*Alie Ahsan
Al-Haris
Sumber ilustrasi gambar : segiempat[dot]com |
Scene 08
Aku
laksanakan saran Rosa untuk memangkas rambut dan merapikan kumisku. Berharap
saja dengan aku mencukurnya dapat mudah mencari kerja. Meski aku tahu hal itu
tak ada hubunganya sama sekali. Mana ada zaman sekarang mencari kerja hanya
bermodal tampan dan rapi. Dunia apa itu. Memang ada ya.
Salon
langganan depan perumahan kumasuki. Dapat dibilang ini adalah salonya para
perempuan. Aku tahu karena banyaknya perempuan yang memakai jasa salon ini
hanya untuk sekdar keramas ataupun perawatan. Namun aku berfikiran lain, aku
lihat didepan tak ada petunjuk bahwa salon ini khusus perempuan. Tak salah jika
aku pakai jasa salon ini untuk merapikan style rambutku. Hasilnya juga bagus,
meski aku jarang kesalon dan berdandan. Setidaknya aku dapat mengapresiasi
kerja para pegawainya.
Lepas
dari salon aku temui Rinjani. Dia seorang lelaki ulet dan dikenal dengan
pergaulan serta kelakuan yang baik semenjak kita mahasiswa dulu. Pemilik nama
singkat Joni. Tak terlalu tinggi, kisaran seratus enam puluh lima namun
bertubuh gempal. Kalau orang melihatnya akan mengira anak ini China Jowo. Ya,
kulitnya yang putih banyak orang mengira temanku ini keturunan china namun
bermuka jawa. Aku berniat untuk sekedar ngopi dan mencari lowongan kerja ke
dia. Karena memang Joni rumahnya berdekatan dengan rumahku di Gresik, sekalian
saja aku samperi.
Semenjak
mahasiswa dulu kita aktif di pers kampus. Tak banyak pengalaman memang.
Berita-berita yang kita publis mayoritas berkutat seputar polemik kampus dengan
kegaduhanya yang tak kunjung usai. Ribut golongan sana sini tanpa kelihatan
titik temunya. Liputan-liputan kita juga tak patut dibilang liputan
berkualitas, hanya bermodal kertas sisa catatan kuliah dan bolpoin tanpa adanya
kamera bahkan perekam suara sudah menjadikan kita berdua bak wartawan
professional. Lucu memang kalau aku ingat hal itu.
Tuhan
memang takan jauh-jauh memberikan rezeki ke hambanya. Temanku Joni ini yang
lebih serius di pers mahasiswa, sekarang menjadi wakil redaktur Koran Apa Kabar Surabaya yang naik cetak
setiap hari. Sekelas dan seumuran denganku sudah menjadi wakil redaktur. Luar
biasa sekali.
Pertemuan
nanti sore aku hendak menawarkan diri kepada Joni agar diterima menjadi
wartawan dikantornya. Masalah skill
aku masih ingat dan faham diluar kepala. Yang akan membedakan dengan nanti
kalau aku diterima adalah teknis lapangnya saja, terlebih kalau berita itu naik
cetak dan ada nama peliput berita. Namaku.
Tepat
jam empat sore aku gas sepeda motorku ke salah satu coffe di kawasan kota baru
Gresik. Aku datang duluan di cofffe tersebut, aku cek handphone tak ada
notifikasi sama sekali. Aku pesan kopi susu hitam ke kasir, tolah-toleh mana
tempat duduk yang sekitranya cocok buat ngobrol santai aku cari. Tepat, ada tempat
duduk diujung lurus kanan kasir dekat dengan aquarium berisi ikan mas. Aku
seduh kopi dan kuhisap rokok, kepulan asap rokok kubuat mainan sembar-sembur
kanan kiriku. Tak peduli orang-orang pada melihatku, jelas-jelas aku sedang
menikmati soreku, kalian dilarang sewot.
Empat
batang rokok sudah tertancap dalam asbak, serasa teriak kepala merahnya karena
aku tusuk-tusukan sampai mati. Dalam mainanku pada rokok dan asbak terlihat
Joni memarkir sepeda motornya tepat disamping motorku. Ia copot helmnya. Dia sekarang
memakai kacamata, tampak beda memang. Kalau teman-teman mahasiswaku melihatnya,
tak salah kalau akan mengamini anak ini benar-benar china jawa, ditambah dengan
kacamata yang dipakainya ini.
Joni
lambaikan tanganya didepan kasir. Aku berikan dia tanda bogem, itu berarti aku
terlalu lama menunggunya. Jalanya masih seperti dulu, tegap dengan kepala agak
diangkat keatas sedikit. Seperti orang mau berkelahi. Itu memang cirri khasnya.
“Haloo
vrooh, gimana kabarnya nich pak manajer ?. tambah sehat aja nich, gajinya naik
terus tuch.” –Joni memulai sambil meletakan tas hitamnya kesamping kursi yang
ia duduki.
“Allhamdulillah
bagus Jon. Lama bener kau, uda jadi wakil direktur aja telat gini. Sibuk banget
ya ?.” –aku menimpali Joni.
Obrolan
awal kami banyak cerita tentang kenangan lama semasa kuliah dulu, tak terasa
sudah kangen aku sama teman-teman yang sekarang entah kerja apa. Temanku ini
ternyata sudah selesai kuliah S2 ambil jurusan Komunikasi Politik di salah satu
universitas negeri di Surabaya.
“Kurangajar.
Diam-diam kau lanjut sekolah lagi ya Jon. Ngimpi apa kamu bisa seserius itu mengejar
gelar.” –aku meledek Joni yang meringis-meringis melihatku sambil menyeduh
kopinya.
“Bukan
masalah gelar Gas. Aku baru sadar saat kerja gini Gas.”
“Emang
sadar apanya Jon ?. Sadar kalau dulu kulaih gak pernah serius ya.” –ledeku pada
Joni. Kita berdua tertawa terbahak-bahak. Meja depan kita sampai-sampai melirik
kita berdua karena heran melihat candaan kita.
“Itu
betul Gas. Namun bukan hanya itu –Joni mulai nampak serius menjawab –kau tahu
kita dulu jadi anank pers kerjaanya kalau gak ngeliput demonya anak-anak, pasti
ngeliput bentrok eksak versus sosial. Masih ingat waktu Angga ketua pers kita
dipukuli anak mesin gara-gara memberitakan pemukulan mahasiswa mesin ke teknik
sipil terlalu jujur. Dan kau pasti ingat juga saat sekretariat kita dilempar
batu surat kaleng gara-gara ngeliput ospek jurusan anak pertanian yang terkenal
sadis –aku mencoba mengingat-ingat kejadian yang Joni utarakan. Entah kenapa
pembicaraan ini membakar sentimentalku terhadap para pejabat kampusku dulu.
Joni melanjutkan –hanya karena meliputnya. Meliputnya Gas, belum sampai naik
cetak.”
“Iya
Jon. Aku ingat dengan semua kejadian itu. Menakutkan memang, kita beruntung
karena mengalami langsung momen itu.” –Joni menghisap terus rokonya, dia
perokok akut sepertiku. Namun aku tak separah dia, kalau satu bungkus dapat aku
pakai dua hari. Lain pada Joni, satu hari dia dapat menghabiskan tiga bungkus
rokok. Aku sadari itu, pemikir memang identik dengan rokok dan kopi. Dan kita
dulu mengalami hal tersebut.
“Aku
lanjut kuliah karena semua kejadian dulu dan saat aku kerja Gas. Kalau dulu
musuhku adalah seniorku, para dosen dan pejabat rektorat. Sekarang musuhku para
politikus, pejabat daerah sampai mafia Gas. Aku tak boleh buta hukum, aku tak
boleh kalang kabut dalam framing berita Gas. Dunia ini sudah semakin gila, dan
kita harus ikut gila juga Gas. Kau tahu itu, aku dan kau adalah generasi Gila.”
–cerocohnya semakin membuatku bingung, lama tak bertemu Joni menjadi pribadi
yang meletup-letup dan mudah sekali dalam berargumen.
“Terlebih
lagi sekarang posisiku wakil redaktur Gas. Kau kan tahu juga Gas kalau berita sudah naik
cetak lalu ada masalah yang dicari bukan wartawanya, tapi aku Gas. Ya, teman lamamu
ini bertanggung jawab atas itu semua Gas.” –kali ini beda. Joni terlihat
bersombong atas capaian dirinya, bagus sekali. Ancaman besar dia utarakan
padaku dengan segala resikonya yang akhirnya ditutup kalau bukan dia siapa
lagi. Kau memang tambah gila Jon. Terlebih gaya bicaramu.
“Maaf
Jon. Bukan bermaksut memotong romantisme masalalu kita dengan segala pengalaman gila yang pernah
kita lalui berdua. Aku mau minta tolong ke kamu Jon.” –aku sengaja memotong
pembicaraan Joni. Dalam hati memang menyesal, takut membuyarkan kesenangan
batinya yang lama telah kita pendam bersama-sama.
“Oke
Gas. So, ada apa ini. Mungkin ada yang bisa aku bantu. Kalau mampu pasti aku
bantu Gas. Jangan kau meragukan aku.” –aku senang saat Joni mau menanggapiku
dengan serius.
“Pertama
jangan kau sekali-kali tanyakan mengapa aku meminta tolong ke kamu Jon –dia
mengangguk terheran-heran –aku butuh kerjaan dengan cepat Jon. Setidaknya
sesuai passion ku dengan dunia kita
Jon. Dunia journalistic.”
Joni
terlihat mau bicara. Mulutnya terangkat seakan mau mengeluarkan segala
perttanyaan yang ada diotaknya, kemudian “Stop Jon. Kau harus hargai
permintaanku tadi untuk tidak menanyakan mengapa aku butuh pekerjaan.” –dia
terdiam seakan menyesali responku.
Kami
lama terdiam, aku nikmati kopi dan rokoku. Begitupun Joni, dia seduh rokok nya
sambil membuka tas hitam yang dia bawa. Terlihat secarik kertas terhambar di
atas meja kita. Dan “Mulai senin besok kau dapat ke kantor, temui aku setelah
makan siang. Akan aku perkenalkan kau dengan bagian sumberdaya manusia. Aku
rasa kau akan betah disana.” –jawaban Joni membuatku lega. Setidaknya ada
pekerjaan untuku menyambung nyawa.
***
Rumah
Rosa nampak sepi dari luar, tak terlihat Giman lalu lalang seperti biasanya.
Terpaksa aku buka gerbang sendiri. Motor kuparkir di halaman belakang. Benar
saja, rumah ini terasa tak ada penghuninya. Aku panggil-panggil Surya dan Giman
tak ada jawaban menyusul. Ruang santai menjadi tempat tujuanku, kupilih
buku-buku koleksi Rosa. Tepat, ternyata dia punya koleksi buku sastrawan
favoritku. Kesibukanku membaca melupakanku bahwa dari tadi Rosa ada
dibelakangku.
“Mengagetkan
saja kau ini Ros. Darimana saja kok dipanggil gak ada suaranya, rumah sepi
begini. Pintu gerbang tak terkuci. Jangan salah jika ada maling bertamu Ros.”
–kesalku padanya.
“Hahaha
–Rosa tertawa meledek –aku dari depan Gas. Aku tahu kalau tadi kau masuk,
memang sengaja aku diam. Lagi ada perlu milah-milah dokumen biar nanti dikantor
gak ribet dengan seabrek kerjaan Gas.” –aku jadi teringat pemecatanku. Kesalku
pada Iva tak dapat aku maafkan, terlepas apakah memang dia dalang dibalik ini
semua atau tidak. Yang jelas praduga tak bersalahku ada kalanya benar.
“Kapan
mulai masuk lagi Ros ? –tanyaku padanya. Kali ini dia terlihat seperti dulu.
Sehat, ceria dengan setiap bicaranya selalu diiringi senyum manja dan barisan
gigi kecil berbaris putih. Syukurlah Rosa sudah sehat, aku turut senang.
“Mungkin
senin sudah masuk Gas.”
“Sama
donk, aku senin akan wawancara di media cetak apa kabar Surabaya Ros –Rosa
terlihat menahan tawanya, matanya hilang ditelan senyum manisnya. Dia tutup
mulutnya yang terbuka lebar seakan tawanya tak lagi dapat dibendung –setidaknya
aku dapat menyambung hidup lagi.”
‘Kau
serius kerja di media itu Gas ? –tanyanya tak percaya sambil menahan tawanya
–bukankah itu media terkenal Gas. Emang kau ada basic menulis.”
Akhirnya
aku ceritakan panjang lebar padanya bagaimana aku mahasiswa dulu. Joni juga tak
luput aku sampaikan bagaimana peranya dalam menemaniku berproses di pers
mahasiswa dulu pada Rosa. Terlihat dia sangat fokus mendengarkan ceritaku.
Kefokusanya menambah daya tariknya, sungguh manis sekali perempuan ini.
Rosa terpendam dalam anganya,
sekali-kali dia kerutkan keningnya saat aku bercerita tentang gesekan antara
pers dan mahasiswa. Dia menghela nafasnya naik turun sesuai irama ceritaku. Helaan
nafasnya semakin panjang sehingga buah dadanya terangkat keatas saat aku cerita
pernah digebuki senior mahasiswa pertanian saat ospek jurusanya aku liput
dengan Joni. Kau sungguh anggun Ros. Menganggumkan.
“Ternyata
kau punya pengalaman yang menganggumkan ya Gas. Salut aku.” –Rosa memujiku
dengan anggukan kepala dan tatapan mukanya yang aduhai.
“Jangan
pernah kau lupakan keluarga ini. Jika
pekerjaanmu lenggang, mampirlah dan jenguklah adik-adikmu Gas.”
–harapanya padaku seakan aku akan meninggalkanya saja.
“Mana
mungkin aku melupakan keluarga sebaik
ini Ros. Kau sudah aku anggap sosok ibuku sendiri, kekasih, pasangan hidup
bahkan mentorku.” –Rosa tersipu malu saat aku bilang sudah menganggapnya
kekasihku sendiri. Padahal aku masih bocah kemarin.
“Bagas
… bagas … kau memang jagonya gombal.” -Rosa
menimpali
Reading
Scene 06 on Cerita 06
Reading
Scene 07 on Cerita 07
Bersambung ke Scene 09
No comments:
Post a Comment