Saturday, April 18, 2020

Resensi Novel Cantik Itu Luka Karangan Eka Kurniawan


Resensi Novel Cantik Itu Luka Karangan Eka Kurniawan



Biografi Pengarang
Eka Kurniawan lahir di Tasikmalaya, 28 November 1975. Ia memperoleh pendidikan dari Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dan lulus tahun 1999. Skripsi Eka yang berjudul Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis menjadi karya pertamanya, diterbitkan oleh Penerbit Aksara tahun 1999. Kemudian diterbitkan lagi oleh penerbit Jendela tahun 2002, dan diterbitkan Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2006.


Karya-karya Eka yang lain adalah Corat-coret di Toilet (Aksara Indonesia, 2000), Cantik itu Luka (Jendela, 2002; Gramedia Pustaka Utama 2004; dan diterjemahkan dalam bahasa Jepang dengan judul Bi Wa Kizu tahun 2006), Lelaki Harimau (Gramedia Pustaka Utama, 2004), Cinta tak Ada Mati dan Cerita-cerita Lainnya (Gramedia Pustaka Utama, 2005), Gelak Sedih dan Cerita-cerita Lainnya (Gramedia Pustaka Utama, 2005). Beberapa cerita pendeknya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Swedia. Eka Kurniawan sekarang tinggal bersama isterinya di Jakarta, Ratih Kumala, yang juga seorang penulis.  


Cantik itu Luka membuktikkan eksistensi karya sastra Indonesia yang berkelas dunia. Telah diterjemahkan lebih dari 20 bahasa, novel pertama Eka Kurniawan ini jelas masuk dalam daftar buku wajib dibaca.


Mungkin benar apa adanya apabila terlintas sosok ‘Pramoedya Ananta Toer’ ketika membaca sederatan tulisan milik Eka Kurniawan terlebih lagi tulisan pertamanya adalah Sastra Realisme Sosial pada macam karya milik Pramoedya, sehingga lambat laun tulisan-tulisannya mungkin membawa rasa tersendiri bagi mereka yang telah akrab dengan tulisan Pram.


Begitu pula Cantik itu Luka yang pertama kali terbit tahun 2002 dan digadang-gadang sebagai salah satu tulisan otentik paling mengangumkan yang pernah ada dengan memaparkan serangkaian sejarah Indonesia secara detail dalam bentuk kisah fantasi yang surealis dengan mencampurkan filsafat dan mitos serta keagamaan berbenturan dengan penyimpangan seksualitas.


Cerita dibuka dengan pemaparan yang surealis :
“Ketika pada suatu sore di akhir pekan bulan maret, Dewi Ayu bangkit dari kuburan setelah dua puluh satu tahun kematiannya”.


Bergidik ngeri namun menimbulkan sejumlah deretan pertanyaan terutama mengenai waktu latar belakang kejadian yang sengaja tidak disajikan oleh sang penulis.


Lambat laun, pelan dan pasti sesuai dengan sinopsisnya terceritakanlah mengenai bagaimana kematian sosok Dewi Ayu, seorang pelacur yang terkenal akan kecantikannya di seluruh pelosok Halimunda. Dia mati setelah beberapa hari melahirkan anak keempatnya yang tidak diketahui siapa gerangan bapaknya. Anak tersebut lahir begitu buruk rupanya tidak seperti dengan ketiga anak gadis lainnya yang kesemuanya cantik. Itulah yang terjadi, meskipun secara ironik ia memberikan nama Si Cantik kepada anak yang baru dilahirkannya dan dia mati setelahnya atas dasar kehendaknya.


Hingga suatu masa dia hidup kembali, bertemulah ia dengan Si Cantik yang kini telah menjadi perempuan dewasa dengan sosok sesuai dengan doa-doanya : Anak bayi yang hidungnya menyerupai colokan listrik, telinganya sebagai telinga panci, mulutnya sebagai mulut celengan dan rambutnya menyerupai sapu dengan kulit serupa komodo dan kaki serupa kura-kura. Maka, berbanggalah dia atas itu semua.


“Tak ada kutukan yang lebih mengerikan daripada mengeluarkan bayi perempuan cantik di dunia laki-laki yang mesum seperti anjing di musim kawin.” – Dewi Ayu. (hal. 4)


Kenyataannya mau cantik atau tidak, kutukan tersebut selalu mengitari kehidupan Dewi Ayu, ketika Si Cantik ternyata hamil secara misterius tanpa gerangan mengetahui ayahnya – sama seperti yang terjadi dengan ibunya sendiri sepanjang hayat.
Maka, ketimbang melanjutkan perjalanan hidup Si Cantik, Eka selaku penulis memundurkan waktu pada masa sebelum Dewi Ayu menjadi sesosok pelacur  – ketika dia hanyalah sesosok gadis Belanda yang jatuh cinta pada seorang pria tua bernama Ma Gedik yang belum pernah ditatapnya dan dipaksa kawin dengannya akibat terobsesi dengan kisah cinta pria itu dengan Ma Iyang, yang menghilang ditelan kabut ketika lari bersama Ma Gedik diatas gunung demi cinta mereka berdua. Walaupun akhirnya, di hari selepas pernikahan mereka, Ma Gedik memutuskan kabur menjerit-jerit bagai tengah melihat setan dan terjun dari puncak bukit, terhempas ke bebatuan dan wajah-nya babak belur seperti daging cincang.


Konstruksi sejarah yang dinamis
Setelah itu cerita berjalan bagaikan mozaik yang terkonstruksi dengan dinamis. Pelan-pelan para pembaca akan dibawa kembali kepada masa kekuasaan Jepang di tanah ibu pertiwi.


Dewi Ayu yang merupakan produk asli Belanda terpaksa harus mendiami kamp selama dua tahun, dipaksa bekerja dan hidup dalam nelangsa kesusahaan tiada habis bahkan merelakan keperawanannya kepada petugas sipir demi mendapatkan dokter yang dapat mengobati ibu temannya (Ola) yang tengah sakit walau ironinya, ibu itu telah mati sebelum sang dokter sempat merawatnya.


Nasib kemudian membawanya pada rumah Mama Kalong dengan kehidupan yang lebih layak, akomodasi dan fasilitas manusiawi serta asupan  makanan sehat dan bergizi. Tidak hanya dia sendirian saja yang menikmati itu melainkan beberapa teman seumurannya, termasuk Ola. Dan itu semua dibayar dengan harga mahal, yaitu tubuh mereka atau dengan kata lain disitulah pertama kali Dewi Ayu menjadi seorang pelacur.


Inilah kali pertama pembaca akan menyadari tempo waktu yang ada pada Cantik itu Luka melalui penggambaran tokoh Dewi Ayu sebagai budak seks atau lebih dikenal Jugun Ianfu pada zaman penjajahan Jepang di Indonesia di tengah berkecamuknya perang Asia-Pasifik atau perang dunia kedua, tahun 1943-1945.


Jugun Ianfu berasal dari kata Jepang yang berarti ‘perempuan penghibur’ (comfort woman) tentara kekaisaran Jepang dimasa perang Asia Pasifik. Pada praktiknya, wanita-wanita ini bukanlah sekedar penghibur semata melainkan budak seksual yang brutal, terancana, dan terorganisir secara rapih.


Sama halnya dengan Dewi Ayu, pada kesejarahannya para Jugun Ianfu ini dijanjikan banyak hal seperti sekolah gratis, pekerjaan rumah tangga, pelayan atau bisa pula yang tercantum pada Cantik itu Luka, yaitu dibayang-bayangi pekerjaan sebagai sukarelawan Palang Merah Indonesia (PMI) namun pahitnya dijadikan sebagai seorang pelacur.


Mereka kemudian tinggal di rumah bordil a’la jepang yang disebut Ian-jo, biasanya terdapat dibekas asrama peninggalan Belanda, markas militer Jepang dan rumah-rumah penduduk yang sengaja dikosongkan. Tempat-tempat itu biasanya dijaga ketat oleh tentara Jepang.


Malam itu Dewi Ayu mendengar dari kamar-kamar mereka, jeritan-jeritan histeris, perkelahian yang masih berkelanjutan, beberapa bahkan berhasil melarikan diri dari kamar dalam keadaan telanjang sebelum tentara berhasil menangkap dan melemparkannya kembali ke atas tempat tidur. Mereka melolong selama persetubuhan yang mengerikan itu ….  (hal. 86)


Kebanyakan kaum  Jugun Ianfu  dapat digolongkan sebagai perempuan yang berasal dari keluarga baik-baik. Di antaranya masih ada yang gadis, bahkan di bawah umur. Ancaman pihak militer Jepang membuat mereka takut menolak. Praktik budak seks ini diadakan sebagai wujud perayaan atau pesta kepada tentara Jepang agar dapat menghilangkan kegilaan mereka terhadap perang. karenanya, kerap kali sering terjadi pemerkosaan massal ataupun ‘Sadomasokhisme’. Tidak mengagetkan apabila banyak perempuan yang ditemukan mati  telanjang seusai melayani hasrat berahi para tentara.


Rekam sejarah lain yang dapat ditemukan dan meruntun sejarah dalam Cantik itu Luka adalah perseteruan antara Sang Shudanco dan Kamerad Kliwon hingga berujung kepada Maman Gendeng. Masing-masing tiga pria tersebut mewakili perbedaan zaman namun menyambung ibarat benang merah yang tidak dapat terputuskan.


Dewi Ayu akhirnya melahirkan tiga anak perempuan yang sangat cantik di Halimunda, bernamakan Alamanda, Adinda dan Maya Dewi. Mereka bertiga masing-masing mewakili sifat binal, keras kepala dan ketegaran sosok ibunya.


Karena saat ini kita sedang membicarakan mengenai konstruksi sejarah dalam Cantik itu Luka maka semua dimulai dengan berkembangnya kelompok golongan kiri yang kala itu dikenal dengan sebutan Komunisme – para simpatisan Marxist yang setia hingga akhir hayat.


Adalah Kamerad Kliwon yang merupakan simbol dari Kekuasaan Komunis di wilayah Halimunda yang berseteru dengan Sang Shodanco, perwakilan dari lambang kekuatan tentara poros kanan atau veteran pejuang yang haus akan pengakuan.


Dikisahkan dalam Cantik itu Luka, Komunisme muncul sejak masa perang dan kependudukan Belanda namun akhirnya kembali di panggung politik setelah Jepang menyerah pada tahun 1945. Disela-sela pertumbuhannya terdapat pergerakan buruh nelayan yang merasa bahwa para penguasa di Halimunda (dalam hal ini Shodanco) telah rakus dengan menggunakan kapal-kapal besar untuk mengeruk hasil kekayaan laut sehingga para nelayan hidup penuh kekurangan. Disinilah peran Kamerad Kliwon dalam membangun perspektif mengenai komunisme, yang serba adil dan sama rata. Sehingga lambat-laun banyak masyarakat, terutama buruh yang mengikuti jalan sang Kamerad untuk menjadi seorang komunis.


Hingga tentu seperti yang kita ketahui dampak komunisme menyebar di seluruh pelosok Indonesia maka dengan kekuasaan otoriter tentara yang berada ditangan Soeharto kala itu, media tidak lagi memberitakan dengan dasar sebagai watchdog tetapi sebagai alat propaganda untuk menanam benih kebencian kepada komunis bahkan terjadi pelarangan penerbitan bagi media-media yang tidak mematuhi peraturan negara.


Semua laporan tampaknya begitu simpang-siur, dan satu-satunya informasi yang bisa didapat hanyalah radio yang sama sekali tak bisa dipercaya, sebab sejak pagi mereka melaporkan hal yang sama seolah itu telah direkam dan kasetnya diputar berulang-ulang: Telah terjadi kudeta yang gagal dari Partai Komunis karena tentara segera menyelamatkan negara dan mengambil-alih-kekuasaan untuk sementara. Laporan baru datang: Presiden berada dalam tahanan rumah. Semuanya serba membingungkan. (hal.302)


Terkenal-lah kemudian seperti yang telah kita ketahui nyaris setengah abad mengenai peristiwa berdarah Gerakan 30 September, sebagai ‘kudeta komunis’, membunuh jenderal golongan kanan TNI dan mayatnya dibuang di sumur. Hingga sampai saat ini spekulasi kebenaran mengenai keterlibatan partai komunis untuk pembunuhan para jenderal tidak menyakinkan atau bahwa Soeharto mengorganisir peristiwa, secara keseluruhan atau sebagian dan mengkambinghitamkan kepada komunis. Amerika Serikat sebagai salah satu negara penentang paham komunis pun ikut ambil bagian dengan tersiar kabar CIA adalah dalang dibalik semua perseteruan tersebut.


Langkah selanjutnya jelas adalah melakukan pembantaian massal terhadap para komunis di seluruh Indonesia. Tidak hanya sang komunis sendiri yang dieksekusi bahkan para keluarga, kerabat atau temannya sekalian ikut mati di gorong-gorong karena dituduh sebagai simpatisan dan pendukung komunis dan itu semua dilakukan tanpa dasar dalil yang kuat.


Teror berdarah menyebar dan setelahnya propaganda mengerikan ditanamkan sedari dini kepada anak-anak mengenai kekejaman orang komunis yang tidak diketahui kebenaran tunggalnya pada saat itu.


Dalam novel ini, sketsa pembunuhan para anggota komunis di Halimunda disajikan secara lantang, tegas dan frontal. Semua itu dimulai dari secara mendadak dengan ketidakdatangan koran pada pagi hari di halaman rumah partai PKI Halimunda, dan Kamerad Kliwon tetap menunggu walau kabar burung mengatakan para dewan utama Partai Komunis telah ditangkap dan ditahan karena dituduh melakukan kudeta.


Mereka dibunuh, baik oleh tentara reguler dan terutama oleh orang-orang anti-komunis yang bersenjata golok dan pedang dan arit dan apapun yang bisa membunuh, di tepi jalan dan membiarkan mayat mereka di sana sampai membusuk. Kota Halimunda seketika dipenuhi mayat-mayat seperti itu, tergeletak di selokan dan kebanyakan di pinggiran kota, di kaki bukit dan di tepi sungai, di tengah jembatan dan di semak belukar. Mereka kebanyakan terbunuh ketika mencoba melarikan diri setelah menyadari Partai Komunis hanya meninggalkan sisa-sisa reputasinya yang telah usang. (Hal. 312-313)


Dalam pembersihan anti-komunis, diperkirakan 500.000 komunis dicurigai telah dibunuh, dan PKI secara efektif dihilangkan. Dan paham-paham komunis yang serba Anti Pancasila dan Anti Agama tersebar seantero nusantara padahal menjadi kiri adalah berkomitmen terhadap pembebasan, perubahan, keadilan, dan kesetaraan.


Namun Eka nyatanya memiliki sense of humor yang satir juga, dengan menampilkan wujud propagandanya (pasca pembantaian) sebagai hantu-hantu komunis yang kembali bangkit dan menghantui para tentara dan seluruh warga di pelosok Halimunda.


Serangan hantu-hantu itu, hantu-hantu orang komunis, paling dahsyat dirasakan oleh Sang Shodancho. Selama bertahun-tahun sejak peristiwa pembantaian tersebut, ia menderia insomnia yang parah, dan kalau-pun tidur ia menderita tidur berjalan […] semua orang di kota itu merasakan hantu-hantu tersebut, mengenali dan takut oleh mereka […] (hal.354)


Kisah lantas segera bergulir menuju perseteruan antara polisi dengan para preman yang menimbulkan kekerasan dan keresahan di Halimunda. Maman Gendeng sebagai pemimpin para kelompok preman merupakan ikonik ‘Gali’ (Gabungan Anak Liar) yang dimasa kejayaannya harus dihentikan dengan penembakan misterius (petrus) yang ramai pada tahun 1980-an karena meresahkan masyarakat terutama di daerah Jakarta dan Jawa Tengah.


Pada zaman petrus, dalam sehari, di berbagai kota hampir dipastikan ada  saja mayat-mayat dalam keadaan tangan terikat atau dimasukkan dalam karung yang diletakkan begitu saja, di pinggir jalan, di depan rumah, dibuang ke sungai dan kebun. Mayat itu selalu identik dengan tato di dada dan kepala berlubang ditembus peluru.


Operasi itu dilakukan pada malam hari, untuk tidak menimbulkan kepanikan massal, penduduk kota. Para prajurit menyebar dalam pakaian sipil bersenjata, juga para penembak gelap, menuju kantong-kantong para begundal […] Pembantaian berlangsung di malam kedua, dan malam ketiga, serta malam keempat, kelima, dan keenam serta ketujuh. Operasi itu berlangsung sangat cepat, nyaris menghabiskan seluruh persediaan begundal di Halimunda […] (hal. 445-446).


Pada tahun 1983 tercatat 532 orang tewas, 367 orang di antaranya tewas akibat luka tembakan. Pada Tahun 1984 ada 107 orang tewas, di an­­taranya 15 orang tewas ditembak. Ta­hun 1985 tercatat 74 orang tewas, 28 di an­taranya tewas ditembak. Komnas HAM mencatat terdapat sekitar 2.000 korban selama petrus bergentayangan. Hingga kini siapa para petrus itu masih menjadi misteri.


Mencatat Perilaku Seksual
Buku ini memang padat tetapi benar tersaji dengan elok karena tiada kecacatan pada pangkal ujung ceritanya. Selain mengambil ide mengenai sejarah di Indonesia, salah satu unsur yang menarik dalam Cantik itu Luka adalah bagaimana perilaku penyimpangan seksual disajikan dengan detal – teramat detail yang bagi mereka belum akrab dengan bacaan seperti ini mungkin bisa bergumam : Ini buku binal banget sih!. Tapi inilah salah satu daya tariknya dengan dapat menembus keterbatasan antara norma, budaya dan agama yang seringkali dilihat oleh masyarakat namun tutup mata, telinga dan hati tetapi bergumam hingga esok hari.


Pertama, incest. Dewi Ayu adalah anak dari pasangan Aneu Stammler dan Henri Stammler. Dimana mereka satu ayah, yaitu Ted Stammler. Mereka berdua hidup serumah sejak masih orok, dan keduanya jatuh cinta satu sama lain lalu dipergoki tengah bercinta dan akhirnya kabur dan meninggalkan Dewi Ayu yang masih merah berbalut selimut di dalam keranjang di depan pintu. Berpuluh-puluh tahun kemudian hasrat percintaan sedarah ini berimbas kepada cucu Dewi Ayu, yaitu Kristan (anak dari Kamerad Kliwon dan Adinda) memperkosa sepupunya sendiri, Rengganis (anak dari Maman Gendeng dan Maya Dewi) dan mencintai sepupu lainnya, Nurul Aini (anak dari Sang Shudando dan Alamanda) serta meniduri bibinya sendiri, Si Cantik.


Hubungan sedarah ini sudah tidak asing sebenarnya, folklor Indonesia mencatat terdapat beberapa cerita mengenai hubungan incest sejak zaman dahulu kala, seperti Sangkuriang yang jatuh cinta pada ibunya, Dayang Sumbi maupun kisah antara Prabu Watugunung yang menikahi delapan ratus tiga orang wanita sekaligus dengan dua diantaranya adalah, ibu kandungnya, Dewi Sinta dan anak kandungnya, Dewi Tumpak


Kedua, Bestiality. Kisah folklor di Halimunda mengenai Rengganis Sang Putri yang mengawini seeekor anjing. Ini kemudian bergulir ketika Rengganis, anak Maman Gendeng dan Maya Dewi mengaku diperkosa oleh anjing di toilet sekolah dan hamil karenanya. Ini juga terpaparkan dari bagaimana perilaku Kristan yang bertingkah menyerupai anjing dikarenakan cemburu dan ingin menarik hati Nurul Aini yang menyukai anjing.


Tapi ia kemudian sungguh-sungguh sering memamerkan dirinya sendiri sebagai anjing. Bukan karena gila, tapi sebagian besar sebagai upaya untuk menarik perhatian Ai. Jika mereka tengah berjalan bertiga, mungkin pulang sekolah atau sekedar jalan-jalan sore, dan ia melihat seekor anjing di kejahuan, Krisan akan menggonggong. “Guk, guk, guk!” teriaknya. Atau kadangkala ia jadi anjing kecil yang kesakitan, “Kaing, kaing,”, dan lain kali jadi ajak yang tengah melolong di malam hari, “auuuunnnnggg…” (hal. 420-421).


Menempatkan ikonik ‘anjing’ atau ‘ajak’ dalam Cinta itu Luka terkadang mengingatkan pada sesosok Tumang, seekor anjing yang mengawini Dayang Sumbi dan akhirnya memiliki anak manusia, bernama Sangkuriang. Seperti yang telah diutarakan sebelumnya, “from bestiality to incest.”


Ketiga, Sadomasokhisme. Ini jelas terang-terangan terpaparkan bagaimana perilaku hasrat seksual Sang Shudanco yang memperkosa Alamanda dengan mengikatnya di atas kasur dalam keadaan telanjang bulat dan diperkosanya ia berhari-hari terus menerus tanpa ampun. Sang Sudancho adalah potret pemerkosa sadis yang bertindak berdasarkan dorongan sadistik atas korban (Alamanda) yang tidak bersedia, tetapi tidak melukai serius dan tidak membunuh.


Keempat, Pedofilia. Walau tidak secara gamblang tersajikan dalam Cantik itu Luka ini adalah kritik seputar pernikahan di bawah umur yang kerap terjadi di masyarakat rural, seorang anak gadis belum berdarah dinikahkan oleh seorang pria tua, entah itu untuk menaikkan status sosial atau terlilit hutang pihutang. Melalui penggambaran Maya Dewi yang kala itu masih berumur dua belah tahun lah tersirat dengan menikahi Maman Gendeng, preman berumur kepala tiga.


Kelima, Spectrophilia. Bagi yang awam – kecenderungan seksual ini adalah mereka yang mengaku telah berhubungan badan dengan roh atau hantu. Sebenarnya bisa ‘iya’ atau ‘tidak’ penyimpangan seksual ini terhadap di Cantik itu Luka namun tetap menarik untuk diikut ketika melihat wacana Si Cantik yang jatuh cinta dan bersetubuh dengan seorang pria yang tidak dapat dilihat oleh Rosinah maupun Dewi Ayu walau jelas – itu adalah Kristan yang dibantu oleh kekuatan magis. Bukti-buktinya memang tidak cukup untuk mencantumkan kecenderungan seksualitas ini tetapi walaupun “iya” maka yang dialami oleh Si Cantik adalah incubus – Roh atau hantu laki-laki yang mengambil tubuh laki-laki dewasa untuk becinta dengan wanita dan menghamilinya.


Sedikit perdebatan : Kritan tengah stress karena telah mencintai dan bernafsu oleh wanita cantik, sepupunya sendiri dan kemudian digagasi oleh sesosok iblis untuk menemui si Cantik yang buruk rupa. Secara tubuh mungkin memang dia tidak dirasuki tetapi secara pikiran, ia telah dimanipulasi oleh sang iblis yang menyebarkan dendam kepada keturunan Dewi Ayu.


Sebab cantik itu luka. (hal. 478)

****

Tema                     : Penindasan dan Kekejaman di zaman colonial
Sudut Pandang    : Orang Ketiga serba tahu
Gaya Bahasa        : Pengarang menggunakan bahasa indonesia
Amanat                 : Tidak semua keburukkan itu memiliki niat yang buruk, Jangan suka  memaksakan kehendak sendiri, Sesuatu yang tidak di landasidengan cinta dan kasih sayang tidak akan memberikan hasil yang baik dan bermanfaat, Pernikahan sedarah itu di larang.
Penokohan         :
Ma Gedik, Lelaki polos,Setiadan pendendam. Ia yang mengenal cinta setelah berusia sembilan belas tahun.

Ma Iyang, Tokoh yang berwatak keras kepala dan rela berkorban.

Dewi Ayu, Sosok yang cerdas , keras kepala, cantik,dan pemberani.

Ted Stammler, adalah orang yang setia dan berdedikasi tinggi pada negaranya.

Marietje Stammler, adalah orang yang terlalu khawatir dalam hal apapun terlebih mengenai suaminya dan kehidupan mereka setelah datangnya tentara Jepang di Indonesia.

Henri Stammler, Pemuda yang menyenangkan, pandai berburu babi bersama anjing-anjing Borzoi yang didatangkan langsung dari Rusia, pemain bola yang baik dan pandai berenang. Henri Stammler juga tipe orang yang nekat. Kenekatannya terlihat sekali saat ia jatuh cinta pada Aneu.

Aneu Stammler, mempunyai sifat yang lain tidak jauh beda dengan Henri yaitu nekat. Aneu nekat menjalin cinta terlarang dengan saudara tirinya sendiri yaitu Henri Stammler.

Alamanda, Seorang yang cantik namun ia sombon g ia suka menaklukkan hati para pria namun setelahy itu ia putuskan. Ia hanya suka berhura – hura dengan teman temannya.

Adinda, Ia cantik tetapi tidak bersifat binal seperti kakak perempuannya, yaitu Alamanda. Adinda lebih pendiam, dan pintar. Ia juga seorang yang setia dan tidak pencemburu.

Maya Dewi, gadis penurut, ini dibuktikan dengan kesediannya menikah dengan Maman Gendeng atas desakan ibunya. Maya Dewi juga memunyai sifat ulet dan mandiri. Ia tidak pernah menggantungkan kebutuhan belanja rumah tangganya pada Maman Gendeng.

Shodancho, Seorang yang suka memaksakan keinginannya.

Kamerad Kliwon, pemuda yang sangat tampan dan cerdas. Kamerad Kliwon suka menggoda gadis-gadis, mabuk-mabukkan dan bersenang-senang. Ketika ia mengenal komunis, kehidupannya mulai berubah. Dan demikian juga Kliwon bukan lagi seorang mata keranjang.

Maman Gendeng, memiliki karakter yang sangat kontras dengan jiwanya yang merupakan seorang pendekar. Karena masalah cinta, ia menjadi sangat lemah luar biasa. Ia tidak bisa berjuang untuk merebut cintanya itu. Ia juga bertanggung jawab terhadap keluarganya.

Cantik, gadis yang cerdas. Ia menguasai banyak ilmu meskipun tidak pernah mengeyam bangku sekolah. Ia belajar dengan orang yang tidak terlihat.

Nurul Aini, adalah anak Shodancho dan Alamanda. Ia tomboy dan selalu berusaha menjadi pelindung bagi Rengganis Si Cantik.

Krisan, tipe orang yang tidak bisa menahan hawa nafsu . ia juga tipe orang yang tak bertanggung jawab.

Rengganis, Si Cantik ia adalah seorang yang idiot, gampang terpengaruh.

Rosinah, gadis yang rajin dan cerdas. Ia merawat dewi Ayu dengan baik dan selalu setia kepada Dewi Ayu.

Mama Kalong, tidak bersifat egois. Ia merawat pelacur-pelacurnya dengan sangat baik. Ia sangat menyayangi Dewi Ayu dan menjadi salah satu orang yang berjasa besar pada kehidupan Dewi Ayu.  yang merawat Cantik saat Dewi Ayu telah meninggal. Ia juga seorang yang sabar.

Latar / Setting
Latar Tempat
Tempat yang menjadi Latar utama adalah kota Halimunda, sebuah daerah yang menjadi bagian dari Provinsi Jawa Barat. Dalam novel, kota ini bisa dilihat dalam paparan narasi pengarangnya, yaitu:
“…tentara-tentara reguler berdatangan ke Halimunda, yang tampaknya akan menjadi gerbang pengungsian besar-besaran ke Australia. Bagaimanapun, pelabuhan kapal Halimunda merupakan satu-satunya yang terbesar di sepanjang pantai selatan pulau Jawa. Pada awalnya tak lebih sebagai pelabuhan ikan kecil biasa, di muara sungai Rengganis yang besar, sebab letaknya di luar tradisi pelayaran”.


Selain Kota Halimuda adalah Pulau Buru, penjara Bloedenkamp dan Batavia.


Latar Waktu
Dimulai dari periode waktu saat Belanda masih jaya di Indonesia khususnya di kota Halimunda, saat pendudukan Jepang, munculnya orang-orang komunis, pembantaian komunis, saat Indonesia merdeka, dan beberapa saat setelah itu.


Saat Belanda masih berjaya bisa dilihat pada kesewenang-wenangan Ted Stammler mengambil Ma Iyang sebagai Gundiknya. Dalam hal ini, penulis menyebutnya sebagai tahun sebelum pendudukan tentara Jepang, yaitu sebelum tahun 1942.


Sekitar tahun 1970-an, orang-orang komunis banyak yang muncul. Tahun-tahun ini menjadi tahun penting dalam sejarah Halimunda. Peperangan saudara terjadi antara masyarakat yang pro komunis dan yang anti komunis.


Tahun 1976 Halimunda dipenuhi dendam. Saat tahun inilah banyak pembantaian kaum komunis di Halimunda.


Bukti yang lain bisa dilihat pada kutipan berikut:
“…ketika tahun 1979 ayahnya pulang, dalam rombongan terakhir tahanan Pulau Buru yang dipulangkan, dan waktu itu Krisan telah berumur tiga belas tahun, ia memandang ayahnya seperti orang asing yang tiba-tiba saja tinggal di rumah mereka”.


Latar Suasana: Sepi, Menyeramkan , Menegangkan, mengharukan dan membahagiakan.
Alur


Dalam novel ini, Eka Kurniawan menggunakan alur  campuran . Dalam keseluruhan cerita maupun dalam tiap babnya, CIL selalu dipenuhi dengan pemakaian alur  campuran tersebut. Cantik itu luka  diawali dengan kehidupan setelah mati si tokoh utama, yaitu Dewi Ayu. Ia dikisahkan sebagai perempuan pelacur yang meninggal setelah melahirkan anak keempatnya. Ia tidak pernah mengetahui bahwa anak yang diberi nama Cantik ternyata sesuai dengan harapannya sebelum meninggal, yaitu anak yang berwajah buruk rupa. Dewi Ayu meninggal karena keinginannya sendiri, tanpa bunuh diri. Ia ingin mati, dan dua belas hari kemudian keinginan itu terkabul.


Dewi Ayu sangat bersyukur bahwa anak keempatnya ternyata buruk rupa. Alasannya karena ia sudah terlalu bosan dengan ketiga anak terdahulunya yang cantik-cantik. Dewi Ayu bosan dengan anak-anak perempuan yang banyak disukai laki-laki. Cantik berarti luka. Cantik membawa perlukaan.


Selanjutnya, pada bab kedua, cerita berbalik pada masa lalu ketika ia masih muda dan menginginkan nikah dengan seorang pria tua bernama Ma Gedik. Ia kenal Ma Gedik dari cerita pembantu-pembantunya. Ia jatuh cinta tanpa mengetahui Ma Gedik sebelumnya. Yang ia tahu, Ma Gedik adalah kekasih neneknya, Ma Iyang, yang telah direbut Ted Stammler yaitu kakek Dewi Ayu sendiri. Dalam bab dua ini pula banyak diceritakan mengenai keluarga Stammler, dan diceritakan pula kisah cinta Ma Gedik dan nenek Dewi Ayu yaitu Ma Iyang mengenai masa lalu mereka.


Pada bab tiga sudah muncul tentara-tentara Jepang yang pada akhirnya nanti berpengaruh pada kehidupan Dewi Ayu seterusnya. Kekejaman tentara Jepang yang menjadikan Dewi Ayu pelacur membuatnya memutuskan  pelacur sebagai profesinya seumur hidup.


Pada bab-bab selanjutnya diceritakan secara berkelanjutan mengenai kehidupan Dewi Ayu mada masa Jepang, pada masa kemerdekaan, dan bagaimana hidup dia dan anak cucunya. Dalam menceritakan orang-orang yang menjadi bagian hidup Dewi Ayu, baik anak-anaknya maupun menantu-menantunya yang merupakan orang-orang yang aneh, Eka kembali menggunakan pembolakbalikan alur. Eka memunculkan Maman Gendeng setelah bertemu Dewi Ayu, kemudian dilanjutkan dengan penceritaan masa kecilnya, ia menceritakan Shodancho dan Kamerad Kliwon juga demikian adanya. Pada bab empat hingga lima belas berisi tikaian, rumitan, hingga klimaks. Dan bab enam belas hingga delapan belas sudah mulai pada penurunan masalah yang berisi leraian dan selesaian. Cerita berakhir dengan sad ending. Hampir semua tokoh meninggal, hanya tersisa empat anak Dewi Ayu yang semuanya telah menjadi janda dan hidup sendiri karena mereka juga kehilangan anak-anak mereka.   


Isi Resensi
Gaya Bahasa: bahasa yang digunakan mudah untuk dipahami namun penggunaannya  terlalu gamblang untuk anak usia dibawah 17 tahun sehingga anak terdorong untuk membayangkannya. 


Kelemahan
Pertama, Dalam ceritanya banyak hal – hal yang tidak senonoh, sehingga kurang pantas apabila di baca anak usia dibawah 17 tahun. Kedua, Ceritanya kedengaranya sulit di terima akal (tidak logis). Ketiga, Terlalu banyak tokoh yang diceritakan.


Kelebihan
Pertama, Sampulnya sangat menarik bagi pembaca. Kedua, Judul yang di angkat sangat menarik sehingga orang ingin membaca ceritanya. Ketiga, Kertas yang di gunakan sesuai dengan ceritanya yang terjadi di masa penjajahan. Keempat, Cerita yang di angkat terjadi pada masa kolonial, sehingga isinya lebih menarik, karena tidak banyak pengarang yang mengangkat cerita pada masa kolonial.


Penutup
Kesimpulan
Dalam penelitian novel CIL, penulis menganalisis pengaruh penjajahan dari segi mental, pola pikir, dan budaya. Dari penelitian tersebut didapatkan bahwa penjajahan Belanda maupun Jepang sama-sama menimbulkan kesengsaraan bagi orang-orang yang terjajah, yaitu masyarakat Indonesia. Kerugian yang didapatkan tidak hanya menyangkut materi semata. Namun juga dari segi yang lain.


Dari segi mental, penjajahan selalu mengonsep diri mereka berperadaban tinggi yang harus memimpin orang-orang yang dianggap berperadaban rendah. Dari sini kesewenang-wenangan muncul. Secara umum pihak penjajah selalu memperlakukan jajahannya dengan tidak manusiawi. Contohnya mengenai kasus pergundikan. Ted sebagai seorang Belanda memunyai kekuasaan untuk mengambil perempuan mana saja menjadi gundiknya. Jika tidak bersedia, maka Ted akan membunuh keluarga si perempuan. Itu yang terjadi pada Ma Iyang yang dipergundik Ted. Ma Gedik sebagai kekasih Ma Iyang merasa tidak terima. Ma Gedik tidak mampu melawan Ted dan akhirnya Ma Gedik menjadi gila karena cinta.


No comments:

Post a Comment