DIBALIK KEHIDUPAN PARA TANTE-TANTE
Sumber Ilustrasi Gambar : segiempat[dot]com |
*Alie Ahsan
Al-Haris
Scene 09
Hari
senin tiba juga. Dimana aktifitas diseluruh negara ini berjalan dengan jutaan
target dan berbagai ekspetasi perkembanganya. Ada yang sukses melampaui target,
tak luput pula terbuang dari persaingan bisnis.
“Selamat
siang pak. Dapat aku bertemu Pak Joni wakil redaktur dikantor ini. Aku sudah
buat janji dari jumat minggu lalu.” –aku bertemu pada salah seorang dibagian
sumberdaya manusia kantor ini. Cukup besar, banyak lalu lalang disana-sini.
Sementara ini mayoritas pegawai yang aku lihat perempuan, sibuk didepan
computer masing-masing.
Joni
mengahampiriku. Kita berdua langsung bergegas masuk rungan yang agak besar
disamping tempatku duduk. Aku mengira ini adalah ruangan kepala bagian SDM.
Benar fikirku. Joni panjang lebar menjelaskan segudang pengalamanya pada orang
yang menetukan aku akan diterima tidaknya dalam kantor ini.
“Dia
ini teman baiku semenjak mahasiswa. Takan rugi jika Apa Kabar Surabaya merekrutnya. Mungkin tiga bulan ini kita berinya
job untuk meliput politik di Surabaya yang memang akhir-akhir ini marak karena
menjelang pilkada.” –Joni berusaha meyakinkan dengan sepenuh hati. Salut sekali
aku pada temanku ini, dia memang serius ingin membantuku.
Lembar
perjanjian kontrak aku tanda tangani untuk kerja sampai tiga bulan kedepan.
Dengan gaji satu juta lima ratus aku terima saja tanpa perlawanan. Kalau aku
bandingkan dengan gaji semasa aku jadi kepala ruangan jauh beda memang. Tak
apalah.
Satu
hari kerja aku ditargetkan oleh kantor untuk dapat tiga konten berita. Aku
rasai hal ini tak terlalu berat bagiku. Pengalamanku dulu masih membekas diluar
kepala bagimana harus mencari berita yang marketeble di calon pembaca maupun untuk
mengangkat perusahaan ini.
Sabtu
aku pulang ke Gresik untuk sekedar
menengok rumah dan mampir ke Rosa. Kita saling bercerita bagaimana pekerjaan
dikantor. Rosa merasakan tak adanya keganjilan dengan Iva. Memang Rosa rasai
Iva tak mengetahui hubunganku denganya. Kalaupun tahu, bisa jadi Rosa sudah
didepak tanpa hormat dari perusahaan elektronik terbesar di Indonesia tempat
kita kerja.
“Kau
menikmati pekerjaanmu Gas ? –Rosa menanyaiku dengan penasaran –sepertinya
wajahmu tak memperlihatkan kesusahan seperti bulan lalu.”
“Sampai
saat ini aku menikmatinya Ros. Aku banyak belajar dari kantor Koran itu. Dari
pengalamanku dulu menjadi angggota pers mahasiswa yang secara pengalaman masih
dangkal. Sekarang aku sudah belajar banyak darinya.”
“Kau
tak menggoda perempuan-perempuan dikantor itu kan Gas ?” –ledeknya Rosa padaku.
“Kalau
aku mau menggoda Ros. Mungkin sudah berapa perempuan yang aku kencani, tapi
apalah kelakuan seperti itu. Sudah banyak sejarah kelam yang aku alami dan
kubuat pelajaran.”
Surya
datang dengan menenteng kantong kresek warna putih di kanan kiri tanganya. Kemudian “Halo Gas, gimana rasanya kerja jadi
wartawan ?. seru gak sich.” –sambil meletakan barang belanjaan di atas kursi
bagas mengahampiriku untuk berjabat tangan dan bertanya memulai.
“Kerja
itu kerja. Serunya gimana ya kau harus jadi wartawan dulu dek. Baru kau akan
merasakan bagaimana indah dan mulianya memberitakan sebuah informasi pada
khayalak umum.” –Surya mengamati dengan serius. Menganggap aku ini sebuah
pemateri yang sedang memberikan kuliah padanya.
“Tahu
jawabanya seperti itu aku takan bertanya padamu Gas. Bolehlah sekali-kali aku
diliput. Nanti kau beri judul pengusaha muda dari Gresik, menantang minoritas”
–dikatakanya hal tersebut seolah-olah dia sedang berada didepan meja redaktur saja. Dia dengan
gamblang menceritakan apa yang harus aku tulis nanti saat aku jadi meliputnya.
“Kau
ini ngapain nak. Bagas itu baru saja kerja di sana, setidaknya dalam kontraknya
habis untuk tiga bulan kedepan dia harus mencari berita-berita bermutu. Bukan
malah memberitakan warung-warung tendamu yang menjamur di Gresik dan Surabaya
nak.” –Rosa memotong pembicaraan Surya denganku yang sedari tadi
semangat-semangatnya.
Selepas
maghrib aku diajak Surya keliling mengontrol warung-warung tenda di sekitar
Gresik kota baru. Sebagai anak muda, Surya terbilang sukses dengan usaha yang
dia jalani hampir tujuh tahun ini. Pemilik warung tenda sebanyak tiga puluh
tiga buah yang tersebar di Gresik dan Surabaya. Selain itu Surya juga aktif
bisnis online menjual berbagai produk kesenian dan buku-buku dari yang terbilang
langka sampai diobral murah. Apalagi. Usaha-usaha diluar sana juga masih
banyak, pantas saja keluarga ini dipandang dilingkunganya.
Kami
berdua makan disalah satu warung tendanya. Terlihat ramai memang. Menu yang
disajikan juga banyak varian, mulai dari ayam, bebek, rajungan sampai kelinci
ada. Pelanggan tinggal pilih mau makan apa tanpa repot harus merogoh kocek
dalam-dalam.
Tak
lama kemudian kami berdua pulang. Surya menawarkan aku untuk menginap dirumahnya. Aku menolak secara halus dengan
alasan rumahku yang telah kutinggal beberapa hari pastinya akan banyak debu
disana-sini. Surya tetap memaksa. Mungkin ada hal yang ingin dia bicarakan lagi
–fikirku –aku loloskan permintaanya untuk menginap.
Rosa
masih terjaga. Dia sibuk membaca buku dengan membiarkan tayangan tv yang
sekarang gantian menontonya. Kami saling tukar pandang dengan Rosa. Dia memakai
kaca mata baca. “Kau baca apa Ros ?.” –tanyaku memulai padanya. Lama ia
terdiam, kemudian “Entah mengapa penulis ini begitu suka membuat para tokohnya
hidup dalam keserdahanaan. Bukan hanya itu Gas –Rosa sekarang menguliahiku
–sudah empat karanganya aku baca dan setting ceritanya sebelas dua belas dengan
buku ini. Yang ditonjolkan pasti kesusahan semua. Serasa dia memang sengaja
untuk membuat para pembacanya putus asa dengan hidup Gas. Pasrah tak berusaha.”
–kali ini aku melihat Rosa menjadi kritikus sebuah karya. Bacaanya memang tak
kuragukan lagi. Hal ini terlihat dari banyaknya buku yang dia koleksi. Terlebih
mayoritas adalah sastra dan sejarah –“Itu kan gila Gas. Apa dia tak berfikir
kalau tulisanya dibaca khayalak umum.”
“Yang
lucu itu kamu Ros” –wajahnya menatap tajam melihatku. Kerut alisnya seakan macam
busur panah yang ditarik menuju sasaran tembak menukik kebawah –“sudah tahu
karya-karyanya takan jauh beda dengan karya sebelumnya, mengapa kau baca juga.”
Rosa
diam melanjutkan bacaanya. Aku berdiri menuju rak-rak buku yang berada
dibelakang Rosa. Kuamati judul-judulnya. Aku amati cover dan jenis kertasnya.
Buku sebanyak ini, mungkin ada delapan ratusan buku. Dengan berbagai judul.
Asli Indonesia maupun terjemahan dengan kualitas kertas bagus tanpa aku temui
satu bukupun yang bajakan.
“Kau
Gas. Jangan sekali-kali menulis seperti dia. Kau harus fahami bahwa tulisanmu
dibaca orang banyak. Kau memiliki pembaca. Menulislah dengan hati, editlah
dengan otak. Boleh sekali-kali kau dengan jujur menulis menurut apa yang hatimu
rasakan. Tapi jangan seperti penulis ini. Menggelikan.”
Aku
dengarkan nasihat Rosa. Masih kupilih-pilih buku yang sekiranya cocok untuk aku
baca. “Gas … gas … mengapa kau diam saja. Apakah kau masih membela penulis
ini.” –Rosa masih menunggu tanggapanku. Pernyataanya menurutku tak perlu untuk
aku tanggapi, bukankah itu tergantung maksut hati penulis mau bicara apa lewat
karyanya.
“Maaf
Ros. Aku tahu bacaanmu sudah beribu buku. Pengetahuanmu akan tulisan dan sastra
tak kalah jauh dengan para penulis buku itu sendiri. Namun kau perlu tahu.
Sastra adalah salah satu bentuk seni. Sastra datang untuk jadi pelengkap hidup.
Sastra datang menjadi penyeimbang diantara ketidakseimbangan hidup, pendapat
dan pandangan Ros. Mengapa hal seperti itu harus kau tanyakan padaku Ros.
Pastinya kau tahu sendiri.”
Keesokan
harinya aku pulang kerumah. Satu minggu aku tinggal debu sudah mulai mewujudkan
dirinya diantara perabot dan buku-buku yang tak sempat aku tata rapi dan
pindahkan. Kau ini memang seperti kemalasan. Terlena
sedikit saja dengan cepatnya kau suramkan pandangan ini. Aku bersihkan
debu-debu yang entah terbang darimana. Setidaknya aku harus bergegas. Aku berencana
bermalam di Surabaya. Di kamar sewaanku.
Senin
kembali menghampiri. Aku ke kantor untuk absen terlebih dahulu. Kulihat batang
hidung Joni belum kelihatan. Ruang redaksi juga masih sepi. Sepertinya
mengasyikan kerja dalam kantor, tak terbakar sinar matahari. Duduk santai
ditemani kopi dan musik yang kerjaanya hanya edit-editing naskah saja. Fikiran
itu segera aku buang jauh-jauh. Ingat !! kau ini masih masa training, jadi
jangan macam-macam. Aku nasehati diri sendiri.
Aku
telah selesaikan masa kontrak tiga bulan. Dengan rasa syukur dan bahagia aku
panjatkan ke Tuhan yang Maha Besar atas segala karunianya. Orang pertama yang
kuhampiri adalah Joni. Sengaja aku konsultasi denganya terkait karierku kedepan
dikantor ini. Lama kita saling bertukar fikiran, aku ceritakan bagaimana
pengalaman tiga bulan ini yang benar-benar membentuk mental dan kepribadianku.
“Bagus
Gas. Kau tak pernah sekalipun menciderai garansiku dengan orang manapun. Aku
sangat bangga padamu. Ayo saya temani kau kebagian SDM. Barangkai disana kita
dapat diskusi kecil dengan kepalanya.” –Joni ikut bahagia atas capaian
pribadiku selama masa training ini. Tapi hal ini dapat berbeda lagi menurut
penilaian bagian SDM.
Kami
berdua bersama Joni bicara banyak hal dengan kepala SDM. Yang kutunggu-tunggu
akhirnya datang juga. Bukanlah hasil kerja atau pujian dari kepala bagian.
Namun jenjang karierku. Aku ditempatkan diruang redaksi. Aku dberikan tanggung
jawab untuk mengisi kolom Opinion Society.
Atau bisa disebut orang dengan pendapat para masyarakat.
Aku
kabarkan hal baik ini ke Ibu dirumah, Tante Dina dan Rosa. Aku ceritakan
bagaimana awal mula masa trainingku sampai ruang redaksi. Tanggapan dari mereka
bertiga luar biasa berkenan. Terutama ibu. Sosok perempuan yang telah mendidiku
untuk bekerja keras setidaknya aku coba jawab mulai hari ini.
Terhitung
aku sudah berhak mengelola redaksi sepuluh hari pasca kepala SDM bicara padaku
secara langsung. Sebelum benar-benar terjun, aku baca-baca Koran-koran terbitan
Apa Kabar Surabaya sampai satu bulan
kebelakang. Ternyata triknya cukup mudah. Tinggal pasang pengumuman pada setiap
Koran yang naik cetak, sedikit diberi informasi persyaratan atau tema dan naik
cetak. Segampang itukah –fikirku.
Email
yang masuk pertama kali datang dari penulis yang hanya ingin dipanggil dengan
nama Sonson. Sebelum aku unduh
naskahnya, aku baca jelas-jelas dan cermat deskripsi yang dia tuliskan. Kalau
aku tulis ulang deskripsinya maka kurang lebih seperti ini.
“Teriring
salam dan Do’a bagi Redaksi Apa Kabar
Surabaya. Perkenalkan saya Sonson. Cukup singkat dan mudah diingat. Saya
bermaksud untuk menawarkan naskah saya ini kepada team redaksi untuk nantinya
di publish dalam Koran Apa Kabar Surabaya.
Penulis sadari naskah ini akan menyalahi kebiasaan dari Apa Kabar Surabaya yang
biasa menampilkan opini-opini bermutu dan berkualitas yang memang sangat layak
dibaca oleh para masyarakat. Namun sekali lagi, saya harap team redaksi Apa Kabar Surabaya membacanya terlebih
dahulu. Kalaupun tak dapat terbit, setidaknya karyaku sudah dibaca oleh orang
lain selain penulis sendiri.”
Tulisan
dari Sonson kurang lebih seperti itu. Aku sadari deskripsinya sangat bagus
untuk sekedar meyakinkan orang yang membacanya. Tapi apakah kualitas tulisanya
akan sama dengan naskah yang dia kirim ke emai redaksi. Aku juga tak tahu.
Ada
dua puluh tuhuh email masuk menganteri untuk dibaca dan naik cetak. Aku cek
kesemuanya terlebih dahulu namun tak ada yang cocok untuk senin ini naik cetak.
Iseng aku unduh naskahnya Sonson. Dia beri judul PUKAT CINTA. Aku sempat tertawa membaca judulnya. Sepertinya Sonson
ingin Apa Kabar Surabaya menerbitkan
cerpennya.
Naskah
kiriman Sonson berkutat pada percintaan. Pencarian cinta. Cinta yang tak
bertepi dan berujung. Kasihan sekali penulis ini. Aku pastikan Son. Naskahmu
akan terbit senin esok. Tunggu saja. Kau menunggu kabar. Begitupun aku, ini
perjudian besar bagiku. Tanggung jawab pertama sebagai pemegang kendali
redaktur opini masyarakat. Yang ada aku malah menerbitkan kolosal percintaanmu
dengan perempuan yang aku juga tak tahu secantik apa.
Beruntung
mana. Naskahmu dibaca orang banyak. Atau malah aku yang ditendang dari kantor
ini hanya karena naskah konyolmu.
Reading
Scene 07 on Cerita 07
Reading
Scene 08 on Cerita 08
Bersambung ke Scene 10
No comments:
Post a Comment