Penis Mencari
Selangkangan
“Sudah dua minggu saya menikahi
Dewi Ayu, selama itu pula saya belum pernah tidur denganya”.
“Temanilah ia tidur Mas. Semenjak
kalian menikah, ia selalau tidur sendiri di kamarnya” – Ucap ku pada suamiku
yang sedang duduk bersila di halaman rumah sembari merokok dan membaca buku
tebalnya.
“Iya, Dik. Malam ini Mas akan
tidur dengan Dewi Ayu”.
Itu saja yang dikatakan suamiku, tak
ada lagi percakapan antara kami setelah itu. Saya kembali ke ruang tamu, memandang
lirih ke arah rak yang terisi penuh dengan buku menjulang sampai asbes. Dadaku
terasa sangat sesak, namun anehnya air mataku tiada sedikitpun keluar padahal
aku termasuk wanita 'baperan' yang sedikit-sedikit mewek, mudah sekali menangis
dan curhat di sosial media seperti yang kalian baca.
***
Dewi Ayu. Anak seorang juragan tuak
di sudut kantor kadipaten adalah seorang maduku yang telah menikah dengan
suamiku dua minggu lalu. Saya tidak ingat kapan tepatnya mereka menikah atau
memang saya tidak mau tahu tentang pernikahan mereka berdua.
Dewi Ayu adalah wanita yang
anggun, rambutnya hitam legam lurus panjang terurai, memiliki tinggi badan
sekitar 179 Cm dengan berat badan 70 Kg yang membuatnya tampak cantik dan
sangat seksi disokong payudaranya yang tampak besar dan membulat dari pakaian
yang ia pakai, bola matanya bulat berbinar dengan warna mata biru yang ia dapatkan
dari ibunya yang berasal dari Turki, alisnya hitam tebal, bulu matanya tidak terlalu lentik, dan
ia memiliki kulit yang mulus dan seputih susu.
Setiap lelaki yang melihatnya
seolah terbius ramuan yang tak bisa dijelaskan, yang ia pikirkan hanya
memperkosanya atau menikahinya. Jika berhasil memperkosanya, ia tidak perlu
repot-repot mencurahkan cinta kepadanya, tapi jika ingin menidurinya setiap hari,
maka ia harus menikahinya, entah dengan atau tanpa cinta.
Jika Dewi Ayu dilihat oleh para
perawan, para perawan itu akan menghujat Tuhan kenapa tidak dilahirkan seperti
dia. Jika yang melihatnya adalah para istri-istri tetangganya, ia banyak di cibir
karena membuat para suami mereka dalam bersenggama selalu membayangkan sedang
menyetubuhi Dewi Ayu. Padahal jelas, penis yang sedang keluar masuk vagina
mereka adalah penis dari suaminya. Bahkan ada kabar beredar, vagina Dewi Ayu
memancarkan cahaya yang sangat terang benderang membuat setiap lelaki yang
berhasil melihatnya pingsan tak sadarkan diri.
Sementara diriku seperti wanita
kebanyakan di negeri ini, tinggi 165 cm, memilki berat badan 56 Kg yang cukup
membuat orang mengataiku gemuk dan tidak seksi. Jika saya pergi ke luar rumah
untuk sebuah acara, saya harus memakai sepatu berjinjit agar tinggiku hampir
menyamai suamiku, lebih tepatnya agar ia tak malu jika kawan-kawanya mengatainya
memiliki istri yang pendek.
Dulu sebelum kita menikah, ia
selalu memujiku jika aku adalah wanita yang baik, bersahaja dan salehah. Kita
pertama kali bertemu saat saya menghadiri acara bedah buku di sebuah Café, saya
tak sadar jika selama acara berlangsung ia memandangku dengan rasa penasaran
untuk berkenalan. Beberapa waktu kemudian kita berdua kencan untuk pertama
kalinya, pekerjaan utamanya menjadi sales pakan udang yang berkantor di jalan
Ahmad Yani, dia juga memiliki usaha sampingan jual buku bekas, kalau pun ada
yang baru itu hanya buku bajakan yang ia dapatkan dari Yogya.
Memasuki umur pernikahan yang ke
delapan tahun, diriku yang dulu telah berubah, kata suamiku wajahku tidak
secantik dulu. Pipiku sudah macam roti dorayaki nya doraemon, tidak se tirus
dulu. Badanku sudah semacam gentong minyak curah di pasar tradisional, lipatan
pada perutku sudah macam gas LPG 3 Kg. Selain itu suamiku juga merasa sekarang
aku berubah menjadi istri yang sangat galak, dari bangun tidur sampai kembali
ke peraduan saya banyak mengatur suamiku dengan SOP, tak heran dalam guyonanya ia
berkata kalau aku lebih cocok untuk menjadi auditor saja. Meski keadaanku
seperti demikian, kutahu cintanya padaku semakin dalam, terlebih saat kehadiran
seorang putra yang sangat ganteng lahir dari rahimku. Motivasinya semakin
bertambah untuk bekerja dan mencari sumber penghasilan lainnya, lelahnya
terbayar lunas saat ia pulang kerja akan menjumpai putranya yang mirip sekali
dengannya.
Hingga kehadiran seorang
perempuan bernama Dewi Ayu, maduku yang tiba-tiba ada di rumah kami, aku pun
tidak mengerti apa sebab alasannya suamiku tiba-tiba telah menikah dengannya.
Sampai detik ini aku masih percaya jika ia hanya melaksanakan ajaran agama
bernama Poligami. Sebagai seorang Muslimah yang sedari kecil belajar agama dari
satu guru ke pondok yang lain, saya tentu mendukung apa yang suami saya lakukan
meski dalam hati muncul perasan yang sangat berat dan tidak ikhlas. Atau,
suamiku seperti lelaki di luar sana yang diliputi oleh nafsu birahi saat
melihat Dewi Ayu. Atau jangan-jangan, sebelum ia menikah telah melakukan
persetubuhan, apa jangan-jangan sebelum mereka menikah sudah ada jabang bayi di
Rahim Dewi Ayu?
***
Malam itu, selepas dua minggu
pernikahanya dengan maduku, ia benar-benar tidur dengan Dewi Ayu. Perasaanku
benar-benar remuk, fikiranku membayangkan suatu hal yang selama ini tidak dapat
saya bayangkan. Apakah Dewi Ayu benar-benar disetubuhi suamiku, apa suamiku
benar-benar tega melakukan persenggamaan selain denganku? Sudah empat hari saya
tidak menemuinya di ranjang, Anehnya saya tidak merasa marah sedikitpun, saya
tidak boleh memiliki dendam ke suamiku bahkan maduku.
“Sepertinya lebih baik jika saya
tidak tinggal di rumah ini selama beberapa minggu, mungkin satu bulan cukup”. –
Batinku, saya tidak ingin menganggu suamiku dan Dewi Ayu menikmati masa indahnya,
fase di mana saya dan suamiku sebut sebagai bulan madu yang tidak ingin
diganggu oleh orang lain termasuk pekerjaan dan orang tua.
“Saya rasa satu minggu cukup
untuk suamiku menikmati vaginanya Dewi Ayu. Konon setiap lelaki yang melihat
membuat bumi berhenti pada porosnya. Atau semua kabar itu salah? jika benar
mereka telah bersenggama, saya harusnya ikut merasakan bumi ini berhenti
berputar. Tapi mengapa saya tidak merasakan hal itu? Kenapa yang saya rasakan
hanya perasaan ini yang tercabik-cabik”.
Siang hari selepas saya menjemur
baju, di hari keempat setelah suamiku tidur sekamar dengan Dewi Ayu, saya menemui
suamiku untuk meminta ijin padanya agar dapat pulang, tinggal di rumah
orangtuaku selama seminggu atau lebih dengan alasan aku sudah cukup lama tidak
bertemu pun berkunjung ke rumah orangtuaku, aku kangeen ingin bertemu mereka.
Suamiku memberiku ijin pulang dan tinggal di rumah orangtuaku sesuai
permintaanku. Atas sikap suamiku ini cukup membuat perasaanku lebih baik, walau
tetap saja suasana hatiku masih terasa hambar, tiada bermotivasi bahkan selera
makanku yang selama ini cukup besar pun hilang sama sekali. Selama empat hari
terakhir ini saya lupa apakah ada sesuap nasi yang sudah masuk di perutku atau
tidak. Saya terlalu banyak membayangkan apa yang suamiku dan Dewi Ayu perbuat
di dalam kamarnya.
Besoknya, aku pun bersiap
berangkat bersama putraku menuju rumah orangtuaku yang tidak terlalu jauh.
Dengan sekali naik bus dari depan rumah dan menikmati perjalanan pulang selama empat
jam, bus antar provinsi yang kita tumpangi menghantarkanku ke kota yang
terkenal hasil tangkapan lautnya. Suamiku tidak perlu repot-repot mengantar kita
berdua ke sana.
Di tengah perjalanan ke rumah
orangtuaku, tiba-tiba air mata menetes begitu deras, saya usap dengan selendang
yang saya pergunakan untuk menggendong putraku. Airmataku turun semakin deras,
dadaku semakin sesak diiringi pecah tangis yang membuat satu bus mengalihkan
fokusnya ke saya.
Setelah tersadar dan cukup
memiliki kekuatan, saya beranjak dari tempat duduk dan pergi ke belakang
membuat kopi untuk suamiku. Novel tentang poligami itu saya tutup karena waktu
sudah sore dan anak-anak belum mandi, suamiku yang sedari tadi di kandang sapi saya
panggil untuk membantuku menyiapkan bahan masakan makan malam.
Kembali saya lirik novel itu dan
hendak membacanya kembali. “Beruntung sekali saya memiliki suami yang setia dan
tidak ada niatan berpoligami. Betapa sedihnya jadi tokoh utama dalam novel itu
karena harus membagi cintanya ke perempuan lain”. – Batinku.
Sekian terimakasih.
Ali Ahsan Al Haris
Malang, 18 April 2020.
No comments:
Post a Comment