*Alie Ahsan
Al-Haris
Sumber Ilustrasi Gambar : segiempat[dot]com |
Scene 10
Son.
Aku sudah baca naskahmu sebanyak tiga kali. Aku tak tahu harus mengedit kolosal
percintaanmu ini dari mana. Dibilang hidup tak juga hidup. Aku hanya dapat bicara
betapa pintarnya kau mempertajam karakter perempuan idolamu ini. Kau sebut dia
Pukat. Kau bilang dialah perempuan yang sampai saaat ini menggelorakan jiwamu. Apakah
kau baru pertama kali jatuh cinta. Aku tak tahu. Apa memang kau adalah seorang
pujangga. Son. Terserahlah. Itu hak para pembaca. Yang jelas aku sudah berusaha
sebaik mungkin mengedit naskahmu. Timbul dalam hati ini rasa takut dan khawatir
Son. Bukan karena takut didepak dari kantor bersebab naskah konyolmu. Tapi aku
takut membuatmu kecewa Son. Kecewa karena hasil editingku akan menghilnagkan
betapa tulusnya kau menuliskan ini untuk perempuan pujaanmu. Si Pukat. Pukat
Cinta.
Mengingat
naskah kiriman Sonson yang terlalu panjang. Maka aku muat dalam harian sebanyak
empat kali berturut-turut. Terhitung dari senin sampai kamis. Banyak email masuk menanggapi terbitnya
cerpen karangan Sonson. Aku akan bahas tanggapan itu dilain kesempatan saja.
Naskah
Sonson. Laki-laki yang sampai detik ini tak aku ketahui berumur berapa. Asli
Surabaya atau orang perantauan. Dengan gaya tulisanya telah mendatangkan banyak
reaksi dari para pelanggan harian Apa
Kabar Surabaya. Buruk, membangun dan penasaran denganya. Itu urusan nanti
saja. Yang jelas sekarang, kalian harus tahu. Berikut naskah Sonson yang naik
cetak. Aku ketik ulang, hampir menyerupai naskah aslinya yang dia kirimkan
lewat email. Cermatilah ketulusanya.
Naskah sederhana ini kutunjukan untuk gadis
pujaanku, tahu bukan mengerti.
Sebuah confessions yang jujur, berharap kau
membaca ini dengan suasana hati yang nyaman.
Salam dariku.
PUKAT
CINTA
“Hanya
dengan hati orang dapat
melihat dengan tepat; sesuatu yang sejati tak dapat dilihat dengan mata”.
Apakah ada buku yang membahas
tentang filsafat cinta? Kalau memang ada
apakah buku tersebut dapat menjawab perasaan ku yang sedang merasakan cinta sesaat
ini, lagi-lagi ada sosok yang menggodaku untuk ingin lebih dekat denganya. Berawal
dari pertemanan yang ku rasakan, sekarang malah menjurus ke perasaan alam bawah
sadar, sosoknya membuatku terus menerus ingin berjumpa dirinya, aku mencoba
menahanya, tapi perasaan ini malah semakin berontak, terus berontak.
Apakah dia disana juga memikirkanku? Aku
rasa tidak, atau bisa jadi benar. Manakala perasaan lawan jenis yang konon
memang amat sulit untuk di fahami malah membuat ku penasaran dengan apa yang
sebenarnya dia fikirkan, berbagai cara untuk menebarkan pukat demi hasil
tangkapan yang melimpah membuat nurani ini semakin penasaran denganya.
Apakah perasaan ini hanya sementara? kiasan
dari bunga yang sedang mekar-mekarnya, tapi mengapa begitu lama, sampai-sampai
dalam tidurku berjumpa denganya, bertukar sapa dan senyum yang begitu indah nan
sulit untuk dilupakan.
Apakah teori psikologi yang sering
mengatakan bahwa jika kita berniat untuk melupakan yang ada malah sebaliknya
itu benar, apakah kisah ini sama dengan Vita
Brevis yang di tulis Gaarder, sesekali aku mencoba untuk membencinya agar
perasaan tak jelas ini hilang dengan segera, tapi aku sadar ini tipuan kecil,
tipuan bagi nuraniku. Bagaimana tidak! Aku berusaha membencinya, tapi dalam
hati merindunya. Pembohong besar.
Kecintaan Antonio Gramsci terhadap masyarakat proletar mungkin agak mirip
dengan kisahku, meskipun dalam realnya aku hanya memaksa agar mirip saja,
konteksnya lain, aku terperangkap dalam belenggu sosoknya, sungguh. Sosoknya
yang membuatku bingung karena yang ku bicarakan pada akhirnya hanya
berputar-putar saja, benar bukan?
Perasaan ini menyiksaku, parasnya yang
menawan membuatku terbayang terus menerus. Bayanganya malah membuat hatiku
terluka karena takut harapan ku tak berjodoh dengan kenyataan, rasa sakit ini
nampaknya telah menjadi nanah sehingga memborok parah di perasaanku, tapi
karena rasa sakit ini pula akhirnya ku dapat kebal dari sakit karena selalu
membayangkan parasnya, mati rasa.
Gie,
sampai mati menyetubuhinya memang belum pernah merasakan merajut cinta bersama,
perasaan yang terlalu di pendamnya malah menjadi bomerang buatnya. Apakah aku akan
seperti dia? Saya harap tidak, mungkin secara longitudinal dia tahu apa
maksudku, tapi secara harfiah aku juga ingin mengetahui apa jawabnya, apakah
dia rela membiarkanku mati tanpa harapan? Semoga tidak, tapi di sisi lain aku
juga berfikir apa sosok sejenisnya memang suka permainan yang sembunyi-sembunyi
seperti yang kita lakukan ini. Dentuman momentum mana yang harus aku tunggu?
Sesabar apa lagi aku harus menunggu pukat yang selama ini ku tebar untuk di
angkat.
Aku hanya ketakutan buta, sungguh. Pukat
yang selama ini ku pasang takut kalau dia anggap hanya macam Vita Brevis semata. Lantas aku harus
bagaimana? Kalau ku angkat terlalu cepat, aku takut tak sesuai harapanku,
kenyataan berkehendak lain, cuaca belum stabil, masih riskan, aku takut.
Apakah filsafat hanya membahas tentang
asal muasal kehidupan? Apakah filsafat tidak pernah bertanya matrial dari
cinta? Apakah cinta termasuk matrealisme metafisik semata? Apakah yang kulakukan
sebodoh itu? Damn, cemburu buta apakah sebuah kebodohan juga, lantas mengapa
ada rasa cemburu jikalau tak ada sebabnya. Apakah hukum sebab-akibat tak
berlaku lagi jika membahas tentang cinta, membahas tentang sosoknya, parasnya. Sampai
kapan kebodohan ini membelengguku? Sampai kapan aku harus berjumpa dia dalam
tidurku! Padahal yang ku inginkan adalah berjumpa langsung denganya, memandang
sosoknya, melihat parasnya yang selama ini telah menyakitiku.
Tapi kalau ku fikir-fikir kenapa juga
aku takut bertatap muka langsung denganya? Padahal aku mengharapnya, sungguh. Kenapa
aku harus sembunyi-sembunyi sewaktu bertemu denganya, mungkin dia sebenarnya
juga ingin bertemu denganku –oh betapa sombongnya diriku. Aku takut jika
perasaan ini memborok saat memandang langsung parasnya, cukup dengan tulisan
sederhana ini aku meluapkan emosiku, ku harap begitu.
Malam ini, hawa
dingin kota perantauan terasa menusuk ke tulang sumsum yang mengharap sebuah
penjelasan tentang arti dari sebuah perasaan pengharapan. Sosoknya mulai
merasuk dalam sanubariku lagi, pertemuan pada hari itu masih terkenang berat di
otak, lemparan senyum manis yang dia tunjukan padaku membuatku terbius sesaat,
lekukan wajahnya yang teramat manis masih terkenang jelas sampai aku ketikan
tulisan ini yang entah aku tunjukan untuk siapaaku pun tak tahu.
Aku mengaharap malam ini dia menghubungiku, sungguh.
Pengharapan ini semoga terkabul meski dia sedang ada kesibukan entah apa aku
juga tak tahu, karena jelas, aku hanya berharap di malam yang dingin ini dia mengingatku
walau sebentar.
Aku berusaha mengingat kejadian saat aku
bertemu denganya –di kampus. Meski memang terkadang sakit tapi entah kenapa aku
suka mengingat kejadian tersebut, bahkan berusaha untuk terus mengingatnya. Aku
mencoba menyetabilkan perasaan senang ini, aku harap bayang-bayang semu itu tak
kunjung pergi dariku agar aku tetap bisa mengigatnya. Aku ingat saat itu menaiki tangga lantai dua
gedung Ki Hajar Dewantara untuk pergi ke ruang kuliah 1B, saat aku hendak
berbelok ke arah ruang kelas tiba-tiba ada sosok manis yang melempar senyum
bidadari kepadaku –oh sungguh indahnya.
Sebenarnya aku punya banyak kenangan
tentangnya, salah satunya sewaktu kita bertemu di taman baca hendak pergi ke
kegiatan kawan-kawan, sebelum beranjak pergi dia menyapaku, dia melempar senyum
padaku sembari memintaku untuk ikut di kegiatanya. Dalam kegiatan tersebut
akupun tak mensia-siakan pandanganku ke parasnya, sungguh betapa indahnya
hidupku pada saat itu, meski hal tersebut kalah saat aku bertemu denganya di lantai
tujuh kampus.
Satu hal yang membuatku penasaran
denganya, aku berfikir dia adalah ahli di bidang psikologi, hal ini aku
utarakan karena dia sering menebak fikiranku, aku juga tak terlalu yakin dengan
hal tersebut, tapi secara longitudinal kenyataan itu ada. Dia menyebutku keppo –entah kenapa dia menyebutku
seperti itu, tapi bahasa keppo sekarang memang sedang tenar layaknya karya
sastra kontemporer. Entah julukan itu dia artikan kepadaku sebagai maksud jelek
atau baik saya juga tak terlalu faham, pastinya aku hanya merasa senang karena
dari julukan itulah aku dapat lebih akrab denganya –tentunya untuk lebih masuk
ke kehidupanya.
Memang sebelumnya aneh juga mengapa
sosok yang aku impikan untuk dapat aku miliki menyebut aku keppo, tapi setelah
aku tanya dia hanya menjawab karena aku orangnya sok tahu. Sok tahu bagiku
adalah sebuah watak, karena memang dasarnya aku adalah orang yang sok tahu dan
sombong, ya aku mengakui hal tersebut karena aku berusaha untuk jujur pada diri
ku sendiri, seperti aku jujur mengutarakan apa yang kualami lewat tulisan yang
tak ada tujuan mau ditunjukan kemana –hanya untaian kalimat yang ku rasa
kalimat putus asa seorang pembohong besar.
Selama ini memang aku simpan rapi
kisah ini, aku tak berani membicarakan dengan orang lain walau itu adalah teman
kepercayaanku. Aku hanya percaya pada kertas ini, dia hanya diam dan setia
menemaniku menerima limpahan emosiku yang tak stabil, kertas ini adalah teman
baiku, dia dengan sabar tak membalas jika dalam menulis aku marah padanya
karena tak ada kejelasan aku menulis ini dikirimkan untuk siapa. Yang jelas, aku
menulis hanya ingin menyatakan perasaanku pada sosok tersebut.
Terkadang aku hanya termenung di saat aku tak
menorehkan tinta di atasnya, aku hanya diam membaca tulisanku kembali. Aku
mengecek apa kisah ini telah jujur aku sampaikan ke kertas tak berdosa ini,
agar nanti aku tak di tuntut olehnya karena telah mempergunakanya untuk hal
yang tak berguna, biarlah kertas ini yang bicara pada sosok yang kunanti, ya
hanya itu yang bisa kulakukan, sekarang adalah waktuku untuk bercerita tentang
siapa sosok yang ku idamkan ke kertas sederhana yang setia menemaniku.
Kisah
ini ku namakan“Pukat Cinta”, pada
permulaan semester lima aku ikut berpartisipasi di sebuah lembaga kampus,
kebetulan saat itu pasca pembentukan pengurus baru sehingga program kerja yang
menumpuk menanti para pengurus baru –termasuk aku. Dibantu oleh teman-teman
kita membuka Staff Muda sebagai ajang
maggang untuk anggota muda yang duduk di semester tiga, di saat proses screening
aku mulai melihat sosoknya, tinggi dan berbadan tegap, mempunyai ciri khas
senyuman yang menyenangkan serta mempunyai cara jalan yang khas diantara cewek
lain.
Seingatku, waktu itu aku sedang
berfikir apakah dia sudah mempunyai pasangan! Atau lebih tepatnya sudah
mempunyai pacar atau tunangan mungkin. Rasanya memang aneh membayangkan hal
seperti itu, padahal untuk berkenalan saja belum ku lakukan. Tapi entah kenapa
juga pemikiran yang menurutku agak radikal selalu membayangiku, mulai dari
sinilah perasaan itu muncul.
Hal
pertama yang menarik mataku adalah cara dia duduk menunggu giliran screening,
aku melihat dia tersenyum manis ke teman lawan bicaranya, wajahnya yang
kelihatan tegas adalah alasanku kedua tertarik padanya, waktu itu dia memakai
celana panjang dan style kerudung yang sedang di gandrungi para
mahasiswi-mahasiswi sekarang. Aku sadari bahwa ada sesuatu yang istimewa
tentang dia, sesuatu magis yang memikat tapi tak terjelaskan.
Satu hal yang perlu di ketahui adalah
cara dia memandangku dan seolah-olah dia telah memilihku dari semua orang lain
yang berada di sekretariat saat screening. Beberapa menit dia menatapku lurus
seakan ingin memberitahuku sesuatu, kami saling menatap tajam beberapa menit,
dan barangkali akulah yang mengalihkan pandangan untuk pertama kali. Dalam
pandangan tersebutlah aku merasa yakin kalau ada sesuatu yang terikat diantara
kita berdua. Hal aneh yang ku alami setelah memalingkan wajah sisi hidung
sebelah kananku keduten –menurut
kepercayaan orang jawa ini menandakan akan bertemu seorang kekasih. Hal ini
membuatku yakin –dialah kekasihku.
Aku dan dia sepertinya lebih tinggi
dia, atau mungkin sama karena kita tak pernah mengukur tinggi badan bersama,
selain itu aku juga tak mengetahui berapa tinggi badanya. Yang jelas dia
mempunyai badan agak kurus dariku, kulit tubuhnya sawo matang, mencirikan orang
Indonesia banget. Cara dia berjalan menunjukan ketegasan dan keteguhan pribadi,
sorot matanya tajam menandakan dia sedang mengoreksi orang yang sedang di
lihatnya.
Senyumnya menghadirkan sepasang
matahari dan rembulan secara bersamaan di hatiku, dia mengigatkanku pada
gerhana rembulan dan gerhana matahari yang menyorot tajam ke permukaan bumi;
dia memang manis dalam segala hal, sungguh.
Satu
koreksi darinya ialah, mengapa dia selalu melempar senyum begitu sok kenal dan
mengundang? Apakah dia benar-benar tersenyum kepadaku atau dia tersenyum karena
ada sesuatu yang lucu dariku, atau jangan-jangan dia tak tersenyum kepadaku?,
itu adalah salah satu kemungkinan yang harus ku pertimbangkan, padahal aku
dandan tak terlalu norak, tampangku juga biasa saja, atau mungkin dia tertawa
melihat tingkahku yang kocak ? Jika hal ini benar, berarti selama ini senyuman
yang membius itu adalah sebuah kekonyolan bagiku –aku terlalu percaya diri.
Seingatku, aku tak pernah berjabat
tangan denganya untuk menanyakan siapa nama atau meminta nomor handphone-nya,
sebelum adanya screening aku bertemu dia di kepanitaan Ospek mahasiswa baru, ya
itu saat pertama kali kita bertemu, pandangan pertama kali ku sudah dapat
menebak bahwa dia adalah orang yang humoris tegas, tentunya hal ini kulakukan
dengan sikap sok tahuku. Dia menjabat menjadi kordinator divisi acara, pada
berlangsungnya rangkaian ospek aku tak bertemu dia sama sekali karena memang
aku banyak berada di dalam ruangan. Tapi tak lama pasca ospek berakhir
pendaftaran untuk staff muda dibuka sehingga Tuhan mempertemukan kita berdua
lagi.
Tidak
diragukan lagi, rasa magis yang tak terjawab pasca bertemu pertama kali
denganya. Tuhan mempertemukan kita karena tuhan ingin aku mencari jawaban
padanya mengapa dia begitu magis sekali bagiku. Data para pendaftar staff muda
aku bawa semua, spontan aku langsung membaca biographinya, di secarik kertas
tersebut aku jadi tahu informasi pribadi terkait dirinya, dari mulai nama
lengkap; nomor handphone; alamat facebook dan twitter. Manuver pertama
kulakukan, aku add dan follow terlebih dahulu media sosialnya untuk mengetahui
kesibukan apa serta lontaran kalimat apa yang ia lakukan di dunia maya.
Setidaknya caraku ini termasuk berhasil,
sosok yang aku idamkan ini mulai akrab denganku meski tak seberapa dekat, sms
dan media social (medsos) adalah cara-caraku untuk mengetahui kepribadianya
secara sekunder, hal ini biasa di lakukan oleh Freud untuk menganalisis kepribadian seseorang.
Sering mengikuti kesibukanya di media
sosial dan menanyakan kabar lewat sms lama kelamaan membuahkan hasil, hubungan
pertemanan kita semakin erat bahkan kata renggang diantara kita hampir tidak
ada lagi. Meski terkadang aku sering malu sendiri jikalau mengobrol denganya. Ekspresi
wajahnya serasa mengucapkan sesuatu padaku, seolah dia ingin berbicara yang
sangat rahasia, terlepas isyarat itu konyol atau tidak aku tetap menganggap dia
juga bersimpati padaku. Tidak diragukan bahwa dia pikir aku ini mengaharap
cinta darinya, sorot matanya dan lemparan senyumnya memang menandakan hal
tersebut, lantas jikalau dia memang tahu kalau aku memendam perasaan cintaku
untuknya mengapa sikapnya hanya biasa saja? Apakah karakter kaum hawa memang
seperti ini? Mungkin benar juga yang dikatakan Erich Fromm, bahwasanya kaum wanita itu hanya pasif sebelum
mendapatkan reaksi dari kaum laki-laki yang membuat dia candu ke kita. Tapi,
lagi-lagi hanya ada satu tujuan dalam fikiranku: aku harus sesegera mungkin
mendapatkan cinta dari sosok yang aku idam-idamkan ini.
Meski
aku telah mempelajari banyak lekuk kehidupanya dari medsos, aku masih tidak
tahu seberapa baik mengenal dirinya, karena memang medsos tak bisa menjadi
jaminan untuk mengenal secara mendalam kebenaran karakter dari seorang hawa,
tapi keadaan ini tak separah sewaktu pertama kali aku mengenalnya –aku tak
mengenal apapun tentangnya. Akan tetapi, kemungkinan yang dapat kusimpulkan
sementara tentangnya adalah, dia cewek yang tak bertipikal romantis –agak
tomboy mungkin. Tentunya kesimpulan sembrono tersebut ku cetuskan dengan
hati-hati agar jalan untuk merebut hatinya berjalan mulus dan lancar tanpa
halangan yang berarti, ini adalah langkah sangat penting untuk mengetahui
karakter seorang hawa sebelum kalian ingin berjalan jauh denganya. Tapi jika
cinta berkehendak lebih cepat, banyak pasangan yang mempelajari karakter
masing-masing saat hubungan itu berjalan, ada yang sukses dan sebaliknya, aku
menjadi takut kalau cinta berkehendak lebih cepat sehingga aku tak sempat
belajar mendalam terkait kepribadianya, yang ujung-ujungnya nanti dia malah tak
nyaman denganku –menyedihkan bukan.
Aku menepis bayangan-bayangan
pesimisme yang melanda batinku, itu tidak tertahankan. Dan kurasa rasa pesimis
mengalahkanku, aku mulai hilang harapan saat aku sms dia tapi di balasnya
dengan lama, bahkan beberapa kali tak dibalasnya, hal tersebut berlanjut terus
menerus sehingga membuatku hampir putus asa. Entah, mungkin karena aku terlalu
takut tak mendapatkan cintanya, bisa juga karena aku terlalu hati-hati dalam
berkomunikasi denganya, padahal hal ini ku lakukan agar dia nyaman dengan cara
komunikasiku –ternyata tidak.
Aku
memang benar-benar kalah telak, aku tak tahan dengan cara dia membalas sms ku,
aku tipe-tipe tak suka menunggu tanpa kejelasan apalagi dengan waktu yang lama.
Keputusan ku ambil, aku mencoba untuk tak sms dia selama kurang lebih satu
bulan setengah, hal ini aku lakukan untuk mengatur psikologisku kembali agar
rasa percaya diriku timbul kembali, dalam lose contact tersebut aku sempat
beberapa kali bertemu dengan bidadari pujaanku di kampus, dia terlihat cantik
sekali, masih seperti dulu, lemparan senyum dan sorotan matanya yang dia
arahkan padaku membuatku sungguh-sungguh serasa jatuh dalam peluknya, aku
benar-benar telah di mabuk olehnya.
Lama ku tak sms dia, aku tiba pada
pemikiran bahwa si gadis pujaanku ini mempunyai sifat yang suka di goda, atau
setidaknya dia adalah wanita yang bertipe seperti Vita Brevis. Kalau demikian masuk akal juga bukan, kebiasaanya
memang mengarah pada hal tersebut, maka tak salah pula jika aku menggunakan
jurus godaan seribu bayangan miliku untuk menggoda dirinya supaya dia tertarik
denganku, jika aku harus berfikir hati-hati lagi yang ada belum tentu
kesimpulanku benar, yang ada hanya pesimisme yang merontokan sanubari –ini
adalah sebuah gugatan cinta dariku pujaanku. Akan tetapi, tentu ada banyak
variasi. Aku harus berusaha mengerti dan melihat fakta lain tentangnya.
Barangkali, dia telah mempunyai pasangan memang benar adanya, lantas perjuangan
dan usahaku selama ini hanya sia-sia. Ya, mengapa tidak? Aku takbisa
mengasumsikan bahwa dirinya itu jomblo sehingga aku bebas langsung mengutarakan
perasaanku padanya. Asumsi-asumsi ini akan matang dengan sendirinya meski
memerlukan waktu yang lama. Sebenarnya pemikiran ini menjalar seperti getaran
listrik di sekujur tubuhku –dia memang sudah mempunyai pacar atau mungkin dia
sudah tunangan yang berjanji saat dia lulus akan menikah, oh betapa mengerikan
sekali jika hal ini selalu ku bayangkan, toh lebih baik aku mencoba tanya
langsung padanya saja daripada fikiran tak jelas meracuniku.
Aku selalu jagoan dalam hal analisis
dan menggabungkan fakta-fakta, atau lebih tepatnya adalah aku merasa jagoan
dalam hal ini. Meski faktanya sering salah kaprah, kita harus percaya dirikan?
Ya, maka dari itu aku menyebut diriku jagoan dalam hal analisis bukan. Bukan
hanya dalam kasus dengan gadis pujaanku, melainkan aku pernah tepat memprediksi
jikalau aku akan bolos kuliah jam tujuh pagi karena aku baru tidur jam lima
pagi, teryata prediksi ku berhasil, aku tak masuk kuliah karena aku bangun jam
sepuluh siang –jenius atau bodoh?
Mungkin gaya penulisanku sedikit aneh
dan sedikit berbumbu lebay tentang kronologis hubungan kita. Tapi, aku
mengenangya sebagai sebuah kisah yang menggelikan, nyaris seperti film bisu,
dan seperti itulah aku ingin memandangnya.
Ini
tidak berarti aku merasa enteng ketika menuliskanya. Sebenarnya, aku
benar-benar tak terlipur –untuk lebih jujurnya. Aku tidak sedang mencoba untuk
menyembunyikan, tapi itu bukan sesuatu yang perlu di khawatirkan. Kamu takan
pernah melihat betapa aku bingung terheran-heran saat bayanganmu membius
malamku, dan aku akan bisa mengontrol diriku sendiri.
Perasaan
cintaku padamu sebenarnya takterbendung, apakah kamu ingat, saat aku sms sering
membuat bercandaan tentang pukat, pancing atau alat tangkap nelayan sejenisnya,
mengapa aku lebih suka memanggilmu pukat? Karna filosofi pukat adalah
interpretasi dari pukat cincin, yakni mendapatkan hasil tangkapan dengan cara
mengelilingi ikan dalam bentuk melingkar sehingga ketika pukat siap di angkat
hasil ikan incaran akan terjebak di dalam pukat itu sendiri dan tak bisa
keluar, ini tentunya dengan perjuangan yang besar pukatku. Aku mengibaratkan
perjuanganku seperti itu, perjuanganku untuk mengejar cintamu, sungguh. Tapi
untuk mengutarakan saja aku tak berani, aku takut. Mungkin sebenarnya kau
merasakan cintaku, mungkin kau juga menungguku untuk mengutarakanya, tapi
entahlah pukat, aku tak berani, aku hanya bisa membual semata.
Kemudian,menjadi kebiasaanku, setiap
kali aku belajar tentang perikanan, aku teringat akan pukat cincin, aku
teringat tentangmu. Ini terjadi berkali-kali, tapi aku tak pernah cerita padamu
saat kau sms atau di saat ada kesempatan bertemu, aku lebih memilih diam karena
aku malu menceritakanya, aku malu kau tertawakan pukatku yang manis. Pernah
kubilang seperti ini padamukan “Terkadang
pemahaman setiap orang beda, menurutmu sepele, tapi aku menganggapnya serius.
Aku tidak mau ketidak sepahaman kita malah menjadikan ruwet”, entah kau
ingat atau tidak tentang kalimat sederhana itu, yang jelas itu kusampaikan
dengan perasaan pengharapan kau mengerti perasaanku pukatku yang manis.
Hari demi hari dan pekan demi pekan
berlalu, dan suatu jumat pagi aku ke kampus kuliah Komunikasi Jurnalistik di
gedung Ki Hajar Dewantara lantai empat kelas 3E, saat berjalan menuju kelas aku
terperangah, aku melihat sosok wanita yang manis nan cantik –itu pukatku yang
manis. Aku pikir kau tak memerhatikan aku, tapi yang ada kau malah melempar
senyum segar buatku, dan sungguh senyum yang dapat melumerkan gedung karena
jika seluruh isi gedung melihatnya, senyuman yang dapat menghentikan seluruh
aktivitas seisi gedung, aku berjalan terjingkat, sempat terasa beberapa detik
aku terbius oleh senyumu yang menggoda, sungguh kau memang ahli dalam membiusku
pukatku yang manis. Aku tidak punya pilihan lagi, aku mesti masuk kelas Karena
aku sudah telat sekitar tujuh belas menit lamanya. Setidaknya pagi itu adalah
pagi yang teramat sangat menyenangkan bagiku, terasa raga ini mendapat
suntingan motivasi yang berlebih sehingga dalam perkuliahan aku merasa sangat
semangat meski terkadang aku tak konsen karena berharap saat perkuliahan
selesai kau masih berada di sana menungguku, harapan konyol.
Dan begitulah, harapan konyol kau
menungguku di sana ternyata nihil. Kenapa juga sewaktu aku dikelas tak sms kamu
dahulu untuk menungguku –betapa bodohnya aku. Saat aku sms kamupun ternyata
sudah berada di kos, ya memang keberuntunganku tak berlanjut, cukup senyum segarmu
tadi pagi yang telah membuat pagiku segar bersemangat.
Pasca pertemuan jumat itu, aku mulai
merasa percaya diri, aku tidak merasa malu lagi padamu, senyum segarmu telah
membuatku seperti memiliki semacam kekuatan adialami, entah kau punya kekuatan
apa sehingga membuat diriku lebih percaya diri.
Sebuah
teka-teki, pikirku, teka-teki dahsyat!
Setelah
perjumpaan singkat di gedung itu, yang terbayang di hidupku adalah kamu semata,
aku terus memanggil namamu –pukat.
Aku tidak akan bosan menuliskan
tentangmu di kertas sederhana ini, meski itu membutuhkan waktu yang terlalu
lama. Tapi aku berpikir dan bernalar dan suatu hari aku tiba pada kesimpulan
berikut: kesempatan bertemu yang tak di sengaja kemarin membuat nuraniku ingin
segera mengutarakan cintaku padamu, kamu tahu? Perasaan ini ngebet banget ingin
berucap sayang padamu secara langsung, tapi sayangnya aku tak berani, hal
tersebut hanya kulakukan lewat sms sja, kau membacanyakan –pukat yang cantik.
Ini hanyalah satu dari sekian teori
dan kesimpulan yang kutuliskan dari awal sampai detik ini, tetapi terkadang aku
juga berpikir bahwa keraguan kau menerima cintaku lebih besar daripada perasaan
untuk segera mengutarakan cinta padamu. Aku tak perlu menjelaskan lebih detail
mengapa aku menjadi tiba-tiba canggung, aku rasa kau dapat mengerti sendiri
kenapa aku tiba-tiba seperti ini.
Tapi setidaknya kau mengerti pukatku! Bagaimana
aku sungguh mencintaimu, banyak faktor-faktor yang membuatku tak berani, atau
lebih tepatnya menjadi banci. Padahal aku tak pernah tahu ada seorang cowok
yang begitu takut untuk mengutarakan cintanya, biasanya cowok kan selalu percaya
diri bukan? Tapi kenapa aku tiba-tiba tak berkutik dan memikirkan seribu satu
alasan untuk mengutarakan perasaanku padamu. Aku hanya punya satu tebakan pukat,
jika aku mengutarakan perasaanku padamu pasti kau menolaknya dengan alasan kau
lebih nyaman untuk beteman denganku, atau mungkin kau memang sudah punya
pendamping yang lain yang mungkin kau sengaja sembunyikan dariku. Kupikir
tebakanku ini cukup meyakinkan, dan aku bahkan bisa merasakan sejumput
kecemasan mengenai kebenaran hal tersebut.
Sebagai catatan, perlu kujelaskan
bahwa apa yang kukatakan tentangmu tidak saya buat-buat agar kisah ini seru. Memang
ada beberapa yang tak kuungkapkan padamu karena kisah selanjutnya hanya ingin
aku yang tahu dan mengerti. Aku bisa mengabaikan seluruh waktuku hanya untuk
memikirkanmu pukat. Jika kuceritakan, cerita ini akan jadi sangat panjang dan
berkelok-kelok. Aku sengaja menulis ini karena kertas ini adalah teman setiaku,
dia setia menerima curhatanku tentangmu jikalau aku sedang memikirkanmu pukat.
Kau masih ingat saat aku bertanya
bagaimana dan kapan aku bertemu kamu? Mungkin itu pertanyaan konyol, sebenarnya
aku merasa sangat malu mengatakan hal tesebut padamu pukat, tapi karena aku
juga lupa bagaimana kita bertemu akhirnya aku pun bertanya padamu bukan, kau
ingat pukat, kau mengatakan :”makanya
minum cerebrovit, seingatku waktu ospek maba 2013. Sebenarnya gak pengen kenal
denganmu, tapi keadaan yang membuat kitakenal, yaudah”. Barulah saat itu
terpikirkan olehku bahwa barangkali kita memang berjodoh –lagi-lagi sifat
percaya diri yang berlebih mencumbuku. Hal tersebut tak bertahan lama pukat,
lagi-lagi rasa pesimis datang karena kau tak membalas sms ku yang terakhir,
mungkin kau sudah tertidur, ya karna jam memang sudah menunjukan dini hari,
besok juga kau harus UTS bukan.
Kau
tahu pukat, karena terlalu terbayang olehmu sampai bayanganmu terbawa di
mimpiku, kau datang di mimpiku dengan senyuman yang dapat membius seluruh
gedung seperti pertemuan kita dulu. Dalam mimpiku, kita bergandengan tangan,
kau menggenggam tanganku dengan erat dan lembut – seolah-olah kita sedang melayang tanpa
bobot di luar angkasa, kita seolah-olah telah meminum susu antarplanet dan
memuat seluruh semesta di dalam hari kita berdua, kita saling melempar senyum
serta bercengkrama menikmati dunia yang seperti milik kita berdua, mungkin
kedengaranya agak lebay. Ya, tapi memang itulah yang kurasakan, sungguh pada
saat bangun pun aku masih bisa merasakan belaian tanganmu, hangatnya bekas
eratan tanganmu di tanganku masih pula bisa kurasakan.
Tapi, mestinya aku sudah tahu hal ini
takan terjadi. Tentu saja, rasa cintaku padamu telah kalah oleh rasa pesimisku.
Untuk apa pula aku harus bermimpi seperti itu kalau hal tersebut takan terjadi.
Mungkin tulisan ini menggambarkan bahwa betapa cintaku padamu begitu besar
pukat, sungguh.
Kamu
sebenarnya siapa si gadis pukat yang begitu transendental? Pertanyaan ini
selalu kutanyakan kepada diriku sendiri, sosokmu telah membuatku jatuh cinta,
kau adalah gadis yang penuh dengan pertanyaan, kehadiranmu adalah misteri
buatku. Aku punya banyak waktu untuk memikirkan pertanyaan itu. Dan
perlahan-lahan, dengan berlalunya hari-hari, aku tidak pernah kesulitan
menemukan jawabanya, kau adalah wanita yang selama ini kucari, tapi pertanyaan
apakah kau ditakdirkan untuk ku atau tidak itu adalah sebuah pertanyaan lain.
Pada
akhir pekan aku sering pergi ketaman baca sekedar membaca buku atau mengetik
cerita pendek , sebenarnya aku berharap kau mau ikut denganku, yang aku ingin
bicarakan di sini bukan tentang senang-senangnya, melainkan aku ingin bicara
banyak padamu, aku ingin bertanya seribu satu pertanyaan kepadamu mengapa kau
bisa membuatku terbius seperti saat ini. Tapi sayang, minggu kemarin kau
menolak permintaanku karena kau sudah punya janji dengan yang lain. Hal
tersebut seolah-olah membuatku pupus, kejengkelan yang kubawa ke taman baca
membuat taman itu serasa penuh dengan bunga penderitaan dan hinaan, tapi mau
bagaimana lagi, kalau sudah rejeki ya emang gak kemana bukan.
Sejak saat itu, aku mulai merasa tak
perlu lagi mengajakmu keluar, karena memang kau pasti menolak dengan berbagai
alasanmu. Tak apa, mungkin sebaiknya memang seperti itu, kau akan meringankan
sakitnya perasaanku pukat, sakit karena menahan gejolak cinta ini. Cerita ini
memang berbelit pukat, kuharap kau tak bingung, dan kuharap kau juga tak bosan
dengan cerita-cerita putus asaku. Sebenarnya aku telah banyak mencoba untuk
berfikir jernih pukat, aku mencoba mengatakan kepada diri sendiri bahwa aku
tidak bisa berharap banyak padamu, kamu akan tahu alasanku yang sebenarnya
mengapa dalam cerita ini dipenuhi degan rasa pesimisku. Aku selalu memikirkamu.Tidak, kau takan menerima cintaku bukan.
Pukat, kecantikanmu telah membius
hidupku. Rasa pesimisku yang tinggi dikarenakan aku takut kau menolak cintaku,
cintaku yang berlebih untukmu membuat terkadang cemburu buta menyerangku. Lebih
baiknya kulihat dirimu yang seperti ini, entah aku sebenarnya juga bingung, apa
bedanya kita berhubungan spesial dengan hal yang sedang kita lakukan saat ini. Kau
membuatku semangat dalam menjalani hidup pukat, kau adalah wanita yang
mempunyai senyum termanis yang pernah kutemui pukat. Aku melihatmu, aku
melihatmu tertawa manis meski itu hanya bayangan semata. Di saat aku tak bisa
tidur, aku sering menulis tentangmu pukat, menulis betapa indahnya bisa
berdampingan denganmu.
Aku menilaimu sebagai cewek yang cuek, tegas, tak romantis dan mempunyai
dedikasi yang tinggi. Mungkin anggapanku memang benar adanya. Meski kau tak
menerimaku cintaku pukat, tapi aku akan selalu mencintaimu –selalu. Meski aku
tak berani mengutarakan isi perasaanku padamu, tapi aku telah berani
mencintaimu pukat.
Aku tak berdoa pada tuhan agar
terhindar dari rasa ketakutan pukat, aku tak ingin bebas dari rasa takut. Aku
ingin tetap seperti ini, mencintaimu dengan ketakutan. Semua pesimisme ini
tidaklah buruk pukat, pikiranlah yang membuat menjadi semacam ini.
Catatan yang rumit dan berkelok ini
segera berakhir pukat, kau takan lagi membaca suku kata yang sulit difahami,
sekarang kau bebas mengomentari sebuah gugatan dari cintaku. Sekarang kau dapat
meremehkan tulisan sederhanaku, atau kau bisa cuek tanpa komentar.
Aku sulit untuk mengenalmu, aku sulit
memahamimu, aku sering salah beranalisis tentangmu, aku belum tahu pasti
karaktermu. Hanya satu yang kutahu pukat, besarnya cintaku melebihi luasnya
pandanganmu terhadapku.
Kau itu cantik, kau itu manis, kau
baik pada teman-temanmu, dedikasimu tinggi, aku hanya ingin berucap, sungguh,
aku hanya ingin berucap kalau aku sungguh amat sayang padamu Nanda Aulia. I
love you, sungguh.
Salam manis dan hangat dariku, aku tak
berharap kau faham pukat. Aku hanya ingin kau tahu, tahu kalau aku itu
benar-benar mencintaimu, Nanda.
Aku sudah berusaha untuk mengedit sebaik
mungkin naskah kiriman Sonson. Maafkanalah aku Son jika tak sebaik dan semaumu
yang kau fikirkan. Setidaknya aku sudah berusaha. Son.
Reading
Scene 08 on Cerita 08
Reading
Scene 09 on Cerita 09
Bersambung ke Scene 11
No comments:
Post a Comment