*Alie Ahsan
Al-Haris
Sumber Gambar Ilustrasi : segiempat[dot]com |
Scene 07
… … … … … … … … … … … … … … … …
“Tolong
aku Gas.” –Rosa memang hendak turun dari ranjang, mungkin untuk sekedar
jalan-jaalan melepas rasa pegal di punggungnya. Ia ulurkan kedua tanganya
padaku.
“Oh
Rosa, mengapa tiba-tiba kau begitu ringkih seperti ini, mana kekuatanmu yang
kemarin-kemarin. Kau kelihatan tua Ros.”
“Bagimana
tak kelihatan tua, aku sudah punya anak tiga, dan sekarang tambah satu anak
lagi. Kau. Gas.” –Rosa tak melirik saat ia utarakan hal tersebut. Nampak pipinya
kemerahan saat bilang aku menjadi anak keempatnya. Toh memang aku ini pantas
menjadi anak Rosa, mengingat umurku dengan Surya yang tak jauh beda.
“Biarkanlah
aku duduk disofa bersamamu Gas. Tuntun aku, kepalaku pusing kalau berdiri
terlalu lama. Panggilkan perawat untuk datang kesini Gas.” –aku melaksanakan
apa yang Rosa minta. Setelah aku dudukan dia di sofa, kedua kakinya ia taruh
diatas meja. Terlihat sejajar dan lesu.
Perawat
datang dengan membawa buku besar. Dalam kalunganya terdapat kain yang melilit
lehernya. Entah itu apa. Fikirku itu hiasan namun gagal faham. Tak cocok sama
sekali ia kenakan.
“Tentu
saja, bu Rosa –perawat itu ternyata dari
tadi dialoq dengan Rosa –kalau ibu dalam dua hari kedepan mau istirahat total
dan sedikit megurangi jam berkunjug para tamu maka akan dengan cepat pula ibu
akan pulang”.
Kurangajar,
ternyata aku ini dianggap mengganggu istirahatnya Rosa. Perawat ini tak tahu
kalau dari awal Rosa dirawat tak ada tamu lain selain aku.
“Baik
bu. Saya tinggal dulu. Kalau ada perlu lagi bisa pergunakan telfon yang ada disamping ranjang –perawat tersebut
berpamitan pada Rosa –selamat siang.”
Benar
saja, perawat itu hanya berpamitan pada Rosa. Dia tak mengindahkan aku sama
sekali yang sedari tadi berada disamping Rosa. Kurangajar.
“Hahahaha
… kau ini dikira pengganggu atau apa ya Gas. Sampai-sampai perawatnya malas
melirik kau, apalagi menyapa. Aduch Gas gas, kasihan sekali nasibmu ini.
Cobalah kau pangkas rambutmu itu, sedikit juga kau rapikan jenggot dan kumismu.
Aku yakin para wanita akan lebih tertarik melihatmu.” –Rosa tertawa melihat
tingkah perawat yang mencuekan aku. Aku fikir arahan Rosa agar aku merapikan
rambut, jenggot sama kumis bagus juga untuk dilaksanakan. Hahaha –kekehku.
***
Selepas kejadian
dikantor. Iva tak berolok lagi, apalagi mencari diriku. Aku kelelahan setelah
dari kantor langsung ke Rumah Sakit. Dan
sekarang aku menikmati waktu kesendirianku di teras rumah. Aku seduh
kopi susu panas dan kuhisap batang per batang terus sampai dada ini sesak
terlalu banyak asap rokok yang masuk.
Kau memang perempuan gila Va.
Senekat itu kau meminta benihku. Apa nanti kata orang kalau hal itu benar
terjadi.
Tak terasa suara adzan subuh
bersaut-sautan. Aku sadari diriku tertidur di kursi ruang tamu. Lengan ini
sakit sekali saat aku gerakan. Aku coba pejamkan mata, namun aku sadari dingin
tak kuasa aku rasakan.
Selepas Shalat subuh aku lanjutkan aktifitas lain
sampai menjelang berangkat ke kantor.
Aku sengaja berangkat agak pagi agar terhindar macetnya Gresik yang luar
biasa binalnya.
Aku masuk ruangan. Terlihat rapi
bersih habis dibersihkan oleh cleaning service kantor. Pekerjaan ini berlalu
seperti biasa, tanpa ada job baru, masalah baru ataupun target baru. Jam
istirahat aku lalui seperti kemarin, ke kantin minum kopi dan menghabiskan
beberapa batang rokok yang aku bawa dari rumah. Sisa jam istirahat yang
sebentar lagi habis aku pergunakan untuk shalat.
Selepas shalat aku langsung menuju
ke ruangan. aku lirik-lirik terus dari tadi tak muncul batang hidungnya Iva.
Kemana orang ini. Biasanya dia suka sekali mondar mandir dari ruang depan
sampai gudang. Mungkin dia malu bertemu denganku, fikir sederhana ku saja.
Aku nyalakan TV flaat fasilitas kantor
sambil memilah-milah dokumen project baru. Aku amati proposal-propsal dari para
konsultan yang berencana membangun pabrik baru kami di Banyuwangi mengingat
pangsa pasar didaerah Indonesia timur dari tahun ketahun mulai menggeliat. Ada
lebih dari duapuluh konsultan yang tertarik dengan pengembangan pabrik baru
kita. Memang aku yang berhak meloloskan siapa saja yang mendapatkan tender ini.
Tak salah jika awal dan akhir project aku selalu dapat uang pelicin yang
terhitung lumayan banyak.
Saat aku taruh proposal yang selesai
aku baca di samping meja. Terlihat ada surat yang ditunjukan padaku. Aku
biarkan saja karena aku sedang fokus membaca proposal satu persatu –mungkin itu
undangan meeting untuk para kepala bagian –yang sedari tadi memang aku sudah
peggang.
Saat aku ada waktu untuk membaca
surat tersebut. Ternyata itu bukanlah surat undangan meeting para kepala bagian
diperusahaan ini. Aku tak kuasa membaca surat tersebut. Apakah ini memang benar
adanya. Mengapa. Mengapa surat ini yang datang. Kepalaku terkulai lemas. Tanpa
daya serasa ambruk menghantam meja kerja. Aku tak percaya hal ini.
Aku dipecat dari perusahaan. Iya.
Memang benar apa yang surat ini sampaikan. Namun apa yang membuatku dipecat ?.
kinerjaku selama ini menunjukan hasil yang baik, aku tak menggelapkan dana atau
bermasalah dengan orang diperusahaan
ini. Fikiran kacauku tiba-tiba membimbingku perlahan-lahan pada suatu titik
dimana Iva adalah dalang dibalik semua ini. Yap, tepat sekali. Aku tak tahu
terlepas kesimpulanku ini benar adanya atau malah salah kaprah. Aku jadi takut
sendiri kalau-kalau Iva bercerita kesuaminya aku pernah seranjang denganya.
Namun aku rasa hal itu takan mungkin, kalau memang Iva berani bilang hal itu
kesuaminya. Bukan aku saja yang terlempar dari perusahaan ini, bisa jadi Iva
akan juga terlempar dari Rumah dan perusahaan suaminya.
Fikiranku melayang-layang entah
kemana. Meski dipecat sambil diberi pesangon. Tetap saja aku tak kuasa menahan
kesedihan dan amarah. Aku rasa ini adalah hal sepele kalau memang benar Iva
adalah dalang dibalik ini semua. Hanya karena aku tak mau menolongya maka dia
dengan sesukanya membuang aku. Sungguh keterlaluan.
Aku kemasi barang-barang pribadiku
yang tertinggal dikantor. Tak cukup banyak memang. Bergegas aku berjalan
meninggalkan ruangan yang tak lebih dari enam bulan aku tempati hasil jadi
gundiknya Iva. Berjalan aku sampai bagian keuangan. Kuserahkan surat pemecatan
itu dengan mimik muka merah padam tak kuasa ingin memukul siapa saja yang
berani bertanya alasan mengapa aku dipecat dari perusahaan.
Setelah aku cairkan pesangon. Aku
pulang kerumah naik taxi. Memang mobil yang selama ini aku bawa adalah mobil
kantor, tak pantas dan tak sudi aku mengendarainya.
Pintu rumahku yang tak bersalah aku
banting dengan keras. Terserah tetangga mendengarnya. Aku sangat kesal. Sekarang
masalah datang lagi. Ya, pemecatan dan pengangguran.
Tak terasa aku tertidur pulas. Jam
tangan semasa kuliah dulu berjalan lambat menuju angka tujuh malam. Aku lupa
kalau sore ini aku harus menjenguk Rosa. Bergegas aku mandi dan makan, cacing
dalam perut ini sudah mengutuk untuk segera diberikan secercah makanan yang
mungkin sejenak akan membuat mereka diam.
Rosa menyambut kedatanganku dengan
riang. Dia mengira kau takan datang. Sengaja memang aku tak bercerita tentang
kejadianku dikantor. Aku khawatir membebani fikiranya. Saat dia riang bicara
aku jadi berfikir apakah Rosa juga ikut dipecat dari perusahaan. Sebuah hal
yang mungkin terjadi juga padanya.
Aku sengaja menginap di Rumah Sakit.
Rosa mengizinkan, bahkan memang berharap aku menungguinya. Giman yang dari tadi
datang sibuk nonton acara lawak di televise ruang tunggu. Kali ini Surya dan
adiknya tak kelihatan. Mungkin Rosa sudah mengabarinya kalau tak perlu ke Rumah
Sakit.
Saat Rosa tertidur. Aku keluar untuk
menghubungi Dina. Sengaja aku mau bercerita tentang kejadianku dikantor. Entah
kenapa kalau masalah yang mengoyak batin aku lebih percaya bercerita ke Dina.
Aku ceritakan semua runtutan kejadian dari awal sampai akhir. Dia menanggapi
layaknya seorang ibu melihat anaknya terlibat kesusahan. Aku dengar nada
suaranya berat menangis. Betapa sedihnya Dina. Salahkan aku jika mengabari hal
ini kepadanya. Kedekatanku denganya yang sejak lama telah membentuk suatu
ikatan batin layaknya pasangan hidup. Beruntung aku telah mengenalnya.
Dina menyarankanku untuk pulang
kerumah saja. Dia menawariku pekerjaan mengepalai bisnis propertinya. Sekedar
untuk obat kegalauan karena telah dipecat tanpa kejelasan dan meniti karier
kembali tanpa harus pusing kerja apa. Aku sangat berterimakasih pada tawaran
Dina. Namun aku belum siap memberikanya jawaban, ketidaksiapanku juga tak
beralasan karena aku juga belum punya kerjaan yang jelas.
Esok harinya Rosa sudah diizinkan
pulang. Surya mengurus administrasi Rumah Sakit. Sedangkan adiknya, Ferdi.
Menyetir mobil. Kami tiba dirumah. Giman sudah mempersiapkan semuanya.
Cengkrama keluarga ini terasa sekali, saling melindungi dan peduli satu dengan
lainya. Anak kepada ibu, kakak kepada adiknya dan ibu kepada anak-anaknya. Aku
ikut merasakan senang. Memori terpecat dari pekerjaan serasa hilang tak aku
fikirkan.
“Aku perhatikan dari kemarin kau
murung saja Gas. Apa yang sebenarnya kau fikirkan ? Maukah kau bercerita.
Setidaknya beban difikiranmu akan sedikit terurai.” –Rosa memulai. Nampaknya
dia telah mengetahui gelagatku yang dari kemarin menahan kapal karam dengan
segudang permasalahan.
“Apakah wajahku menceritakan sebuah
kesusahan Ros ? –tanyaku padanya menjawab –aku sedang memikirkan kesembuhanmu
Ros. Aku kangen dengan energimu kemarin yang meletup-meletup seakan
menginspirasi setiap orang yang ada didekatmu.
“Kau tak usah bohongi aku Gas.
Harusnya kau sadar siapa lawan bicaramu. Aku adalah ibu beranak tiga. Sudah
duapuluh tujuh tahun berumah tangga meskipun akhirnya kandas. Seorang perempuan
paruh baya yang kerier pekerjaanya bertemu dengan banyak client dengan berbagai
karakternya. Terutama laki-laki. Dusta sekali kau bohongi aku.” –aku tersadar
kalau Rosa adalah perempuan yang tak dapat dianggap remeh. Teringat jelas saat
dia mencercaku di Lamongan.
“Maafkan aku sa. Aku hanya tak ingin
menambah beban fikiranmu. Mulai dari detik ini. Kau tak perlu memanggil aku
Bapak Bagas Bahiscara Gatra saat urusan
perusahaan. Karena memang mulai detik ini pula aku sudah tak bekerja
disana. Ya, aku dipecat. Aku dipecat tanpa alasan yang jelas.” –aku
mengatakanya sambil tertunduk lesu dan malu. Aku tak kuasa mengangkat kepalaku
ke atas, yang kupandangi hanya lantai warna putih ruang santai di rumah Rosa.
Aku tak tahu ekspresi Rosa bagaimana
saat mendengar ceritaku. Mungkin dia juga berfikiran kalau dirinya dipecat,
atau bahkan ikut menyertai kesedihanku. Yang jelas aku masih tak berani
mengangkat kepalaku. Kepalaku hanya tertunduk melihat lantai dan kolong-kolong
meja. Betapa sedihnya Rosa. Keberadaanku malah menambah kesedihanya, tak patut
aku bercerita ini padanya.
“Nasib apa yang menimpamu Gas –Rosa
memulai setelah lama kita berdua terdiam –kau yang sabar ya Gas. Sekarang apa
yang kau rencanakan. Kamu masih muda, masih banyak kesempatan yang lebih bagus
untukmu. Daripada bekerja diperusahaan yang membuatmu terjerumus dalam
kemaksiatan perselingkuhan itu.” –pernyataan Rosa yang terakhir membuatku sadar
kalau Rosa sudah tahu mengapa aku dipecat dari perusahaan.
“Aku tak tahu apa yang harus aku
lakukan Ros. Meski kau berikan seribu saranpun padaku. Aku tetap tak bisa
dengan mudah menerimanya. Aku ingin menikmati masalahku ini terlebih dahulu.
Kalau kau diposisiku Ros, pasti kau tahu bagaimana rasanya perasaanku.”
Lama kita saling berdiam diri. Rosa
sama sekali tak menunjukan perasaan sedih ataupun merasa kehilangan. Memang
karakternya seperti itu atau jangan-jangan Rosa juga ada andil dalam
pemecatanku. Fikiran liar mulai menyeruak kembali.
“Jangan kau sekali-kali masukan aku
dalam daftar hitam hidupmu Gas. Tak pernah aku menyakiti hati seseorang kalau
dia tak memulai dahulu. Aku turut kehilangan dan sedih atas apa yang kau alami
ini. Kau bisa bawa motor atau mobil didepan untuk kau pergunakan mencari kerja.
Kalau kau butuh uang jangan sungkan untuk minta padaku. Jangan pernah kau
masukan rumus malu dan sungkan padaku.”
“Jangan kau lama menganggur Gas.
Karena terlalu lama menganggur dapat menumpulkan mental dan otakmu. Camkan hal
itu dalam-dalam Gas.”
Reading
Scene 05 on Cerita 05
Reading
Scene 06 on Cerita 06
No comments:
Post a Comment