Thursday, January 2, 2020

Resensi Buku Seorang Laki-Laki Yang Keluar Dari Rumah Puthut EA

"Laki-Laki dan Dendamnya Dengan Mantan Pacar Pada Buku Seorang Laki-Laki Yang Keluar Dari Rumah"


"Karena tidak selalu ada hubungan antara pernikahan dengan cinta. Cinta ya cinta. Menikah ya menikah. Hanya orang yang beruntung jika saling mencintai lalu menikah."




Saya dipertemukan dengan karyanya Mas Puthut dari bukunya yang berjudul Makelar Politik di tahun 2009, dan buku yang saya baca ini adalah buku kesekian kalinya yang saya baca. Saya memang belum membaca seluruh karyanya yang kurang lebih berjumlah tiga puluh dua buku itu, namun buku berjudul "Cinta Tak Pernah Tepat Waktu" dan "Seekor Bebek Yang Mati Dipinggir Kali" adalah karya favorit saya.

Bicara resolusi 2020, khususnya perihal literasi. Saya ingin setiap buku yang selesai saya baca di tahun 2020 akan saya resensi dan bagikan lewat platform sosial media. Sebenarnya hal ini sudah pernah saya rutinkan dari tahun 2012, namun tidak bertahan lama. Hanya bertahan kurang lebih di tiga belas buku. Jika ada kesempatan dan uang, dalam sebulan saya bisa membeli sebelas buku, tapi kapan membacanya itu yang jadi pertanyaan. Oleh karena itu, saya harap resolusi 2020 dengan membaca dan meresensi menjadi cambuk agar saya lebih semangat dan tertib dalam meresensi.
Buku "Seorang Laki-laki Yang Keluar Dari Rumah" terbitan "Buku Mojok" pertama kali terbit pada tahun 2017, dan 1 Januari 2020 saya baru selesai membacanya. Buku yang saya foto terbitan ke dua, dan kemungkinan akan bertambah lagi seiring makin terkenalnya Mas Puthut, Situs Mojok dan saya akui sendiri, karya Mas Puthut selalu menghadirkan kelucuan tanpa mengurangi sisi kritisnya. Jadi wajar jika banyak kalangan yang selalu menunggu buku terbarunya Mas Puthut.

Sedikit berbagi pengalaman. Biasanya saat hendak memutuskan membeli dan membaca buku, saya akan banyak mencari referensi tentang penulis atau buku yang akan saya beli lewat Mbah Gugel. Nah beda kasus jika saya membeli bukunya Mas Puthut, saya akan langsung menyambarnya di rak buku dan membawanya ke kasir. Hal ini saya lakukan khusus kepada penulis-penulis yang pengalaman saya membaca karayannya, tidak pernah membuat saya kecewa.

Buntut dari tidak mencari referensi tentang buku "Seorang Laki-laki Yang Keluar Dari Rumah" ini, saya dibuat bingung karena plot ceritanya kok gak nyambung antara part satu ke dua, tiga dan seterusnya. Sempat saya "Mbatin" ke Mas Puthut kok menerbitkan karya sebusuk ini. Akhirnya saya putuskan mencari hasil resensi dari para blogger di Mbah Gugel. Ternyata, bukan buku "Seorang Laki-laki Yang Keluar Dari Rumah" memiliki plot cerita jelek. Melainkan saya yang salah dalam teknik membacanya. "Anda bisa membaca novel ini dari setiap bab bernomor ganjil sampai tuntas baru kemudian membaca bab genap; atau membaca novel ini sebagaimana lazimnya, dari awal sampai akhir; atau tidak membacanya sama sekali, dan itulah orang-orang yang merugi”, itulah kutipan yang saya dapat dari para blogger dan dari situs mojok sendiri.

Langkah pertama yang saya lakukan adalah menekuk kertas pada bab ganjil. Begitu selesai, saya baru ngeh dan paham dengan plot ceritanya. Memang luar biasa keren, jarang-jarang saya mendengar ada buku dengan teknik membaca semacam ini.

Bayangan awal saya sebelum membaca buku ini adalah tentang perjalanan seorang lelaki (Suami), yang mencari nafkah untuk keluarganya kemudian menemui pelbagai hambatan. Ekspetasi saya benar, namun ada banyak sisi cerita di mana saya seperti ditarik kedalam cerita dan berposisi sebagai tokoh Pandu. Kita juga dapat menemui tokoh dalam cerita yang notabennya, itu semua adalah karakter rekaan kawan-kawan Mas Puthut sendiri. Sebut saja Rusli, Alm. Cak Rusdi Mathari, Kali (Anak Mas Puthut), Winda (Nama samaran untuk istri Mas Puthut) dan beberapa tokoh lain yang tidak saya kenal.

Sebelumnya mohon maaf jika resensi yang anda baca ini tidak mendetail. Tapi saya akan mencoba mengulas ulang scene cerita yang bagiku sangat menarik dan membekas.

"Seorang Laki-Laki yang Keluar dari Rumah” bercerita tentang dua sudut pandang karakter yang mewakili dua bagian bab berbeda, yaitu ganjil dan genap. Dua karakter ini saling berhubungan, namun cerita di setiap bab dari bagian mereka bisa berdiri sendiri.

Hal yang membuat “mungkin” beberapa orang kesulitan untuk membaca novel ini secara normal adalah penggunaan kata ganti orang pertama yang mewakili dua karakter berbeda. Kunci untuk membedakan mereka adalah bab ganjil atau genap. Namun seiring berjalannya waktu pembaca akan memahami karakteristik dua tokoh yang ternyata punya perbedaan sangat signifikan. Saat saya membaca cerita dari bab ganjil, sangat tampak jika karakter AKU pada bab ganjil menunjukan sifat selalu pesimis dan wasa-was terhadap hal yang dihadapinya. Kontras sekali dengan tokoh AKU pada bab genap.

Tema cerita yang diusung cukup berat, karena banyak membahas tentang politik, kepercayaan, budaya, cinta, dan persahabatan. Namun bukan Mas Puthut, jika tidak membuat tema yang berat menjadi mudah diterima.

Pemilihan kata yang tepat tidak berlebihan, tidak puitis seperti “Cinta yang Tidak Pernah Tepat Waktu”, membuat novel ini menekankan bahwa ini adalah cerita yang serius. Makanya bahasanya harus lugas dan mudah dicerna. Namun bukan berarti tidak ada kalimat yang cemerlang untuk dikutip, ada banyak, beberapa kalimat luar biasa yang akan memberikan semacam pemikiran panjang tentang kehidupan dan apa yang kita jalani selama ini.

Novel ini banyak menekankan bahwa keluarga adalah bagian paling terpenting yang harus didedikasikan semua orang untuk mencapai sesuatu yang mereka yakini sebagai kebahagiaan. Bahwa hidup manusia di dunia ini untuk mati dengan meninggalkan segala kebaikan.

Sebelum saya tutup, scene yang paling saya ingat dan menjadi residu kenangan adalah saat tokoh pasutri bernama Mas Budiman (Suami), Mbak Rukmi (Istri) dan Bumi (Anak mereka). Keluarga tersebut sedang dilanda musibah dengan sakitnya Mas Budiman. Anehnya, sakitnya Mas Budiman bukanlah sakit biasa, melainkan sakit karena menyimpan kenangan dengan mantan pacarnya dulu yang kini telah menjadi suami orang lain dan ibu dari anak-anak mereka berdua.

Scene tersebut sangat membekas karena Mas Puthut dengan cerdas melontarkan wacana "Apakah masih penting kata cinta untuk pasangan pasutri yang sudah memiliki anak satu?".
Terkahir, dan ini sangat menarik ...

"Karena tidak selalu ada hubungan antara pernikahan dengan cinta. Cinta ya cinta. Menikah ya menikah. Hanya orang yang beruntung jika saling mencintai lalu menikah."

"Kamu yakin?"


"Ya. Ada banyak temanku yang melakukan itu. Mereka menikah karena ya harus menikah. Sudah saatnya menikah. Mungkin ada sedikit cinta atau perasaan sayang satu sama lain. Tapi menurutku, rumah tangga dibangun dan didirikan tidak ada hubungannya secara erat dengan urusan saling mencintai. Ibarat makanan. Kita harus makan. Persoalan enak atau tidak, tidak ada hubungannya secara langsung. Beruntunglah pas kita makan dapat makanan enak. Tapi kalau tidak, ya kita tetap harus makan."


Terimakasih.
Malang, 2 Januari 2019.

Resensi Buku Seorang Laki-laki yang Keluar Dari Rumah, Resensi Buku Seorang Laki-laki yang Keluar Dari Rumah, Resensi Buku Seorang Laki-laki yang Keluar Dari Rumah, Resensi Buku Seorang Laki-laki yang Keluar Dari Rumah, Resensi Buku Seorang Laki-laki yang Keluar Dari Rumah, Resensi Buku Seorang Laki-laki yang Keluar Dari Rumah, Resensi Buku Seorang Laki-laki yang Keluar Dari Rumah, Resensi Buku Seorang Laki-laki yang Keluar Dari Rumah, 

No comments:

Post a Comment