DIBALIK KEHIDUPAN PARA TANTE-TANTE
*Ali Ahsan
Al-Haris
-Sebuah
ontologi pencarian jatidiri seorang anak bangsa, dikucilkan oleh bangsanya
sendiri, dikucilkan oleh manusia sesama bangsanya yang katanya peri kemanusian dan peri keadilan.
Sebuah cara pandang berbeda namun beresensi sama dalam menanggapi maraknya
kasus LGBT Lesbian, Gay, Bisexsual dan
Transgender.
PERHATIAN !!!
Penulis mohon maaf dengan amat sangat besar jika ada
nama, lokasi, setting kejadian yang hampir sama atau menyinggung kepada
pembaca. Karena penulis menganggap sebuah tulisan adalah salah satu jalan bagi
umat manusia untuk menyampaikan sebuah pesan moral menuju kebaikan.
Bacalah dengan bijak. Salam hangat dari saya, teruslah
membaca dan menulis.
Sumber Ilustrasi Gambar : segiempat(dot)com |
Scene 04
Pengalaman
kemarin takan terlupakan dalam hidupku. Malam penghakiman moral yang dipimpin
langsung oleh Rosa serasa sukses untuk aku mengakui kelakuanku selama ini pada
orang yang aku kenal tak lebih dari dua hari.
***
Aktifitas
kantor kembali seperti biasa, awal weekday aku ambil cuti untuk pulang kerumah
mengurus administrasi perizinan tempat tinggal. Selesai mengurus aku sempatkan
berkunjung ke rumah tante Dina. Sudah lama aku tak berjumpa padanya, terhitung
saat aku diterima kerja di Gresik.
Mobil
kantor yang aku bawa pulang sampai dihalaman rumah tante Dina. Terlihat pintu
gerbang besar terbuat dari kayu Jati dengan warna khas alaminya. Sebelah kiri
terlihat taman sederhana yang tertata rapi tumbuh pohon mangga manalagi dan bambu kuning dengan
batang-batangnya yang kecil manis dengan daun terhuyung melambai mengikuti arah
angin seakan pasrah dengan kehendaknya mau dibawa kemana.
Aku
turun dari mobil, terlihat sosok perempuan tua berjalan kedepan pintu melihat
siapa yang datang. “Ekh Mas Bagas, kok datang gak ngasih kabar orang rumah”
–Ibu dari tante Dina menyambutku dengan senyum ramahnya, aku biasa memanggil
beliau ‘Oma’, sapaan akrabku sejak pertama kali mengenal beliau.
Oma
mengenalku sebagai teman karib tante Dina, dia tak mengetahui hubunganku yang
sebenarnya dengan anak perempuan yang dia sayangi. Kalaupun Oma tahu, mungkin
urusanya akan lebih panjang lagi. Bisa-bisa Oma tak sudi lagi melihatku karena
tahu perilaku serongku dengan anaknya.
“Gimana
kabar Oma ? semoga saja Tuhan selalu memberi kesehatan pada Oma dan
keluarga” -aku memulai pembicaraan
terlebih dahulu.
“Allhamdulillah
bagus Gas, sekarang Bagas sudah jarang main kerumah ya. Sibuk kerja buat nikah
ya Gas –kekehnya saat bicara denganku. Saat itu Oma sedang memakai daster
berwarna pink kombinasi merah dengan banyak bunga-bungaan yang aku kira tak
cocok dipakai oeleh Oma yang umurnya sudah uzur. Terlalu mencolok dan norak
–kok kita malah ngobrol diluar lho Gas, yuk kedalem aja sambil nunggu Dina. Dia
lagi keluar sama suaminya”
Kami
berdua berjalan kedalam rumah. Saat Oma bilang kalau tante Dina sedang keluar
dengan suaminya fikiranku menjadi tak karuan membayangkan yang aneh-aneh. Sudah
delapan tahun lamanya aku mengenal dan akrab dengan keluarga ini. Namun tak
pernah sekalipun aku bertemu bahkan ngobrol rigan dengan suami dari perempuan
yang menjadikan aku gundiknya. Rasa takut dan gugup mulai datang padaku, ini perasaan
apalagi yang datang tak kenal waktu dan tak kenal situasi seperti ini. Emang
perasaan Asu –fikirku.
Kami
duduk diruang tamu yang berdampingan langsung dengan ruang santai keluarga ini.
Dulu saat saya pertama kali kenal tante Dina, ruang tamu inilah yang menjadi
saksi bisu perjalanan hidupku.
“Mbak
Dina pergi kemana Oma ? emang sengaja Bagas gak ngasih tahu orang rumah
terlebih dahulu, kebetulan saja Bagas ambil cuti kerja buat ngurus perizinan
pindah penduduk. Mumpung dirumah jadi sekalian silaturahmi kesini, karena tak dapat
dipungkiri keluarga ini adalah keluarga Bagas juga” –terlihat Oma tersanjung
dengan pembicaraanku. Aku tahu cara menghargai orang yang telah baik padaku,
aku tahu bagaimana caranya harus hormat pada orang tua, dan aku juga tahu
bagaimana harus marah kepada orang yang meremehkanku. Yah, itulah prinsip
hidupku.
“Kurang
tahu Gas mbakmu itu kemana, tadi gak izin sama Oma dulu. Biasanya kalau gak ke showroom ya ke gudang ngecek barang”
“Ini
Bagas uda line Mbak Dina kok Ma,
cuman belum di read , mungkin lagi
perjalanan atau lagi sibuk”
Sore
itu aku habiskan ngobrol panjang waktu dengan Oma, kami berdua banyak saling
tukar pengalaman semasa muda dan Oma juga tak sungkan-sungkanya menasehatiku
bagaimana nanti memilih istri dan membina keluarga. Aku sangat hormat padanya,
yah. Memang karakter Oma hampir sama dengan anaknya. Bijak dalam bertutur kata
dan jujur dalam kondisi apapun, mungkin yang membedakan antara Ibu dan anaknya
adalah pergaulanya saja. Hal ini kembali terbukti, bahwa pendidikan yang paling
penting dan akan membentuk karakter manusia pertama keluarga dan kedua
lingkungan. Kalau lingkungan rusak, dapat dipastikan manusia itu akan rusak
pula. Dan ini terjawab pada sosok tante Dina yang banyak bergaul dengan pemakai
narkoba dan Ibu-ibu sosialita yang lebih memilih serong daripada cerai. Setia
?, aku rasa itu tak masuk dalam rumus teman-teman tante Dina.
Selepas
dari rumah Oma aku langsung balik lagi Gresik. Tak masalah kalau tak ketemu
dengan tante Dina, aku juga merasa beruntung tak bertemu dengan suaminya. Meski
cerita dari tante Dina kalau suaminya juga berperilaku sama denganya, tetap
saja aku takut berhadapan langsung dengan suami tante Dina. Selain memang dia
adalah suami sah secara agama dan hukum dari tante Dina, aku juga lelaki,
lelaki yang dapat merasakan api cemburu. Terbakar cemburu itu hal yag wajar,
sekali lagi sangat wajar.
Tengah
malam aku tiba dirumah, aku langsung
rebahan karena sangat kelelahan. Terdengar ada suara pintu yang terketuk, aku
biarkan saja, ketukan tak lebih penting dari rasa lelahku yang memang telah
mencumbuku untuk segera istritahat mengingat besok harus kembali masuk kantor.
Semakin aku menuruti keinginanku untuk istrirahat, semakin sering pula ketukan
pintu itu terdengar. Ini orang tak tahu jam bertamu ya, kurangajar –fikiranku
sudah muak dengan sangat mendengar pintuku diketuk tengah malam begini –tokk … tokk
… tokk … tokk … kembali terdengar dan terdengar terus.
Aku
buka pintu dengan perasaan marah, kalau tamu ini menyampaikan hal tak penting
maka aku akan sangat senang memberi
bogem mentah pada si tamu tak tahu jam ini.
“Maaf
Pak Bagas kalau malam –malam begini aku mengganggu istirahat bapak” –lelaki,
aku taksir umurnya kurang lebih tiga puluh lima tahun, terlihat uban yang sudah
mulai menggurita di sisi kanan kiri rambutnya, berpostur tak terlalu
tinggi dengan kulitnya yang kalah putih
denganku. Bicaranya teratur dan sopan, gaya bicaranya menandakan orang
sekolahan, dengan pandangan menunduk dia terus bicara memohon maaf padaku.
“Saya
Legiman, panggil saja Giman pak. Saya tukang kebunya bu Rosa. Sekarang bu Rosa
sedang jatuh sakit, ibu sudah dipaksa keluarga dibawa kerumah sakit tapi gak
mau. Badanya demam tinggi pak, yang dipanggil-panggil nama bapak terus. Bapak
Bagas Bahiscara Gatra” –sontak kemarahan yang meletup-letup dari tadi hilang
diterpa kabar sakitnya perempuan yang aku seggani. Aku tak peduli denganya lagi
dengan caranya mengetuk pintu rumahku. Aku juga tak peduli dia tahu alamat
rumahku darimana dan masa bodoh juga kalau dia membohongiku, yang jelas lelaki
ini menyebut nama Rosa, perempuan yang aku segani dan hormati. Padahal seingatku
Rosa baik-baik saja, terakhir ketemu badanya masih sehat, tak sedikitpun
mencerminkan tanda-tanda sedang didera kesakitan.
“Bagimana
pak, aku mau minta tolong ke bapak untuk sudi kerumah sekedar menjenguk kondisi
ibu, terlebih lagi dapat meminta tolong untuk bersedia merayu ibu agar bersedia
kita bawa ke Rumah Sakit mengingat kondisi tubuh ibu yang sakit-sakitan.
Jarak
rumahku dengan Rosa terlampau jauh, kurang lebih ada dua puluh kilometer
jauhnya. Untung saja tengah malam, sehingga aku dapat dengan bebas menginjak gas
sekuat-kuatnya. Fikiranku berkecamuk kesana kemari, memikirkan sosok perempuan
yang aku segani sedang jatuh sakit, tak mau mau dirujuk ke Rumah Sakit dan yang
dipanggil hanya namaku seorang. Kenapa. Kenapa dengan perempuan ini, semakin
gila saja kelakuanya.
Aku
sampai dirumah Rosa setengah jam kemudian, terlihat Giman juga belum sampai.
Maklum saja, aku membawa mobil sedangkan Giman tidak. Pagar rumah Rosa masih
tertutup, tak ada orang yang inisiatif untuk membuka gerbang, aku coba demm lampu mobilku berkali-kali tetap
saja kosong tanpa respon. Aku turun untuk menelfon Rosa dari luar, kucoba tiga
kali tetap saja tak ada respon. Fikiranku mulai berinisiatif untuk langsung
pergi kerumah sakit terdekat, karena mungkin saja Rosa sudah dirawat inap
disana.
Dari
arah selatan terlihat ada sepeda motor menuju kearahku, aku amati darijauh,
semakin mendekat dan mendekat. Ternyata Giman, dia cengengesan melihatku
bengong didepan gerbang.
“Maaf
pak, ibu dan keluarga ada dirumah belakang. Percuma saja bapak klakson
berkali-kali” –Giman dengan percaya dirinya berbicara seperti itu padaku,
berbeda sekali dengan kelakuanya saat mengetuk pintu rumahku, seperti sudah
kenal lama saja denganku. Aneh orang tua ini.
Giman
mengambil kunci pagar dari saku celananya, dia buka gerbang rumah yang memang
sedari tadi aku tunggu-tunggu. “Mari pak Bagas mobilnya langsung dibawa kerumah
belakang” –sahut Giman sambil menunjukan arah jalan samping gazebo depan.
Setelah
mobil aku parkir. Giman mengajak aku menuju salah satu ruang. Rumah yang cukup
besar ini terlihat sepi dan sunyi. Kita sampai diruang paling belakang diujung
rumah. Giman membuka pintu, kibasan udara yang keluar pintu tercium aroma obat
dan keringat yang pasti akan mebuat orang merasa ngilu dan ingin muntah,
termasuk aku.
“Siapa
itu ?” –suara laki-laki menanyakan siapa yang membuka pintu. Ini pertama kali
aku melihat anak-anak Rosa, didalam ruangan yang cukup besar itu terlihat
memang didesain sebagai ruang perawatan untuk orang sakit. Hanya terdiri dipan,
satu set meja kursi ruang tamu dan kamar kecil berada dipojok ruangan.
“Ini
Giman, saya bersama pak Bagas. Sesuai perintah aden untuk menyusul pak Bagas”
–Giman menjawab dengan rendah dan hormat pada salah satu anaknya Rosa.
“Allhamdulillah.
Monggo masuk pak Bagas, perkenalkan saya Surya, Surya Fernando Joko.
Terimakasih banyak pak Bagas telah sudi datang kerumah untuk menjenguk ibu yang
memang sedari tadi memanggil-manggil nama bapak” –aku tak tahu ini anak Rosa
yang keberapa, perawakanya tinggi, gagah, kulitnya putih bersih dengan
bulu-bulu tanganya yang kelihatan , dari wajahnya kelihatan sekali banyak dapat
turunan dari Rosa, terlebih lagi lekuk mata dan bentuk giginya yang kelihatan
saat bicara denganku. Aku semakin percaya kalau Rosa memang menikah dan
memiliki keturunan dari orang bule, orang Kanada.
“Iya
dek Surya. Maaf aku datang terlambat, bagaimana keadaan ibu ?” –tanyaku pada
Surya meski disisi sebelah kiriku terlihat Rosa sedang tidur.
“Ibu
masih demam mas. Tak tahu kenapa tiba-tiba ibu sakit, sejak tadi pagi demam
tinggi, kita ajak ke Rumah Sakit tak mau, yang disebut-sebut cuman Bagas …
Bagas … Bagas Bahiscara Gatra. Kami tak tahu siapa itu Bagas, kami cari tahu
siapa yang punya nama sebagus itu keteman-teman ibu dikantor dan kenalanya.
Ternyata pemilik nama indah itu sedang ada didepanku, keindahanya namanya
sesuai dengan ketampanan dan kewibawaan dari mas Bagas yang sudi datang kerumah
kita yang sederhana ini” –Rosa ternyata memiliki seorang putra yang pandai
memuji orang, pujianya membuatku kagum padanya. Aku jadi sangat senang dielukan
olehnya, sama seperti ibunya yang pandai memuji orang. Tak salah juga dengan
model perkataan seperti ini akan dengan mudah akrab dengan orang yang baru
dikenal sekalipun.
Aku
langsung mengahampiri Rosa yang sedang tidur, dia terlihat tak berdaya dengan
mukanya yang pucat pasi, wajah cantiknya hilang ditelan kepucatan, bibir merah
meronanya sedang dicumbu dengan warna putih pucat. Kasihan sekali perempuan
ini. Kemana perginya kecantikanmu Ros, ayo bangunlah. Aku datang, laki-laki
yang tak lebih seminggu kemarin kau hujat dan kau caci. Aku hadir Ros. Aku ada
didepanmu. Bangunlah bangunlah …
Read Scene
01 on Cerita 1
Read Scene
02 on Cerita 2
Read Scene
03 on Cerita 3
Bersambung
to scene 05
No comments:
Post a Comment