Friday, February 26, 2016

DIBALIK KEHIDUPAN PARA TANTE-TANTE (Scene 02)

DIBALIK KEHIDUPAN PARA TANTE-TANTE

(Scene 02)



*Ali Ahsan Al-Haris


-Sebuah ontologi pencarian jatidiri seorang anak bangsa, dikucilkan oleh bangsanya sendiri, dikucilkan oleh manusia sesama bangsanya yang katanya peri kemanusian dan peri keadilan. Sebuah cara pandang berbeda namun beresensi sama dalam menanggapi maraknya kasus LGBT Lesbian, Gay, Bisexsual dan Transgender.  


PERHATIAN !!!
Penulis mohon maaf dengan amat sangat besar jika ada nama, lokasi, setting kejadian yang hampir sama atau menyinggung kepada pembaca. Karena penulis menganggap sebuah tulisan adalah salah satu jalan bagi umat manusia untuk menyampaikan sebuah pesan moral menuju kebaikan.

Bacalah dengan bijak. Salam hangat dari saya, teruslah membaca dan menulis.

Scene 2
Sumber Ilustrasi Gambar : segiempat[dot]com


            “Ouuwwh gak ada apa-apa tan hehe” –sahutku menimpali kejaran pertanyaan tante Dina.

            “Udah akh, kayanya Bagas uda ngantuk tuh. Besok tante telfon lagi ya, jangan lupa nomor ini di save lho Gas, awas aja besok kalau tante telfon gak mau ngangkat” –pembicaraan tersebut terdengar bukan lagi sebagai perintah, lebih tepatnya disebut dengan rayuan.

“Iya tante Dina. Sorry Bagas belum bisa nemenin telfonan sampai larut lagi, cuaca dirumah sedang dingin-dinginya tan. Besok kalau telfon diluar jam kerja aja tan –saranku pada tante Dina agar tak mengganggu pekerjaanku- sementara gini aja dulu ya tan, thanks and see you Ibu Dina”

Dengan segera aku langsung matikan telfon terlebih dahulu tanpa menunggu jawaban tante Dina. Terserah juga mau beranggapan apa padaku, karena yang jelas kebiasaan telfonya itu memang diluar ambang normal. Sehari saja kalau diladeni bisa telfon sampai dengan lima kali, itupun dengan durasi yang dapat dibilang lama.

Jam ditagan kiriku sudah menunjukan pukul 01.40 dinihari, detik demi detiknya seakan malu untuk berjalan karena terus menerus aku pandangi dengan harapan besar besok bisa bangun dengan kondisi badan fresh karena berencana mau pergi ke Lamongan keperluan kunjungan kerja dari kantor. Kaki ini aku paksakan untuk turun dari kursi reot yang telah dimakan umur ini, bisa saja penampilan dengan kekuatanya yang terlihat sebanding harus kalah teori dengan kursi yang kurang lebih dua jam saya duduki ini. Aku langkakhkan kakiku menuju pintu rumah, dinginya lantai terasa sekali di kakiku yang memang telanjang tak menggunakan sandal japit yang biasa aku gunakan jika didalam rumah. Langkah demi langkah aku rasakan dingin ini memang bukan hanya dirasakan oleh telapak kaki, leher dan telinga juga aku rasakan dingin yang luar biasa. Entahlah, aku teruskan jalanku yang tak sempurna ini masuk kedalam rumah.

Aku buka daun pintu yang berbentuk seperti pedal gas sepeda motor –kloookk- terdengar derit suara kenop pintu yang aku tarik kebawah. Aku tutup pintu dari dalam, terlihat didalam rumah masih berantakan karena belum sempat aku bereskan, kardus-kardus bekas barang baru dan plastic berserakan dimana-mana. Aku melihatnyapun cuek, aku lalui dengan kesombongan membiarkan kekotoran rumahku sendiri yang baru aku beli dua tahun yang lalu ini.

***
Kelelahan hari ini membuatku harus tidur agak lama, aku bangun jam tujuh pagi. Dengan sigap aku bangun dari tempat tidurku berjalan ke arah dapur mengambil minum. Aku tenggak air mineral isi ulang hampir tiga gelasan. Serasa sudah terasa normal, aku ambil handuk di teras belakang yang aku pasangi tali agar bisa kugunakan sebagai jemuran.

Istirahat lebih membuat badan terasa segar dan semanat memang. Benar pula apa yang guru-guru saya bicarakan saat aku masih menempuh pendidikan menengah. Sesampai kantor aku langsung masuk ruangan pribadiku, sekelas kepala bagian memang sudah memiliki ruangan sendiri. Panjangnya kisaran empat meter dengan lebar tiga meter. Terlalu kecil untuk seukuran ruangan bagi pekerja sesibuk saya. Selepas jam istirahat aku bertemu dengan bagian perlengkapan untuk mengambil barang yang harus saya bawa ke Lamongan.  Ternyata selain dapat barang aku juga dapat teman perjalanan, Ibu Rosa, perempuan kepala empat itu memang sudah kerja lama diperusahaan ini. Aku kenal beliau sudah sejak lama, namun ruangan dan job dish yang beda membuat kita jarang ketemu dan bertukar sapa.

Tepat pukul jam dua siang aku gas mobil kantor bersama Ibu Rosa dari Gresik ke Lamongan. Dalam perjalanan aku mulai obrolan dengan Ibu Rosa.

“Sekarang sudah naik gaji belum Bu Rosa” –tanyaku padanya.

“Belum Pak Bagas, masih nyantol di Rp. 3.250.000 nich” –sahut Bu Rosa dengan senyumnya yang menyeruak bagai bunga kenanga yang menebar keharuman ditengah malam-  Meski umurku masih 27 tahun, dengan jabatan yang lebih tinggi dari Bu Rosa membuatnya hormat padaku.

Dengan bercanda akupun menimpali Bu Rosa, -“Yang sabar Bu Rosa, itukan uda gaji yang tergolong tinggi daripada karyawan lain bu. Diluar kantor gini lebih nyaman kalau Bu Rosa panggil saya dengan Bagas saja bu, sungkan kalau Bu Rosa harus manggil saya pakai Pak Bagas, terlihat sudah berumur saja bu hehe” –kekehku pada Bu Rosa.

“Yah Pak Bagas ini bisa aja lho, saya ini kan bawahan Pak Bagas dikantor. Wajib donk saya panggil pakai Pak. Kalau manggil mas Bagas nanti dikira orang Pak Bagas ini anak saya haha” –bicaranya diakhiri tawa kecil Bu Rosa yang anggun, bola matanya yang hilang ditelan senyumnya serta barisan gigi kecil Bu Rosa semakin membuat sosok Ibu Paruh baya ini semakin anggun dimataku.

“Yaudah gini aja Bu Rosa. Kita buat kesepakatan. Tanpa mengurangi hormat saya kepada Bu Rosa yang memang lebih senior dari saya. Tolong saat diluar kantor seperti ini Bu Rosa panggil saya dengan nama Bagas, sedangkan saya panggil Bu Rosa dengan nama Rosa saja. Gimana Bu ?” –tawarku pada Bu Rosa seakaan ini transaksional saja.

Perjalanan ke Lamongan sampai saat ini masih lancar-lancar saja, kemacetan dibeberapa sudut jalan juga tak terlihat. Aku jalankan mobil dari kantor dengan kecepatan normal saja, tujuanku memang santai dan menikmati perjalanan ini bersama Bu Rosa.

“Okelahh cocok Pak Bagas, Ibu setuju kalau kesepakatanya seperti itu. Mulai sekarang diluar jam kantor saya panggil Mas Bagas hahaha” –tawanya Bu Rosa memberikan ribuan tafsir bagiku, entah merasa nyaman dengan ksepakatan yang aku sendiri buat untuk aku paksa Bu Rosa ikuti. Atau malah secara ak langsung aku telah merendahkan posisiku sendiri sebagai Kepala Bagian diperusahaan elektronik multinasional ini-  Entahlah, pikirku sederhana saja. Saya dapat akrab dengan teman jalan dinasku, Ibu Rosa Marlina Trisnawati.

Rosa melanjutkan pembicaraanya, “Iya mas Bagas, kalau kesepakatan seperti itu aku mau. Asalkan kita saling tetap menghargai, sebagai atasan dan bawahan kita dikantor ataupun sebagai teman diluar pekerjaan. Saya paling gak suka kalau orang yang baru akrab denganku terus macam-macam denganku mas. Sudah berapa kali saya mengalami hal seperti itu, entah orang menganggap saya ini wanita apa. Mentang-mentang saya orangnya cantik dan mudah akrab dengan orang dikiranya aku mau aja di apa-apain” –tuturnya malah menjadi semacam curhat colongan dalam mobil.

Dalam hatiku berfikir, ternyata sosok perempuan berkepala empat ini pintar sekali dalam membentengi dirinya dari perlakuan kasar laki-laki hidung belang yang sering bersamanya entah urusan pekerjaan atau urusan lain. Hanya dengan curhatan semacam itu aku merasa di sanksi oleh dakwaan yang Rosa lancarkan. Entah kenapa aku merasa ke sanksi dengan ucapanya. Moment curhat colongan Rosa membuat kita diam lebih dari lima detik, namun satu detiknya terasa satu abad saja bagiku. Entah, kenapa perasaanku campur aduk seperti ini. Apa gara-gara aku sering berhubungan dengan tante Dina bak pasangan sehingga aku memiliki perasaan seperti ini.

Lagi-lagi, aku berada dilingkungan perempuan-perempuan dengan siksaan batin akibat pelecehan seksual kaum adam.

Aku jadi teringat tante Dina yang setahun perjalanan pernikahanya sudah di duakan suaminya, mental-mental orang Indonesia utamanya orang Jawa yang sukanya sok kuat padahal dalam hatinya hanya dapat menangis sudah dilakukan tante Dina kurang lebih delapan belas tahun.

Tak sadar dalam lamunanku berkendara, Rosa diam-diam melihatku dengan tatapan tajam serius bak mengintrogasi setiap gerak gerik bibir dan bola mataku. Sepersekian detik aku meliriknya dengan mata kiriku, aktifitasnya hanya memutar-memutar handphone Samsung miliknya. Saat memutarnya sempat terlihat cincin pernikahanya yang masih ia pakai. Cincin tersebut terlihat indah dengan jari-jari mungil putih yang manis. Ohhh, mengapa fikiranku terlalu mengaggumi sosok yang baru aku akrapi tak lebih dari sehari ini.

“Bu Rosa mikirin apa tohhh” –sahutku memecah lamunanku sendiri.

“Tukan keliatan kalau laki-laki memang tak pernah setia pada janji yang ia buat sendiri” –jawabnya dengan tenang tanpa menoleh kepadaku. Apa yang perempuan ini fikirkan tentangku sehingga seperti ini.

“Maksutnya apa sich kok malah jawab pernyataan seperti itu” –sahutku padanya.

“Tadi yang ngebet buat kesepakatan untuk diluar kantor manggil Rosa siapa yaa ? Ada yang tau gak !! Ternyata semua lelaki memang begini, suka gombal, isinya cuman modal omong dan modal kontol. Sama aja” –jawabnya dengan sangat men-sanksi serasa berhadapan pada seseorang yang benar-benar telah melakukan kesalahan fatal.

“Hahahahaha, sorry Rosaaa. Sorry sorry tadi sempet lupa kalau kita telah menyepakati untuk diluar kantor memanggil nama sapaan saja. Tapi kenapa hal sesepele itu harus dijawab dengan ketus dan penghakiman yang dapat-dapat membuat kaum adam rontok mentalnya Ros ?” –jawabku pada Rosa.

Kenapa orang yang baru akrab dengan saya berani dengan lancang bicara hal seperti ini padaku. Apa Rosa tak sadar bahwa saya ini adalah atasanya, bisa saja saya bilang ke Bu Iva agar membujuk suaminya memecat Rosa dari pekerjaanya. Namun sisi hatiku yang lain merasakan bahwa pembicaraan Rosa adalah sebuah guratan hatinya yang mungkin terdalam. Apa dia memang mudah akrab dengan orang yang baru dikenalnya, kalau memang benar wajar saja kalau ceritanya tadi selalu dilecehkan oleh para lelaki hidung belang. Bicaranya saja asal ceplos seperti orang Batak, namun watak dan kerendahanya mencitrakan orang Jawa. Akhhh….., mengapa aku malah menjadi inteligen untuk diriku sendiri. Gagal faham saja aku ini.

***
Selesai urusan di Lamongan, saya dengan Rosa menginap di hotel dekat wisata Tanjung Kodok. Dari luar, penginapan ini tampak besar dan megah. Dan memang benar, hotel ini memiliki beberapa villa yang langsung menghadap kelaut sehingga menjadi ketertarikan tersendiri. Saat melihat kanan kiri akhirnya saya putuskan manginap di kelas VIP, saat saya tanya Rosa apa pendapatnya. Dia hanya menjawab –“Kita satu villa aja Gas” –mulutku serasa terkunci dan diam seribu bahasa. Ini apa-apan, dari berangkat tadi sempat perang dingin gara-gara cercaanya padaku karena lupa kesepakatan yang aku buat, tapi kenapa ini malah ingin menginap satu Villa denganku. Apa jangan-jangan Rosa ingin menyimpan anggaran dari kantor yang memang telah kantor siapkan untuk perjalan dinas kita.

Kita diantarkan pelayan hotel, laki-laki muda yang tak terlalu tinggi dengan rambut terlihat basah dan murah senyum, memakai seragam berwarna biru laut dengan sabar dan ramah mengantarkan kita untuk masuk Villa, saya sempatkan untuk mengajak Rosa mengobrol. “Kenapa memilih satu Villa Ros ?” –tanyaku padanya yang terlihat sibuk mengaggumi pemandangan sunset yang malu-malu keluar tertutup awan sore.

“Yahh selain irit, kita di Lamongan kan gak lama Gas. Ngapain juga ngebuang uang cuman buat tidur aja, kan bisa dialihkan ke beli oleh-oleh atau yang lain. Nanti di SPJ tembak aja pakai kwitansi langganan depan kantor kita” –jawabnya dengan kekeh.

Akupun hanya dapat bengong mati kutu. “Saya kira uang perjalanan dinas ini sengaja kamu save karena ada keperluan lain yang mungkin jauh lebih penting Ros. Tapi takterduga kau dan aku sama aja kelakuanya, suka nembak-nembak kwitansi gak jelas hahaha” –kekehku padanya.

Rosa juga ikut tertawa mendengar apa yang aku ucapkan. Bola matanya yang hilang ditelan senyum anggunya membuatku tambah kaggum padanya.

Kami tiba di ruang tengah Villa yang kita pesan, pelayan Hotel mengantarkan kami sembari menunjukan mana kamar mandi, dapur, ruang santai. Dijelaskanya satu persatu dengan sopan, tenang dan rijit. Sebelum dia minta izin pergi meninggalkan kami, aku rogoh saku kiriku mengambil uang puluhan ribu sebagai tip buatnya.

“Ini tip buat kamu. Tak  terlalu besar, tapi bisalah untuk rokok kamu, thanks sudah dilayani dengan baik”

“Terimakasih banyak pak, maaf malah merepotkan. Oh iya pak saya lupa. Kalau kamar disebelah kanan tadi hanya single bed, biasa digunakan untuk anak-anak. Untuk bapak dan ibu yang pasutri bisa pakai kamar depanya, itu double bed pak. Terimakasih pak, saya tinggal dulu. Kalau perlu bantuan dapat pergunakan telfon di ruang tengah. Selamat sore”

Saat pelayan hotel menjelaskan tentang kamar dan ukuran bed-nya, saya lihat jelas Rosa mengedipkan mata kirinya padaku. Entah itu kode apa, yang jelas mimik muka Rosa menuturkan senyuman seribu satu tafsiran. Senyum itu memikatku, tapi aku tak mau gegabah menyimpulkan bahwa Rosa juga mengaggumiku.


Bersambung to scene 3

No comments:

Post a Comment