Tuesday, March 15, 2016

DIBALIK KEHIDUPAN PARA TANTE-TANTE 09

DIBALIK KEHIDUPAN PARA TANTE-TANTE


Sumber Ilustrasi Gambar : segiempat[dot]com


*Alie Ahsan Al-Haris


Scene 09

Hari senin tiba juga. Dimana aktifitas diseluruh negara ini berjalan dengan jutaan target dan berbagai ekspetasi perkembanganya. Ada yang sukses melampaui target, tak luput pula terbuang dari persaingan bisnis.

“Selamat siang pak. Dapat aku bertemu Pak Joni wakil redaktur dikantor ini. Aku sudah buat janji dari jumat minggu lalu.” –aku bertemu pada salah seorang dibagian sumberdaya manusia kantor ini. Cukup besar, banyak lalu lalang disana-sini. Sementara ini mayoritas pegawai yang aku lihat perempuan, sibuk didepan computer masing-masing.

Joni mengahampiriku. Kita berdua langsung bergegas masuk rungan yang agak besar disamping tempatku duduk. Aku mengira ini adalah ruangan kepala bagian SDM. Benar fikirku. Joni panjang lebar menjelaskan segudang pengalamanya pada orang yang menetukan aku akan diterima tidaknya dalam kantor ini.

“Dia ini teman baiku semenjak mahasiswa. Takan rugi jika Apa Kabar Surabaya merekrutnya. Mungkin tiga bulan ini kita berinya job untuk meliput politik di Surabaya yang memang akhir-akhir ini marak karena menjelang pilkada.” –Joni berusaha meyakinkan dengan sepenuh hati. Salut sekali aku pada temanku ini, dia memang serius ingin membantuku.

Lembar perjanjian kontrak aku tanda tangani untuk kerja sampai tiga bulan kedepan. Dengan gaji satu juta lima ratus aku terima saja tanpa perlawanan. Kalau aku bandingkan dengan gaji semasa aku jadi kepala ruangan jauh beda memang. Tak apalah.

Satu hari kerja aku ditargetkan oleh kantor untuk dapat tiga konten berita. Aku rasai hal ini tak terlalu berat bagiku. Pengalamanku dulu masih membekas diluar kepala bagimana harus mencari berita yang marketeble di calon pembaca maupun untuk mengangkat perusahaan ini.

Sabtu  aku pulang ke Gresik untuk sekedar menengok rumah dan mampir ke Rosa. Kita saling bercerita bagaimana pekerjaan dikantor. Rosa merasakan tak adanya keganjilan dengan Iva. Memang Rosa rasai Iva tak mengetahui hubunganku denganya. Kalaupun tahu, bisa jadi Rosa sudah didepak tanpa hormat dari perusahaan elektronik terbesar di Indonesia tempat kita kerja.

“Kau menikmati pekerjaanmu Gas ? –Rosa menanyaiku dengan penasaran –sepertinya wajahmu tak memperlihatkan kesusahan seperti bulan lalu.”

“Sampai saat ini aku menikmatinya Ros. Aku banyak belajar dari kantor Koran itu. Dari pengalamanku dulu menjadi angggota pers mahasiswa yang secara pengalaman masih dangkal. Sekarang aku sudah belajar banyak darinya.”

“Kau tak menggoda perempuan-perempuan dikantor itu kan Gas ?” –ledeknya Rosa padaku.

“Kalau aku mau menggoda Ros. Mungkin sudah berapa perempuan yang aku kencani, tapi apalah kelakuan seperti itu. Sudah banyak sejarah kelam yang aku alami dan kubuat pelajaran.”

Surya datang dengan menenteng kantong kresek warna putih di kanan kiri tanganya.  Kemudian “Halo Gas, gimana rasanya kerja jadi wartawan ?. seru gak sich.” –sambil meletakan barang belanjaan di atas kursi bagas mengahampiriku untuk berjabat tangan dan bertanya memulai.

“Kerja itu kerja. Serunya gimana ya kau harus jadi wartawan dulu dek. Baru kau akan merasakan bagaimana indah dan mulianya memberitakan sebuah informasi pada khayalak umum.” –Surya mengamati dengan serius. Menganggap aku ini sebuah pemateri yang sedang memberikan kuliah padanya.

“Tahu jawabanya seperti itu aku takan bertanya padamu Gas. Bolehlah sekali-kali aku diliput. Nanti kau beri judul pengusaha muda dari Gresik, menantang minoritas” –dikatakanya hal tersebut seolah-olah dia sedang berada  didepan meja redaktur saja. Dia dengan gamblang menceritakan apa yang harus aku tulis nanti saat aku jadi meliputnya.

“Kau ini ngapain nak. Bagas itu baru saja kerja di sana, setidaknya dalam kontraknya habis untuk tiga bulan kedepan dia harus mencari berita-berita bermutu. Bukan malah memberitakan warung-warung tendamu yang menjamur di Gresik dan Surabaya nak.” –Rosa memotong pembicaraan Surya denganku yang sedari tadi semangat-semangatnya.

Selepas maghrib aku diajak Surya keliling mengontrol warung-warung tenda di sekitar Gresik kota baru. Sebagai anak muda, Surya terbilang sukses dengan usaha yang dia jalani hampir tujuh tahun ini. Pemilik warung tenda sebanyak tiga puluh tiga buah yang tersebar di Gresik dan Surabaya. Selain itu Surya juga aktif bisnis online menjual berbagai produk kesenian dan buku-buku dari yang terbilang langka sampai diobral murah. Apalagi. Usaha-usaha diluar sana juga masih banyak, pantas saja keluarga ini dipandang dilingkunganya.

Kami berdua makan disalah satu warung tendanya. Terlihat ramai memang. Menu yang disajikan juga banyak varian, mulai dari ayam, bebek, rajungan sampai kelinci ada. Pelanggan tinggal pilih mau makan apa tanpa repot harus merogoh kocek dalam-dalam.

Tak lama kemudian kami berdua pulang. Surya menawarkan aku untuk menginap  dirumahnya. Aku menolak secara halus dengan alasan rumahku yang telah kutinggal beberapa hari pastinya akan banyak debu disana-sini. Surya tetap memaksa. Mungkin ada hal yang ingin dia bicarakan lagi –fikirku –aku loloskan permintaanya untuk menginap.

Rosa masih terjaga. Dia sibuk membaca buku dengan membiarkan tayangan tv yang sekarang gantian menontonya. Kami saling tukar pandang dengan Rosa. Dia memakai kaca mata baca. “Kau baca apa Ros ?.” –tanyaku memulai padanya. Lama ia terdiam, kemudian “Entah mengapa penulis ini begitu suka membuat para tokohnya hidup dalam keserdahanaan. Bukan hanya itu Gas –Rosa sekarang menguliahiku –sudah empat karanganya aku baca dan setting ceritanya sebelas dua belas dengan buku ini. Yang ditonjolkan pasti kesusahan semua. Serasa dia memang sengaja untuk membuat para pembacanya putus asa dengan hidup Gas. Pasrah tak berusaha.” –kali ini aku melihat Rosa menjadi kritikus sebuah karya. Bacaanya memang tak kuragukan lagi. Hal ini terlihat dari banyaknya buku yang dia koleksi. Terlebih mayoritas adalah sastra dan sejarah –“Itu kan gila Gas. Apa dia tak berfikir kalau tulisanya dibaca khayalak umum.”

“Yang lucu itu kamu Ros” –wajahnya menatap tajam melihatku. Kerut alisnya seakan macam busur panah yang ditarik menuju sasaran tembak menukik kebawah –“sudah tahu karya-karyanya takan jauh beda dengan karya sebelumnya, mengapa kau baca juga.”

Rosa diam melanjutkan bacaanya. Aku berdiri menuju rak-rak buku yang berada dibelakang Rosa. Kuamati judul-judulnya. Aku amati cover dan jenis kertasnya. Buku sebanyak ini, mungkin ada delapan ratusan buku. Dengan berbagai judul. Asli Indonesia maupun terjemahan dengan kualitas kertas bagus tanpa aku temui satu bukupun yang bajakan.

“Kau Gas. Jangan sekali-kali menulis seperti dia. Kau harus fahami bahwa tulisanmu dibaca orang banyak. Kau memiliki pembaca. Menulislah dengan hati, editlah dengan otak. Boleh sekali-kali kau dengan jujur menulis menurut apa yang hatimu rasakan. Tapi jangan seperti penulis ini. Menggelikan.”

Aku dengarkan nasihat Rosa. Masih kupilih-pilih buku yang sekiranya cocok untuk aku baca. “Gas … gas … mengapa kau diam saja. Apakah kau masih membela penulis ini.” –Rosa masih menunggu tanggapanku. Pernyataanya menurutku tak perlu untuk aku tanggapi, bukankah itu tergantung maksut hati penulis mau bicara apa lewat karyanya.

“Maaf Ros. Aku tahu bacaanmu sudah beribu buku. Pengetahuanmu akan tulisan dan sastra tak kalah jauh dengan para penulis buku itu sendiri. Namun kau perlu tahu. Sastra adalah salah satu bentuk seni. Sastra datang untuk jadi pelengkap hidup. Sastra datang menjadi penyeimbang diantara ketidakseimbangan hidup, pendapat dan pandangan Ros. Mengapa hal seperti itu harus kau tanyakan padaku Ros. Pastinya kau tahu sendiri.”

Keesokan harinya aku pulang kerumah. Satu minggu aku tinggal debu sudah mulai mewujudkan dirinya diantara perabot dan buku-buku yang tak sempat aku tata rapi dan pindahkan.   Kau ini memang seperti kemalasan. Terlena sedikit saja dengan cepatnya kau suramkan pandangan ini. Aku bersihkan debu-debu yang entah terbang darimana. Setidaknya aku harus bergegas. Aku berencana bermalam di Surabaya. Di kamar sewaanku.

Senin kembali menghampiri. Aku ke kantor untuk absen terlebih dahulu. Kulihat batang hidung Joni belum kelihatan. Ruang redaksi juga masih sepi. Sepertinya mengasyikan kerja dalam kantor, tak terbakar sinar matahari. Duduk santai ditemani kopi dan musik yang kerjaanya hanya edit-editing naskah saja. Fikiran itu segera aku buang jauh-jauh. Ingat !! kau ini masih masa training, jadi jangan macam-macam. Aku nasehati diri sendiri.

Aku telah selesaikan masa kontrak tiga bulan. Dengan rasa syukur dan bahagia aku panjatkan ke Tuhan yang Maha Besar atas segala karunianya. Orang pertama yang kuhampiri adalah Joni. Sengaja aku konsultasi denganya terkait karierku kedepan dikantor ini. Lama kita saling bertukar fikiran, aku ceritakan bagaimana pengalaman tiga bulan ini yang benar-benar membentuk mental dan kepribadianku.

“Bagus Gas. Kau tak pernah sekalipun menciderai garansiku dengan orang manapun. Aku sangat bangga padamu. Ayo saya temani kau kebagian SDM. Barangkai disana kita dapat diskusi kecil dengan kepalanya.” –Joni ikut bahagia atas capaian pribadiku selama masa training ini. Tapi hal ini dapat berbeda lagi menurut penilaian bagian SDM.

Kami berdua bersama Joni bicara banyak hal dengan kepala SDM. Yang kutunggu-tunggu akhirnya datang juga. Bukanlah hasil kerja atau pujian dari kepala bagian. Namun jenjang karierku. Aku ditempatkan diruang redaksi. Aku dberikan tanggung jawab untuk mengisi kolom Opinion Society. Atau bisa disebut orang dengan pendapat para masyarakat.  

Aku kabarkan hal baik ini ke Ibu dirumah, Tante Dina dan Rosa. Aku ceritakan bagaimana awal mula masa trainingku sampai ruang redaksi. Tanggapan dari mereka bertiga luar biasa berkenan. Terutama ibu. Sosok perempuan yang telah mendidiku untuk bekerja keras setidaknya aku coba jawab mulai hari ini.

Terhitung aku sudah berhak mengelola redaksi sepuluh hari pasca kepala SDM bicara padaku secara langsung. Sebelum benar-benar terjun, aku baca-baca Koran-koran terbitan Apa Kabar Surabaya sampai satu bulan kebelakang. Ternyata triknya cukup mudah. Tinggal pasang pengumuman pada setiap Koran yang naik cetak, sedikit diberi informasi persyaratan atau tema dan naik cetak. Segampang itukah –fikirku.

Email yang masuk pertama kali datang dari penulis yang hanya ingin dipanggil dengan nama Sonson. Sebelum aku unduh naskahnya, aku baca jelas-jelas dan cermat deskripsi yang dia tuliskan. Kalau aku tulis ulang deskripsinya maka kurang lebih seperti ini.

“Teriring salam dan Do’a bagi Redaksi Apa Kabar Surabaya. Perkenalkan saya Sonson. Cukup singkat dan mudah diingat. Saya bermaksud untuk menawarkan naskah saya ini kepada team redaksi untuk nantinya di publish dalam Koran Apa Kabar Surabaya. Penulis sadari naskah ini akan menyalahi kebiasaan dari Apa Kabar Surabaya  yang biasa menampilkan opini-opini bermutu dan berkualitas yang memang sangat layak dibaca oleh para masyarakat. Namun sekali lagi, saya harap team redaksi Apa Kabar Surabaya membacanya terlebih dahulu. Kalaupun tak dapat terbit, setidaknya karyaku sudah dibaca oleh orang lain selain penulis sendiri.”

Tulisan dari Sonson kurang lebih seperti itu. Aku sadari deskripsinya sangat bagus untuk sekedar meyakinkan orang yang membacanya. Tapi apakah kualitas tulisanya akan sama dengan naskah yang dia kirim ke emai redaksi. Aku juga tak tahu.

Ada dua puluh tuhuh email masuk menganteri untuk dibaca dan naik cetak. Aku cek kesemuanya terlebih dahulu namun tak ada yang cocok untuk senin ini naik cetak. Iseng aku unduh naskahnya Sonson. Dia beri judul PUKAT CINTA. Aku sempat tertawa membaca judulnya. Sepertinya Sonson ingin Apa Kabar Surabaya menerbitkan cerpennya.

Naskah kiriman Sonson berkutat pada percintaan. Pencarian cinta. Cinta yang tak bertepi dan berujung. Kasihan sekali penulis ini. Aku pastikan Son. Naskahmu akan terbit senin esok. Tunggu saja. Kau menunggu kabar. Begitupun aku, ini perjudian besar bagiku. Tanggung jawab pertama sebagai pemegang kendali redaktur opini masyarakat. Yang ada aku malah menerbitkan kolosal percintaanmu dengan perempuan yang aku juga tak tahu secantik apa.

Beruntung mana. Naskahmu dibaca orang banyak. Atau malah aku yang ditendang dari kantor ini hanya karena naskah konyolmu.

Reading Scene 07 on Cerita 07
Reading Scene 08 on Cerita 08

Bersambung ke Scene 10


No comments:

Post a Comment