasil ikan incaran akan terjebak di dalam pukat itu sendiri dan tak bisa keluar, ini tentunya dengan perjuangan yang besar pukatku. Aku mengibaratkan perjuanganku seperti itu, perjuanganku untuk mengejar cintamu, sungguh. Tapi untuk mengutarakan saja aku tak berani, aku takut. Mungkin sebenarnya kau merasakan cintaku, mungkin kau juga menungguku untuk mengutarakanya, tapi entahlah pukat, aku tak berani, aku hanya bisa membual semata.

Kemudian,menjadi kebiasaanku, setiap kali aku belajar tentang perikanan, aku teringat akan pukat cincin, aku teringat tentangmu. Ini terjadi berkali-kali, tapi aku tak pernah cerita padamu saat kau sms atau di saat ada kesempatan bertemu, aku lebih memilih diam karena aku malu menceritakanya, aku malu kau tertawakan pukatku yang manis. Pernah kubilang seperti ini padamukan “Terkadang pemahaman setiap orang beda, menurutmu sepele, tapi aku menganggapnya serius. Aku tidak mau ketidak sepahaman kita malah menjadikan ruwet”, entah kau ingat atau tidak tentang kalimat sederhana itu, yang jelas itu kusampaikan dengan perasaan pengharapan kau mengerti perasaanku pukatku yang manis.

Hari demi hari dan pekan demi pekan berlalu, dan suatu jumat pagi aku ke kampus kuliah Komunikasi Jurnalistik di gedung Ki Hajar Dewantara lantai empat kelas 3E, saat berjalan menuju kelas aku terperangah, aku melihat sosok wanita yang manis nan cantik –itu pukatku yang manis. Aku pikir kau tak memerhatikan aku, tapi yang ada kau malah melempar senyum segar buatku, dan sungguh senyum yang dapat melumerkan gedung karena jika seluruh isi gedung melihatnya, senyuman yang dapat menghentikan seluruh aktivitas seisi gedung, aku berjalan terjingkat, sempat terasa beberapa detik aku terbius oleh senyumu yang menggoda, sungguh kau memang ahli dalam membiusku pukatku yang manis. Aku tidak punya pilihan lagi, aku mesti masuk kelas Karena aku sudah telat sekitar tujuh belas menit lamanya. Setidaknya pagi itu adalah pagi yang teramat sangat menyenangkan bagiku, terasa raga ini mendapat suntingan motivasi yang berlebih sehingga dalam perkuliahan aku merasa sangat semangat meski terkadang aku tak konsen karena berharap saat perkuliahan selesai kau masih berada di sana menungguku, harapan konyol.

Dan begitulah, harapan konyol kau menungguku di sana ternyata nihil. Kenapa juga sewaktu aku dikelas tak sms kamu dahulu untuk menungguku –betapa bodohnya aku. Saat aku sms kamupun ternyata sudah berada di kos, ya memang keberuntunganku tak berlanjut, cukup senyum segarmu tadi pagi yang telah membuat pagiku segar bersemangat.

Pasca pertemuan jumat itu, aku mulai merasa percaya diri, aku tidak merasa malu lagi padamu, senyum segarmu telah membuatku seperti memiliki semacam kekuatan adialami, entah kau punya kekuatan apa sehingga membuat diriku lebih percaya diri.
Sebuah teka-teki, pikirku, teka-teki dahsyat!
Setelah perjumpaan singkat di gedung itu, yang terbayang di hidupku adalah kamu semata, aku terus memanggil namamu –pukat.

Aku tidak akan bosan menuliskan tentangmu di kertas sederhana ini, meski itu membutuhkan waktu yang terlalu lama. Tapi aku berpikir dan bernalar dan suatu hari aku tiba pada kesimpulan berikut: kesempatan bertemu yang tak di sengaja kemarin membuat nuraniku ingin segera mengutarakan cintaku padamu, kamu tahu? Perasaan ini ngebet banget ingin berucap sayang padamu secara langsung, tapi sayangnya aku tak berani, hal tersebut hanya kulakukan lewat sms sja, kau membacanyakan –pukat yang cantik.

Ini hanyalah satu dari sekian teori dan kesimpulan yang kutuliskan dari awal sampai detik ini, tetapi terkadang aku juga berpikir bahwa keraguan kau menerima cintaku lebih besar daripada perasaan untuk segera mengutarakan cinta padamu. Aku tak perlu menjelaskan lebih detail mengapa aku menjadi tiba-tiba canggung, aku rasa kau dapat mengerti sendiri kenapa aku tiba-tiba seperti ini.

Tapi setidaknya kau mengerti pukatku! Bagaimana aku sungguh mencintaimu, banyak faktor-faktor yang membuatku tak berani, atau lebih tepatnya menjadi banci. Padahal aku tak pernah tahu ada seorang cowok yang begitu takut untuk mengutarakan cintanya, biasanya cowok kan selalu percaya diri bukan? Tapi kenapa aku tiba-tiba tak berkutik dan memikirkan seribu satu alasan untuk mengutarakan perasaanku padamu. Aku hanya punya satu tebakan pukat, jika aku mengutarakan perasaanku padamu pasti kau menolaknya dengan alasan kau lebih nyaman untuk beteman denganku, atau mungkin kau memang sudah punya pendamping yang lain yang mungkin kau sengaja sembunyikan dariku. Kupikir tebakanku ini cukup meyakinkan, dan aku bahkan bisa merasakan sejumput kecemasan mengenai kebenaran hal tersebut.

Sebagai catatan, perlu kujelaskan bahwa apa yang kukatakan tentangmu tidak saya buat-buat agar kisah ini seru. Memang ada beberapa yang tak kuungkapkan padamu karena kisah selanjutnya hanya ingin aku yang tahu dan mengerti. Aku bisa mengabaikan seluruh waktuku hanya untuk memikirkanmu pukat. Jika kuceritakan, cerita ini akan jadi sangat panjang dan berkelok-kelok. Aku sengaja menulis ini karena kertas ini adalah teman setiaku, dia setia menerima curhatanku tentangmu jikalau aku sedang memikirkanmu pukat.

Kau masih ingat saat aku bertanya bagaimana dan kapan aku bertemu kamu? Mungkin itu pertanyaan konyol, sebenarnya aku merasa sangat malu mengatakan hal tesebut padamu pukat, tapi karena aku juga lupa bagaimana kita bertemu akhirnya aku pun bertanya padamu bukan, kau ingat pukat, kau mengatakan :”makanya minum cerebrovit, seingatku waktu ospek maba 2013. Sebenarnya gak pengen kenal denganmu, tapi keadaan yang membuat kitakenal, yaudah”. Barulah saat itu terpikirkan olehku bahwa barangkali kita memang berjodoh –lagi-lagi sifat percaya diri yang berlebih mencumbuku. Hal tersebut tak bertahan lama pukat, lagi-lagi rasa pesimis datang karena kau tak membalas sms ku yang terakhir, mungkin kau sudah tertidur, ya karna jam memang sudah menunjukan dini hari, besok juga kau harus UTS bukan.

      Kau tahu pukat, karena terlalu terbayang olehmu sampai bayanganmu terbawa di mimpiku, kau datang di mimpiku dengan senyuman yang dapat membius seluruh gedung seperti pertemuan kita dulu. Dalam mimpiku, kita bergandengan tangan, kau menggenggam tanganku dengan erat dan lembut   – seolah-olah kita sedang melayang tanpa bobot di luar angkasa, kita seolah-olah telah meminum susu antarplanet dan memuat seluruh semesta di dalam hari kita berdua, kita saling melempar senyum serta bercengkrama menikmati dunia yang seperti milik kita berdua, mungkin kedengaranya agak lebay. Ya, tapi memang itulah yang kurasakan, sungguh pada saat bangun pun aku masih bisa merasakan belaian tanganmu, hangatnya bekas eratan tanganmu di tanganku masih pula bisa kurasakan.

Tapi, mestinya aku sudah tahu hal ini takan terjadi. Tentu saja, rasa cintaku padamu telah kalah oleh rasa pesimisku. Untuk apa pula aku harus bermimpi seperti itu kalau hal tersebut takan terjadi. Mungkin tulisan ini menggambarkan bahwa betapa cintaku padamu begitu besar pukat, sungguh.

      Kamu sebenarnya siapa si gadis pukat yang begitu transendental? Pertanyaan ini selalu kutanyakan kepada diriku sendiri, sosokmu telah membuatku jatuh cinta, kau adalah gadis yang penuh dengan pertanyaan, kehadiranmu adalah misteri buatku. Aku punya banyak waktu untuk memikirkan pertanyaan itu. Dan perlahan-lahan, dengan berlalunya hari-hari, aku tidak pernah kesulitan menemukan jawabanya, kau adalah wanita yang selama ini kucari, tapi pertanyaan apakah kau ditakdirkan untuk ku atau tidak itu adalah sebuah pertanyaan lain.

      Pada akhir pekan aku sering pergi ketaman baca sekedar membaca buku atau mengetik cerita pendek , sebenarnya aku berharap kau mau ikut denganku, yang aku ingin bicarakan di sini bukan tentang senang-senangnya, melainkan aku ingin bicara banyak padamu, aku ingin bertanya seribu satu pertanyaan kepadamu mengapa kau bisa membuatku terbius seperti saat ini. Tapi sayang, minggu kemarin kau menolak permintaanku karena kau sudah punya janji dengan yang lain. Hal tersebut seolah-olah membuatku pupus, kejengkelan yang kubawa ke taman baca membuat taman itu serasa penuh dengan bunga penderitaan dan hinaan, tapi mau bagaimana lagi, kalau sudah rejeki ya emang gak kemana bukan.

Sejak saat itu, aku mulai merasa tak perlu lagi mengajakmu keluar, karena memang kau pasti menolak dengan berbagai alasanmu. Tak apa, mungkin sebaiknya memang seperti itu, kau akan meringankan sakitnya perasaanku pukat, sakit karena menahan gejolak cinta ini. Cerita ini memang berbelit pukat, kuharap kau tak bingung, dan kuharap kau juga tak bosan dengan cerita-cerita putus asaku. Sebenarnya aku telah banyak mencoba untuk berfikir jernih pukat, aku mencoba mengatakan kepada diri sendiri bahwa aku tidak bisa berharap banyak padamu, kamu akan tahu alasanku yang sebenarnya mengapa dalam cerita ini dipenuhi degan rasa pesimisku. Aku selalu memikirkamu.Tidak, kau takan menerima cintaku bukan.

Pukat, kecantikanmu telah membius hidupku. Rasa pesimisku yang tinggi dikarenakan aku takut kau menolak cintaku, cintaku yang berlebih untukmu membuat terkadang cemburu buta menyerangku. Lebih baiknya kulihat dirimu yang seperti ini, entah aku sebenarnya juga bingung, apa bedanya kita berhubungan spesial dengan hal yang sedang kita lakukan saat ini. Kau membuatku semangat dalam menjalani hidup pukat, kau adalah wanita yang mempunyai senyum termanis yang pernah kutemui pukat. Aku melihatmu, aku melihatmu tertawa manis meski itu hanya bayangan semata. Di saat aku tak bisa tidur, aku sering menulis tentangmu pukat, menulis betapa indahnya bisa berdampingan denganmu.

Aku menilaimu sebagai cewek yang cuek, tegas, tak romantis dan mempunyai dedikasi yang tinggi. Mungkin anggapanku memang benar adanya. Meski kau tak menerimaku cintaku pukat, tapi aku akan selalu mencintaimu –selalu. Meski aku tak berani mengutarakan isi perasaanku padamu, tapi aku telah berani mencintaimu pukat.

Aku tak berdoa pada tuhan agar terhindar dari rasa ketakutan pukat, aku tak ingin bebas dari rasa takut. Aku ingin tetap seperti ini, mencintaimu dengan ketakutan. Semua pesimisme ini tidaklah buruk pukat, pikiranlah yang membuat menjadi semacam ini.

Catatan yang rumit dan berkelok ini segera berakhir pukat, kau takan lagi membaca suku kata yang sulit difahami, sekarang kau bebas mengomentari sebuah gugatan dari cintaku. Sekarang kau dapat meremehkan tulisan sederhanaku, atau kau bisa cuek tanpa komentar.

Aku sulit untuk mengenalmu, aku sulit memahamimu, aku sering salah beranalisis tentangmu, aku belum tahu pasti karaktermu. Hanya satu yang kutahu pukat, besarnya cintaku melebihi luasnya pandanganmu terhadapku.

Kau itu cantik, kau itu manis, kau baik pada teman-temanmu, dedikasimu tinggi, aku hanya ingin berucap, sungguh, aku hanya ingin berucap kalau aku sungguh amat sayang padamu Nanda Aulia. I love you, sungguh.

Salam manis dan hangat dariku, aku tak berharap kau faham pukat. Aku hanya ingin kau tahu, tahu kalau aku itu benar-benar mencintaimu, Nanda.

Aku sudah berusaha untuk mengedit sebaik mungkin naskah kiriman Sonson. Maafkanalah aku Son jika tak sebaik dan semaumu yang kau fikirkan. Setidaknya aku sudah berusaha. Son.

Reading Scene 08 on Cerita 08
Reading Scene 09 on Cerita 09
Bersambung ke Scene 11




No comments:

Post a Comment