Wednesday, February 24, 2016

DIBALIK KEHIDUPAN PARA TANTE-TANTE

DIBALIK KEHIDUPAN PARA TANTE-TANTE


*Ali Ahsan Al-Haris


-Sebuah ontologi pencarian jatidiri seorang anak bangsa, dikucilkan oleh bangsanya sendiri, dikucilkan oleh manusia sesama bangsanya yang katanya peri kemanusian dan peri keadilan. Sebuah cara pandang berbeda namun beresensi sama dalam menanggapi maraknya kasus LGBT Lesbian, Gay, Bisexsual dan Transgender.  


PERHATIAN !!!
Penulis mohon maaf dengan amat sangat besar jika ada nama, lokasi, setting kejadian yang hampir sama atau menyinggung kepada pembaca. Karena penulis menganggap sebuah tulisan adalah salah satu jalan bagi umat manusia untuk menyampaikan sebuah pesan moral menuju kebaikan.
Bacalah dengan bijak. Salam hangat dari saya, teruslah membaca dan menulis.



Scene 1

Sumber Gambar : segiempat[dot]com
Tiba-tiba saja handphone Bagas berbunyi, dengan rasa kantuk yang teramat berat Bagas mencoba mengambil handphonenya yang berada dalam saku celana jeans kumal yang ia pakai selama lima hari. Saat Bagas melihat nomor yang menghubunginya ditengah dinihari dengan rasa dingin yang menusuk tulangnya, tiba-tiba saja Bagas malas untuk mengangkat telfon dari nomor baru tersebut. Bagas memang memiliki kebiasaan tidak mau mengangkat telfon dari nomor baru sebelum tahu nomor tersebut kepunyaan siapa. Kebiasaan aneh memang, namun Bagas merasa itu adalah hal paling aman untuk terhindar dari orang-orang iseng yang suka menggangunya.

Lagi-lagi nomor tersebut selalu menghubungi bagas serasa ingin mengabarkan suatu hal yang sangat penting. Dengan jengkelnya Bagas pun mengangkatnya, dengan malas pula bagas menunggu nomor tersebut untuk bicara terlebih dahulu. “Haloo …. Halooo, Gas Bagaasss. Udah males ngangkat telfon dari tante yaaa. Uda gak kangen lagi sama tante Dina yaa” –suara  tersebut sontak membuat Bagas terhenyak dari rasa kantuknya yang amat terasa berat karena seharian tadi lelah keliling meng-handle banyak kerjaan. Ya, suara itu bernama panggilan Dina. Perempuan yang pernah Bagas kenal lewat sebuah forum radio swasta di kota kelahiranya. Perempuan dengan nama samaran Dina tersebut berpostur agak gemuk, dengan tinggi hampir sama seperti bagas, 175 cm. rambutnya pendek sebahu, Nampak hitam dan agak ikal di ujungnya. Berkulit khas orang Indonesia, sawo matang. Pemilik mimik muka yang suka senyum, badanya terlihat agak gemuk jika sedang menggunakan rok mini skirt. Terlihat manis dan seksi jika sedang menggunakan jeans dan kaos polo, memperlihatkan pantatnya yang mulai kendor kebawah namun tetap menawan dengan payudaranya yang besar dan terlihat padat dengan bantuan BH yang ia kenakan. –“Ekh ini tante Dina yaaa, maaf tan saya kira yang telfon tadi siapa. Habisnya pakai nomor baru siiihh, emang nomor yang lama kenapa tan ? –tanya Bagas pada tante Dina. Saat Bagas menerima telfon dari Dina dia sedang berada diteras rumahnya, duduk dibangku yang agak reot berpapan pohon jati dengan panjang kisaran dua meter dan lebar yang tak kurang dari satu meter dengan banyak lobang disana sini bekas galian rayap. Sembari  menghisap rokonya, Bagas antusias melanjutkan perbincangan dengan Dina yang pernag akrab lama dengan Bagas sebelum bagas pindah luar kota karena ada suatu pekerjaan.

-iya nich Gas, kebetulan tante lagi di Sidoarjo rumahnya suami tante yang orang chines singapura yang dulu sering tante certain ke Bagas itu lho. Suami tante lagi mau beli rumah burung wallet di daerah Kriyan, nakh tante ikut aja dech sekalian minta jatah, soalnya setelah Bagas sibuk kerja dan Tomi juga jarang ngasih jatah ke tante sekarang tante jadi kesepian Gas. –Pungkasnya dengan nada centil dan merayu.

Mendengar hal tersebut saya hanya tertawa sambil mencairkan suasana diantara perbincangan kita. Dulu saat saya masih banyak dirumah memang sering menjadi lelaki panggilan langgananya tante Dina, dari tante Dina juga saya kenal banyak Ibu-ibu paruh baya. Mulai dari istri pengusaha, DPR, sampai istri Kapolresta pun pernah minta jasa saya untuk dikencani. Sedangkan yang dimaksud Tomi oleh tante Dina adalah laki-laki lain langganan dari tante Risa istri Kapolresta di kota saya yang kemudian diambil oleh tante Dina dijadikan gundiknya pasca kepergian saya.

“tante di Sidoarjo sudah lama ?”. Tanya saya mengalihkan pembicaraan.

“uda empat hari di Sidoarjo Gas, aku ama suami nginep di hotel deket alun-alun sidoarjo, soalnya mobilisasi suami ama yang punya rumah wallet banyak dilakuin deket alun-alun, jadi suami pilih penginepan deket sini juga”

“di Sidoarjo cuman berdua atau sama si jagoan tan ? (Julukan dariku untuk anak tante Dina) ?
Dengan nada agak kesal tante Dina memotong bicaraku “kamu kok tanya gito to Gas, kan bisa tanya-tanya yang lain. Tanya kabar tante kek, mau ngeladeni tante lagi atau gak, sok-sok manjaain tante sama rayuan gombalmu dulu itu atau apalah. Kamu banyak berubah Gas, apa sekarang kamu jadi simpenan Ibu-ibu yang lebih tajir Gas ?”

 Ternyata siasatku dari tadi untuk mengalihkan pembicaraan agar tak menjurus ke hal masalaluku gagal. Tante Dina dengan sigap mengarahkan agar hubungan kita berdua yang dari dulu sempat renggang karena kesibukanku terjalin kembali.

“Sorry tan, bukan bermaksut apa. Lama tak ada kontak seenggaknya wajar donk Bagas tanya kabar-kabar yang laen. Baru aja telfon uda ngebet pengen aja tante ini hahaha”. –aku jawab dengan ledekan dan tawa, namun tante Dina menanggapi hal tersebut sebagai lampu hijau bahwa dia masih ada kesempatan untuk kencan dengan saya lagi.

“Gini lho Gas, kamu kan tahu sendiri kalau sebenarnya tante sama suami tante uda gak ada kecocokan lagi. Kita bertahanpun karena kasihan sama jagoan yang masih kelas satu SMP belum patut untuk mengerti kondisi pernikahan kita yang memang sudah diujung tanduk. Tante nyusul ke sidoarjo selain memang kangen sama uangnya suami juga pengen minta jatah batin suami Gas. Tante bosan kalau harus oral terus, apa lagi mau jadi lesbian seperti Ida yang dulu suka godain kamu itu, tante ogah Gas” –dari suaranya terdengar jelas olehku bahwa tante Dina sedang nelangsa perasaanya.

“hahahaha, Bagas gak dijadiin simpenan siapa-siapa tan. Cuman terkadang memang di ajak kencan istrinya bos Bagas. Dapetnya gak banyak, itung-itung ngeladeni istri bos sambil ngerayu-rayu agar Bagas naik jabatan aja” –balasku kepada tante Dina.

“ternyata kelakuanmu dari dulu yang bermodal rayuan maut itu tak pernah kau tinggalkan ya Gas, selalu aja bisa ngerayu ibu-ibu berduit. Oh iya gas, gimana kabarnya Ibu Risa, apa masih hubungan sama Tomi atau udah ganti sama laki-laki lain Gas ? dengar-dengar sekarang Tomi jadi gundiknya Retno si pengusaha Hijab itu lho Gas, masak kamu gak tahu”

-pembicaraan tante Dina justru malah informasi baru buatku. Aku juga kaget saat tante Dina bilang bahwa Tomi sekarang jadi gundiknya ibu Risa yang notabenya adalah owner perusahaan hijab terkenal di Surabaya. Sosoknya yang muslimah yang secara kasat mata orang melihat takan percaya dan menyangkan kalau Ibu Risa adalah wanita seperti yang tanta Dina bicarakan.
Perbincangan via telfon ini malah mebuatku semakin meninggalkan rasa kantuk dan dingin yang dari tadi menyergapku. Entah karena rasa kangen pada tante Dina muncul kembali atau informasi bahwa seorang pengusaha perempuan yang terkenal dengan produk hijabnya ini membuatku semakin penasaran.

“Gas …  gasss … kamu masih disana kan gas ? Haloo … Bagass…” –tante Dina mencariku dalam suaranya yang melolong tak tahu waktu yang sudah menunjukan pukul 01.34 dinihari.

“Iya tan, Bagas masih disini” –sahutku.

“Kamu ngapain kok diem aja Gas, mikirin apa toh. Mikirin tante atau mikirin kabar yang tante utarakan tadi Gas ?” –sahutnya tante Dina dalam kepercayaan dirinya.


Bersambung to scene 2

No comments:

Post a Comment