Saturday, March 12, 2016

DIBALIK KEHIDUPAN PARA TANTE-TANTE

*Alie Ahsan Al-Haris


Sumber Gambar Ilustrasi : segiempat[dot]com


Scene 07

            … … … … … … … … … … … … … … … …
“Tolong aku Gas.” –Rosa memang hendak turun dari ranjang, mungkin untuk sekedar jalan-jaalan melepas rasa pegal di punggungnya. Ia ulurkan kedua tanganya padaku.

“Oh Rosa, mengapa tiba-tiba kau begitu ringkih seperti ini, mana kekuatanmu yang kemarin-kemarin. Kau kelihatan tua Ros.”

“Bagimana tak kelihatan tua, aku sudah punya anak tiga, dan sekarang tambah satu anak lagi. Kau. Gas.” –Rosa tak melirik saat ia utarakan hal tersebut. Nampak pipinya kemerahan saat bilang aku menjadi anak keempatnya. Toh memang aku ini pantas menjadi anak Rosa, mengingat umurku dengan Surya yang tak jauh beda.

“Biarkanlah aku duduk disofa bersamamu Gas. Tuntun aku, kepalaku pusing kalau berdiri terlalu lama. Panggilkan perawat untuk datang kesini Gas.” –aku melaksanakan apa yang Rosa minta. Setelah aku dudukan dia di sofa, kedua kakinya ia taruh diatas meja. Terlihat sejajar dan lesu.

Perawat datang dengan membawa buku besar. Dalam kalunganya terdapat kain yang melilit lehernya. Entah itu apa. Fikirku itu hiasan namun gagal faham. Tak cocok sama sekali ia kenakan.

“Tentu saja, bu Rosa  –perawat itu ternyata dari tadi dialoq dengan Rosa –kalau ibu dalam dua hari kedepan mau istirahat total dan sedikit megurangi jam berkunjug para tamu maka akan dengan cepat pula ibu akan pulang”.

Kurangajar, ternyata aku ini dianggap mengganggu istirahatnya Rosa. Perawat ini tak tahu kalau dari awal Rosa dirawat tak ada tamu lain selain aku.

“Baik bu. Saya tinggal dulu. Kalau ada perlu lagi bisa pergunakan telfon  yang ada disamping ranjang –perawat tersebut berpamitan pada Rosa –selamat siang.”

Benar saja, perawat itu hanya berpamitan pada Rosa. Dia tak mengindahkan aku sama sekali yang sedari tadi berada disamping Rosa. Kurangajar.

“Hahahaha … kau ini dikira pengganggu atau apa ya Gas. Sampai-sampai perawatnya malas melirik kau, apalagi menyapa. Aduch Gas gas, kasihan sekali nasibmu ini. Cobalah kau pangkas rambutmu itu, sedikit juga kau rapikan jenggot dan kumismu. Aku yakin para wanita akan lebih tertarik melihatmu.” –Rosa tertawa melihat tingkah perawat yang mencuekan aku. Aku fikir arahan Rosa agar aku merapikan rambut, jenggot sama kumis bagus juga untuk dilaksanakan. Hahaha –kekehku.

***

            Selepas kejadian dikantor. Iva tak berolok lagi, apalagi mencari diriku. Aku kelelahan setelah dari kantor langsung ke Rumah Sakit. Dan  sekarang aku menikmati waktu kesendirianku di teras rumah. Aku seduh kopi susu panas dan kuhisap batang per batang terus sampai dada ini sesak terlalu banyak asap rokok yang masuk.

            Kau memang perempuan gila Va. Senekat itu kau meminta benihku. Apa nanti kata orang kalau hal itu benar terjadi.

            Tak terasa suara adzan subuh bersaut-sautan. Aku sadari diriku tertidur di kursi ruang tamu. Lengan ini sakit sekali saat aku gerakan. Aku coba pejamkan mata, namun aku sadari dingin tak kuasa aku rasakan.

            Selepas  Shalat subuh aku lanjutkan aktifitas lain sampai menjelang berangkat ke kantor.  Aku sengaja berangkat agak pagi agar terhindar macetnya Gresik yang luar biasa binalnya.

            Aku masuk ruangan. Terlihat rapi bersih habis dibersihkan oleh cleaning service kantor. Pekerjaan ini berlalu seperti biasa, tanpa ada job baru, masalah baru ataupun target baru. Jam istirahat aku lalui seperti kemarin, ke kantin minum kopi dan menghabiskan beberapa batang rokok yang aku bawa dari rumah. Sisa jam istirahat yang sebentar lagi habis aku pergunakan untuk shalat.

            Selepas shalat aku langsung menuju ke ruangan. aku lirik-lirik terus dari tadi tak muncul batang hidungnya Iva. Kemana orang ini. Biasanya dia suka sekali mondar mandir dari ruang depan sampai gudang. Mungkin dia malu bertemu denganku, fikir sederhana ku saja.

            Aku nyalakan TV flaat fasilitas kantor sambil memilah-milah dokumen project baru. Aku amati proposal-propsal dari para konsultan yang berencana membangun pabrik baru kami di Banyuwangi mengingat pangsa pasar didaerah Indonesia timur dari tahun ketahun mulai menggeliat. Ada lebih dari duapuluh konsultan yang tertarik dengan pengembangan pabrik baru kita. Memang aku yang berhak meloloskan siapa saja yang mendapatkan tender ini. Tak salah jika awal dan akhir project aku selalu dapat uang pelicin yang terhitung lumayan banyak.

            Saat aku taruh proposal yang selesai aku baca di samping meja. Terlihat ada surat yang ditunjukan padaku. Aku biarkan saja karena aku sedang fokus membaca proposal satu persatu –mungkin itu undangan meeting untuk para kepala bagian –yang sedari tadi memang aku sudah peggang.          

            Saat aku ada waktu untuk membaca surat tersebut. Ternyata itu bukanlah surat undangan meeting para kepala bagian diperusahaan ini. Aku tak kuasa membaca surat tersebut. Apakah ini memang benar adanya. Mengapa. Mengapa surat ini yang datang. Kepalaku terkulai lemas. Tanpa daya serasa ambruk menghantam meja kerja. Aku tak percaya hal ini.

            Aku dipecat dari perusahaan. Iya. Memang benar apa yang surat ini sampaikan. Namun apa yang membuatku dipecat ?. kinerjaku selama ini menunjukan hasil yang baik, aku tak menggelapkan dana atau bermasalah dengan  orang diperusahaan ini. Fikiran kacauku tiba-tiba membimbingku perlahan-lahan pada suatu titik dimana Iva adalah dalang dibalik semua ini. Yap, tepat sekali. Aku tak tahu terlepas kesimpulanku ini benar adanya atau malah salah kaprah. Aku jadi takut sendiri kalau-kalau Iva bercerita kesuaminya aku pernah seranjang denganya. Namun aku rasa hal itu takan mungkin, kalau memang Iva berani bilang hal itu kesuaminya. Bukan aku saja yang terlempar dari perusahaan ini, bisa jadi Iva akan juga terlempar dari Rumah dan perusahaan suaminya.

            Fikiranku melayang-layang entah kemana. Meski dipecat sambil diberi pesangon. Tetap saja aku tak kuasa menahan kesedihan dan amarah. Aku rasa ini adalah hal sepele kalau memang benar Iva adalah dalang dibalik ini semua. Hanya karena aku tak mau menolongya maka dia dengan sesukanya membuang aku. Sungguh keterlaluan.

            Aku kemasi barang-barang pribadiku yang tertinggal dikantor. Tak cukup banyak memang. Bergegas aku berjalan meninggalkan ruangan yang tak lebih dari enam bulan aku tempati hasil jadi gundiknya Iva. Berjalan aku sampai bagian keuangan. Kuserahkan surat pemecatan itu dengan mimik muka merah padam tak kuasa ingin memukul siapa saja yang berani bertanya alasan mengapa aku dipecat dari perusahaan.

            Setelah aku cairkan pesangon. Aku pulang kerumah naik taxi. Memang mobil yang selama ini aku bawa adalah mobil kantor, tak pantas dan tak sudi aku mengendarainya.

            Pintu rumahku yang tak bersalah aku banting dengan keras. Terserah tetangga mendengarnya. Aku sangat kesal. Sekarang masalah datang lagi. Ya, pemecatan dan pengangguran.

            Tak terasa aku tertidur pulas. Jam tangan semasa kuliah dulu berjalan lambat menuju angka tujuh malam. Aku lupa kalau sore ini aku harus menjenguk Rosa. Bergegas aku mandi dan makan, cacing dalam perut ini sudah mengutuk untuk segera diberikan secercah makanan yang mungkin sejenak akan membuat mereka diam.

            Rosa menyambut kedatanganku dengan riang. Dia mengira kau takan datang. Sengaja memang aku tak bercerita tentang kejadianku dikantor. Aku khawatir membebani fikiranya. Saat dia riang bicara aku jadi berfikir apakah Rosa juga ikut dipecat dari perusahaan. Sebuah hal yang mungkin terjadi juga padanya.

            Aku sengaja menginap di Rumah Sakit. Rosa mengizinkan, bahkan memang berharap aku menungguinya. Giman yang dari tadi datang sibuk nonton acara lawak di televise ruang tunggu. Kali ini Surya dan adiknya tak kelihatan. Mungkin Rosa sudah mengabarinya kalau tak perlu ke Rumah Sakit.

            Saat Rosa tertidur. Aku keluar untuk menghubungi Dina. Sengaja aku mau bercerita tentang kejadianku dikantor. Entah kenapa kalau masalah yang mengoyak batin aku lebih percaya bercerita ke Dina. Aku ceritakan semua runtutan kejadian dari awal sampai akhir. Dia menanggapi layaknya seorang ibu melihat anaknya terlibat kesusahan. Aku dengar nada suaranya berat menangis. Betapa sedihnya Dina. Salahkan aku jika mengabari hal ini kepadanya. Kedekatanku denganya yang sejak lama telah membentuk suatu ikatan batin layaknya pasangan hidup. Beruntung aku telah mengenalnya.

            Dina menyarankanku untuk pulang kerumah saja. Dia menawariku pekerjaan mengepalai bisnis propertinya. Sekedar untuk obat kegalauan karena telah dipecat tanpa kejelasan dan meniti karier kembali tanpa harus pusing kerja apa. Aku sangat berterimakasih pada tawaran Dina. Namun aku belum siap memberikanya jawaban, ketidaksiapanku juga tak beralasan karena aku juga belum punya kerjaan yang jelas.

            Esok harinya Rosa sudah diizinkan pulang. Surya mengurus administrasi Rumah Sakit. Sedangkan adiknya, Ferdi. Menyetir mobil. Kami tiba dirumah. Giman sudah mempersiapkan semuanya. Cengkrama keluarga ini terasa sekali, saling melindungi dan peduli satu dengan lainya. Anak kepada ibu, kakak kepada adiknya dan ibu kepada anak-anaknya. Aku ikut merasakan senang. Memori terpecat dari pekerjaan serasa hilang tak aku fikirkan.

            “Aku perhatikan dari kemarin kau murung saja Gas. Apa yang sebenarnya kau fikirkan ? Maukah kau bercerita. Setidaknya beban difikiranmu akan sedikit terurai.” –Rosa memulai. Nampaknya dia telah mengetahui gelagatku yang dari kemarin menahan kapal karam dengan segudang permasalahan.

            “Apakah wajahku menceritakan sebuah kesusahan Ros ? –tanyaku padanya menjawab –aku sedang memikirkan kesembuhanmu Ros. Aku kangen dengan energimu kemarin yang meletup-meletup seakan menginspirasi setiap orang yang ada didekatmu.

            “Kau tak usah bohongi aku Gas. Harusnya kau sadar siapa lawan bicaramu. Aku adalah ibu beranak tiga. Sudah duapuluh tujuh tahun berumah tangga meskipun akhirnya kandas. Seorang perempuan paruh baya yang kerier pekerjaanya bertemu dengan banyak client dengan berbagai karakternya. Terutama laki-laki. Dusta sekali kau bohongi aku.” –aku tersadar kalau Rosa adalah perempuan yang tak dapat dianggap remeh. Teringat jelas saat dia mencercaku di Lamongan.

            “Maafkan aku sa. Aku hanya tak ingin menambah beban fikiranmu. Mulai dari detik ini. Kau tak perlu memanggil aku Bapak Bagas Bahiscara Gatra saat urusan  perusahaan. Karena memang mulai detik ini pula aku sudah tak bekerja disana. Ya, aku dipecat. Aku dipecat tanpa alasan yang jelas.” –aku mengatakanya sambil tertunduk lesu dan malu. Aku tak kuasa mengangkat kepalaku ke atas, yang kupandangi hanya lantai warna putih ruang santai di rumah Rosa.

            Aku tak tahu ekspresi Rosa bagaimana saat mendengar ceritaku. Mungkin dia juga berfikiran kalau dirinya dipecat, atau bahkan ikut menyertai kesedihanku. Yang jelas aku masih tak berani mengangkat kepalaku. Kepalaku hanya tertunduk melihat lantai dan kolong-kolong meja. Betapa sedihnya Rosa. Keberadaanku malah menambah kesedihanya, tak patut aku bercerita ini padanya.

            “Nasib apa yang menimpamu Gas –Rosa memulai setelah lama kita berdua terdiam –kau yang sabar ya Gas. Sekarang apa yang kau rencanakan. Kamu masih muda, masih banyak kesempatan yang lebih bagus untukmu. Daripada bekerja diperusahaan yang membuatmu terjerumus dalam kemaksiatan perselingkuhan itu.” –pernyataan Rosa yang terakhir membuatku sadar kalau Rosa sudah tahu mengapa aku dipecat dari perusahaan.

            “Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan Ros. Meski kau berikan seribu saranpun padaku. Aku tetap tak bisa dengan mudah menerimanya. Aku ingin menikmati masalahku ini terlebih dahulu. Kalau kau diposisiku Ros, pasti kau tahu bagaimana rasanya perasaanku.”

            Lama kita saling berdiam diri. Rosa sama sekali tak menunjukan perasaan sedih ataupun merasa kehilangan. Memang karakternya seperti itu atau jangan-jangan Rosa juga ada andil dalam pemecatanku. Fikiran liar mulai menyeruak kembali.

            “Jangan kau sekali-kali masukan aku dalam daftar hitam hidupmu Gas. Tak pernah aku menyakiti hati seseorang kalau dia tak memulai dahulu. Aku turut kehilangan dan sedih atas apa yang kau alami ini. Kau bisa bawa motor atau mobil didepan untuk kau pergunakan mencari kerja. Kalau kau butuh uang jangan sungkan untuk minta padaku. Jangan pernah kau masukan rumus malu dan sungkan padaku.”

            “Jangan kau lama menganggur Gas. Karena terlalu lama menganggur dapat menumpulkan mental dan otakmu. Camkan hal itu dalam-dalam Gas.”

Reading Scene 05 on Cerita 05
Reading Scene 06 on Cerita 06

            Bersambung ke Scene 08

No comments:

Post a Comment