Friday, March 4, 2016

DIBALIK KEHIDUPAN PARA TANTE-TANTE (Scene 04)

DIBALIK KEHIDUPAN PARA TANTE-TANTE


*Ali Ahsan Al-Haris

-Sebuah ontologi pencarian jatidiri seorang anak bangsa, dikucilkan oleh bangsanya sendiri, dikucilkan oleh manusia sesama bangsanya yang katanya peri kemanusian dan peri keadilan. Sebuah cara pandang berbeda namun beresensi sama dalam menanggapi maraknya kasus LGBT Lesbian, Gay, Bisexsual dan Transgender. 

PERHATIAN !!!
Penulis mohon maaf dengan amat sangat besar jika ada nama, lokasi, setting kejadian yang hampir sama atau menyinggung kepada pembaca. Karena penulis menganggap sebuah tulisan adalah salah satu jalan bagi umat manusia untuk menyampaikan sebuah pesan moral menuju kebaikan.
Bacalah dengan bijak. Salam hangat dari saya, teruslah membaca dan menulis.

Sumber Ilustrasi Gambar : segiempat(dot)com


Scene 04
Pengalaman kemarin takan terlupakan dalam hidupku. Malam penghakiman moral yang dipimpin langsung oleh Rosa serasa sukses untuk aku mengakui kelakuanku selama ini pada orang yang aku kenal tak lebih dari dua hari.

***

Aktifitas kantor kembali seperti biasa, awal weekday aku ambil cuti untuk pulang kerumah mengurus administrasi perizinan tempat tinggal. Selesai mengurus aku sempatkan berkunjung ke rumah tante Dina. Sudah lama aku tak berjumpa padanya, terhitung saat aku diterima kerja di Gresik.

Mobil kantor yang aku bawa pulang sampai dihalaman rumah tante Dina. Terlihat pintu gerbang besar terbuat dari kayu Jati dengan warna khas alaminya. Sebelah kiri terlihat taman sederhana yang tertata rapi tumbuh pohon mangga manalagi dan bambu kuning dengan batang-batangnya yang kecil manis dengan daun terhuyung melambai mengikuti arah angin seakan pasrah dengan kehendaknya mau dibawa kemana.

Aku turun dari mobil, terlihat sosok perempuan tua berjalan kedepan pintu melihat siapa yang datang. “Ekh Mas Bagas, kok datang gak ngasih kabar orang rumah” –Ibu dari tante Dina menyambutku dengan senyum ramahnya, aku biasa memanggil beliau ‘Oma’, sapaan akrabku sejak pertama kali mengenal beliau.

Oma mengenalku sebagai teman karib tante Dina, dia tak mengetahui hubunganku yang sebenarnya dengan anak perempuan yang dia sayangi. Kalaupun Oma tahu, mungkin urusanya akan lebih panjang lagi. Bisa-bisa Oma tak sudi lagi melihatku karena tahu perilaku serongku dengan anaknya.

“Gimana kabar Oma ? semoga saja Tuhan selalu memberi kesehatan pada Oma dan keluarga”  -aku memulai pembicaraan terlebih dahulu.

“Allhamdulillah bagus Gas, sekarang Bagas sudah jarang main kerumah ya. Sibuk kerja buat nikah ya Gas –kekehnya saat bicara denganku. Saat itu Oma sedang memakai daster berwarna pink kombinasi merah dengan banyak bunga-bungaan yang aku kira tak cocok dipakai oeleh Oma yang umurnya sudah uzur. Terlalu mencolok dan norak –kok kita malah ngobrol diluar lho Gas, yuk kedalem aja sambil nunggu Dina. Dia lagi keluar sama suaminya”

Kami berdua berjalan kedalam rumah. Saat Oma bilang kalau tante Dina sedang keluar dengan suaminya fikiranku menjadi tak karuan membayangkan yang aneh-aneh. Sudah delapan tahun lamanya aku mengenal dan akrab dengan keluarga ini. Namun tak pernah sekalipun aku bertemu bahkan ngobrol rigan dengan suami dari perempuan yang menjadikan aku gundiknya. Rasa takut dan gugup mulai datang padaku, ini perasaan apalagi yang datang tak kenal waktu dan tak kenal situasi seperti ini. Emang perasaan Asu –fikirku.

Kami duduk diruang tamu yang berdampingan langsung dengan ruang santai keluarga ini. Dulu saat saya pertama kali kenal tante Dina, ruang tamu inilah yang menjadi saksi bisu perjalanan hidupku.

“Mbak Dina pergi kemana Oma ? emang sengaja Bagas gak ngasih tahu orang rumah terlebih dahulu, kebetulan saja Bagas ambil cuti kerja buat ngurus perizinan pindah penduduk. Mumpung dirumah jadi sekalian silaturahmi kesini, karena tak dapat dipungkiri keluarga ini adalah keluarga Bagas juga” –terlihat Oma tersanjung dengan pembicaraanku. Aku tahu cara menghargai orang yang telah baik padaku, aku tahu bagaimana caranya harus hormat pada orang tua, dan aku juga tahu bagaimana harus marah kepada orang yang meremehkanku. Yah, itulah prinsip hidupku.

“Kurang tahu Gas mbakmu itu kemana, tadi gak izin sama Oma dulu. Biasanya kalau gak ke showroom ya ke gudang ngecek barang”

“Ini Bagas uda line Mbak Dina kok Ma, cuman belum di read , mungkin lagi perjalanan atau lagi sibuk”

Sore itu aku habiskan ngobrol panjang waktu dengan Oma, kami berdua banyak saling tukar pengalaman semasa muda dan Oma juga tak sungkan-sungkanya menasehatiku bagaimana nanti memilih istri dan membina keluarga. Aku sangat hormat padanya, yah. Memang karakter Oma hampir sama dengan anaknya. Bijak dalam bertutur kata dan jujur dalam kondisi apapun, mungkin yang membedakan antara Ibu dan anaknya adalah pergaulanya saja. Hal ini kembali terbukti, bahwa pendidikan yang paling penting dan akan membentuk karakter manusia pertama keluarga dan kedua lingkungan. Kalau lingkungan rusak, dapat dipastikan manusia itu akan rusak pula. Dan ini terjawab pada sosok tante Dina yang banyak bergaul dengan pemakai narkoba dan Ibu-ibu sosialita yang lebih memilih serong daripada cerai. Setia ?, aku rasa itu tak masuk dalam rumus teman-teman tante Dina.

Selepas dari rumah Oma aku langsung balik lagi Gresik. Tak masalah kalau tak ketemu dengan tante Dina, aku juga merasa beruntung tak bertemu dengan suaminya. Meski cerita dari tante Dina kalau suaminya juga berperilaku sama denganya, tetap saja aku takut berhadapan langsung dengan suami tante Dina. Selain memang dia adalah suami sah secara agama dan hukum dari tante Dina, aku juga lelaki, lelaki yang dapat merasakan api cemburu. Terbakar cemburu itu hal yag wajar, sekali lagi sangat wajar.

Tengah malam aku  tiba dirumah, aku langsung rebahan karena sangat kelelahan. Terdengar ada suara pintu yang terketuk, aku biarkan saja, ketukan tak lebih penting dari rasa lelahku yang memang telah mencumbuku untuk segera istritahat mengingat besok harus kembali masuk kantor. Semakin aku menuruti keinginanku untuk istrirahat, semakin sering pula ketukan pintu itu terdengar. Ini orang tak tahu jam bertamu ya, kurangajar –fikiranku sudah muak dengan sangat mendengar pintuku diketuk tengah malam begini –tokk … tokk … tokk … tokk … kembali terdengar dan terdengar terus.

Aku buka pintu dengan perasaan marah, kalau tamu ini menyampaikan hal tak penting maka aku akan sangat  senang memberi bogem mentah pada si tamu tak tahu jam ini.

“Maaf Pak Bagas kalau malam –malam begini aku mengganggu istirahat bapak” –lelaki, aku taksir umurnya kurang lebih tiga puluh lima tahun, terlihat uban yang sudah mulai menggurita di sisi kanan kiri rambutnya, berpostur tak terlalu tinggi  dengan kulitnya yang kalah putih denganku. Bicaranya teratur dan sopan, gaya bicaranya menandakan orang sekolahan, dengan pandangan menunduk dia terus bicara memohon maaf padaku.

“Saya Legiman, panggil saja Giman pak. Saya tukang kebunya bu Rosa. Sekarang bu Rosa sedang jatuh sakit, ibu sudah dipaksa keluarga dibawa kerumah sakit tapi gak mau. Badanya demam tinggi pak, yang dipanggil-panggil nama bapak terus. Bapak Bagas Bahiscara Gatra” –sontak kemarahan yang meletup-letup dari tadi hilang diterpa kabar sakitnya perempuan yang aku seggani. Aku tak peduli denganya lagi dengan caranya mengetuk pintu rumahku. Aku juga tak peduli dia tahu alamat rumahku darimana dan masa bodoh juga kalau dia membohongiku, yang jelas lelaki ini menyebut nama Rosa, perempuan yang aku segani dan hormati. Padahal seingatku Rosa baik-baik saja, terakhir ketemu badanya masih sehat, tak sedikitpun mencerminkan tanda-tanda sedang didera kesakitan.

“Pak … Pak … Pak Bagas” –aku terbangun dari lamunanku, tak sadar kalau aku sedang diajak bicara Giman, sedari tadi aku terbius oleh lamunanku sendiri.

“Bagimana pak, aku mau minta tolong ke bapak untuk sudi kerumah sekedar menjenguk kondisi ibu, terlebih lagi dapat meminta tolong untuk bersedia merayu ibu agar bersedia kita bawa ke Rumah Sakit mengingat kondisi tubuh ibu yang sakit-sakitan.

Takperduli dengan rasa lelah dan kantuk aku berangkat ke rumah Rosa bersama Giman. Tanpa ganti baju aku langsung berangkat. Aku tawari Giman untuk satu mobil denganku,  Giman menolak dengan hormat karena membawa sepeda motor sendiri.

Jarak rumahku dengan Rosa terlampau jauh, kurang lebih ada dua puluh kilometer jauhnya. Untung saja tengah malam, sehingga aku dapat dengan bebas menginjak gas sekuat-kuatnya. Fikiranku berkecamuk kesana kemari, memikirkan sosok perempuan yang aku segani sedang jatuh sakit, tak mau mau dirujuk ke Rumah Sakit dan yang dipanggil hanya namaku seorang. Kenapa. Kenapa dengan perempuan ini, semakin gila saja kelakuanya.

Aku sampai dirumah Rosa setengah jam kemudian, terlihat Giman juga belum sampai. Maklum saja, aku membawa mobil sedangkan Giman tidak. Pagar rumah Rosa masih tertutup, tak ada orang yang inisiatif untuk membuka gerbang, aku coba demm lampu mobilku berkali-kali tetap saja kosong tanpa respon. Aku turun untuk menelfon Rosa dari luar, kucoba tiga kali tetap saja tak ada respon. Fikiranku mulai berinisiatif untuk langsung pergi kerumah sakit terdekat, karena mungkin saja Rosa sudah dirawat inap disana.

Dari arah selatan terlihat ada sepeda motor menuju kearahku, aku amati darijauh, semakin mendekat dan mendekat. Ternyata Giman, dia cengengesan melihatku bengong didepan gerbang.

“Maaf pak, ibu dan keluarga ada dirumah belakang. Percuma saja bapak klakson berkali-kali” –Giman dengan percaya dirinya berbicara seperti itu padaku, berbeda sekali dengan kelakuanya saat mengetuk pintu rumahku, seperti sudah kenal lama saja denganku. Aneh orang tua ini.

Giman mengambil kunci pagar dari saku celananya, dia buka gerbang rumah yang memang sedari tadi aku tunggu-tunggu. “Mari pak Bagas mobilnya langsung dibawa kerumah belakang” –sahut Giman sambil menunjukan arah jalan samping gazebo depan.

Setelah mobil aku parkir. Giman mengajak aku menuju salah satu ruang. Rumah yang cukup besar ini terlihat sepi dan sunyi. Kita sampai diruang paling belakang diujung rumah. Giman membuka pintu, kibasan udara yang keluar pintu tercium aroma obat dan keringat yang pasti akan mebuat orang merasa ngilu dan ingin muntah, termasuk aku.

“Siapa itu ?” –suara laki-laki menanyakan siapa yang membuka pintu. Ini pertama kali aku melihat anak-anak Rosa, didalam ruangan yang cukup besar itu terlihat memang didesain sebagai ruang perawatan untuk orang sakit. Hanya terdiri dipan, satu set meja kursi ruang tamu dan kamar kecil berada dipojok ruangan.

“Ini Giman, saya bersama pak Bagas. Sesuai perintah aden untuk menyusul pak Bagas” –Giman menjawab dengan rendah dan hormat pada salah satu anaknya Rosa.

“Allhamdulillah. Monggo masuk pak Bagas, perkenalkan saya Surya, Surya Fernando Joko. Terimakasih banyak pak Bagas telah sudi datang kerumah untuk menjenguk ibu yang memang sedari tadi memanggil-manggil nama bapak” –aku tak tahu ini anak Rosa yang keberapa, perawakanya tinggi, gagah, kulitnya putih bersih dengan bulu-bulu tanganya yang kelihatan , dari wajahnya kelihatan sekali banyak dapat turunan dari Rosa, terlebih lagi lekuk mata dan bentuk giginya yang kelihatan saat bicara denganku. Aku semakin percaya kalau Rosa memang menikah dan memiliki keturunan dari orang bule, orang Kanada.

“Iya dek Surya. Maaf aku datang terlambat, bagaimana keadaan ibu ?” –tanyaku pada Surya meski disisi sebelah kiriku terlihat Rosa sedang tidur.

“Ibu masih demam mas. Tak tahu kenapa tiba-tiba ibu sakit, sejak tadi pagi demam tinggi, kita ajak ke Rumah Sakit tak mau, yang disebut-sebut cuman Bagas … Bagas … Bagas Bahiscara Gatra. Kami tak tahu siapa itu Bagas, kami cari tahu siapa yang punya nama sebagus itu keteman-teman ibu dikantor dan kenalanya. Ternyata pemilik nama indah itu sedang ada didepanku, keindahanya namanya sesuai dengan ketampanan dan kewibawaan dari mas Bagas yang sudi datang kerumah kita yang sederhana ini” –Rosa ternyata memiliki seorang putra yang pandai memuji orang, pujianya membuatku kagum padanya. Aku jadi sangat senang dielukan olehnya, sama seperti ibunya yang pandai memuji orang. Tak salah juga dengan model perkataan seperti ini akan dengan mudah akrab dengan orang yang baru dikenal sekalipun.

Aku langsung mengahampiri Rosa yang sedang tidur, dia terlihat tak berdaya dengan mukanya yang pucat pasi, wajah cantiknya hilang ditelan kepucatan, bibir merah meronanya sedang dicumbu dengan warna putih pucat. Kasihan sekali perempuan ini. Kemana perginya kecantikanmu Ros, ayo bangunlah. Aku datang, laki-laki yang tak lebih seminggu kemarin kau hujat dan kau caci. Aku hadir Ros. Aku ada didepanmu. Bangunlah bangunlah …

Read Scene 01 on Cerita 1
Read Scene 02 on Cerita 2
Read Scene 03 on Cerita 3

Bersambung to scene 05

No comments:

Post a Comment