DIBALIK KEHIDUPAN PARA TANTE-TANTE
(Scene 02)
*Ali
Ahsan Al-Haris
-Sebuah
ontologi pencarian jatidiri seorang anak bangsa, dikucilkan oleh bangsanya
sendiri, dikucilkan oleh manusia sesama bangsanya yang katanya peri kemanusian dan peri keadilan.
Sebuah cara pandang berbeda namun beresensi sama dalam menanggapi maraknya
kasus LGBT Lesbian, Gay, Bisexsual dan
Transgender.
PERHATIAN !!!
Penulis mohon maaf dengan amat sangat besar
jika ada nama, lokasi, setting kejadian yang hampir sama atau menyinggung
kepada pembaca. Karena penulis menganggap sebuah tulisan adalah salah satu
jalan bagi umat manusia untuk menyampaikan sebuah pesan moral menuju kebaikan.
Bacalah dengan bijak. Salam hangat dari
saya, teruslah membaca dan menulis.
Scene 2
Sumber Ilustrasi Gambar : segiempat[dot]com |
“Ouuwwh gak ada apa-apa tan hehe”
–sahutku menimpali kejaran pertanyaan tante Dina.
“Udah akh, kayanya Bagas uda ngantuk
tuh. Besok tante telfon lagi ya, jangan lupa nomor ini di save lho Gas, awas
aja besok kalau tante telfon gak mau ngangkat” –pembicaraan tersebut terdengar bukan
lagi sebagai perintah, lebih tepatnya disebut dengan rayuan.
“Iya tante Dina. Sorry Bagas belum bisa nemenin telfonan
sampai larut lagi, cuaca dirumah sedang dingin-dinginya tan. Besok kalau telfon
diluar jam kerja aja tan –saranku pada tante Dina agar tak mengganggu
pekerjaanku- sementara gini aja dulu ya tan, thanks and see you Ibu Dina”
Dengan segera aku langsung matikan telfon terlebih dahulu
tanpa menunggu jawaban tante Dina. Terserah juga mau beranggapan apa padaku,
karena yang jelas kebiasaan telfonya itu memang diluar ambang normal. Sehari
saja kalau diladeni bisa telfon sampai dengan lima kali, itupun dengan durasi
yang dapat dibilang lama.
Jam ditagan kiriku sudah menunjukan pukul 01.40 dinihari, detik
demi detiknya seakan malu untuk berjalan karena terus menerus aku pandangi
dengan harapan besar besok bisa bangun dengan kondisi badan fresh karena
berencana mau pergi ke Lamongan keperluan kunjungan kerja dari kantor. Kaki ini
aku paksakan untuk turun dari kursi reot yang telah dimakan umur ini, bisa saja
penampilan dengan kekuatanya yang terlihat sebanding harus kalah teori dengan
kursi yang kurang lebih dua jam saya duduki ini. Aku langkakhkan kakiku menuju
pintu rumah, dinginya lantai terasa sekali di kakiku yang memang telanjang tak
menggunakan sandal japit yang biasa aku gunakan jika didalam rumah. Langkah
demi langkah aku rasakan dingin ini memang bukan hanya dirasakan oleh telapak
kaki, leher dan telinga juga aku rasakan dingin yang luar biasa. Entahlah, aku
teruskan jalanku yang tak sempurna ini masuk kedalam rumah.
Aku buka daun pintu yang berbentuk seperti pedal gas sepeda
motor –kloookk- terdengar derit suara kenop pintu yang aku tarik kebawah. Aku
tutup pintu dari dalam, terlihat didalam rumah masih berantakan karena belum
sempat aku bereskan, kardus-kardus bekas barang baru dan plastic berserakan
dimana-mana. Aku melihatnyapun cuek, aku lalui dengan kesombongan membiarkan kekotoran
rumahku sendiri yang baru aku beli dua tahun yang lalu ini.
***
Kelelahan
hari ini membuatku harus tidur agak lama, aku bangun jam tujuh pagi. Dengan
sigap aku bangun dari tempat tidurku berjalan ke arah dapur mengambil minum.
Aku tenggak air mineral isi ulang hampir tiga gelasan. Serasa sudah terasa
normal, aku ambil handuk di teras belakang yang aku pasangi tali agar bisa
kugunakan sebagai jemuran.
Istirahat
lebih membuat badan terasa segar dan semanat memang. Benar pula apa yang
guru-guru saya bicarakan saat aku masih menempuh pendidikan menengah. Sesampai
kantor aku langsung masuk ruangan pribadiku, sekelas kepala bagian memang sudah
memiliki ruangan sendiri. Panjangnya kisaran empat meter dengan lebar tiga
meter. Terlalu kecil untuk seukuran ruangan bagi pekerja sesibuk saya. Selepas
jam istirahat aku bertemu dengan bagian perlengkapan untuk mengambil barang
yang harus saya bawa ke Lamongan. Ternyata
selain dapat barang aku juga dapat teman perjalanan, Ibu Rosa, perempuan kepala
empat itu memang sudah kerja lama diperusahaan ini. Aku kenal beliau sudah
sejak lama, namun ruangan dan job dish yang beda membuat kita jarang ketemu dan
bertukar sapa.
Tepat
pukul jam dua siang aku gas mobil kantor bersama Ibu Rosa dari Gresik ke
Lamongan. Dalam perjalanan aku mulai obrolan dengan Ibu Rosa.
“Sekarang
sudah naik gaji belum Bu Rosa” –tanyaku padanya.
“Belum
Pak Bagas, masih nyantol di Rp. 3.250.000 nich” –sahut Bu Rosa dengan senyumnya
yang menyeruak bagai bunga kenanga yang menebar keharuman ditengah malam- Meski umurku masih 27 tahun, dengan jabatan
yang lebih tinggi dari Bu Rosa membuatnya hormat padaku.
Dengan
bercanda akupun menimpali Bu Rosa, -“Yang sabar Bu Rosa, itukan uda gaji yang
tergolong tinggi daripada karyawan lain bu. Diluar kantor gini lebih nyaman
kalau Bu Rosa panggil saya dengan Bagas saja bu, sungkan kalau Bu Rosa harus
manggil saya pakai Pak Bagas, terlihat sudah berumur saja bu hehe” –kekehku
pada Bu Rosa.
“Yah
Pak Bagas ini bisa aja lho, saya ini kan bawahan Pak Bagas dikantor. Wajib donk
saya panggil pakai Pak. Kalau manggil mas Bagas nanti dikira orang Pak Bagas
ini anak saya haha” –bicaranya diakhiri tawa kecil Bu Rosa yang anggun, bola matanya
yang hilang ditelan senyumnya serta barisan gigi kecil Bu Rosa semakin membuat
sosok Ibu Paruh baya ini semakin anggun dimataku.
“Yaudah
gini aja Bu Rosa. Kita buat kesepakatan. Tanpa mengurangi hormat saya kepada Bu
Rosa yang memang lebih senior dari saya. Tolong saat diluar kantor seperti ini
Bu Rosa panggil saya dengan nama Bagas, sedangkan saya panggil Bu Rosa dengan
nama Rosa saja. Gimana Bu ?” –tawarku pada Bu Rosa seakaan ini transaksional
saja.
Perjalanan
ke Lamongan sampai saat ini masih lancar-lancar saja, kemacetan dibeberapa
sudut jalan juga tak terlihat. Aku jalankan mobil dari kantor dengan kecepatan
normal saja, tujuanku memang santai dan menikmati perjalanan ini bersama Bu
Rosa.
“Okelahh
cocok Pak Bagas, Ibu setuju kalau kesepakatanya seperti itu. Mulai sekarang
diluar jam kantor saya panggil Mas Bagas hahaha” –tawanya Bu Rosa memberikan
ribuan tafsir bagiku, entah merasa nyaman dengan ksepakatan yang aku sendiri
buat untuk aku paksa Bu Rosa ikuti. Atau malah secara ak langsung aku telah
merendahkan posisiku sendiri sebagai Kepala Bagian diperusahaan elektronik
multinasional ini- Entahlah, pikirku
sederhana saja. Saya dapat akrab dengan teman jalan dinasku, Ibu Rosa Marlina
Trisnawati.
Rosa
melanjutkan pembicaraanya, “Iya mas Bagas, kalau kesepakatan seperti itu aku
mau. Asalkan kita saling tetap menghargai, sebagai atasan dan bawahan kita
dikantor ataupun sebagai teman diluar pekerjaan. Saya paling gak suka kalau
orang yang baru akrab denganku terus macam-macam denganku mas. Sudah berapa
kali saya mengalami hal seperti itu, entah orang menganggap saya ini wanita
apa. Mentang-mentang saya orangnya cantik dan mudah akrab dengan orang
dikiranya aku mau aja di apa-apain” –tuturnya malah menjadi semacam curhat
colongan dalam mobil.
Dalam
hatiku berfikir, ternyata sosok perempuan berkepala empat ini pintar sekali
dalam membentengi dirinya dari perlakuan kasar laki-laki hidung belang yang
sering bersamanya entah urusan pekerjaan atau urusan lain. Hanya dengan
curhatan semacam itu aku merasa di sanksi oleh dakwaan yang Rosa lancarkan.
Entah kenapa aku merasa ke sanksi dengan ucapanya. Moment curhat colongan Rosa
membuat kita diam lebih dari lima detik, namun satu detiknya terasa satu abad
saja bagiku. Entah, kenapa perasaanku campur aduk seperti ini. Apa gara-gara aku
sering berhubungan dengan tante Dina bak pasangan sehingga aku memiliki
perasaan seperti ini.
Lagi-lagi,
aku berada dilingkungan perempuan-perempuan dengan siksaan batin akibat
pelecehan seksual kaum adam.
Aku
jadi teringat tante Dina yang setahun perjalanan pernikahanya sudah di duakan
suaminya, mental-mental orang Indonesia utamanya orang Jawa yang sukanya sok
kuat padahal dalam hatinya hanya dapat menangis sudah dilakukan tante Dina kurang
lebih delapan belas tahun.
Tak
sadar dalam lamunanku berkendara, Rosa diam-diam melihatku dengan tatapan tajam
serius bak mengintrogasi setiap gerak gerik bibir dan bola mataku. Sepersekian detik
aku meliriknya dengan mata kiriku, aktifitasnya hanya memutar-memutar handphone
Samsung miliknya. Saat memutarnya sempat terlihat cincin pernikahanya yang
masih ia pakai. Cincin tersebut terlihat indah dengan jari-jari mungil putih
yang manis. Ohhh, mengapa fikiranku terlalu mengaggumi sosok yang baru aku
akrapi tak lebih dari sehari ini.
“Bu
Rosa mikirin apa tohhh” –sahutku memecah lamunanku sendiri.
“Tukan
keliatan kalau laki-laki memang tak pernah setia pada janji yang ia buat
sendiri” –jawabnya dengan tenang tanpa menoleh kepadaku. Apa yang perempuan ini
fikirkan tentangku sehingga seperti ini.
“Maksutnya
apa sich kok malah jawab pernyataan seperti itu” –sahutku padanya.
“Tadi
yang ngebet buat kesepakatan untuk diluar kantor manggil Rosa siapa yaa ? Ada
yang tau gak !! Ternyata semua lelaki memang begini, suka gombal, isinya cuman
modal omong dan modal kontol. Sama aja” –jawabnya dengan sangat men-sanksi
serasa berhadapan pada seseorang yang benar-benar telah melakukan kesalahan fatal.
“Hahahahaha,
sorry Rosaaa. Sorry sorry tadi sempet lupa kalau kita telah menyepakati untuk
diluar kantor memanggil nama sapaan saja. Tapi kenapa hal sesepele itu harus
dijawab dengan ketus dan penghakiman yang dapat-dapat membuat kaum adam rontok
mentalnya Ros ?” –jawabku pada Rosa.
Kenapa
orang yang baru akrab dengan saya berani dengan lancang bicara hal seperti ini
padaku. Apa Rosa tak sadar bahwa saya ini adalah atasanya, bisa saja saya
bilang ke Bu Iva agar membujuk suaminya memecat Rosa dari pekerjaanya. Namun sisi
hatiku yang lain merasakan bahwa pembicaraan Rosa adalah sebuah guratan hatinya
yang mungkin terdalam. Apa dia memang mudah akrab dengan orang yang baru
dikenalnya, kalau memang benar wajar saja kalau ceritanya tadi selalu
dilecehkan oleh para lelaki hidung belang. Bicaranya saja asal ceplos seperti
orang Batak, namun watak dan kerendahanya mencitrakan orang Jawa. Akhhh…..,
mengapa aku malah menjadi inteligen untuk diriku sendiri. Gagal faham saja aku
ini.
***
Selesai
urusan di Lamongan, saya dengan Rosa menginap di hotel dekat wisata Tanjung
Kodok. Dari luar, penginapan ini tampak besar dan megah. Dan memang benar, hotel
ini memiliki beberapa villa yang langsung menghadap kelaut sehingga menjadi
ketertarikan tersendiri. Saat melihat kanan kiri akhirnya saya putuskan
manginap di kelas VIP, saat saya tanya Rosa apa pendapatnya. Dia hanya menjawab
–“Kita satu villa aja Gas” –mulutku serasa terkunci dan diam seribu bahasa. Ini
apa-apan, dari berangkat tadi sempat perang dingin gara-gara cercaanya padaku karena
lupa kesepakatan yang aku buat, tapi kenapa ini malah ingin menginap satu Villa
denganku. Apa jangan-jangan Rosa ingin menyimpan anggaran dari kantor yang
memang telah kantor siapkan untuk perjalan dinas kita.
Kita
diantarkan pelayan hotel, laki-laki muda yang tak terlalu tinggi dengan rambut
terlihat basah dan murah senyum, memakai seragam berwarna biru laut dengan
sabar dan ramah mengantarkan kita untuk masuk Villa, saya sempatkan untuk
mengajak Rosa mengobrol. “Kenapa memilih satu Villa Ros ?” –tanyaku padanya
yang terlihat sibuk mengaggumi pemandangan sunset yang malu-malu keluar
tertutup awan sore.
“Yahh
selain irit, kita di Lamongan kan gak lama Gas. Ngapain juga ngebuang uang
cuman buat tidur aja, kan bisa dialihkan ke beli oleh-oleh atau yang lain. Nanti
di SPJ tembak aja pakai kwitansi langganan depan kantor kita” –jawabnya dengan
kekeh.
Akupun
hanya dapat bengong mati kutu. “Saya kira uang perjalanan dinas ini sengaja
kamu save karena ada keperluan lain yang mungkin jauh lebih penting Ros. Tapi takterduga
kau dan aku sama aja kelakuanya, suka nembak-nembak kwitansi gak jelas hahaha” –kekehku
padanya.
Rosa
juga ikut tertawa mendengar apa yang aku ucapkan. Bola matanya yang hilang
ditelan senyum anggunya membuatku tambah kaggum padanya.
Kami
tiba di ruang tengah Villa yang kita pesan, pelayan Hotel mengantarkan kami
sembari menunjukan mana kamar mandi, dapur, ruang santai. Dijelaskanya satu
persatu dengan sopan, tenang dan rijit. Sebelum dia minta izin pergi
meninggalkan kami, aku rogoh saku kiriku mengambil uang puluhan ribu sebagai
tip buatnya.
“Ini
tip buat kamu. Tak terlalu besar, tapi
bisalah untuk rokok kamu, thanks sudah dilayani dengan baik”
“Terimakasih
banyak pak, maaf malah merepotkan. Oh iya pak saya lupa. Kalau kamar disebelah
kanan tadi hanya single bed, biasa digunakan untuk anak-anak. Untuk bapak dan
ibu yang pasutri bisa pakai kamar depanya, itu double bed pak. Terimakasih pak,
saya tinggal dulu. Kalau perlu bantuan dapat pergunakan telfon di ruang tengah.
Selamat sore”
Saat
pelayan hotel menjelaskan tentang kamar dan ukuran bed-nya, saya lihat jelas
Rosa mengedipkan mata kirinya padaku. Entah itu kode apa, yang jelas mimik muka
Rosa menuturkan senyuman seribu satu tafsiran. Senyum itu memikatku, tapi aku
tak mau gegabah menyimpulkan bahwa Rosa juga mengaggumiku.
Read Sceane
01 on Di Balik Kehidupan Para Tante-Tante (Scene 01)
Bersambung to scene 3
No comments:
Post a Comment