Friday, December 27, 2019

Chanel Pornografi Itu Bernama KEMKOMINFO

"Chanel Pornografi Itu Bernama KEMKOMINFO"


Selepas cuti bersama dan libur natal, badan ini rasanya pegal sekali karena dua hari menempuh ratusan kilometer untuk sekedar menyenangkan batin, oh senaif inikah saya jadi kaum urban. Kembali ke kota perantauan, tepatnya 26 Desember 2019, di tengah kamar kecil saya meluruskan badan. Sembari bermain gawai, saya lihat ada notifikasi dari detik(dot)com yang memberitakan pencatutan nama Kementerian Komunikasi dan Informatika yang memiliki chanel di situs porno, Pornhub. Informasi tersebut pertama kali diketahui dari twitter dengan akun @sleepyheadbonzo yang mengcapture chanel atas nama Kemkominfo, dan parahnya akun atas nama lembaga plat merah tersebut sudah terverifikasi. Hahaha

Oh iya, aslinya hari ini saya ingin mempublish tulisan saya berjudul "Bacaan Kok Gini-gini Saja", tapi karena ingat kemarin siang membaca berita yang membuat jagad media viral, ya apa salahnya jika saya ikut meramaikan. Maklum, gini-gini saya pernah bekerja di media, jadi sedikit tahu bagaimana kerja seorang jurnalis agar tidak ketinggalan arus mainstream. Hehe

Mungkin yang sudah tahu atau pernah membaca "Philosophy in the Boudoir" karangan Marquis de Sade, akan membayangkan jika pornografi ini sebagai salah satu tukang ledek paling mengigit. Marquis de Sade melangkah lebih jauh dengan meledek sekaligus mengambil alih akal budi untuk meyakinkan kita bahwa tak ada yang lebih penting di dunia ini selain kenikmatan diri sendiri. Dalam kasus ini, viralnya chanel atas nama Kemkominfo di Pornhub membuat kita seolah-olah menjadi orang konservatif, mengutuk tindakan si pembuat chanel yang sampai saat ini masih belum diketahui.
Pada umumnya karya-karya pornografi diterbitkan secara anonim, selain untuk menghindari hukum, juga karena si penulis ogah untuk dikenal sebagai penulis yang membuat atau memasukan konten pornografi. Bagi pembaca yang pernah membaca buku "Saman" karangan "Ayu Utami", tentu akan paham bagaimana dia secara jelas menuliskan persenggamaan di karyanya, ya meski tidak terlalu vulgar. Tapi bagiku sudah cukup mewakili bahwa dia memasukan konten tersebut. Tentu sebagai pembaca yang bijak kita tidak serta merta menghakimi penulis ini atau yang lainya melakukan tindakan amoral, tidak. Bisa jadi karya-karya yang muncul dengan konten pornografi berangkat dari rasa marah terhadap moralitas korup, maraknya pelecehan seksual dll.

Sumber : @sleepyheadbonzo
Bicara pornografi memang tidak ada habisnya, apalagi di Indonesia yang mayoritas warganya beragama Islam. Bisa kalian lacak sendiri di Mbah Gugel jika negara kita adalah pengakses situs porno terbesar ke dua di dunia (Kalau saya tidak salah update lho ya). Saya jadi ingat saat menghadiri bedah buku "Aku & Film India Melawan Dunia" di Kafe Pustaka yang saat itu dihadiri langsung oleh penulisnya, Mahfud Ikhwan. Beliau berkata bahwa "Film India ibarat seperti film porno, diam-diam semua orang menyukainya tapi malu untuk mengakuinya". Tentu saya terlalu memaksa pernyataan beliau ke konteks tulisan ini, tapi begitulah film porno. Semua orang menyukainya, tapi malu mengakuinya. Haha. Parahnya lagi, di blog saya pernah menulis cerita pendek sebanyak dua belas part yang menceritakan tentang kehidupan seorang tante dengan brondongnya. Padahal saya tidak vulgar menceritakan kejadian esek-esek, saya hanya mencoba membuat pembaca blog terombang ambing antara dibikin merangsang atau emosi karena menunggu klimaks dari cerita pendek yang saya buat. Lucunya, cerita pendek tersebut menjadi lima besar tulisan saya selain Jilboobs yang berkonten dewasa alias 18+. Sehingga dari situ saya memiliki kesimpulan jikalau kita ini memang malu mengakui bahwa pornografi adalah idola kita.


Jadi, jika buku Philosophy in the Boudoir digunakan Marquis de Sade sebagai bahan kritik. Adanya chanel yang mengatasnamakan Kemkominfo bisa jadi adalah kritik bagi kita semua bahwa, jangan malu mengakui kita adalah penikmat pornografi.

No comments:

Post a Comment