DIBALIK KEHIDUPAN PARA TANTE-TANTE
*Ali
Ahsan Al-Haris
-Sebuah
ontologi pencarian jatidiri seorang anak bangsa, dikucilkan oleh bangsanya
sendiri, dikucilkan oleh manusia sesama bangsanya yang katanya peri kemanusian dan peri keadilan.
Sebuah cara pandang berbeda namun beresensi sama dalam menanggapi maraknya
kasus LGBT Lesbian, Gay, Bisexsual dan
Transgender.
PERHATIAN !!!
Penulis mohon maaf dengan amat sangat besar
jika ada nama, lokasi, setting kejadian yang hampir sama atau menyinggung
kepada pembaca. Karena penulis menganggap sebuah tulisan adalah salah satu
jalan bagi umat manusia untuk menyampaikan sebuah pesan moral menuju kebaikan.
Bacalah dengan bijak. Salam hangat dari
saya, teruslah membaca dan menulis.
Scene 1
Sumber Gambar : segiempat[dot]com |
Tiba-tiba
saja handphone Bagas berbunyi, dengan rasa kantuk yang teramat berat Bagas
mencoba mengambil handphonenya yang berada dalam saku celana jeans kumal yang
ia pakai selama lima hari. Saat Bagas melihat nomor yang menghubunginya
ditengah dinihari dengan rasa dingin yang menusuk tulangnya, tiba-tiba saja
Bagas malas untuk mengangkat telfon dari nomor baru tersebut. Bagas memang
memiliki kebiasaan tidak mau mengangkat telfon dari nomor baru sebelum tahu
nomor tersebut kepunyaan siapa. Kebiasaan aneh memang, namun Bagas merasa itu
adalah hal paling aman untuk terhindar dari orang-orang iseng yang suka
menggangunya.
Lagi-lagi
nomor tersebut selalu menghubungi bagas serasa ingin mengabarkan suatu hal yang
sangat penting. Dengan jengkelnya Bagas pun mengangkatnya, dengan malas pula
bagas menunggu nomor tersebut untuk bicara terlebih dahulu. “Haloo …. Halooo,
Gas Bagaasss. Udah males ngangkat telfon dari tante yaaa. Uda gak kangen lagi
sama tante Dina yaa” –suara tersebut
sontak membuat Bagas terhenyak dari rasa kantuknya yang amat terasa berat
karena seharian tadi lelah keliling meng-handle banyak kerjaan. Ya, suara itu
bernama panggilan Dina. Perempuan yang pernah Bagas kenal lewat sebuah forum
radio swasta di kota kelahiranya. Perempuan dengan nama samaran Dina tersebut
berpostur agak gemuk, dengan tinggi hampir sama seperti bagas, 175 cm.
rambutnya pendek sebahu, Nampak hitam dan agak ikal di ujungnya. Berkulit khas
orang Indonesia, sawo matang. Pemilik mimik muka yang suka senyum, badanya
terlihat agak gemuk jika sedang menggunakan rok mini skirt. Terlihat manis dan
seksi jika sedang menggunakan jeans dan kaos polo, memperlihatkan pantatnya
yang mulai kendor kebawah namun tetap menawan dengan payudaranya yang besar dan
terlihat padat dengan bantuan BH yang ia kenakan. –“Ekh ini tante Dina yaaa,
maaf tan saya kira yang telfon tadi siapa. Habisnya pakai nomor baru siiihh,
emang nomor yang lama kenapa tan ? –tanya Bagas pada tante Dina. Saat Bagas
menerima telfon dari Dina dia sedang berada diteras rumahnya, duduk dibangku
yang agak reot berpapan pohon jati dengan panjang kisaran dua meter dan lebar
yang tak kurang dari satu meter dengan banyak lobang disana sini bekas galian
rayap. Sembari menghisap rokonya, Bagas
antusias melanjutkan perbincangan dengan Dina yang pernag akrab lama dengan
Bagas sebelum bagas pindah luar kota karena ada suatu pekerjaan.
-iya
nich Gas, kebetulan tante lagi di Sidoarjo rumahnya suami tante yang orang
chines singapura yang dulu sering tante certain ke Bagas itu lho. Suami tante
lagi mau beli rumah burung wallet di daerah Kriyan, nakh tante ikut aja dech
sekalian minta jatah, soalnya setelah Bagas sibuk kerja dan Tomi juga jarang
ngasih jatah ke tante sekarang tante jadi kesepian Gas. –Pungkasnya dengan nada
centil dan merayu.
Mendengar
hal tersebut saya hanya tertawa sambil mencairkan suasana diantara perbincangan
kita. Dulu saat saya masih banyak dirumah memang sering menjadi lelaki
panggilan langgananya tante Dina, dari tante Dina juga saya kenal banyak
Ibu-ibu paruh baya. Mulai dari istri pengusaha, DPR, sampai istri Kapolresta
pun pernah minta jasa saya untuk dikencani. Sedangkan yang dimaksud Tomi oleh
tante Dina adalah laki-laki lain langganan dari tante Risa istri Kapolresta di
kota saya yang kemudian diambil oleh tante Dina dijadikan gundiknya pasca
kepergian saya.
“tante
di Sidoarjo sudah lama ?”. Tanya saya mengalihkan pembicaraan.
“uda
empat hari di Sidoarjo Gas, aku ama suami nginep di hotel deket alun-alun
sidoarjo, soalnya mobilisasi suami ama yang punya rumah wallet banyak dilakuin
deket alun-alun, jadi suami pilih penginepan deket sini juga”
“di
Sidoarjo cuman berdua atau sama si jagoan tan ? (Julukan dariku untuk anak
tante Dina) ?
Dengan
nada agak kesal tante Dina memotong bicaraku “kamu kok tanya gito to Gas, kan
bisa tanya-tanya yang lain. Tanya kabar tante kek, mau ngeladeni tante lagi atau
gak, sok-sok manjaain tante sama rayuan gombalmu dulu itu atau apalah. Kamu
banyak berubah Gas, apa sekarang kamu jadi simpenan Ibu-ibu yang lebih tajir Gas
?”
Ternyata siasatku dari tadi untuk mengalihkan
pembicaraan agar tak menjurus ke hal masalaluku gagal. Tante Dina dengan sigap
mengarahkan agar hubungan kita berdua yang dari dulu sempat renggang karena
kesibukanku terjalin kembali.
“Sorry
tan, bukan bermaksut apa. Lama tak ada kontak seenggaknya wajar donk Bagas
tanya kabar-kabar yang laen. Baru aja telfon uda ngebet pengen aja tante ini
hahaha”. –aku jawab dengan ledekan dan tawa, namun tante Dina menanggapi hal
tersebut sebagai lampu hijau bahwa dia masih ada kesempatan untuk kencan dengan
saya lagi.
“Gini
lho Gas, kamu kan tahu sendiri kalau sebenarnya tante sama suami tante uda gak
ada kecocokan lagi. Kita bertahanpun karena kasihan sama jagoan yang masih
kelas satu SMP belum patut untuk mengerti kondisi pernikahan kita yang memang
sudah diujung tanduk. Tante nyusul ke sidoarjo selain memang kangen sama
uangnya suami juga pengen minta jatah batin suami Gas. Tante bosan kalau harus
oral terus, apa lagi mau jadi lesbian seperti Ida yang dulu suka godain kamu
itu, tante ogah Gas” –dari suaranya terdengar jelas olehku bahwa tante Dina
sedang nelangsa perasaanya.
“hahahaha,
Bagas gak dijadiin simpenan siapa-siapa tan. Cuman terkadang memang di ajak
kencan istrinya bos Bagas. Dapetnya gak banyak, itung-itung ngeladeni istri bos
sambil ngerayu-rayu agar Bagas naik jabatan aja” –balasku kepada tante Dina.
“ternyata
kelakuanmu dari dulu yang bermodal rayuan maut itu tak pernah kau tinggalkan ya
Gas, selalu aja bisa ngerayu ibu-ibu berduit. Oh iya gas, gimana kabarnya Ibu
Risa, apa masih hubungan sama Tomi atau udah ganti sama laki-laki lain Gas ?
dengar-dengar sekarang Tomi jadi gundiknya Retno si pengusaha Hijab itu lho
Gas, masak kamu gak tahu”
-pembicaraan
tante Dina justru malah informasi baru buatku. Aku juga kaget saat tante Dina
bilang bahwa Tomi sekarang jadi gundiknya ibu Risa yang notabenya adalah owner
perusahaan hijab terkenal di Surabaya. Sosoknya yang muslimah yang secara kasat
mata orang melihat takan percaya dan menyangkan kalau Ibu Risa adalah wanita
seperti yang tanta Dina bicarakan.
Perbincangan
via telfon ini malah mebuatku semakin meninggalkan rasa kantuk dan dingin yang
dari tadi menyergapku. Entah karena rasa kangen pada tante Dina muncul kembali
atau informasi bahwa seorang pengusaha perempuan yang terkenal dengan produk
hijabnya ini membuatku semakin penasaran.
“Gas
… gasss … kamu masih disana kan gas ?
Haloo … Bagass…” –tante Dina mencariku dalam suaranya yang melolong tak tahu
waktu yang sudah menunjukan pukul 01.34 dinihari.
“Iya
tan, Bagas masih disini” –sahutku.
“Kamu
ngapain kok diem aja Gas, mikirin apa toh. Mikirin tante atau mikirin kabar
yang tante utarakan tadi Gas ?” –sahutnya tante Dina dalam kepercayaan dirinya.
Bersambung to scene 2
No comments:
Post a Comment