Saturday, March 19, 2016

DIBALIK KEHIDUPAN PARA TANTE-TANTE 12




 *Alie Ahsan Al-Haris


Scene 12

Bagi yang belum membaca scene 10 dan 11, dapat di cek di :
Scene 10              : CERITA 10
Scene 11              : CERITA 11


Sore keesokan harinya selepas pulang kantor, aku berencana bertemu salah satu respondenku. Aku tak pernah bertemu denganya. Janjian yang kita buat hanya berawal dari tanggapan cepernya Sonson yang sampai saat ini belum kunjung kutemui juga. Calon respondenku ini mengajak bertemu di tempat ngopi. Hal pertama yang kubayangkan respondenku ini dari sebuah komunitas sastra pecinta buku dan hobi ngopi. Tak salah jika aku berpendapat seperti ini. Karena memang tanggapan untuk diliput berangkat dari terbitnya cerpen Pukat Cinta yang Sonson tulis.

Aku gas sepeda motor GL Pro yang sudah kupermak mirip CB 100 menuju alamat yang ditunjukan untuku. Aku pergunakan GPS untuk mempermudah sampai pada tujuan. Ternyata, alamat ini menuju salah satu Mall besar Surabaya di daerah Tunjungan. Selesai kuparkir sepeda, aku coba sms respondenku ini untuk sekedar tanya posisinya dimana. Dia memberikan salah satu nama coffe di dalam Mall ini. Sebelum bergegas menemuinya. Aku persiapkan rekaman kecil berbentuk bolpoint dan beberapa dasar list pertanyaan pada umumnya yang nanti akan kukembangkan sendiri sesuai tema.

Sampailah aku pada coffe pilihan respondenku. Secara kasat mata coffe ini terbilang mewah, interiornya banyak mirip perabot china berbalut warna merah. Terlihat dari luar cukup besar, didalam ruangan terdapat banyak pelanggan yang sedang sibuk ngopi dengan kesibukanya masing-masing. Kursi-kursi coffe ini sampai keluar pintu, aku pilih meja didekatku sekedar duduk dan menghugungi respondenku kembali. Kuletakan tas dan camera diatas meja, waiter menyambangiku menyodorkan senyum kepaksaan untuk menarik dan menyapa pelangganya sembari menyodorkan menu di coffe tempatnya kerja.

“Selamat malam pak. Mau pesan apa ?.” –sahut waiter dengan agak membungkuk tabik memberi hormat menanyakan pesan apa.

“Sorry mbak. Aku sedang nunggu client, pesanya nanti saja ya.” –aku jawab dengan rendah hati menikam rasa sungkanku padanya.

“Oh iya terimakasih pak. Selamat datang di coffe kami.” –kemudian dia nyelonong pergi kedalam dengan lenggok badan yang sepertinya memang telah dilatih oleh manajer coffe ini.

Aku pandangi kanan-kiri melihat sekiranya meja mana yang hanya diisi oleh satu orang selain aku. Calon respondenku ini sendirian atau berbarengan mengajak perwakilan komunitasnya. Lalu “Mas, aku ada dimeja nomor delapan. Aku bertiga dengan teman. Masuk kedalam saja.” –kubaca pesan singkat dari respondenku ini. Selama menjadi redaktur opini masyarakat pada Apa Kabar Surabaya, ini adalah responden  pertamaku. Harusnya aku tak perlu melakukan wawancara langsung. Karena memang sudah ada wartawan lain dikantor yang harus mengerjakan hal ini. Namun aku penasaran, rasa haus akan ilmu dan editing naskah yang kurasa kurang membuatku melakukan hal ini. Karena aku berfikiran menjadi wartawan plus redaktur adalah hal yang luar biasa hebat. Naskah yang terbit akan menjadi berkarakter dengan penekanan substansi dan karakter tokoh kalau memang ada. Terlebih aku pada divisi opini masyarakat.

Kulangkahkan kakiku kedalam coffe yang bermalut warna merah ini. Sesampainya pada pintu coffe. Kulirik sebelah kananku untuk melihat nomor berapa yang ada dimeja. Dua belas. Kisaran meja ini nomor delapan. Aku langkahkan kakiku kedepan kisaran tujuh langkah. Kutengok kanan kiri melihat nomor meja “Dari Apa Kabar Surabaya ya pak ?” –seorang perempuan muda menyapaku dari belakang. Sempat kuterdiam yang entah berapa lama untuk mengamati penampilan fisiknya. Aku taksir umurnya baru menginjak tiga puluh dua tahunan, paling tidak perempuan ini seumuran para seniorku di kantor. Berambut panjang sebahu, lurus dan hitam macam rambut yang langganan toning. Memiliki wajah ovale dengan bibir tipis yang dibalut lipstick bening. Tingginya hampir sama denganku, paling tidak seratus tujuh puluh lima centimeter. Itu sudah masuk hitungan dengan highheel warna merah yang dia kenakan. Serasa serasi dengan rok ketat berwarna biru tua diatas lutut dengan jenjang kaki putih memperlihatkan lutut putihnya.

“Oh iya mbak. Sudah lama menunggu ya”, -sahutku menyapanya. Terlihat disisi kanan  dua perempuan yang lama mengamati perjumpaan pertama kaliku dengan perempuan ini. “tadi ada lembur dikit dikantor.”

“Endak kok pak. –perempuan ini agak mengangkat kepalanya ke sisi kiri tersenyum padaku. Behel yang menancap digiginya membentang berwarna kebiruan. “mari gabung dimeja kita pak.”

Aku memgekor pada perempuan yang belum kuketahui namanya ini kemeja yang dia tuju. Aku duduk pada kursi yang dapat menyandarkan punggungku pada tembok. Aku rasai agak lelah seharian tadi bekerja. Hal ini rasanya diketahui tiga dara yang sedang memperhatikan lagakku. Aku keluarkan secarik kertas kecil berisi bagan list pertanyaan dasar yang biasa digunakan oleh para wartawan. Mereka bertiga ini tak mengetahui perekam yang telah berhasil kusisipkan pada kantong baju kerjaku. Semoga mereka tak mengetahui hal ini. Harapku.

Kulihat mereka bertiga saling bertukar pandang. Entah apa yang mereka fikirkan. Seperti menunggu kata-kata pembuka dari mulut wartawan yang ada dihadapan mereka. “Mau makan atau minum apa pak ? dipesan saja biar kita yang urus semua.” –perempuan yang tepat berada dihadapanku ini menyahut memulai obrolan yang sedari tadi sepi. Gambaran parasnya seperti orang yang suka membaca buku. Kesimpulan ini kutarik karena tepat dihadapanya ada sebuah novel yang aku kenal betul penulisnya. Genre novel tersebut feminis sekali, cocok kalau dibaca para perempuan. Sayangnya penulis yang karyanya berjilid-berjilid dan best seller itu terlalu melawan arus norma Indonesia yang tak setuju adanya percintaan sesama jenis. Ya itulah buku, banyak cara yang pengarang lakukan untuk menyisipkan propaganda, penghasutan dan cuci otak kepada pembacanya.

“Pesenkan aku kopi hitam, agak kental dan jangan terlalu pahit. Cemilanya tolong roti bakar isi coklat tanpa keju yang agak gosong., –perempuan ini mengangguk setuju dengan pesananku. “Oh iya, perkenalkan namaku Bagas.” –kuulurkan tanganku pada perempuan disampingku yang mengajak bertemu “Panggil aku Anisa. Nisa juga boleh.” –genggaman tanganya halus nan lembut, anggukan kepalanya memberi hormat padaku. Perempuan yang mengajaku janjian untuk wawancara ini bernama Anisa.

“Kalau Anisa sering memanggilku Sekar pak. Senang bertemu dengan bapak.” –cara perkenalan perempuan disamping Nisa terkesan aneh. Serasa ada yang dia sembunyikan dariku. Kalau berniat kenalan mengapa tak langsung saja sebutkan nama lengkap atau nama panggilan. Harus dia alihkan dengan Anisa biasa menyebutnya Sekar. Lucu. Atau apakah perempuan ini memang bergaya seperti ini. Akh entahlah. Perempuan yang ketahuan memiliki aksen bicara khas Jawa Tengah ini memiliki postur tubuh yang paling proporsional diantara dua temanya. Tak terlalu gemuk dan kurus, dapat kulihat dari besar lenganya yang kelihatan mulus tanpa bulu dan bercak sedikitpun. Rambutnya keriting pada ujungnya, berwarna kemerahan sengajaan salon dan muka terlihat natural tanpa make up meskipun sebenarya memakai.

Sebelum aku berjabat tangan dengan perempuan terakhir dimeja ini aku sempatkan lirik dia beberapa detik. Kucoba koreksi dari raut wahanya. Dialah yang memperkenankan aku untuk pesan kopi sebelum beranjak ke wawancara. “Kalau mbaknya ini siapa.” –tegurku memotong pandangan koreksianku padanya.

“Biasa dipanggil Novitasari. Aku sangat terkesan dengan cerita pendek berjudul Pukat Cinta yang minggu kemarin naik cetak. Aku rasa bapaklah redakturnya. Terimakasih telah sudi untuk sekedar melepas lelah ikut ngopi dengan kita bertiga.” –aku merasa tersanjung hasil editingku diapresiasi langsung oleh pembaca. Terlebih diapresiasi dihadapanku langsung.

“Okeh. Obrolan ini kita mulai darimana ?.” –kumulai untuk melempar pertanyaan pada mereka bertiga. Kusisir matanya satu per satu. Terlihat bengong dan mati kutu tanpa adanya jawaban. Aku rasa ini juga hal pertama mereka wawancara langsung dengan wartawan. Kebengongan itu kumanfaatkan untuk mengaktifkan perekam yang sedari tadi bersembunyi dibalik saku baju kerja.      

“Berapa kita harus bayar pak Bagas dalam liputan ini ?.” –Sekar membuka pembicaraan. Aku tertawa mendengar celetuknya. Ketiga mata perempuan ini melihat polah tingkahku yang aneh menurut mereka.

“Maaf, -kuatur nafasku kembali agar dapat bicara secara lancar ke Sekar –tolong panggil aku Bagas. Itu aturan pertama. Kedua, aku tak menerima upah hasil liputan. Sedangkan yang terakhir, jam berapa coffe ini akan tutup ?.” –giliran mereka yang tertawa terbahak-bahak mendengar celotehku. Aku terheran dibuat bingung oleh tiga dara didepanku ini. Anisa paling keras tertawanya, tak sempat dia tutup mulutnya, behel dengan warna kebiruan terlihat jelas menancap pada gigi kecilnya.

“Oke mas Bagas,” -Novi memotong lelucon yang tiga dara ini campakan padaku –“dalam liputan ini kita takan membayar mas Bagas. Setidaknya kita harus membayar pesanan kopi dan roti bakar yang mas Bagas tadi pesan.  Itu aturan yang mas Bagas harus terima,” –kekeh Novi –“coffe ini tutup jam sepuluh malam, sedangkan ini baru setengah tujuh malam. Kalaupun malam ini belum tuntas, kita dapat pindah ke coffe yang lain disekitar Tunjungan.”

Aku mengangguk menuruti permintaan Novi. Kiranya memang itulah yang perempuan-perempuan ini harapkan. Kufokuskan diriku pada Novi, kutanya dia “Tolong ceritakan komunitas kalian. Itu hal pertama kali yang harus aku ketahui.”

Novi melirik Anisa, alisnya berkedip seakan menyampaikan pesan bahwa yang berhak menjawab informasi komunitas ini  adalah Anisa.

“Gas,” Anisa memulai, “sudah diketahui zaman semakin berubah. Pola komunikasi, style dan cara menyelesaikan pekerjaan ikut berubah. Peradaban dari masa majapahit sampai orang tua kita saat masih kecil terbukti tak kuasa menahan atau melawan majunya zaman dengan membawa segala manfaat dan resikonya.” –Anisa pandangi aku dengan mata yang mengekerut, seakan fokus yang dipaksakan. Aku mengangguk menyetujui lontaran Anisa.

“Siapapun. Manusia siapapun dan dimanapun pada era modern seperti ini patut memperoleh pendidikan sebaik dan setinggi-tingginya. Tentu aku merasa dan masuk golongan itu Gas. Sungguh diriku masuk dalam efek zaman yang berubah ini, dengan segala kecanggihanya, kelimuwan yang tiada henti-hentinya menambah wawasanku terlebih rasa saling menghargai dengan pilihan hidup manusia sekelilingnya. Terbayang Inggris, Francis dan Amerika dalam benaku. Andai saja negara ini dapat menghargai setiap pilihan hidup yang diyakini oleh para warganya. Tapi sayang bayangan itu tak akan terjadi.” –aku bisa maklum dalam wawancaraku selalu diawali dengan prolog yang menyentuh hati. Termasuk awalan yang Anisa utarakan padaku.

“Sebagai seorang perempuan pendanganmu jauh. Bobot bicaramu sebagai perempuan yang membuat hal ini bernilai.” –aku sengaja tanggapi pernyataan Anisa, hal ini kulakukan agar suasana semakin cair dan terjadi obrolan yang ringan namun beresensi.

“Boleh kubertanya,” pertanyaan kuajukan pada Anisa. Balasan senyumnya menandakan jawaban kesediaanya “apa pendidikan tinggi yang kau tempuh ?.”

“Aku kuliah di Francis, ku ambil jurusan Psikologi. Sepuluh tahun kemarin aku dinyatakan lulus dengan predikan summa cumlaude. Aku kembali ke negeri ini karena dijodohkan oleh ayahku dengan anak menteri.” –pada saat itu pula tak terhitung kutelan ludah berkali-kali. Gila. Perempuan yang ada dihadapanku ini lulusan Psikologi dengan predikat summa cumlaude. Aku bisa apa, kalau aku tak hati-hati bertanya padanya. Bisa jadi ini menjadi malam terkonyolku.

“Oke. Anisa boleh lanjutkan,” –kuteguk kopi yang baru datang. Tanganku sibuk mencari-cari rokok dalam tas. Ternayata kau ada disaku jaket, kali ini aku membutuhanmu wahai rokok. Kuhidupkan korek dan kuhisap dalam-dalam tanpa ampun. Tak perduli ketiga dara ini tak nyaman dengan asap rokokku. Karena yang jelas, Anisa memang sudah mengetahui bahwa aku gugup. Aku kehilangan fokus karena mendengar perempuan ini pacarnya anak menteri yang aku sendiri tak tahu menteri apa. Bisa gawat kalau salah pertanyaan. -“dengan pendidikan Eropa aku menjadi sadar pentingnya rasa memiliki. Entah itu terhadap apapun. Terutama masalah hati dan jalan hidup. Semua manusia dibumi ini dipandang sama. Entah dia perempuan atau lelaki. Peranakan, jawa, sunda, tionghoa bahkan yang tak memiliki etnis sekalipun. Mereka itu sama didepan hukum dan didepan manusia.” –mukanya terlihat sangat serius dengan apa yang disampaikanya ke satu meja ini. Terasa olehku Anisa ingin satu meja mengetahui hal tersebut bahwa perempuan wajib dihormati dan hargai atas pilihan jalan hidupnya.

Aku rasai Anisa lebih tahu tentang perempuan daripada kedua temanya. Begitupun Anisa tak tahu dengan fikiran tentang perempuan yang sedang kedua temanya fikirkan pula.

“Menurut penglihatanku. Kau ini seorang yang berpengetahuan luas, tertib, dan lebih dari itu semua : kau terpelajar. Kau pandai sekali dalam bicara, aku yakin kau juga pandai dalam membawa diri,” –obrolanku berhenti sejenak. Kubuang abu rokok yang tak kusadari memanjang menggeleot mau menjatuhkan diri. –“dengan pengetahuan dan pengalamanmu di Eropa. Apa hubunganya dengan komunitasmu yang dari awal kita bicara tadi tak sedikitpun kau singgung sama sekali.” –aku sengaja meledek Anisa dengan pertanyaan tersebut. Senyum halus nan manis menampak mewujud dihadapanku. Akh kau ini, senyuman atau rembulan, begitu indah nan membius.



Bersambung ke Scene 13

No comments:

Post a Comment