Sunday, March 13, 2016

DIBALIK KEHIDUPAN PARA TANTE-TANTE

*Alie Ahsan Al-Haris


Sumber ilustrasi gambar : segiempat[dot]com


Scene 08

Aku laksanakan saran Rosa untuk memangkas rambut dan merapikan kumisku. Berharap saja dengan aku mencukurnya dapat mudah mencari kerja. Meski aku tahu hal itu tak ada hubunganya sama sekali. Mana ada zaman sekarang mencari kerja hanya bermodal tampan dan rapi. Dunia apa itu. Memang ada ya.

Salon langganan depan perumahan kumasuki. Dapat dibilang ini adalah salonya para perempuan. Aku tahu karena banyaknya perempuan yang memakai jasa salon ini hanya untuk sekdar keramas ataupun perawatan. Namun aku berfikiran lain, aku lihat didepan tak ada petunjuk bahwa salon ini khusus perempuan. Tak salah jika aku pakai jasa salon ini untuk merapikan style rambutku. Hasilnya juga bagus, meski aku jarang kesalon dan berdandan. Setidaknya aku dapat mengapresiasi kerja para pegawainya.

Lepas dari salon aku temui Rinjani. Dia seorang lelaki ulet dan dikenal dengan pergaulan serta kelakuan yang baik semenjak kita mahasiswa dulu. Pemilik nama singkat Joni. Tak terlalu tinggi, kisaran seratus enam puluh lima namun bertubuh gempal. Kalau orang melihatnya akan mengira anak ini China Jowo. Ya, kulitnya yang putih banyak orang mengira temanku ini keturunan china namun bermuka jawa. Aku berniat untuk sekedar ngopi dan mencari lowongan kerja ke dia. Karena memang Joni rumahnya berdekatan dengan rumahku di Gresik, sekalian saja aku samperi.

Semenjak mahasiswa dulu kita aktif di pers kampus. Tak banyak pengalaman memang. Berita-berita yang kita publis mayoritas berkutat seputar polemik kampus dengan kegaduhanya yang tak kunjung usai. Ribut golongan sana sini tanpa kelihatan titik temunya. Liputan-liputan kita juga tak patut dibilang liputan berkualitas, hanya bermodal kertas sisa catatan kuliah dan bolpoin tanpa adanya kamera bahkan perekam suara sudah menjadikan kita berdua bak wartawan professional. Lucu memang kalau aku ingat hal itu.

Tuhan memang takan jauh-jauh memberikan rezeki ke hambanya. Temanku Joni ini yang lebih serius di pers mahasiswa, sekarang menjadi wakil redaktur Koran Apa Kabar Surabaya yang naik cetak setiap hari. Sekelas dan seumuran denganku sudah menjadi wakil redaktur. Luar biasa sekali.

Pertemuan nanti sore aku hendak menawarkan diri kepada Joni agar diterima menjadi wartawan dikantornya. Masalah skill aku masih ingat dan faham diluar kepala. Yang akan membedakan dengan nanti kalau aku diterima adalah teknis lapangnya saja, terlebih kalau berita itu naik cetak dan ada nama peliput berita. Namaku.

Tepat jam empat sore aku gas sepeda motorku ke salah satu coffe di kawasan kota baru Gresik. Aku datang duluan di cofffe tersebut, aku cek handphone tak ada notifikasi sama sekali. Aku pesan kopi susu hitam ke kasir, tolah-toleh mana tempat duduk yang sekitranya cocok buat ngobrol santai aku cari. Tepat, ada tempat duduk diujung lurus kanan kasir dekat dengan aquarium berisi ikan mas. Aku seduh kopi dan kuhisap rokok, kepulan asap rokok kubuat mainan sembar-sembur kanan kiriku. Tak peduli orang-orang pada melihatku, jelas-jelas aku sedang menikmati soreku, kalian dilarang sewot.

Empat batang rokok sudah tertancap dalam asbak, serasa teriak kepala merahnya karena aku tusuk-tusukan sampai mati. Dalam mainanku pada rokok dan asbak terlihat Joni memarkir sepeda motornya tepat disamping motorku. Ia copot helmnya. Dia sekarang memakai kacamata, tampak beda memang. Kalau teman-teman mahasiswaku melihatnya, tak salah kalau akan mengamini anak ini benar-benar china jawa, ditambah dengan kacamata yang dipakainya ini.

Joni lambaikan tanganya didepan kasir. Aku berikan dia tanda bogem, itu berarti aku terlalu lama menunggunya. Jalanya masih seperti dulu, tegap dengan kepala agak diangkat keatas sedikit. Seperti orang mau berkelahi. Itu memang cirri khasnya.

“Haloo vrooh, gimana kabarnya nich pak manajer ?. tambah sehat aja nich, gajinya naik terus tuch.” –Joni memulai sambil meletakan tas hitamnya kesamping kursi yang ia duduki.

“Allhamdulillah bagus Jon. Lama bener kau, uda jadi wakil direktur aja telat gini. Sibuk banget ya ?.” –aku menimpali Joni.

Obrolan awal kami banyak cerita tentang kenangan lama semasa kuliah dulu, tak terasa sudah kangen aku sama teman-teman yang sekarang entah kerja apa. Temanku ini ternyata sudah selesai kuliah S2 ambil jurusan Komunikasi Politik di salah satu universitas negeri di Surabaya.

“Kurangajar. Diam-diam kau lanjut sekolah lagi ya Jon. Ngimpi apa kamu bisa seserius itu mengejar gelar.” –aku meledek Joni yang meringis-meringis melihatku sambil menyeduh kopinya.

“Bukan masalah gelar Gas. Aku baru sadar saat kerja gini Gas.”

“Emang sadar apanya Jon ?. Sadar kalau dulu kulaih gak pernah serius ya.” –ledeku pada Joni. Kita berdua tertawa terbahak-bahak. Meja depan kita sampai-sampai melirik kita berdua karena heran melihat candaan kita.

“Itu betul Gas. Namun bukan hanya itu –Joni mulai nampak serius menjawab –kau tahu kita dulu jadi anank pers kerjaanya kalau gak ngeliput demonya anak-anak, pasti ngeliput bentrok eksak versus sosial. Masih ingat waktu Angga ketua pers kita dipukuli anak mesin gara-gara memberitakan pemukulan mahasiswa mesin ke teknik sipil terlalu jujur. Dan kau pasti ingat juga saat sekretariat kita dilempar batu surat kaleng gara-gara ngeliput ospek jurusan anak pertanian yang terkenal sadis –aku mencoba mengingat-ingat kejadian yang Joni utarakan. Entah kenapa pembicaraan ini membakar sentimentalku terhadap para pejabat kampusku dulu. Joni melanjutkan –hanya karena meliputnya. Meliputnya Gas, belum sampai naik cetak.”

“Iya Jon. Aku ingat dengan semua kejadian itu. Menakutkan memang, kita beruntung karena mengalami langsung momen itu.” –Joni menghisap terus rokonya, dia perokok akut sepertiku. Namun aku tak separah dia, kalau satu bungkus dapat aku pakai dua hari. Lain pada Joni, satu hari dia dapat menghabiskan tiga bungkus rokok. Aku sadari itu, pemikir memang identik dengan rokok dan kopi. Dan kita dulu mengalami hal tersebut.

“Aku lanjut kuliah karena semua kejadian dulu dan saat aku kerja Gas. Kalau dulu musuhku adalah seniorku, para dosen dan pejabat rektorat. Sekarang musuhku para politikus, pejabat daerah sampai mafia Gas. Aku tak boleh buta hukum, aku tak boleh kalang kabut dalam framing berita Gas. Dunia ini sudah semakin gila, dan kita harus ikut gila juga Gas. Kau tahu itu, aku dan kau adalah generasi Gila.” –cerocohnya semakin membuatku bingung, lama tak bertemu Joni menjadi pribadi yang meletup-letup dan mudah sekali dalam berargumen.

“Terlebih lagi sekarang posisiku wakil redaktur Gas.  Kau kan tahu juga Gas kalau berita sudah naik cetak lalu ada masalah yang dicari bukan wartawanya, tapi aku Gas. Ya, teman lamamu ini bertanggung jawab atas itu semua Gas.” –kali ini beda. Joni terlihat bersombong atas capaian dirinya, bagus sekali. Ancaman besar dia utarakan padaku dengan segala resikonya yang akhirnya ditutup kalau bukan dia siapa lagi. Kau memang tambah gila Jon. Terlebih gaya bicaramu.

“Maaf Jon. Bukan bermaksut memotong romantisme masalalu kita  dengan segala pengalaman gila yang pernah kita lalui berdua. Aku mau minta tolong ke kamu Jon.” –aku sengaja memotong pembicaraan Joni. Dalam hati memang menyesal, takut membuyarkan kesenangan batinya yang lama telah kita pendam bersama-sama.

“Oke Gas. So, ada apa ini. Mungkin ada yang bisa aku bantu. Kalau mampu pasti aku bantu Gas. Jangan kau meragukan aku.” –aku senang saat Joni mau menanggapiku dengan serius.

“Pertama jangan kau sekali-kali tanyakan mengapa aku meminta tolong ke kamu Jon –dia mengangguk terheran-heran –aku butuh kerjaan dengan cepat Jon. Setidaknya sesuai passion ku dengan dunia kita Jon. Dunia journalistic.”

Joni terlihat mau bicara. Mulutnya terangkat seakan mau mengeluarkan segala perttanyaan yang ada diotaknya, kemudian “Stop Jon. Kau harus hargai permintaanku tadi untuk tidak menanyakan mengapa aku butuh pekerjaan.” –dia terdiam seakan menyesali responku.

Kami lama terdiam, aku nikmati kopi dan rokoku. Begitupun Joni, dia seduh rokok nya sambil membuka tas hitam yang dia bawa. Terlihat secarik kertas terhambar di atas meja kita. Dan “Mulai senin besok kau dapat ke kantor, temui aku setelah makan siang. Akan aku perkenalkan kau dengan bagian sumberdaya manusia. Aku rasa kau akan betah disana.” –jawaban Joni membuatku lega. Setidaknya ada pekerjaan untuku menyambung nyawa.

***

Rumah Rosa nampak sepi dari luar, tak terlihat Giman lalu lalang seperti biasanya. Terpaksa aku buka gerbang sendiri. Motor kuparkir di halaman belakang. Benar saja, rumah ini terasa tak ada penghuninya. Aku panggil-panggil Surya dan Giman tak ada jawaban menyusul. Ruang santai menjadi tempat tujuanku, kupilih buku-buku koleksi Rosa. Tepat, ternyata dia punya koleksi buku sastrawan favoritku. Kesibukanku membaca melupakanku bahwa dari tadi Rosa ada dibelakangku.

“Mengagetkan saja kau ini Ros. Darimana saja kok dipanggil gak ada suaranya, rumah sepi begini. Pintu gerbang tak terkuci. Jangan salah jika ada maling bertamu Ros.” –kesalku padanya.

“Hahaha –Rosa tertawa meledek –aku dari depan Gas. Aku tahu kalau tadi kau masuk, memang sengaja aku diam. Lagi ada perlu milah-milah dokumen biar nanti dikantor gak ribet dengan seabrek kerjaan Gas.” –aku jadi teringat pemecatanku. Kesalku pada Iva tak dapat aku maafkan, terlepas apakah memang dia dalang dibalik ini semua atau tidak. Yang jelas praduga tak bersalahku ada kalanya benar.

“Kapan mulai masuk lagi Ros ? –tanyaku padanya. Kali ini dia terlihat seperti dulu. Sehat, ceria dengan setiap bicaranya selalu diiringi senyum manja dan barisan gigi kecil berbaris putih. Syukurlah Rosa sudah sehat, aku turut senang.

“Mungkin senin sudah masuk Gas.”

“Sama donk, aku senin akan wawancara di media cetak apa kabar Surabaya Ros –Rosa terlihat menahan tawanya, matanya hilang ditelan senyum manisnya. Dia tutup mulutnya yang terbuka lebar seakan tawanya tak lagi dapat dibendung –setidaknya aku dapat menyambung hidup lagi.”

‘Kau serius kerja di media itu Gas ? –tanyanya tak percaya sambil menahan tawanya –bukankah itu media terkenal Gas. Emang kau ada basic menulis.”

Akhirnya aku ceritakan panjang lebar padanya bagaimana aku mahasiswa dulu. Joni juga tak luput aku sampaikan bagaimana peranya dalam menemaniku berproses di pers mahasiswa dulu pada Rosa. Terlihat dia sangat fokus mendengarkan ceritaku. Kefokusanya menambah daya tariknya, sungguh manis sekali perempuan ini. Rosa  terpendam dalam anganya, sekali-kali dia kerutkan keningnya saat aku bercerita tentang gesekan antara pers dan mahasiswa. Dia menghela nafasnya naik turun sesuai irama ceritaku. Helaan nafasnya semakin panjang sehingga buah dadanya terangkat keatas saat aku cerita pernah digebuki senior mahasiswa pertanian saat ospek jurusanya aku liput dengan Joni. Kau sungguh anggun Ros. Menganggumkan.

“Ternyata kau punya pengalaman yang menganggumkan ya Gas. Salut aku.” –Rosa memujiku dengan anggukan kepala dan tatapan mukanya yang aduhai.

“Jangan pernah kau lupakan keluarga ini. Jika  pekerjaanmu lenggang, mampirlah dan jenguklah adik-adikmu Gas.” –harapanya padaku seakan aku akan meninggalkanya saja.

“Mana mungkin aku  melupakan keluarga sebaik ini Ros. Kau sudah aku anggap sosok ibuku sendiri, kekasih, pasangan hidup bahkan mentorku.” –Rosa tersipu malu saat aku bilang sudah menganggapnya kekasihku sendiri. Padahal aku masih bocah kemarin.

“Bagas … bagas … kau memang jagonya gombal.”  -Rosa menimpali

Reading Scene 06 on Cerita 06
Reading Scene 07 on Cerita 07
Bersambung ke Scene 09


No comments:

Post a Comment