Thursday, March 10, 2016

DIBALIK KEHIDUPAN PARA TANTE-TANTE

Scene 06

***

Sumber Ilustrasi Gambar : segiempat[dot]com


Sore harinya lepas pulang kerja aku langsung kerumah sakit menjenguk Rosa. Aku diterima Surya yang sekarang kelihatan lebih segar dan rapi, mungkin habis mandi. Kami ngobrol santai diruang tunggu. Memang aku tak sempat melihat keadaan Rosa. Aku taksir dia baik-baik saja.

“Tadi Pak Bagas pulang dari Rumah Sakit jam berapa ?, maaf Surya tak sempat mengantarkan Pak Bagas keparkiran dan mengucapkan terimakasih karena telah sudi membantu keluarga kita,” –aku fokus pada pembicaraan Surya. “Oh iya, apakah aku boleh memanggil Pak Bagas dengan Mas atau Om mungkin, biar lebih akrab saja.” –Surya meminta dengan santai tanpa terlihat ada rasa hinaan atau semacamnya padaku.

“Oh ya, barangtentu itu adalah tawaran yang sangat menarik. Kau dapat panggil aku Bagas saja, tanpa ada kata depan Mas ataupun Om. Bagaimana !!”

“Terimakasih telah baik pada Ibu dan keluarga kita Gas.” –tanpa dia bilang setuju atau tidak Surya langsung memanggilku Bagas saja. Aku fikir anak ini reaktif sekali, harusnya sebagai orang jawa dia wajib bilang terimakasih terlebih dahulu atas tawaranku. Tapi, … dia ini adalah anak peranakan. Salah apa dia jika aku gerutui tentang cara sopan santun orang jawa. Sial.

“Hanya ingin mengajukan pertanyaan saja Gas. Sekedar pertanyaan.”

“Oke, silahkan Surya bilang saja tanpa khawatir.”
“Moga-moga saja Bagas tak berperasangka buruk padaku atas pertanyaan-pertanyaan yang memang harus kau jawab.” –sepertinya Surya akan menghujani aku dengan pertanyan-pertanyaan yang telah ia siapkan semenjak aku datang ke rumahnya. Aku akan jawab, aku akan jawab dengan jujur dan tanpa berbasa-basi.

“Ya, moga-moga saja tidak menjadi benih permasalahan baru. Memang Surya hendak bertanya apa ?.”
Sebelum Surya bertanya memang sengaja aku berikan jawaban balik yang akan membatasi geraknya. Aku dengarkan ia dengan seksama, sungguh-sungguh dan aku tatap matanya tanpa kedip. Bisa aja anak Rosa ini gusar dengan tingkah anehku dalam memperhatikanya. Tapi aku tetap mencoba bersahabat dengan suasana yang kikuk ini.

Mendadak Surya memeggang pundak kananku. Terlihat rona matanya berseri seakan sudah memberikan jawaban tanpa perlu ia suarakan dan beritahukan padaku.

“Tolong beritahu aku bagimana Bagas dapat kenal akrab dengan ibu. Sebagai anak laki, terlebih aku juga anak tertua dikeluarga ini aku berhak tahu lelaki yang dekat dengan ibuku. Tanpa aku beritahu juga, Bagas pasti mengetahui kalau ibuku sudah menjanda lebih dari lima tahun.”

Aku tahu benar bagaimana perasaan Surya saat ini. Sebagai anak pertama dikeluarga ini, adalah wajar apabila ibu dan adik-adiknya adalah tanggung jawabnya. Aku jelaskan padanya awal mula aku diterima diperusahaan tersebut. Bagimana aku dapat kenal dengan Rosa, sampai dengan perjalanan karierku di perusahaan. Tentu aku tak jelaskan hubungan gelapku dengan Iva pada Surya. Hanya ibunya yang tahu, atau bisa jadi Rosa sudah menceritakanya ke Surya. Dan disini dia hanya mengetesku kejujuranku.

Aku selesai bercerita pada Surya, sampai pada suatu titik dia bilang  ”Sudah jangan diteruskan. Ingatkah Bagas dengan apa yang aku bicarakan saat kerumah ?. ibu tak mau aku bawa ke Rumah Sakit, yang dipanggil hanya nama anda terus. Itulah yang ingin aku tahu mengapa ibuku bersikap seperti itu, bukanya malah cerita perjalan karier anda. Maaf kalau aku tak menjelaskan maksut pertanyaanku secara detail sejak awal.”

Memang aku harus jawab dengan model jawaban seperti apa ke Surya. Aku mengenal Rosa tak lebih dari seminggu. Sedangkan aku dituntut menjawab mengapa Rosa berlaku aneh saat menderita kesakitan yang sampai detik ini tuhanpun tak meberitahuku.

“Bagimana Gas, apa aku berhak mendapatkan jawaban itu, aku harap perkenalan kita yang tak lebih dari lima menit ini akan tetap terjaga kebaikanya. Tentunya dengan kau menjawab hal ini. Kau harus ingat dan kau tahu, aku anak pertama dikeluarga ini dan aku anak lelaki.”        

Aku merasa hidupku selalu dianiaya dengan pertanyaan-pertanyaan yang mendesak dan menghujam. Entah apa yang Tuhan fikirkan tentangku. Namun anehnya lagi, aku selalu dapat mengatasi masalah-masalahku dengan tangkas tanpa ada efek berkepanjangan.

“Maafkan aku, apakah jawabanku tadi ada yang salah ?, aku tak tahu mengapa ibumu bertingkah seperti itu. Aku mengenal ibumu tak lebih dari seminggu. Memang aku bekerja diperusahaan yang sama dengan ibumu lebih dari tiga tahun, kita di divisi yang berbeda. Bukankah wajar kalau jawabanku seperti tadi. Anggap saja seminggu kemarin aku mulai kenal ibumu, bertugas bareng di Lamongan untuk project perusahaan. Iya, dari situlah aku mulai mengenal ibumu. Kalau kau menuntut padaku jawaban lebih, maaf aku tak dapat menjawab. Bukan karena apa, tapi memang inilah yang aku ketahui dan rasakan. Aku harap kau mengerti.”

“Tentu Gas, aku insyaf kalau pertanyaanku terlalu menyudutkanmu. Aku hanya berniat mengetahui seberapa jauh hubunganmu dengan ibuku. Karena memang tak ada lelaki lain disamping ibu setelah ayahku pergi. Laki-laki yang menaruh hati ke ibu akan berfikir seribu kali hanya untuk mencoba dekat, karena mereka tahu. Selain ibu memiliki paras yang cantik, keluarga kami dikenal baik dilingkungan dan memiliki banyak usaha lain diluar sana. Perempuan yang mereka dekati adalah janda banyak nilai jual.” –Ternyata yang mengagumi kecantikan Rosa bukanlah aku semata. Banyak lelaki lain diluar sana yang mencoba mendekati perempuan ini. Namun mereka tak sadar, selain kekayaan dan ketenaran yang dimiliki oleh keluarga ini. Ada lelaki yang siap mengintrogasi dengan pertanyaan berjenjang dan sistematis. Dialah Surya, Surya Joko Fernando.

“Aku telah melewati batasku Gas. Pertanyaan seperti hendaknya aku tanyakan pada calon suami ibuku. Tentunya kau akan berlaku seperti aku Gas jika posisimu sama denganku. Jadi, maafkanlah kelancanganku.”

“Oh iya, ayo kita masuk kedalam Gas. Mungkin ibu sudah bangun dari tidur sorenya” –kita berdua beranjak meninggalkan ruang tunggu yang sedari tadi ramai orang menunggui sanak keluarganya sakit.

Surya masuk terlebih dahulu. Aku sengaja belakangan karena ketoilet terlebih dulu. Selepas dari toilet aku bengong didepan kaca tolilet. Sedikit kurapikan rambut dan bajuku. Lucu memang, aku tersenyum sendiri melihat diriku gugup mau bertemu Rosa. Mungkin perasaan ini terbawa karena pertanyaan demi pertanyaan Surya yang masih membekas.

Aku masuk keruangan dimana Rosa dirawat. Terlihat disana hanya Rosa dan Surya. Tak terlihat dua adik dari Surya atau situkang kebun itu. Rosa melihatku dengan senyum yang dipaksakan. Terlihat lucu dan menggemaskan.

“Mengapa kau lama sekali Gas ?, sini duduk disampingku –Rosa memulai bicara denganku. Suaranya berat terpaksakan –tolong ambilkan kursi nak buat duduk abangmu.” Perintah Rosa pada Surya.

“Hari ini kau terlihat menarik, rupa-rupanya abang dan adik sudah akrab ya. Sampai-sampai lupa kalau ada yang sakit dan butuh perhatian.” –kita bertiga tertawa bersama atas ocehan Rosa.
Ternyata lama aku dan Surya bicara tadi, Rosa sudah bangun dari tidurnya. Dia tak berani mengganggu kesibukan diluar ruangan yang sebenarnya dia juga tak tahu apa yang kita sibukan.

“Bagaimana kerjaan dikantor Gas. Awal bulan gini banyak donk yang dikerjakan” –Rosa memulai.

“Biasa aja Ros, aku sudah agendakan akan meluangkan banyak waktu sampai kau sembuh –terlihat Surya mengangkat kedua alisnya mendengar obrolanku dengan ibunya –tak salah donk kalau aku ambil keputusan ini.”
Rosa tertawa mendengar ucapanku. “Kau jangan banyak menggombal Gas, tuh Surya dari tadi meringas meringis mendengar gombalanmu. Sini kau pijiti kakiku saja –Rosa menghentakan kaki kirinya kearahku. Aku diam sejenak apa yang harus aku perbuat –kok diem Gas. Ayoh cepet dipijat, dari tadi aku celungap celungup manggil-manggil kalian tapi gak ada. Kaki ini sudah berat saja.”

Surya memperhatikan aku terus. Dia pandangi aku saat memijat kaki ibunya. Sedangkan Rosa hanya diam menikmati pijatanku sambil membaca buku yang dibawa dari rumah.

“Aku pamit pulang dulu kerumah Mah. Nanti kisaran jam delapan malam akan kesini lagi sekalian ngajak Ferdi dan Dhani. Mas Bagas, minta tolong jagain Mama dulu saat aku pulang ya” –Surya berpamitan ke Rosa hendak pulang untuk suatu keperluan dan menjemput kedua adiknya yang masih sekolah dan bimbingan belajar. Dari sini aku jadi tahu. Ternyata nama dari anak Rosa yang lainya adalah Ferdi dan Dhani. Nama lengkap mereka berdua aku tahu dari Rosa saat kita banyak bicara. Nama keduanya diakhiri dengan nama keluarga, Ferdi Fernando Joko dan Dhani Fernando Joko. Aku berfikir nama Fernando adalah nama dari suami Rosa, sedangkan Joko aku tak tahu itu nama kepunyaan siapa, bisa jadi ayah Rosa. Namun kemungkinan besarnya suami Rosa pasti bernama Fernando Joko. Lucu sekali ada bule Kanada bernama belakang Joko, mungkin itu adalah alih-alihan suaminya Rosa saja agar mudah dipanggil orang.

“Apakah Surya kau sengaja suruh pulang saat aku datang Ros ?.” –tanyaku memulai keheningan ruangan yang kita tinggali berdua.

“Sekalipun aku tak menyuruhnya Gas. Surya memang akan pulang. Sebelum kau datang dia sudah utarakan hal itu. Dari jam enam malam dia kan pergi ke warung-warung tenda sekedar mengecek. Aku memiliki anak yang pantang menyerah dan pekerja keras Gas. Betapa bahagianya aku menjadi ibu. Tentu kau akan merasakan hal itu kelak saat kau menjadi ayah.” –pujianya untuk Surya memang pantas ia dapatkan. Aku sudah menduga kalau Surya tipikal lelaki yang telaten dan tak kenal lelah.

Rosa tiba-tiba tertawa senang. Dia berusaha mencoba bangkit dari tiduranya selama aku pijati kakinya. Selimut putih halus dari Rumah Sakit yang sedari tadi menutup ujung kaki sampai lehernya  terotomatis jatuh dipangkuanya. Rosa memakai daster warna biru, aku taksir itu adalah pakaian wajib yang dipakai oleh para pasien Rumah Sakit ini. Terlihat terlalu besar ia kenakan. Daster lengan pendek itu memperlihatkan lenganya yang putih bersih. BH warna merah yang ia kenakan terlihat jelas olehku saat ia menggerakan lenganya membalikan halaman bukuyang ia baca. Tapi tetap saja, daster itu memang tak cocok Rosa kenakan, dia terlihat tua.    

“Maafkan aku Gas kalau kau tak nyaman –dan  ia meneruskan pembicaraanya –sejak aku dirawat belum sempat mandi. Kalau kau mencium bau aneh Gas, pastilah itu bau badanku” –Rosa menyengir tertawa. Terlihat barisan gigi kecil-kecil putihnya ia perlihatkan padaku. Wajahnya nampak pucat. Namun kecantikan tak membohongi manusia yang melihatnya.

Tak lebih dari sepersekian detik akupun menimpalinya.

“Pantas saja aku dari tadi mencium aroma perasaan kangenya Ibu-ibu pada seorang lelaki yang tak lebih dikenalnya seminggu ini” –aku ledek Rosa dengan celotehku. Ia tertawa terbahak. Mulutnya terbuka lebar, giginya yang rapi berjajar itu nampak indah.

“Kau ini emang jago gombal ya Gas. Pantes aja kalau Iva takluk dalam rayuanmu.” –darahku terasa tak mau mengalir keseluruh tubuh. Kenapa Rosa melayangkanpernyataan seperti itu disaat aku merasa nyaman. Dan Rosa pun menikmati suasana yang sedari tadi nyaman-nyaman saja.

“Tak ada sangkut pautnya Ros.” –jawabku dengan ketus.

“Hahahaha, kau ini kok baperan lho Gas. Apa salahnya kalau aku bicara seperti itu. Toh aku juga sama seperti Iva. Korban rayuan dan gombalan mautmu Gas. Gas Bagas … Bagas … Bagas … Gas … Bagas …” –Rosa malah dengan santainya nyeloteh seenaknya memanggil-manggil namaku serasa bicaranya tadi tak membuatku tersinggung.

“Mengapa kau suka memojokan aku dengan perkataanmu itu Ros. Apa salahku harus kau sangkut pautkan dengan Iva. Yang ada disini kita berdua, kuharap kau fokus pada kita saja. Tak usahlah kau membahasa yang lain.” –aku sempat naik pitam pada Rosa. Tak sengaja obrolanku tadi juga mengeraskan pijitanku kekakinya. Rosa hanya menyengir mengigit bibir bawahnya sembari melihat kea arah kaki yang kupijit.

“Maaf Ros. Tak sengaja aku memijatmu dengan keras seperti ini.” –sahutku meminta maaf padanya.
Aku selesaikan pijitanku tanpa perintahnya. Selimut dikakinya yang berantakan aku rapikan agar tertutup rapi. Aku berdiri mengembalikan kursi keruang tamu diseberang tempat tidur Rosa. Lama kami terdiam seperti ini, terlihat Rosa cuek saja dengan hal ini. Ia baca lembar demi lembar buku yang dari tadi dia baca.

“Gass … .” tegur Rosa sambil menaruh buku dipangkuanya. Dia  terlihat melirik manja padaku. Selimutnya ia buka, kakinya sudah berayun-rayun dipinggiran ranjang seperti hendak mau jalan. Daster longgar yang ia kenakan mulai memperlihatkan bentuknya. Benar saja, dia tak cocok mengenakan daster itu.

Aku berdiri dan mentapnya, dia meringis melihatku.
Ingatan pada perjumpaan pertama kami di perusahaan sebelum berangkat teringat kembali. Begitu berwibawanya Rosa pada saat itu dengan stelan yang dia kenakan. Kenangan itu membikin aku tersenyum sendiri. Malu dan lucu yang memberuyak dalam ingatan ini. Akh kau ini Ros … Ros …, ibu-ibu tua yang tiba-tiba datang dalam hidupku. Tiba-tiba baru kenal saja sudah berani memarahi dan menceramahiku. Kau ini malaikat atau bidadari Ros …

Reading Scene 04 on Cerita 04
Reading Scene 05 on Cerita 05


Bersambung ke Scene 07

No comments:

Post a Comment