DIBALIK KEHIDUPAN PARA TANTE-TANTE
*Ali Ahsan
Al-Haris
-Sebuah
ontologi pencarian jatidiri seorang anak bangsa, dikucilkan oleh bangsanya
sendiri, dikucilkan oleh manusia sesama bangsanya yang katanya peri kemanusian dan peri keadilan.
Sebuah cara pandang berbeda namun beresensi sama dalam menanggapi maraknya
kasus LGBT Lesbian, Gay, Bisexsual dan
Transgender.
PERHATIAN !!!
Penulis mohon maaf dengan amat sangat besar jika ada
nama, lokasi, setting kejadian yang hampir sama atau menyinggung kepada
pembaca. Karena penulis menganggap sebuah tulisan adalah salah satu jalan bagi
umat manusia untuk menyampaikan sebuah pesan moral menuju kebaikan.
Bacalah dengan bijak. Salam hangat dari saya, teruslah
membaca dan menulis.
Sumber Ilustrasi Gambar : segiempat(dot)com |
Scene 03
Selesai
bersih badan, kita makan malam di Hallroom hotel. Terlihat banyak tamu juga
selain kita berdua. Ruangan yang cukup besar ini terdapat mini panggung music sebagai
pengiring makan malam. Di sebelah kanan mini panggung terlihat ada sebuah
minibar yang menyediakan minuman kadar alcohol dari rendah sampai menengah.
Saya
makan malam dengan pakaian santai, celana jeans biru dongker dan kaos warna
putih sederhana. Sedangkan Rosa memakai miniskirt yang menurutku terlalu
berlebihan digunakan untuk acara makan malam seperti ini. Perpaduan warna biru
dibalut dengan kulitnya yang putih langsat menjadi tontonan orang-orang yang
sedang makan malam. Aku sadar banyak orang yang menatap kosong padaku, namun
bukan karena aku. Melainkan karena sosok perempuan paruh baya yang ada di
sampingku.
***
Selepas
makan kami langsung berjalan ke villa, jarak tempat makan ke villa yang kurang
lebih lima puluh meter terasa berat untuk perut yang kenyang seperti saya.
Ditengah perjalanan Rosa menggandeng tangan kiriku untuk segera sampai ke
villa.
“Kenapa
jalanmu lama sekali Gas ? Terlalu kenyang atau ingin lama-lama dijalan.”
“Makan tadi
terlalu kenyang Ros. Agak sakit kalau jalanya terlalu cepat, santailah sedikit.
Memang aka ada acara palagi di villa. Toh hanya ada kita berdua, kalau bukan
tidur mau apalagi !!” –jawabku dengan santai padanya.
Jawabanku
tak direspon olehnya, terlihat malah semakin cepat saja jalanya. Tangan kiriku
yang dipegangnya ditariknya menyusuaikan irama jalanya sehingga membuatku
terhunyung kedepan. Jalanya yang agak cepat membuatku dengan jelas melihat
pantatnya yang besar namun kendor karena dimakan usia. Belahan pantatnya yang
bergoyang membuatku tak kuasa memandangnya. ini ada ibu paruh baya namun
memiliki lekuk tubuh seperti perempuan remaja saja –fikirku pada saat itu.
Sesampai
di villa kita berdua duduk santai diruang tengah. Hanya ada meja setinggi
kurang lebih satu meter setengah dengan panjang kisaran dua meter serta
lebarnya dua meter dengan hiasan ukiran khas Jepara menjadi saksi bisu heningan
kita berdua. Saya duduk di kursi yang bersebrangan dengan Rosa. Moment sederhana
ini membuatku merasa jauh darinya, entah mengapa. Sosoknya yang dapat aku
pandangi dari seberang meja nampak anggun diterpa cahaya lampu yang terasa
tiba-tiba jauh dan asing dengan tatapan dinginya kepadaku.
“Kau
mikir apa Gas ? Ada yang salah dengan penampilanku !! Apa sedari tadi kau
berfikiran aneh tentang aku, apa kau berfikir bahwa malam ini aku seutuhnya
milikmu karena aku berpakaian seperti ini” –pernyataan gila yang terucap dari
Rosa. Lebih-lebih lagi hal diutarakan untuku. Apa yang sesungguhnya ia fikirkan
tentangku. Dalam kebengonganku ia lanjut apa yang ia fikirkan tentangku.
“Sorry
Gas, jangan kau salah anggap dan gagal faham denganku. Jangan sangka perempuan
yang berpenampilan seksi seperti aku ini kau anggap rendah dan dapat kau rayu
dengan jabatan dan uangmu. Terlebih lagi ancaman pemecatan sepihak. Aku tahu
kelakuanmu diluar perusahaan, diam-diam kau telah selingkuh dengan Owner
perusahaan yang kau tempati. Ya, kau selingkuhi istri bos mu sendiri. Kau rela
jadi gundiknya, kau rela jadi budak seksnya agar dengan mudah naik jabatan.
Kelakuan macam apa itu, lelaki macam apa kau ini Gas –terdiam seribu bahasa aku
dibuatnya, perkataan demi perkataanya membuat lutut ini serasa lepas dari
pasanganya, serasa aku sudah tak berdaya dibuat Rosa hanya dengan pernyataanya.
Informasi dari mana yang membuat Rosa mencerca aku seperti ini –ternyata disana
sini lelaki sama saja, bejat semua. Miris aku melihatmu seperti ini Gas. Pemuda
ideal yang harusnya dapat member contoh pemuda yang lain malah memiliki
perilaku yang teramat busuk. Busuk dan harusnya kau memang tak pantas hidup
Gas. –perkataan demi perkataanya sontak membuatku semakin tak berdaya
dihadapanya,
Aku
berusaha untuk bicara, aku berusaha untuk melawan Rosa. Aku tak rela harga
diriku direndahkan didepan wanita seperti ini. Mengapa tiba-tiba kekuatanku
hilang, mengapa wibawa yang selama ini aku andalkan untuk dihormati tiba-tiba
tak ada harganya didepan Ibu-ibu tua seperti dia.
Aku
hanya dapat tertunduk, aku pandangi tubuh meja yang memperlihatkan serat-serat
kayunya. Mata ini tak berani menatap rona mukanya, terlebih lagi menatap kedua
mata Rosa yang kali ini terlihat menyeramkan. Aku atur ulang-berulang nafasku,
sedikit-demi sedikit aku kumpulkan mentalku untuk menjawab semua yang ia tuduhkan padaku. Mataku mulai
naik melihat sosoknya, aku sapu mulai kunci villa yang tepat berada didepanku.
Pandanganku lurus mulai berani melihatnya, terlihat tangan kirinya yang ada di
atas meja sedang memainkan handphonya, diputar-putarkanya dengan jari jarinya,
terlihat dari cara ia memainkan handphone bahwa dia juga sedang gugup.
Pandanganku
menyapu keatas lagi, terlihat kalung mutiara yang Rosa kenakan. Kalung tak terlalu panjang itu tepat melipir
diatas bongkahan payudaranya yang membengkak ingin keluar. Meski beberapa detik
aku pandangi dengan tenang payudaranya yang terlihat lebih besar, tetap saja
mati rasa akan kenikmatan tak sudi mampir kediriku. Rasa ketakutan dan malu
yang teramat sangat sedang dengan gagah menjajah sanubariku.
“Kamu
tahu semua ini dari mana Ros ?” –entah kekuatan darimana aku dapat berbicara
seperti itu padanya.
“Kau
tak perlu bicara, dari mukamu sudah kelihatan kalau kau telah mengakui hal
tersebut Gas” –jawaban Rosa menggelegar bak petir dalam badai. Siapa perempuan
ini, mengapa dia sangat pintar menilai kepribadianku hanya dengan melihatku
saja.
Malam
ini akan menjadi catatan penting bagiku. Terlebih lagi perempuan yang sekarang
berada disebrang meja tempatku duduk. Keberanianya membuatku salut dan malu
padanya, rasa kekaguman terhadap keanggunan dan kecantikanya harus kalah
terhadap sikap bijaknya. Entah apaa… apaaa yang harus keperbuat agar segera
lepas dari jerat pengakuan gila ini.
“Aku
sadar kau atasanku Gas, namun kau juga perlu ingat dengan kesepakatan yang
telah kau buat sendiri di dalam mobil saat perjalan kita ke sini. Kau sendiri
yang memaksa aku harus menuruti kesepakatan bahwa kita adalah teman diluar
kantor. Aku bukan lagi anak buahmu dan kau juga bukan lagi dapat dengan rendah
menganggapku perempuan murahan hanya dengan gaya pakaianku yang seksi ini Gas. Salah
kau sendiri karena membuat kesepakatan konyol ini, dan kau harus terima ini. Terima
kalau aku sudi mengingatkanmu bahwa yang kau lakukan selama ini adalah hal
salah Gas” –Rosa bicara seperti serasa tak ada lawan bicaranya saja, terlebih
aku. Mungkin dia tak menganggap kehadiranku. Atau memang dia sudah melupakan
aku. Mengapa, mengapa moment makan malam yang sederhana itu berujung hal gila
seperti ini.
Aku
hanya dapat melamun, aku rasa lamunanku ini adalah jurus paling ampuh untuk
menutupi rasa maluku yang teramat besar melandaku. Entah kenapa rasa Maluku ini
bukan hanya kurasakan pada Rosa, aku juga malu pada tante Dina, pada Iva dan
terlebih lagi pada bosku jika mengetahui ini semua. Aku harap Rosa adalah
perempuan yang pandai menyimpan rahasia. Kalaupun hal itu benar adanya, mengapa
dia dengan percaya diri memukul telak aku dengan kelakuan yang aku rasa tak
patut diumbar seperti ini.
Rosa
terus saja bicara, memang benar dia telah melupakan aku, dia seakan lupa bahwa
ada manusia didepanya. Manusia yang jadi target busur panahnya. Itu aku, ya aku
sebagai Bagas, Bagas Bahiscara Gatra.
“Asal
kamu tahu Gas, dan aku rasa kau sudah tahu tentang kisah kelam hidupku. Aku dipersunting
seorang bule asal Kanada. Pernikahanku
dinodai dengan perselingkuhan suamiku. Dia rela menghianatiku karena tak mau
digundik oleh atasanya. Suamiku rela merelakan tubuh istrinya sendiri dinikmati
oleh bos-nya. Lelaki macam apa yang berfikir seperti itu. Otak bajingan yang
dipenuhi belatung yang mau istrinya disetubuhi oleh orang lain. Parahnya hal
itu atas sepengetahuan suaminya sendiri. Lelaki yang aku cintai dengan segala
jiwaku” –Rosa sekarang terlihat lebih kalem, suaranya terdengar rendah berat
dan serak. Sekilas aku lirik Rosa hanya memandangi handphone yang ia taruh
disebelah tangan kananya. Pandanganya kosong tajam, rona matanya yang berwarna
biru kecoklatan mencitrakan amarah dan dendam. Namun dengan jelas ia tak gentar
untuk menceritakan hal tersebut, ia tak sedikitpun goyah dan malu mengumbar
masa kelamnya. Semakin hormat saja aku padanya.
“Aku
sudah memiliki anak tiga Gas, memang pada saat itu aku hanya jadi ibu rumah
tangga mengingat gaji suamiku yang terbilang besar dan lebih untuk kita pakai
dalam satu bulan. Aku lebih memilih cerai daripada harga diriku sebagai wanita
Jawa terinjak-injak demi menuruti lelaki bejat seperti dia”
Mulailah
dari sini aku berani mengangkat kepalaku untuk menatap Rosa. Perempuan aneh
yang aku kenal tak lebih dari dua hari ini. Aku bersyukur dapat menguasai
keadaan dan memulihkan mentalku yang telah habis dicabik-cabiknya.
Oh
Rosaa, apa yang sebenarnya kau fikirkan. Sejarah apa saja yang telah membuatmu
seperti ini. Asal kau tahu Ros, kalau sedari tadi aku dapat bicara. Aku ingin
kau tahu bahwa aku sendiri ingin lepas dari pusaran iblis ini. Aku sudah
mencoba, mencoba dengan keras Ros..
Read Scene
01 on Dibalik Kehidupan Para Tante-tante 01
Read Scene
02 on Dibalik Kehidupan Para Tante-tante 02
Bersambung
to scene 04
No comments:
Post a Comment