Sunday, February 28, 2016

DIBALIK KEHIDUPAN PARA TANTE-TANTE

DIBALIK KEHIDUPAN PARA TANTE-TANTE


*Ali Ahsan Al-Haris

-Sebuah ontologi pencarian jatidiri seorang anak bangsa, dikucilkan oleh bangsanya sendiri, dikucilkan oleh manusia sesama bangsanya yang katanya peri kemanusian dan peri keadilan. Sebuah cara pandang berbeda namun beresensi sama dalam menanggapi maraknya kasus LGBT Lesbian, Gay, Bisexsual dan Transgender.  

PERHATIAN !!!
Penulis mohon maaf dengan amat sangat besar jika ada nama, lokasi, setting kejadian yang hampir sama atau menyinggung kepada pembaca. Karena penulis menganggap sebuah tulisan adalah salah satu jalan bagi umat manusia untuk menyampaikan sebuah pesan moral menuju kebaikan.
Bacalah dengan bijak. Salam hangat dari saya, teruslah membaca dan menulis.

Sumber Ilustrasi Gambar : segiempat(dot)com 


Scene 03
Selesai bersih badan, kita makan malam di Hallroom hotel. Terlihat banyak tamu juga selain kita berdua. Ruangan yang cukup besar ini terdapat mini panggung music sebagai pengiring makan malam. Di sebelah kanan mini panggung terlihat ada sebuah minibar yang menyediakan minuman kadar alcohol dari rendah sampai menengah.

Saya makan malam dengan pakaian santai, celana jeans biru dongker dan kaos warna putih sederhana. Sedangkan Rosa memakai miniskirt yang menurutku terlalu berlebihan digunakan untuk acara makan malam seperti ini. Perpaduan warna biru dibalut dengan kulitnya yang putih langsat menjadi tontonan orang-orang yang sedang makan malam. Aku sadar banyak orang yang menatap kosong padaku, namun bukan karena aku. Melainkan karena sosok perempuan paruh baya yang ada di sampingku.

***

Selepas makan kami langsung berjalan ke villa, jarak tempat makan ke villa yang kurang lebih lima puluh meter terasa berat untuk perut yang kenyang seperti saya. Ditengah perjalanan Rosa menggandeng tangan kiriku untuk segera sampai ke villa.

“Kenapa jalanmu lama sekali Gas ? Terlalu kenyang atau ingin lama-lama dijalan.”

“Makan tadi terlalu kenyang Ros. Agak sakit kalau jalanya terlalu cepat, santailah sedikit. Memang aka ada acara palagi di villa. Toh hanya ada kita berdua, kalau bukan tidur mau apalagi !!” –jawabku dengan santai padanya.

Jawabanku tak direspon olehnya, terlihat malah semakin cepat saja jalanya. Tangan kiriku yang dipegangnya ditariknya menyusuaikan irama jalanya sehingga membuatku terhunyung kedepan. Jalanya yang agak cepat membuatku dengan jelas melihat pantatnya yang besar namun kendor karena dimakan usia. Belahan pantatnya yang bergoyang membuatku tak kuasa memandangnya. ini ada ibu paruh baya namun memiliki lekuk tubuh seperti perempuan remaja saja –fikirku pada saat itu.

Sesampai di villa kita berdua duduk santai diruang tengah. Hanya ada meja setinggi kurang lebih satu meter setengah dengan panjang kisaran dua meter serta lebarnya dua meter dengan hiasan ukiran khas Jepara menjadi saksi bisu heningan kita berdua. Saya duduk di kursi yang bersebrangan dengan Rosa. Moment sederhana ini membuatku merasa jauh darinya, entah mengapa. Sosoknya yang dapat aku pandangi dari seberang meja nampak anggun diterpa cahaya lampu yang terasa tiba-tiba jauh dan asing dengan tatapan dinginya kepadaku.

“Kau mikir apa Gas ? Ada yang salah dengan penampilanku !! Apa sedari tadi kau berfikiran aneh tentang aku, apa kau berfikir bahwa malam ini aku seutuhnya milikmu karena aku berpakaian seperti ini” –pernyataan gila yang terucap dari Rosa. Lebih-lebih lagi hal diutarakan untuku. Apa yang sesungguhnya ia fikirkan tentangku. Dalam kebengonganku ia lanjut apa yang ia fikirkan tentangku.

“Sorry Gas, jangan kau salah anggap dan gagal faham denganku. Jangan sangka perempuan yang berpenampilan seksi seperti aku ini kau anggap rendah dan dapat kau rayu dengan jabatan dan uangmu. Terlebih lagi ancaman pemecatan sepihak. Aku tahu kelakuanmu diluar perusahaan, diam-diam kau telah selingkuh dengan Owner perusahaan yang kau tempati. Ya, kau selingkuhi istri bos mu sendiri. Kau rela jadi gundiknya, kau rela jadi budak seksnya agar dengan mudah naik jabatan. Kelakuan macam apa itu, lelaki macam apa kau ini Gas –terdiam seribu bahasa aku dibuatnya, perkataan demi perkataanya membuat lutut ini serasa lepas dari pasanganya, serasa aku sudah tak berdaya dibuat Rosa hanya dengan pernyataanya. Informasi dari mana yang membuat Rosa mencerca aku seperti ini –ternyata disana sini lelaki sama saja, bejat semua. Miris aku melihatmu seperti ini Gas. Pemuda ideal yang harusnya dapat member contoh pemuda yang lain malah memiliki perilaku yang teramat busuk. Busuk dan harusnya kau memang tak pantas hidup Gas. –perkataan demi perkataanya sontak membuatku semakin tak berdaya dihadapanya,

Aku berusaha untuk bicara, aku berusaha untuk melawan Rosa. Aku tak rela harga diriku direndahkan didepan wanita seperti ini. Mengapa tiba-tiba kekuatanku hilang, mengapa wibawa yang selama ini aku andalkan untuk dihormati tiba-tiba tak ada harganya didepan Ibu-ibu tua seperti dia.
Aku hanya dapat tertunduk, aku pandangi tubuh meja yang memperlihatkan serat-serat kayunya. Mata ini tak berani menatap rona mukanya, terlebih lagi menatap kedua mata Rosa yang kali ini terlihat menyeramkan. Aku atur ulang-berulang nafasku, sedikit-demi sedikit aku kumpulkan mentalku untuk menjawab  semua yang ia tuduhkan padaku. Mataku mulai naik melihat sosoknya, aku sapu mulai kunci villa yang tepat berada didepanku. Pandanganku lurus mulai berani melihatnya, terlihat tangan kirinya yang ada di atas meja sedang memainkan handphonya, diputar-putarkanya dengan jari jarinya, terlihat dari cara ia memainkan handphone bahwa dia juga sedang gugup.

Pandanganku menyapu keatas lagi, terlihat kalung mutiara yang Rosa kenakan.  Kalung tak terlalu panjang itu tepat melipir diatas bongkahan payudaranya yang membengkak ingin keluar. Meski beberapa detik aku pandangi dengan tenang payudaranya yang terlihat lebih besar, tetap saja mati rasa akan kenikmatan tak sudi mampir kediriku. Rasa ketakutan dan malu yang teramat sangat sedang dengan gagah menjajah sanubariku.

“Kamu tahu semua ini dari mana Ros ?” –entah kekuatan darimana aku dapat berbicara seperti itu padanya.

“Kau tak perlu bicara, dari mukamu sudah kelihatan kalau kau telah mengakui hal tersebut Gas” –jawaban Rosa menggelegar bak petir dalam badai. Siapa perempuan ini, mengapa dia sangat pintar menilai kepribadianku hanya dengan melihatku saja.

Malam ini akan menjadi catatan penting bagiku. Terlebih lagi perempuan yang sekarang berada disebrang meja tempatku duduk. Keberanianya membuatku salut dan malu padanya, rasa kekaguman terhadap keanggunan dan kecantikanya harus kalah terhadap sikap bijaknya. Entah apaa… apaaa yang harus keperbuat agar segera lepas dari jerat pengakuan gila ini.

“Aku sadar kau atasanku Gas, namun kau juga perlu ingat dengan kesepakatan yang telah kau buat sendiri di dalam mobil saat perjalan kita ke sini. Kau sendiri yang memaksa aku harus menuruti kesepakatan bahwa kita adalah teman diluar kantor. Aku bukan lagi anak buahmu dan kau juga bukan lagi dapat dengan rendah menganggapku perempuan murahan hanya dengan gaya pakaianku yang seksi ini Gas. Salah kau sendiri karena membuat kesepakatan konyol ini, dan kau harus terima ini. Terima kalau aku sudi mengingatkanmu bahwa yang kau lakukan selama ini adalah hal salah Gas” –Rosa bicara seperti serasa tak ada lawan bicaranya saja, terlebih aku. Mungkin dia tak menganggap kehadiranku. Atau memang dia sudah melupakan aku. Mengapa, mengapa moment makan malam yang sederhana itu berujung hal gila seperti ini.

Aku hanya dapat melamun, aku rasa lamunanku ini adalah jurus paling ampuh untuk menutupi rasa maluku yang teramat besar melandaku. Entah kenapa rasa Maluku ini bukan hanya kurasakan pada Rosa, aku juga malu pada tante Dina, pada Iva dan terlebih lagi pada bosku jika mengetahui ini semua. Aku harap Rosa adalah perempuan yang pandai menyimpan rahasia. Kalaupun hal itu benar adanya, mengapa dia dengan percaya diri memukul telak aku dengan kelakuan yang aku rasa tak patut diumbar seperti ini.

Rosa terus saja bicara, memang benar dia telah melupakan aku, dia seakan lupa bahwa ada manusia didepanya. Manusia yang jadi target busur panahnya. Itu aku, ya aku sebagai Bagas, Bagas Bahiscara Gatra.

“Asal kamu tahu Gas, dan aku rasa kau sudah tahu tentang kisah kelam hidupku. Aku dipersunting seorang bule asal Kanada. Pernikahanku dinodai dengan perselingkuhan suamiku. Dia rela menghianatiku karena tak mau digundik oleh atasanya. Suamiku rela merelakan tubuh istrinya sendiri dinikmati oleh bos-nya. Lelaki macam apa yang berfikir seperti itu. Otak bajingan yang dipenuhi belatung yang mau istrinya disetubuhi oleh orang lain. Parahnya hal itu atas sepengetahuan suaminya sendiri. Lelaki yang aku cintai dengan segala jiwaku” –Rosa sekarang terlihat lebih kalem, suaranya terdengar rendah berat dan serak. Sekilas aku lirik Rosa hanya memandangi handphone yang ia taruh disebelah tangan kananya. Pandanganya kosong tajam, rona matanya yang berwarna biru kecoklatan mencitrakan amarah dan dendam. Namun dengan jelas ia tak gentar untuk menceritakan hal tersebut, ia tak sedikitpun goyah dan malu mengumbar masa kelamnya. Semakin hormat saja aku padanya.

“Aku sudah memiliki anak tiga Gas, memang pada saat itu aku hanya jadi ibu rumah tangga mengingat gaji suamiku yang terbilang besar dan lebih untuk kita pakai dalam satu bulan. Aku lebih memilih cerai daripada harga diriku sebagai wanita Jawa terinjak-injak demi menuruti lelaki bejat seperti dia”

Mulailah dari sini aku berani mengangkat kepalaku untuk menatap Rosa. Perempuan aneh yang aku kenal tak lebih dari dua hari ini. Aku bersyukur dapat menguasai keadaan dan memulihkan mentalku yang telah habis dicabik-cabiknya.

Oh Rosaa, apa yang sebenarnya kau fikirkan. Sejarah apa saja yang telah membuatmu seperti ini. Asal kau tahu Ros, kalau sedari tadi aku dapat bicara. Aku ingin kau tahu bahwa aku sendiri ingin lepas dari pusaran iblis ini. Aku sudah mencoba, mencoba dengan keras Ros..


Bersambung to scene 04

No comments:

Post a Comment