DIBALIK KEHIDUPAN PARA TANTE-TANTE
*Ali Ahsan
Al-Haris
Sumber Ilustrasi Gambar : segiempat[dot]com |
Scene 05
“Bagaimana pak Bagas bisa sedekat ini dengan
ibu,” tanya Surya.
“Barangkali kita bisa bicara dari hati ke hati
yang lebih bersifat pribadi pak ?”
“Kalau memang ada waktu pasti akan kusanggupi
permintaanmu, yang lebih penting adalah sekarang Rosa harus dibawah ke Rumah
Sakit agar kondisinya tidak semakin parah” –tangkasku pada Surya dengan tetap
memandangi wajah Rosa yang pucat pasi.
Kita pergi meninggalkan rumah Rosa menuju
Rumah Sakit yang berada dipusat kota, tak jauh dari Rumah Rosa.
Aku sebagai laki-laki, sebagai seorang yang
memang sedari tadi ditunggu oleh keluarga ini hanya dapat tertunduk lesu dalam
jalanya mobil yang dikemudikan oleh Giman. Termenung memikirkan ajakan Surya
untuk bicara dari hati ke hati “Apa yang anak ini ingin sampaikan padaku ?”,
fikirku dinihari itu.
Sesampai di Rumah Sakit, Surya dan adiknya
langsung mengurus administrasi ke pelayanan untuk disegerakan Ibunya di rawat
inap. Aku amati saja diruang tunggu, aku lebih memilih menunggu Giman saja.
Entah kenapa tiba-tiba jiwa humanismeku hilang, aku rasai diriku orang asing
dikeluarga ini. Sifat sungkan sebagai orang jawa pada orang yang baru dikenal
memang aku terapkan langsung atau bahkan ini memang sengaja menjadi pengalihan
pembenaranku semata.
Aku tak sempat bertemu Rosa sampai subuh
mencumbui, memang sementara ini Rosa berada di ruang ICU dimana yang boleh
masuk hanya beberapa orang saja. Selepas shalat subuh aku pamit pulang ke Giman
yang tidur diruang tunggu denganku. Niatku memang ingin berpamitan ke Surya, saat
aku hendak masuk keruang Rosa dirawat, terlihat Surya masih tertidur disamping
kaki ibunya, perempuan penuh misteri yang baru saja aku kenal.
***
Terlebih dahulu aku lapor ke bagian
kepegawaian di kantor, selain memberikan oleh-oleh pada beberapa orang disana
juga melobi kalau besok-besok lagi aku takberangkat ditulis saja sedang ada
dinas diluar kota. Aku merasa dengan sakitnya Rosa akan menyita waktuku untuk
kantor, rumah dan Rosa. Aku berniat untuk memberikan separuh waktuku untuknya.
Saat istirahat aku raih handphoneku untuk
sekedar bertanya bagaimana kabar Rosa. Kucari nomornya, aku telfon sebanyak dua
kali namun tak ada jawaban. “Betapa bodohnya aku, mengapa aku tadi malam tak
meminta nomor Giman atau Surya”, -pekiku pada diri sendiri karena menyadari
kenaifanku.
Saat aku mencoba telfon Rosa lagi, terdengar
ada bunyi “clung … clung … clung” dari handphoneku, saat aku lihat ternyata ada
nomor baru mengantri panggilan tunggu dariku. “Mungkin Rosa sedang tertidur”,
-fikirku menyemangati diri sendiri, semoga saja Rosa baik-baik saja.
Aku berjalan berniat membeli kopi dan sekedar
merokok di kantin kantor. Sesampai dikantin, aku pilih stand paling pojok
langgananku yang telah biasa mengenalku pesan apa saat telunjuk tanganku hanya
mengacung keatas. Aku pilih deretan kursi disebelah tempat charger handphone.
Aku rogoh rokok dari saku celanaku, bersamaan dengan itu dering handphone
berbuyi lagi. “Aku harap Rosa menghubungiku kembali !!”, ternyata dugaanku
salah. Yang menghubungiku adalah nomor yang menjadi panggilan tunggu saat aku
mencoba menghubungi Rosa.
“Yaa selamat siang”, -sautku saat mengangkat
handphone.
“Halooo Gass, lagi dimana nich ?”, -dercik
suaranya telah lama aku kenal.
“Gak usah diem Gas, gak perlu difikir ini
nomor siapa. Yang jelas ini aku Gas. Hayuuk kita ketemuan dulu, mumpung lagi
jam istirahat Gas. Aku sudah ditempat biasa Gas”.
Jelas, jelas sekali ini adalah suara istri
dari Owner perusahaan yang aku tempati. Secepatnya aku tinggalkan kantor
menemui Bu Iva. Aku perhatikan pesanan kopiku juga belum datang, terserah saja
kopiku biar diminum orang lain. Bergegas aku percepat jalanku menuju tempat
stempel yang hanyalah kedok bagi kita berdua untuk bertemu. Sebenarnya tempat
yang aku tuju adalah kantor gudang. Kode tempat stempel hanyalah anekdot bagi
kita berdua saat bicara dikeramainan atau lewat telfon.
Sesampai gudang aku langsung masuk ke ruangan
yang berada di samping pintu masuk, meski Bu Iva adalah istri dari pemilik
perusahaan. Bukan berarti dengan otomatis dia akan mendapat jabatan yang
strategis diperusahaan. Ini adalah salah satu yang aku kagumi dari system
manajemen dari perusahaan yang aku
tempati.
Aku ketuk terlebih dahulu pintu ruangan
satu-satunya dalam gudang perusahaan ini. “Masuk aja Gas, kagak dikunci kok”
–praktis aku putar kenop pintu berwarna keemasan dengan santai.
“Cepet banget Gas nyampai sini, aku aja belum
sempet dandan” –tawanya tanpa mempersilahkan aku duduk terlebih dahulu.
Terlihat ragu ia bangkit dari kursi, terlihat masih sibuk memainkan handphone
yang dia peggang.
“Siang Bu Iva, bagaimana kabar hari ini ?”,
-aku memulai. Aku ulurkan tanganku untuk menyalaminya.
Bu Iva beranjak berdiri menyambut ajakanku
untuk bersalaman. Aku rasakan entah kenapa tanganku dengan Bu Iva serasa ada aliran aneh
yang masuk mencecas ke dalam sumsum otak ini. Ohhh … ini perasaan apa, mengapa
menjadi tiba-tiba ada perasaan gejolak yang sulit untuk diterangkan. Tiba-tiba
“Kau ini Gas, masih saja memanggil Bu Iva, sudah lupa ya dengan nama samara
kita berdua”, -masih tanganya menggegam tangaku, Bu Iva mulai mengawali
pembicaraan sambil menatap tajam bola mataku.
“Mana ada kita pernah bersepakat untuk memakai
nama samaran”, -saat aku bicara hal ini, tiba-tiba fikiranku teringat Rosa yang
sekarang terkulai sakit. Kesepakatan hanya memanggil nama panggilan pernah aku
buat dengan Rosa saat perjalanan dinas ke Lamongan dulu, namun kini kembali terngiang
dalam otaku saat Bu Iva bicara naman samaran. “Jangan-jangan Bu Iva sudah
mengetahui hubunganku dengan Rosa”, -terasa kesimpulan dangkalku ini semakin
benar saja, semakin gila saja aku. Apa ini karena efek kurang tidurku yang tak
kurang dari empat jam.
Kiranya ada lebih dari enam detik tangaku
masih dalam genggaman Bu Iva. “Aku sudah kangen sama kamu Gas, kenapa kemarin
cuti tak kau kabari aku terlebih dahulu”
“Maaf Bu. Aku tak sempat memberi kabar kalau
sedang cuti. Yang jelas sekarang aku ada didepanmu, dan tak perlu kau risaukan
akan keadaanku” –jawabanku pada Bu Iva sambil mencoba memaksa melepas genggaman
tangaku padanya.
Perempuan yang ada didepanku ini tepat seperti
apa yang Rosa bicarakan padaku saat kita berdua dinas di Lamongan. Seorang
istri pemilik perusahaan, terbilang masih muda. Menurutku beda empat sampai
enam tahun dari Rosa. Memiliki paras wajah yang manis, agak lonjong, betis dan
jenjang kakinya bersih putih dengan dada yang akan membuat laki-laki bergedik
saat melihatnya.
“Bu Iva, apa kau hendak mengatakan sesuatu
padaku?” –aku cari sandaran yang nyaman saat aku mulai bicara pada Bu Iva.
Terlihat dia masih memandangingku dengan sorot mata penilaian, entah apa yang
ia fikirkan.
“Berilah aku yang tak dapat diberikan suamiku
padaku Gas. Berilah aku benihmu.” –sontak darahku terasa deras sekali mengalir naik
turun dari jantung ke otak.”
“Bu … bu … Ivaaa ….”
“Apakah sampai hati kau tak mau menolongku
Gas. Suamiku terlalu sibuk dengan pekerjaanya, aku terlalu diabaikan. Jangan
salahkan aku jika aku harus mencari laki-laki lain untuk sekedar memenuhi
hasratku”
“Ibu tak perlu curhat panjang lebar denganku
karena masalah suami mau memberi jatah atau tidak itu urusan Ibu dengan suami.
Tapi mestikah jalan ini yang harus kita tempuh ?”.
“Ini juga tanggung jawab kamu Gas. Kau telah
tiduri aku, kau telah menikmati tubuhku, kau telah buat aku tak dapat lepas
dari aroma tubuhmu. Munafik kau Gas kalau aku bicara hal ini kau indakan”
–tiba-tiba saja perempuan ini menyerangku dengan sekejap kalimat.
“Biar aku keluar dari ruangan ini”
Bu Iva malah melompat menerjangku, posisinya
sekarang tepat diatas pangkuanku. Kursi yang sedari tadi aku duduki serasa
penuh menopang tubuh kita berdua. Wajahnya yang sekarang penuh dengan keringat
tepat beberapa centimeter menyentuh wajahku yang gugup tak kuasa menahan antara
ketakutan dan nafsu yang menggebu.
“Mengapa harus aku Va ? –aku sudah mulai tak
memanggil dia dengan sopan – “bukankah diperusahaan ini masih ada laki-laki
yang lebih ganteng dan siap melayani kau kapan saja seenakmu.”
“Aku lebih memilih mati daripada seumur
hidupku menanggung malu. Kau boleh bunuh aku sekarang juga. Atau aku bunuh
diriku sendiri. Apalah bedanya jika sama-sama mati”. Terdengar jelas nafas Iva
pendek-pendek, megap-megap, wajahnya pucat dan pegangan lenganya pada leherku
yang sedari tadi mencekramku untuk memaksa dipertemukanya bibirku dengan
bibirnya terhenti sejenak. Keringatnya nampak membasahi dahi dan mukanya. Titik
keringatnya itu mulai jatuh turun menyusuri leher menuju bongkahan dadanya yang
menempel pada dadaku.
“Tolong Va, jangan berlaku seperti ini. Apa
kata orang nanti ?”
“Hanya kaulah yang dapat menyebabkan orang
tahu tentang kelakuan kita dibalik semua ini”.
Aku goncang-goncangkan bahunya yang setengah
aku peluk.
“Ingat, Va, sepertinya cukup hubungan kita
sampai detik ini jika maumu senekat ini”
“Aku telah pertimbangkan dengan waras Va,
aku mengehentikan hubungan ini hanya
karenamu,” ia tatap aku dengan mata berkaca-kaca. “Dulu aku memang budak
seksmu, namun detik ini aku hanya mengenalmu dengan nama sebatas teman. Aku
rasa itu lebih baik”
“Kau telah mengusirku Gas, kau sama saja
mengirimku ke kuburan untuk aku gali sendiri dan hidup di dalamnya”
“Tolonglah Gas, apakah kau tak
mempertimbangkan kembali apa yang baru saja kau ucapkan itu ?”
“Kalau kau keluar dari pintu kantor gudang
ini, meninggalkan tubuhku, kau sama menghinakan aku Gas”, tanganya tetap
memegangi leherku. Matanya berkaca-kaca ketakutan dan tegang.
Dalam bayanganku muncul sosok Owner perusahaan
yang aku tempati, Bos yang selama ini memberikan aku gaji, suami dari perempuan
yang sekarang berada diatas pangkuanku yang memang tak kuasa aku tolak.
Terlebih lagi adalah Rosa, ya. Kenangan cercaan Rosa tentang perilakuku yang
rela menjadi budak seks Iva demi karier panjang dan jabatan. Dan selarang aku
mulai merasakan getahnya, Iva tak mau meninggalkanku. Akupun harus bertanggung
jawab dan menanggung malu jika Iva sampai hati mengadukan perilakuku pada
suaminya, Bosku sendiri. Namun apa daya, yang ada didepanku ini, perempuan yang
ada dipangkuanku adalah sejarah pendek yang pernah memberikan aku jabatan
Kepala Bagian pemasaran.
“Kau serius Gas.”
“Ya, aku serius Va,” Jawabku
“Aku sangat takut Gas,” Katanya
“Kau tidak takut Va, namun kau menakutkan.”
“Kau tak hargai keterbukaanku. Aku percaya kau
tak bermaksud menghinaku seperti ini Gas.”
“Sungguh, Va. Aku tak pernah berniat menghina
orang yang telah baik padaku, terlebih kau.”
Iva memeleku dengan erat pada tubuhku,
mengigil menahan ketakutanya sendiri pada penghinaan yang mungkin tiba. Desau
nafasnya megap-megap menulikan telingaku.
“Gas … Bagasku sayang … Aku telah mencintaimu
dengan sangat amat. Jangan pernah kau berfikir apalagi berkata bahwa aku adalah
wanita jalang yang murahan. Jauh dari itu Gas. Apa aku hina dimatamu ?”
“Sudahlah Va, sampai kapan kau berada
dipangkuanku? Tidak sekalipun aku pernah berfikir seperti yang kau bicarakan
tadi. Kau justru orang yang berani Va.”
“Aku ingin kau jawab jujur Gas. Jawabanmu
ragu-ragu, aku dapat merasakan keraguanmu lewat detak jantungmu yang terasa di
dadaku. Kau ragu menjawabnya Gas. Seperti aku perempuan tanpa kehormatan saja.”
Dalam rasa lelahku sedari tadi memangkunya.
Hampi-hampir saja aku ceritakan pada Iva kalau aku ingin berusaha kembali
kejalan yang benar dengan tidak menjadi budak seksnya, tapi tak jadi. Kemudian
aku mencoba mengalihkan padanya cerita alasanku kemarin ambil cuti kerja. Namun
apa daya, imajinasi cerita itu serasa malas hinggap ke otaku. Aku coba
menariknya, mengajaknya untuk duduk di kursi sebelahku. Namun yang ada dia
malah semakin mengencangkan peganganya keleherku.
“Jangan sekali-kali kau paksa aku untuk
melepaskan pelukan ini Gas. Aku merasa ini adalah benar, aku akan memelekmu
untuk terakhir kali.”
Dalam hatiku, sampai kapan aku harus
berhadapan dengan masalah lika-liku kehidupan yang mengerayangi berliku mengahantui
alam sadar ini: hasrat dasar badani manusia hanya dapat difahami oleh manusia
yang sedang megalami hal itu sendiri. Dia datang dengan sangat cepat, menggebu-gebu,
menusuk-nusuk otak berbisik untuk segera kau ladeni. Itulah nafsu manusia. Aku
lirik terus mata Iva yang berkaca-kaca menunduk … “Iva … va …” aku tak dapat
meneruskan kata-kataku.
Read Scene
01 on Scene 01
Read Scene
02 on Scene 02
Read Scene
03 on Scene 03
Read Scene
04 on Scene 04
Bersambung
to scene 06
No comments:
Post a Comment