Bacaan Kok Gini-gini Aja
Terkadang saya berpikir buku-buku yang saya baca selama ini apakah berkembang atau begini-begini saja. Dalam artian apakah saya hanya penikmat realis, surealis dan sejarah, atau bacaan saya berkembang ke genre lainnya. Jika kalian bertanya apakah bacaan saya sejak SD sampai sekarang berubah genrenya, tentu iya. Tapi beberapa kawan seumuran saya masih ada saja yang membaca novel remaja, malah adik saya yang masih SMA kelas dua, sudah khatam "Dunia Sophie" karangan Gaarder yang notabennya buku tersebut lebih dikenal dikalangan para Mahasiswa Filsafat. Tentu contoh ini bukan berarti mengkerdilkan para pembaca yang saya maksut, tapi dua contoh yang saya sebutkan adalah contoh nyata sehingga muncul inisiatif tulisan sederhana ini.
Dari pengalaman saya pribadi dan contoh di atas, timbul pertanyaan lagi apakah kita tidak berkembang dalam mengakses bahan bacaan. Ada yang tidak tumbuh, ada yang tidak berkembang, ada yang terlambat sehingga kita membonsai dalam bahan bacaan itu-itu saja. Apakah salah jika seseorang yang berumur tiga puluh an membaca novel remaja, pun anak yang berumur delapan belas tahunan salah jika membaca Das Kapital nya Marx? Tentu ini pertanyaan menarik, tapi jika kita pikir lebih mendalam lagi ada beberapa hal yang (Mungkin) melatar belakangi masalah ini semua. Lingkungan dan pendidikan formal kita menjadi sumber yang menjadikan kita tidak berkembang dalam hal bacaan. Pengamatan saya pribadi (Tentu ini tidak ilmiah sekali), sangat jarang saya temukan para anak-anak yang sekolahnya sampai SMA atau para Santri (Contohnya adik saya sendiri) yang hidupnya di dalam pondok pesantren dapat membaca buku-buku semacam Metamorfosis dari Kafka, Arus Balik nya Pram, Haji Murat nya Tolstoy, Politik Kuasa Media karangan Noam Chomsky bahkan buku-buku karangan Francis Fukuyama dan Samuel Huntington. Tentu alasan di atas saya tidak mengada-ada, banyak dari mereka yang bahkan tidak tahu siapa penulis yang namanya sedang hangat di perbicangkan di jagad sastra, adik saya hanya mengenal para pengarang-pengarang besar dari kalangan arab, sedangkan kawan-kawan di desa saya hanya mengenal judul bukunya saja, penulisnya? Kalian tentu dapat menebak jawabannya. Sekali lagi, contoh yang saya sebutkan bukan berarti mendiskreditkan beberapa pihak. Saya hanya bicara contoh bahwa lingkungan dapat membentuk pola bacaan kita apakah berkembang atau tidak. Alasan kedua adalah pendidikan formal, menjadi seorang pelajar yang setiap disiplin ilmu dan pendapatnya harus berdasar ilmiah (Buku, Jurnal, Hasil Seminar dll) menjadikan kualitas dan akses bacaan pelajar menjadi sangat beragam, belum lagi jika para pelajar tersebut tergabung dalam kelompok diskusi, karya ilmiah remaja atau teater yang mengharuskan mereka semua kudu banyak rujukan dan studi kasus. Oke, sampai disini saya harap pembaca dapat membedakan dengan jelas apa yang saya maksut.
Selesai dengan faktor yang mempengaruhi akses bacaan, muncul lagi pertanyaan "Buku apa yang cocok dibaca oleh anak dewasa dan anak-anak?". Lha yo, pertanyaan yang bagiku membingungkan, bahkan jawabannya akan sama membingungkannya.
Sampai saat saya menuliskan ini, belum ada literatur ilmiah atau pendapat dari beberapa tokoh yang saya sepakati perihal bacaan yang cocok untuk orang dewasa dan anak-anak. Mengapa begitu sulit mengklasifikasikannya? Bagiku sederhana, ini bukan seperti kita sekolah Madrasah di mana "Jika seorang anak tidur dan mimpi basah (Keluar Sperma) lantas kita sepakati bahwa anak tersebut sudah baliq (Dewasa)" atau "Seorang perempuan haid dan dia sudah diwajibkan shalat lima waktu", tentu tidak sesederhana itu. Belum saya temukan ukuran baku anak di bawah dua puluh tahun harus membaca buku ini dan itu, pun sebaliknya.
Seperti halnya di tulisan-tulisan saya sebelumnya, masalah bahan bacaan itu masalah selera. Saya akan berkata jelek ke buku yang kalian baca meski kalian mendaku buku tersebut fenomenal. Karena ukuran bacaan bagus dan tidak itu masalah personal, masalah selera. Saya bahkan penulis besar tidak dapat membuat penyamarataan, buku mana yang seharusnya dibaca anak dua puluh tahun ke bawah: Gaarder atau Tere Liye?. Bahan bacaan untuk orang dewasa tidak hanya ditentukan tebal dan berat bahasan pada buku tersebut, kita sendiri yang menentukan, ke arah mana kita ingin berkembang dan tumbuh dalam hal bacaan. Jika sudah tahu, kita dapat menyusun semacam list buku apa yang akan kita baca selanjutnya. Sedikit contoh, saya memiliki seorang kawan yang getol sekali ingin mendalami peradaban-peradaban dunia, cara yang dia lakukan adalah dengan banyak bertanya ke seseorang yang di anggap menguasai bidang tersebut dengan membuat list buku apa saja yang harus dia baca. Artinya, kawan saya tahu apa yang mestinya dia baca, dia tahu bagaimana mengembangkan bacaannya secara sadar.
Terlepas buku mana yang harus di baca orang dewasa dan anak-anak, ada hal penting yang (Mungkin) sering kita lupakan. Yakni berwatak kanak-kanak saat membaca buku. Anak-anak yang selalu penasaran, berusaha menemukan hal baru sehingga kita dibuat terkejut dengan rahasia Illahi dan dunia.
Karena, pembaca yang tumbuh dan berkembang adalah tipikal pembaca yang memelihara roh anak-anak di dalam kepalanya. Yaitu roh ingin tahu yang sangat tinggi. Persis dengan apa yang disampaikan oleh Gaarder dalam buku "Dunia Sophie", filsuf abadi adalah anak-anak.
Terimakasih.
Salam hangat bagi pembaca semua.
Jangan lupa minum teh hitam tanpa gula, agar sadar jika hidup ini sudah pahit. Jangan kalian tambahi dengan masalah di luar diri anda yang akan membuat hidup semakin pahit.
Go a Head
No comments:
Post a Comment