Scene 06
***
Sumber Ilustrasi Gambar : segiempat[dot]com |
Sore
harinya lepas pulang kerja aku langsung kerumah sakit menjenguk Rosa. Aku
diterima Surya yang sekarang kelihatan lebih segar dan rapi, mungkin habis
mandi. Kami ngobrol santai diruang tunggu. Memang aku tak sempat melihat
keadaan Rosa. Aku taksir dia baik-baik saja.
“Tadi
Pak Bagas pulang dari Rumah Sakit jam berapa ?, maaf Surya tak sempat
mengantarkan Pak Bagas keparkiran dan mengucapkan terimakasih karena telah sudi
membantu keluarga kita,” –aku fokus pada pembicaraan Surya. “Oh iya, apakah aku
boleh memanggil Pak Bagas dengan Mas atau Om mungkin, biar lebih akrab saja.”
–Surya meminta dengan santai tanpa terlihat ada rasa hinaan atau semacamnya
padaku.
“Oh
ya, barangtentu itu adalah tawaran yang sangat menarik. Kau dapat panggil aku Bagas
saja, tanpa ada kata depan Mas ataupun Om. Bagaimana !!”
“Terimakasih
telah baik pada Ibu dan keluarga kita Gas.” –tanpa dia bilang setuju atau tidak
Surya langsung memanggilku Bagas saja. Aku fikir anak ini reaktif sekali,
harusnya sebagai orang jawa dia wajib bilang terimakasih terlebih dahulu atas
tawaranku. Tapi, … dia ini adalah anak peranakan. Salah apa dia jika aku
gerutui tentang cara sopan santun orang jawa. Sial.
“Hanya
ingin mengajukan pertanyaan saja Gas. Sekedar pertanyaan.”
“Oke,
silahkan Surya bilang saja tanpa khawatir.”
“Moga-moga
saja Bagas tak berperasangka buruk padaku atas pertanyaan-pertanyaan yang
memang harus kau jawab.” –sepertinya Surya akan menghujani aku dengan
pertanyan-pertanyaan yang telah ia siapkan semenjak aku datang ke rumahnya. Aku
akan jawab, aku akan jawab dengan jujur dan tanpa berbasa-basi.
“Ya,
moga-moga saja tidak menjadi benih permasalahan baru. Memang Surya hendak
bertanya apa ?.”
Sebelum
Surya bertanya memang sengaja aku berikan jawaban balik yang akan membatasi
geraknya. Aku dengarkan ia dengan seksama, sungguh-sungguh dan aku tatap
matanya tanpa kedip. Bisa aja anak Rosa ini gusar dengan tingkah anehku dalam
memperhatikanya. Tapi aku tetap mencoba bersahabat dengan suasana yang kikuk
ini.
Mendadak
Surya memeggang pundak kananku. Terlihat rona matanya berseri seakan sudah
memberikan jawaban tanpa perlu ia suarakan dan beritahukan padaku.
“Tolong
beritahu aku bagimana Bagas dapat kenal akrab dengan ibu. Sebagai anak laki,
terlebih aku juga anak tertua dikeluarga ini aku berhak tahu lelaki yang dekat
dengan ibuku. Tanpa aku beritahu juga, Bagas pasti mengetahui kalau ibuku sudah
menjanda lebih dari lima tahun.”
Aku
tahu benar bagaimana perasaan Surya saat ini. Sebagai anak pertama dikeluarga
ini, adalah wajar apabila ibu dan adik-adiknya adalah tanggung jawabnya. Aku
jelaskan padanya awal mula aku diterima diperusahaan tersebut. Bagimana aku
dapat kenal dengan Rosa, sampai dengan perjalanan karierku di perusahaan. Tentu
aku tak jelaskan hubungan gelapku dengan Iva pada Surya. Hanya ibunya yang
tahu, atau bisa jadi Rosa sudah menceritakanya ke Surya. Dan disini dia hanya
mengetesku kejujuranku.
Aku
selesai bercerita pada Surya, sampai pada suatu titik dia bilang ”Sudah jangan diteruskan. Ingatkah Bagas
dengan apa yang aku bicarakan saat kerumah ?. ibu tak mau aku bawa ke Rumah
Sakit, yang dipanggil hanya nama anda terus. Itulah yang ingin aku tahu mengapa
ibuku bersikap seperti itu, bukanya malah cerita perjalan karier anda. Maaf
kalau aku tak menjelaskan maksut pertanyaanku secara detail sejak awal.”
Memang
aku harus jawab dengan model jawaban seperti apa ke Surya. Aku mengenal Rosa
tak lebih dari seminggu. Sedangkan aku dituntut menjawab mengapa Rosa berlaku
aneh saat menderita kesakitan yang sampai detik ini tuhanpun tak meberitahuku.
“Bagimana
Gas, apa aku berhak mendapatkan jawaban itu, aku harap perkenalan kita yang tak
lebih dari lima menit ini akan tetap terjaga kebaikanya. Tentunya dengan kau
menjawab hal ini. Kau harus ingat dan kau tahu, aku anak pertama dikeluarga ini
dan aku anak lelaki.”
Aku
merasa hidupku selalu dianiaya dengan pertanyaan-pertanyaan yang mendesak dan
menghujam. Entah apa yang Tuhan fikirkan tentangku. Namun anehnya lagi, aku
selalu dapat mengatasi masalah-masalahku dengan tangkas tanpa ada efek
berkepanjangan.
“Maafkan
aku, apakah jawabanku tadi ada yang salah ?, aku tak tahu mengapa ibumu
bertingkah seperti itu. Aku mengenal ibumu tak lebih dari seminggu. Memang aku
bekerja diperusahaan yang sama dengan ibumu lebih dari tiga tahun, kita di
divisi yang berbeda. Bukankah wajar kalau jawabanku seperti tadi. Anggap saja
seminggu kemarin aku mulai kenal ibumu, bertugas bareng di Lamongan untuk
project perusahaan. Iya, dari situlah aku mulai mengenal ibumu. Kalau kau menuntut
padaku jawaban lebih, maaf aku tak dapat menjawab. Bukan karena apa, tapi
memang inilah yang aku ketahui dan rasakan. Aku harap kau mengerti.”
“Tentu
Gas, aku insyaf kalau pertanyaanku terlalu menyudutkanmu. Aku hanya berniat
mengetahui seberapa jauh hubunganmu dengan ibuku. Karena memang tak ada lelaki
lain disamping ibu setelah ayahku pergi. Laki-laki yang menaruh hati ke ibu
akan berfikir seribu kali hanya untuk mencoba dekat, karena mereka tahu. Selain
ibu memiliki paras yang cantik, keluarga kami dikenal baik dilingkungan dan
memiliki banyak usaha lain diluar sana. Perempuan yang mereka dekati adalah
janda banyak nilai jual.” –Ternyata yang mengagumi kecantikan Rosa bukanlah aku
semata. Banyak lelaki lain diluar sana yang mencoba mendekati perempuan ini.
Namun mereka tak sadar, selain kekayaan dan ketenaran yang dimiliki oleh
keluarga ini. Ada lelaki yang siap mengintrogasi dengan pertanyaan berjenjang
dan sistematis. Dialah Surya, Surya Joko Fernando.
“Aku
telah melewati batasku Gas. Pertanyaan seperti hendaknya aku tanyakan pada calon suami
ibuku. Tentunya kau akan berlaku seperti aku Gas jika posisimu sama denganku.
Jadi, maafkanlah kelancanganku.”
“Oh
iya, ayo kita masuk kedalam Gas. Mungkin ibu sudah bangun dari tidur sorenya”
–kita berdua beranjak meninggalkan ruang tunggu yang sedari tadi ramai orang
menunggui sanak keluarganya sakit.
Surya
masuk terlebih dahulu. Aku sengaja belakangan karena ketoilet terlebih dulu.
Selepas dari toilet aku bengong didepan kaca tolilet. Sedikit kurapikan rambut
dan bajuku. Lucu memang, aku tersenyum sendiri melihat diriku gugup mau bertemu
Rosa. Mungkin perasaan ini terbawa karena pertanyaan demi pertanyaan Surya yang
masih membekas.
Aku
masuk keruangan dimana Rosa dirawat. Terlihat disana hanya Rosa dan Surya. Tak
terlihat dua adik dari Surya atau situkang kebun itu. Rosa melihatku dengan
senyum yang dipaksakan. Terlihat lucu dan menggemaskan.
“Mengapa
kau lama sekali Gas ?, sini duduk disampingku –Rosa memulai bicara denganku.
Suaranya berat terpaksakan –tolong ambilkan kursi nak buat duduk abangmu.”
Perintah Rosa pada Surya.
“Hari
ini kau terlihat menarik, rupa-rupanya abang dan adik sudah akrab ya.
Sampai-sampai lupa kalau ada yang sakit dan butuh perhatian.” –kita bertiga
tertawa bersama atas ocehan Rosa.
Ternyata
lama aku dan Surya bicara tadi, Rosa sudah bangun dari tidurnya. Dia tak berani
mengganggu kesibukan diluar ruangan yang sebenarnya dia juga tak tahu apa yang
kita sibukan.
“Bagaimana
kerjaan dikantor Gas. Awal bulan gini banyak donk yang dikerjakan” –Rosa
memulai.
“Biasa
aja Ros, aku sudah agendakan akan meluangkan banyak waktu sampai kau sembuh
–terlihat Surya mengangkat kedua alisnya mendengar obrolanku dengan ibunya –tak
salah donk kalau aku ambil keputusan ini.”
Rosa
tertawa mendengar ucapanku. “Kau jangan banyak menggombal Gas, tuh Surya dari
tadi meringas meringis mendengar gombalanmu. Sini kau pijiti kakiku saja –Rosa
menghentakan kaki kirinya kearahku. Aku diam sejenak apa yang harus aku perbuat
–kok diem Gas. Ayoh cepet dipijat, dari tadi aku celungap celungup
manggil-manggil kalian tapi gak ada. Kaki ini sudah berat saja.”
Surya
memperhatikan aku terus. Dia pandangi aku saat memijat kaki ibunya. Sedangkan Rosa
hanya diam menikmati pijatanku sambil membaca buku yang dibawa dari rumah.
“Aku
pamit pulang dulu kerumah Mah. Nanti kisaran jam delapan malam akan kesini lagi
sekalian ngajak Ferdi dan Dhani. Mas Bagas, minta tolong jagain Mama dulu saat
aku pulang ya” –Surya berpamitan ke Rosa hendak pulang untuk suatu keperluan
dan menjemput kedua adiknya yang masih sekolah dan bimbingan belajar. Dari sini
aku jadi tahu. Ternyata nama dari anak Rosa yang lainya adalah Ferdi dan Dhani.
Nama lengkap mereka berdua aku tahu dari Rosa saat kita banyak bicara. Nama
keduanya diakhiri dengan nama keluarga, Ferdi Fernando Joko dan Dhani Fernando
Joko. Aku berfikir nama Fernando adalah nama dari suami Rosa, sedangkan Joko
aku tak tahu itu nama kepunyaan siapa, bisa jadi ayah Rosa. Namun kemungkinan
besarnya suami Rosa pasti bernama Fernando Joko. Lucu sekali ada bule Kanada
bernama belakang Joko, mungkin itu adalah alih-alihan suaminya Rosa saja agar
mudah dipanggil orang.
“Apakah
Surya kau sengaja suruh pulang saat aku datang Ros ?.” –tanyaku memulai
keheningan ruangan yang kita tinggali berdua.
“Sekalipun
aku tak menyuruhnya Gas. Surya memang akan pulang. Sebelum kau datang dia sudah
utarakan hal itu. Dari jam enam malam dia kan pergi ke warung-warung tenda
sekedar mengecek. Aku memiliki anak yang pantang menyerah dan pekerja keras
Gas. Betapa bahagianya aku menjadi ibu. Tentu kau akan merasakan hal itu kelak
saat kau menjadi ayah.” –pujianya untuk Surya memang pantas ia dapatkan. Aku
sudah menduga kalau Surya tipikal lelaki yang telaten dan tak kenal lelah.
Rosa
tiba-tiba tertawa senang. Dia berusaha mencoba bangkit dari tiduranya selama
aku pijati kakinya. Selimut putih halus dari Rumah Sakit yang sedari tadi
menutup ujung kaki sampai lehernya terotomatis jatuh dipangkuanya. Rosa memakai
daster warna biru, aku taksir itu adalah pakaian wajib yang dipakai oleh para
pasien Rumah Sakit ini. Terlihat terlalu besar ia kenakan. Daster lengan pendek
itu memperlihatkan lenganya yang putih bersih. BH warna merah yang ia kenakan
terlihat jelas olehku saat ia menggerakan lenganya membalikan halaman bukuyang
ia baca. Tapi tetap saja, daster itu memang tak cocok Rosa kenakan, dia
terlihat tua.
“Maafkan
aku Gas kalau kau tak nyaman –dan ia
meneruskan pembicaraanya –sejak aku dirawat belum sempat mandi. Kalau kau
mencium bau aneh Gas, pastilah itu bau badanku” –Rosa menyengir tertawa.
Terlihat barisan gigi kecil-kecil putihnya ia perlihatkan padaku. Wajahnya
nampak pucat. Namun kecantikan tak membohongi manusia yang melihatnya.
Tak
lebih dari sepersekian detik akupun menimpalinya.
“Pantas
saja aku dari tadi mencium aroma perasaan kangenya Ibu-ibu pada seorang lelaki
yang tak lebih dikenalnya seminggu ini” –aku ledek Rosa dengan celotehku. Ia
tertawa terbahak. Mulutnya terbuka lebar, giginya yang rapi berjajar itu nampak
indah.
“Kau
ini emang jago gombal ya Gas. Pantes aja kalau Iva takluk dalam rayuanmu.” –darahku
terasa tak mau mengalir keseluruh tubuh. Kenapa Rosa melayangkanpernyataan
seperti itu disaat aku merasa nyaman. Dan Rosa pun menikmati suasana yang
sedari tadi nyaman-nyaman saja.
“Tak
ada sangkut pautnya Ros.” –jawabku dengan ketus.
“Hahahaha,
kau ini kok baperan lho Gas. Apa salahnya kalau aku bicara seperti itu. Toh aku
juga sama seperti Iva. Korban rayuan dan gombalan mautmu Gas. Gas Bagas … Bagas
… Bagas … Gas … Bagas …” –Rosa malah dengan santainya nyeloteh seenaknya
memanggil-manggil namaku serasa bicaranya tadi tak membuatku tersinggung.
“Mengapa
kau suka memojokan aku dengan perkataanmu itu Ros. Apa salahku harus kau
sangkut pautkan dengan Iva. Yang ada disini kita berdua, kuharap kau fokus pada
kita saja. Tak usahlah kau membahasa yang lain.” –aku sempat naik pitam pada
Rosa. Tak sengaja obrolanku tadi juga mengeraskan pijitanku kekakinya. Rosa
hanya menyengir mengigit bibir bawahnya sembari melihat kea arah kaki yang
kupijit.
“Maaf
Ros. Tak sengaja aku memijatmu dengan keras seperti ini.” –sahutku meminta maaf
padanya.
Aku
selesaikan pijitanku tanpa perintahnya. Selimut dikakinya yang berantakan aku
rapikan agar tertutup rapi. Aku berdiri mengembalikan kursi keruang tamu
diseberang tempat tidur Rosa. Lama kami terdiam seperti ini, terlihat Rosa cuek
saja dengan hal ini. Ia baca lembar demi lembar buku yang dari tadi dia baca.
“Gass
… .” tegur Rosa sambil menaruh buku dipangkuanya. Dia terlihat melirik manja padaku. Selimutnya ia
buka, kakinya sudah berayun-rayun dipinggiran ranjang seperti hendak mau jalan.
Daster longgar yang ia kenakan mulai memperlihatkan bentuknya. Benar saja, dia
tak cocok mengenakan daster itu.
Aku
berdiri dan mentapnya, dia meringis melihatku.
Ingatan
pada perjumpaan pertama kami di perusahaan sebelum berangkat teringat kembali.
Begitu berwibawanya Rosa pada saat itu dengan stelan yang dia kenakan. Kenangan
itu membikin aku tersenyum sendiri. Malu dan lucu yang memberuyak dalam ingatan
ini. Akh kau ini Ros … Ros …, ibu-ibu tua yang tiba-tiba datang dalam hidupku.
Tiba-tiba baru kenal saja sudah berani memarahi dan menceramahiku. Kau ini
malaikat atau bidadari Ros …
Reading
Scene 04 on Cerita 04
Reading
Scene 05 on Cerita 05
Bersambung ke
Scene 07
No comments:
Post a Comment