Thursday, January 2, 2020

Lelaki Tua dan Kebiasaan Anehnya

Lelaki Tua dan Kebiasaan Anehnya


Saya mendengar kisah ini dari Bapak saya, atau bisa dibilang saya mencuri dengar obrolan antara Bapak dan Ibuk di meja makan. Bapak bercerita ke Ibuk tentang kawannya bernama X macak (Pura-pura) budheg (Tuli) di depan kawan-kawannya.

Sebelum saya lanjut, saya sengaja tidak memberitahu siapa bapak bernama, X itu. Padahal saat Bapak bercerita dapat dengan jelas saya dengar nama karakter yang dimaksud plus di mana karakter tersebut bekerja beserta jabatannya. Karena konteks tulisan ini bagiku agak sensitif, sesekali saya memang perlu mengelabuhi para pembaca siapa karakter utama yang saya ceritakan ini. Tujuannya jelas, agar karakter yang saya ceritakan ini tidak malu dikemudian hari. Selain itu, saya tidak ingin Bapak dan Ibuk saya stres mendengar anaknya diancam (Lagi)  akan dipenjarakan karena ada yang protes berkat tulisan yang saya tulis. Lha terus mengapa kudu menuliskan hal tersebut jika ingin menyembunyikan tokoh utama? Jelas kok, biar pembaca tahu bahwa banyak diantara kita yang anti kritik. Bahkan bisa jadi itu dirimu, raimu dewe.

Oke fokus.

Bapak saya mengenal X tidak terlalu lama, banyak dari kawan X menyebut jika X memiliki gangguan pendengaran setelah menjabat sesuatu. Informasi tersebut Bapak dapatkan dari kawan dekat X dan beberapa orang yang sebatas mengenal X. Kabar burung menyebut jika X terkena serangan astral dari rivalnya yang kala itu memperebutkan jabatan tersebut. Bapak sempat mempercayai kabar burung tersebut karena mayoritas menyebut demikian. Jadi, dalam beberapa kesempatan ngobrol dengan X, Bapak sering menggunakan nada bicara yang agak tinggi agar terdengar oleh X.

Sebagai keluarga dari lingkungan konservatif, kami memang mempercayai adannya gangguan semacam itu. Tapi diam-diam Bapak memendam rasa penasaran yang teramat tinggi. Apakah benar si X ini mengalami gangguan pendengaran, atau hanya akal-akalannya saja. Bapak adalah pembaca buku kelas berat, mungkin kebiasaan tersebut terbentuk sejak menempuh kuliah filsafat dulu. Jika Bapak adalah pengagum filsafat timur, saya kebalikannya yang terlalu fanatik dengan filsafat barat. Bahkan, banyak buku-buku di almari saya yang tiba-tiba hilang. Saat saya tanya ke Bapak siapa yang pinjam, jawaban Bapak santuy, "Gak hilang, cuman Bapak sembunyikan saja. Kamu tidak usah membaca itu. Gak berfaedah". Yah, saya menganggap itu adalah jawaban seorang Ayah ke Anaknya yang tidak ingin melihat anaknya tersesat dalam labirin eksistensialisme semu.

Rasa penasaran yang tinggi itu, Bapak pergunakan mengetes X apakah benar memilki gangguan pendengaran atau tidak. Dalam beberapa kesempatan ngobrol dengan X, Bapak diam-diam mengamati si X dapat mendengar nada suara yang rendah. Hal tersebut terjadi beberapa kali, Bapak sempat membuat hipotesa bahwa apa yang X lakukan adalah akal-akalannya saja. Sampai pada puncak rasa penasarannya, Bapak menanyakan secara langsung ke X apakah gangguan pendengarannya itu benar atau bohongan.

Sampai cerita ini ditulis, saya belum menemukan jawaban yang hakiki apa alasan utama Bapak memiliki rasa penasaran sebesar itu ke seseorang yang tidak ada sangkut pautnya dengan keluarga kami. Buang-buang energi saja, batinku.

Meski masih sebatas dugaan, saya yakin Bapak memiliki dasar yang kuat mengatakan jika X hanya akal-akalannya saja macak budheg. Usut punya usut, X banyak yang tidak suka jika dia menjabat sesuatu. Sadar posisinya terkepung tanpa koalisi yang pasti, jurus utama yang hanya X bisa lakukan adalah, macak budheg. Tentu macak budheg disini bermakna simbolik, bukan gangguan pendengaran asli. Melainkan mendoktrin diri sendiri untuk tidak sakit hati dan dendam ke siapapun yang mengatai diri kita jelek, hina, busuk dan makian lainnya.

Lantas, apakah macak budheg masih efektif kita lakukan hari ini? Bagi sebagian orang iya. Tapi ada yang menarik. Kawan saya pernah bercerita, Korps alumni organisasinya yang tergabung dalam WhatsApp group sebagian besar tidak suka ke Y. Ketidaksukaan itu muncul karena gerakannya Y yang terlalu licin dan mendominasi. Ketidaksukaan itu beredar luas di meja warung kopi, meja proyek, parkiran sampai toilet berdiri.


Macak budheg memang perlu, apalagi kita tahu jika masyarakat kita sebagian banyak hobi ngerasani, tanpa berani melakukan aksi. 

No comments:

Post a Comment