Wednesday, March 9, 2016

DIBALIK KEHIDUPAN PARA TANTE-TANTE

DIBALIK KEHIDUPAN PARA TANTE-TANTE


*Ali Ahsan Al-Haris

Sumber Ilustrasi Gambar : segiempat[dot]com


Scene 05

“Bagaimana pak Bagas bisa sedekat ini dengan ibu,” tanya Surya.

“Barangkali kita bisa bicara dari hati ke hati yang lebih bersifat pribadi pak ?”

“Kalau memang ada waktu pasti akan kusanggupi permintaanmu, yang lebih penting adalah sekarang Rosa harus dibawah ke Rumah Sakit agar kondisinya tidak semakin parah” –tangkasku pada Surya dengan tetap memandangi wajah Rosa yang pucat pasi.

Kita pergi meninggalkan rumah Rosa menuju Rumah Sakit yang berada dipusat kota, tak jauh dari Rumah Rosa.

Aku sebagai laki-laki, sebagai seorang yang memang sedari tadi ditunggu oleh keluarga ini hanya dapat tertunduk lesu dalam jalanya mobil yang dikemudikan oleh Giman. Termenung memikirkan ajakan Surya untuk bicara dari hati ke hati “Apa yang anak ini ingin sampaikan padaku ?”, fikirku dinihari itu.

Sesampai di Rumah Sakit, Surya dan adiknya langsung mengurus administrasi ke pelayanan untuk disegerakan Ibunya di rawat inap. Aku amati saja diruang tunggu, aku lebih memilih menunggu Giman saja. Entah kenapa tiba-tiba jiwa humanismeku hilang, aku rasai diriku orang asing dikeluarga ini. Sifat sungkan sebagai orang jawa pada orang yang baru dikenal memang aku terapkan langsung atau bahkan ini memang sengaja menjadi pengalihan pembenaranku semata.

Aku tak sempat bertemu Rosa sampai subuh mencumbui, memang sementara ini Rosa berada di ruang ICU dimana yang boleh masuk hanya beberapa orang saja. Selepas shalat subuh aku pamit pulang ke Giman yang tidur diruang tunggu denganku. Niatku memang ingin berpamitan ke Surya, saat aku hendak masuk keruang Rosa dirawat, terlihat Surya masih tertidur disamping kaki ibunya, perempuan penuh misteri yang baru saja aku kenal.

***

Terlebih dahulu aku lapor ke bagian kepegawaian di kantor, selain memberikan oleh-oleh pada beberapa orang disana juga melobi kalau besok-besok lagi aku takberangkat ditulis saja sedang ada dinas diluar kota. Aku merasa dengan sakitnya Rosa akan menyita waktuku untuk kantor, rumah dan Rosa. Aku berniat untuk memberikan separuh waktuku untuknya.

Saat istirahat aku raih handphoneku untuk sekedar bertanya bagaimana kabar Rosa. Kucari nomornya, aku telfon sebanyak dua kali namun tak ada jawaban. “Betapa bodohnya aku, mengapa aku tadi malam tak meminta nomor Giman atau Surya”, -pekiku pada diri sendiri karena menyadari kenaifanku.

Saat aku mencoba telfon Rosa lagi, terdengar ada bunyi “clung … clung … clung” dari handphoneku, saat aku lihat ternyata ada nomor baru mengantri panggilan tunggu dariku. “Mungkin Rosa sedang tertidur”, -fikirku menyemangati diri sendiri, semoga saja Rosa baik-baik saja.

Aku berjalan berniat membeli kopi dan sekedar merokok di kantin kantor. Sesampai dikantin, aku pilih stand paling pojok langgananku yang telah biasa mengenalku pesan apa saat telunjuk tanganku hanya mengacung keatas. Aku pilih deretan kursi disebelah tempat charger handphone. Aku rogoh rokok dari saku celanaku, bersamaan dengan itu dering handphone berbuyi lagi. “Aku harap Rosa menghubungiku kembali !!”, ternyata dugaanku salah. Yang menghubungiku adalah nomor yang menjadi panggilan tunggu saat aku mencoba menghubungi Rosa.

“Yaa selamat siang”, -sautku saat mengangkat handphone.

“Halooo Gass, lagi dimana nich ?”, -dercik suaranya telah lama aku kenal.

“Gak usah diem Gas, gak perlu difikir ini nomor siapa. Yang jelas ini aku Gas. Hayuuk kita ketemuan dulu, mumpung lagi jam istirahat Gas. Aku sudah ditempat biasa Gas”.
Jelas, jelas sekali ini adalah suara istri dari Owner perusahaan yang aku tempati. Secepatnya aku tinggalkan kantor menemui Bu Iva. Aku perhatikan pesanan kopiku juga belum datang, terserah saja kopiku biar diminum orang lain. Bergegas aku percepat jalanku menuju tempat stempel yang hanyalah kedok bagi kita berdua untuk bertemu. Sebenarnya tempat yang aku tuju adalah kantor gudang. Kode tempat stempel hanyalah anekdot bagi kita berdua saat bicara dikeramainan atau lewat telfon.

Sesampai gudang aku langsung masuk ke ruangan yang berada di samping pintu masuk, meski Bu Iva adalah istri dari pemilik perusahaan. Bukan berarti dengan otomatis dia akan mendapat jabatan yang strategis diperusahaan. Ini adalah salah satu yang aku kagumi dari system manajemen dari perusahaan  yang aku tempati.

Aku ketuk terlebih dahulu pintu ruangan satu-satunya dalam gudang perusahaan ini. “Masuk aja Gas, kagak dikunci kok” –praktis aku putar kenop pintu berwarna keemasan dengan santai.

“Cepet banget Gas nyampai sini, aku aja belum sempet dandan” –tawanya tanpa mempersilahkan aku duduk terlebih dahulu. Terlihat ragu ia bangkit dari kursi, terlihat masih sibuk memainkan handphone yang dia peggang.

“Siang Bu Iva, bagaimana kabar hari ini ?”, -aku memulai. Aku ulurkan tanganku untuk menyalaminya.
Bu Iva beranjak berdiri menyambut ajakanku untuk bersalaman. Aku rasakan entah kenapa  tanganku dengan Bu Iva serasa ada aliran aneh yang masuk mencecas ke dalam sumsum otak ini. Ohhh … ini perasaan apa, mengapa menjadi tiba-tiba ada perasaan gejolak yang sulit untuk diterangkan. Tiba-tiba “Kau ini Gas, masih saja memanggil Bu Iva, sudah lupa ya dengan nama samara kita berdua”, -masih tanganya menggegam tangaku, Bu Iva mulai mengawali pembicaraan sambil menatap tajam bola mataku.

“Mana ada kita pernah bersepakat untuk memakai nama samaran”, -saat aku bicara hal ini, tiba-tiba fikiranku teringat Rosa yang sekarang terkulai sakit. Kesepakatan hanya memanggil nama panggilan pernah aku buat dengan Rosa saat perjalanan dinas ke Lamongan dulu, namun kini kembali terngiang dalam otaku saat Bu Iva bicara naman samaran. “Jangan-jangan Bu Iva sudah mengetahui hubunganku dengan Rosa”, -terasa kesimpulan dangkalku ini semakin benar saja, semakin gila saja aku. Apa ini karena efek kurang tidurku yang tak kurang dari empat jam.

Kiranya ada lebih dari enam detik tangaku masih dalam genggaman Bu Iva. “Aku sudah kangen sama kamu Gas, kenapa kemarin cuti tak kau kabari aku terlebih dahulu”

“Maaf Bu. Aku tak sempat memberi kabar kalau sedang cuti. Yang jelas sekarang aku ada didepanmu, dan tak perlu kau risaukan akan keadaanku” –jawabanku pada Bu Iva sambil mencoba memaksa melepas genggaman tangaku padanya.

Perempuan yang ada didepanku ini tepat seperti apa yang Rosa bicarakan padaku saat kita berdua dinas di Lamongan. Seorang istri pemilik perusahaan, terbilang masih muda. Menurutku beda empat sampai enam tahun dari Rosa. Memiliki paras wajah yang manis, agak lonjong, betis dan jenjang kakinya bersih putih dengan dada yang akan membuat laki-laki bergedik saat melihatnya.

“Bu Iva, apa kau hendak mengatakan sesuatu padaku?” –aku cari sandaran yang nyaman saat aku mulai bicara pada Bu Iva. Terlihat dia masih memandangingku dengan sorot mata penilaian, entah apa yang ia fikirkan.

“Berilah aku yang tak dapat diberikan suamiku padaku Gas. Berilah aku benihmu.” –sontak darahku terasa deras sekali mengalir naik turun dari jantung ke otak.”

“Bu … bu … Ivaaa ….”

“Apakah sampai hati kau tak mau menolongku Gas. Suamiku terlalu sibuk dengan pekerjaanya, aku terlalu diabaikan. Jangan salahkan aku jika aku harus mencari laki-laki lain untuk sekedar memenuhi hasratku”

“Ibu tak perlu curhat panjang lebar denganku karena masalah suami mau memberi jatah atau tidak itu urusan Ibu dengan suami. Tapi mestikah jalan ini yang harus kita tempuh ?”.

“Ini juga tanggung jawab kamu Gas. Kau telah tiduri aku, kau telah menikmati tubuhku, kau telah buat aku tak dapat lepas dari aroma tubuhmu. Munafik kau Gas kalau aku bicara hal ini kau indakan” –tiba-tiba saja perempuan ini menyerangku dengan sekejap kalimat.

“Biar aku keluar dari ruangan ini”
Bu Iva malah melompat menerjangku, posisinya sekarang tepat diatas pangkuanku. Kursi yang sedari tadi aku duduki serasa penuh menopang tubuh kita berdua. Wajahnya yang sekarang penuh dengan keringat tepat beberapa centimeter menyentuh wajahku yang gugup tak kuasa menahan antara ketakutan dan nafsu yang menggebu.

“Mengapa harus aku Va ? –aku sudah mulai tak memanggil dia dengan sopan – “bukankah diperusahaan ini masih ada laki-laki yang lebih ganteng dan siap melayani kau kapan saja seenakmu.”

“Aku lebih memilih mati daripada seumur hidupku menanggung malu. Kau boleh bunuh aku sekarang juga. Atau aku bunuh diriku sendiri. Apalah bedanya jika sama-sama mati”. Terdengar jelas nafas Iva pendek-pendek, megap-megap, wajahnya pucat dan pegangan lenganya pada leherku yang sedari tadi mencekramku untuk memaksa dipertemukanya bibirku dengan bibirnya terhenti sejenak. Keringatnya nampak membasahi dahi dan mukanya. Titik keringatnya itu mulai jatuh turun menyusuri leher menuju bongkahan dadanya yang menempel pada dadaku.

“Tolong Va, jangan berlaku seperti ini. Apa kata orang nanti ?”

“Hanya kaulah yang dapat menyebabkan orang tahu tentang kelakuan kita dibalik semua ini”.
Aku goncang-goncangkan bahunya yang setengah aku peluk.

“Ingat, Va, sepertinya cukup hubungan kita sampai detik ini jika maumu senekat ini”
“Aku telah pertimbangkan dengan waras Va, aku  mengehentikan hubungan ini hanya karenamu,” ia tatap aku dengan mata berkaca-kaca. “Dulu aku memang budak seksmu, namun detik ini aku hanya mengenalmu dengan nama sebatas teman. Aku rasa itu lebih baik”

“Kau telah mengusirku Gas, kau sama saja mengirimku ke kuburan untuk aku gali sendiri dan hidup di dalamnya”

“Tolonglah Gas, apakah kau tak mempertimbangkan kembali apa yang baru saja kau ucapkan itu ?”
“Kalau kau keluar dari pintu kantor gudang ini, meninggalkan tubuhku, kau sama menghinakan aku Gas”, tanganya tetap memegangi leherku. Matanya berkaca-kaca ketakutan dan tegang.

Dalam bayanganku muncul sosok Owner perusahaan yang aku tempati, Bos yang selama ini memberikan aku gaji, suami dari perempuan yang sekarang berada diatas pangkuanku yang memang tak kuasa aku tolak. Terlebih lagi adalah Rosa, ya. Kenangan cercaan Rosa tentang perilakuku yang rela menjadi budak seks Iva demi karier panjang dan jabatan. Dan selarang aku mulai merasakan getahnya, Iva tak mau meninggalkanku. Akupun harus bertanggung jawab dan menanggung malu jika Iva sampai hati mengadukan perilakuku pada suaminya, Bosku sendiri. Namun apa daya, yang ada didepanku ini, perempuan yang ada dipangkuanku adalah sejarah pendek yang pernah memberikan aku jabatan Kepala Bagian pemasaran.

“Kau serius Gas.”

“Ya, aku serius Va,” Jawabku

“Aku sangat takut Gas,” Katanya

“Kau tidak takut Va, namun kau menakutkan.”

“Kau tak hargai keterbukaanku. Aku percaya kau tak bermaksud menghinaku seperti ini Gas.”

“Sungguh, Va. Aku tak pernah berniat menghina orang yang telah baik padaku, terlebih kau.”
Iva memeleku dengan erat pada tubuhku, mengigil menahan ketakutanya sendiri pada penghinaan yang mungkin tiba. Desau nafasnya megap-megap menulikan telingaku.

“Gas … Bagasku sayang … Aku telah mencintaimu dengan sangat amat. Jangan pernah kau berfikir apalagi berkata bahwa aku adalah wanita jalang yang murahan. Jauh dari itu Gas. Apa aku hina dimatamu ?”

“Sudahlah Va, sampai kapan kau berada dipangkuanku? Tidak sekalipun aku pernah berfikir seperti yang kau bicarakan tadi. Kau justru orang yang berani Va.”

“Aku ingin kau jawab jujur Gas. Jawabanmu ragu-ragu, aku dapat merasakan keraguanmu lewat detak jantungmu yang terasa di dadaku. Kau ragu menjawabnya Gas. Seperti aku perempuan tanpa kehormatan saja.”

Dalam rasa lelahku sedari tadi memangkunya. Hampi-hampir saja aku ceritakan pada Iva kalau aku ingin berusaha kembali kejalan yang benar dengan tidak menjadi budak seksnya, tapi tak jadi. Kemudian aku mencoba mengalihkan padanya cerita alasanku kemarin ambil cuti kerja. Namun apa daya, imajinasi cerita itu serasa malas hinggap ke otaku. Aku coba menariknya, mengajaknya untuk duduk di kursi sebelahku. Namun yang ada dia malah semakin mengencangkan peganganya keleherku.

“Jangan sekali-kali kau paksa aku untuk melepaskan pelukan ini Gas. Aku merasa ini adalah benar, aku akan memelekmu untuk terakhir kali.”

Dalam hatiku, sampai kapan aku harus berhadapan dengan masalah lika-liku kehidupan yang mengerayangi berliku mengahantui alam sadar ini: hasrat dasar badani manusia hanya dapat difahami oleh manusia yang sedang megalami hal itu sendiri. Dia datang dengan sangat cepat, menggebu-gebu, menusuk-nusuk otak berbisik untuk segera kau ladeni. Itulah nafsu manusia. Aku lirik terus mata Iva yang berkaca-kaca menunduk … “Iva … va …” aku tak dapat meneruskan kata-kataku. 
Read Scene 01 on Scene 01
Read Scene 02 on Scene 02
Read Scene 03 on Scene 03
Read Scene 04 on Scene 04
Bersambung to scene 06




No comments:

Post a Comment