Resensi Novel Cantik Itu Luka
Karangan Eka Kurniawan
Biografi Pengarang
Eka Kurniawan lahir di Tasikmalaya, 28
November 1975. Ia memperoleh pendidikan dari Fakultas Filsafat Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta, dan lulus tahun 1999. Skripsi Eka yang
berjudul Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis menjadi
karya pertamanya, diterbitkan oleh Penerbit Aksara tahun 1999. Kemudian
diterbitkan lagi oleh penerbit Jendela tahun 2002, dan diterbitkan Gramedia
Pustaka Utama pada tahun 2006.
Karya-karya Eka yang lain
adalah Corat-coret di Toilet (Aksara Indonesia, 2000), Cantik
itu Luka (Jendela, 2002; Gramedia Pustaka Utama 2004; dan diterjemahkan
dalam bahasa Jepang dengan judul Bi Wa Kizu tahun 2006), Lelaki
Harimau (Gramedia Pustaka Utama, 2004), Cinta tak Ada Mati dan
Cerita-cerita Lainnya (Gramedia Pustaka Utama, 2005), Gelak Sedih dan
Cerita-cerita Lainnya (Gramedia Pustaka Utama, 2005). Beberapa cerita pendeknya
telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Swedia. Eka
Kurniawan sekarang tinggal bersama isterinya di Jakarta, Ratih Kumala, yang
juga seorang penulis.
Cantik itu Luka membuktikkan
eksistensi karya sastra Indonesia yang berkelas dunia. Telah diterjemahkan
lebih dari 20 bahasa, novel pertama Eka Kurniawan ini jelas masuk
dalam daftar buku wajib dibaca.
Mungkin benar apa adanya apabila
terlintas sosok ‘Pramoedya Ananta Toer’ ketika membaca sederatan tulisan milik
Eka Kurniawan terlebih lagi tulisan pertamanya adalah Sastra Realisme
Sosial pada macam karya milik Pramoedya, sehingga lambat laun
tulisan-tulisannya mungkin membawa rasa tersendiri bagi mereka yang telah akrab
dengan tulisan Pram.
Begitu pula Cantik itu
Luka yang pertama kali terbit tahun 2002 dan digadang-gadang sebagai salah
satu tulisan otentik paling mengangumkan yang pernah ada dengan memaparkan serangkaian
sejarah Indonesia secara detail dalam bentuk kisah fantasi yang surealis dengan
mencampurkan filsafat dan mitos serta keagamaan berbenturan dengan penyimpangan
seksualitas.
Cerita dibuka dengan pemaparan
yang surealis :
“Ketika pada suatu sore di akhir
pekan bulan maret, Dewi Ayu bangkit dari kuburan setelah dua puluh satu tahun
kematiannya”.
Bergidik ngeri namun
menimbulkan sejumlah deretan pertanyaan terutama mengenai waktu latar belakang
kejadian yang sengaja tidak disajikan oleh sang penulis.
Lambat laun, pelan dan pasti
sesuai dengan sinopsisnya terceritakanlah mengenai bagaimana kematian sosok
Dewi Ayu, seorang pelacur yang terkenal akan kecantikannya di seluruh pelosok
Halimunda. Dia mati setelah beberapa hari melahirkan anak keempatnya yang tidak
diketahui siapa gerangan bapaknya. Anak tersebut lahir begitu buruk rupanya
tidak seperti dengan ketiga anak gadis lainnya yang kesemuanya cantik. Itulah
yang terjadi, meskipun secara ironik ia memberikan nama Si Cantik kepada anak
yang baru dilahirkannya dan dia mati setelahnya atas dasar kehendaknya.
Hingga suatu masa dia hidup
kembali, bertemulah ia dengan Si Cantik yang kini telah menjadi perempuan
dewasa dengan sosok sesuai dengan doa-doanya : Anak bayi yang hidungnya
menyerupai colokan listrik, telinganya sebagai telinga panci, mulutnya sebagai
mulut celengan dan rambutnya menyerupai sapu dengan kulit serupa komodo dan
kaki serupa kura-kura. Maka, berbanggalah dia atas itu semua.
“Tak ada kutukan
yang lebih mengerikan daripada mengeluarkan bayi perempuan cantik di dunia
laki-laki yang mesum seperti anjing di musim kawin.” – Dewi Ayu. (hal. 4)
Kenyataannya mau cantik atau
tidak, kutukan tersebut selalu mengitari kehidupan Dewi Ayu, ketika Si Cantik
ternyata hamil secara misterius tanpa gerangan mengetahui ayahnya – sama
seperti yang terjadi dengan ibunya sendiri sepanjang hayat.
Maka, ketimbang melanjutkan perjalanan
hidup Si Cantik, Eka selaku penulis memundurkan waktu pada masa sebelum Dewi
Ayu menjadi sesosok pelacur – ketika dia hanyalah sesosok gadis
Belanda yang jatuh cinta pada seorang pria tua bernama Ma Gedik yang belum
pernah ditatapnya dan dipaksa kawin dengannya akibat terobsesi dengan kisah
cinta pria itu dengan Ma Iyang, yang menghilang ditelan kabut ketika lari
bersama Ma Gedik diatas gunung demi cinta mereka berdua. Walaupun akhirnya, di
hari selepas pernikahan mereka, Ma Gedik memutuskan kabur menjerit-jerit bagai
tengah melihat setan dan terjun dari puncak bukit, terhempas ke bebatuan dan
wajah-nya babak belur seperti daging cincang.
Konstruksi sejarah yang
dinamis
Setelah itu cerita berjalan
bagaikan mozaik yang terkonstruksi dengan dinamis. Pelan-pelan para pembaca
akan dibawa kembali kepada masa kekuasaan Jepang di tanah ibu pertiwi.
Dewi Ayu yang merupakan produk
asli Belanda terpaksa harus mendiami kamp selama dua tahun, dipaksa bekerja dan
hidup dalam nelangsa kesusahaan tiada habis bahkan merelakan keperawanannya
kepada petugas sipir demi mendapatkan dokter yang dapat mengobati ibu temannya
(Ola) yang tengah sakit walau ironinya, ibu itu telah mati sebelum sang dokter
sempat merawatnya.
Nasib kemudian membawanya pada
rumah Mama Kalong dengan kehidupan yang lebih layak, akomodasi dan fasilitas
manusiawi serta asupan makanan sehat dan bergizi. Tidak hanya dia
sendirian saja yang menikmati itu melainkan beberapa teman seumurannya,
termasuk Ola. Dan itu semua dibayar dengan harga mahal, yaitu tubuh mereka atau
dengan kata lain disitulah pertama kali Dewi Ayu menjadi seorang pelacur.
Inilah kali pertama pembaca akan
menyadari tempo waktu yang ada pada Cantik itu Luka melalui
penggambaran tokoh Dewi Ayu sebagai budak seks atau lebih dikenal Jugun
Ianfu pada zaman penjajahan Jepang di Indonesia di tengah berkecamuknya
perang Asia-Pasifik atau perang dunia kedua, tahun 1943-1945.
Jugun Ianfu berasal dari
kata Jepang yang berarti ‘perempuan penghibur’ (comfort woman) tentara
kekaisaran Jepang dimasa perang Asia Pasifik. Pada praktiknya, wanita-wanita
ini bukanlah sekedar penghibur semata melainkan budak seksual yang brutal,
terancana, dan terorganisir secara rapih.
Sama halnya dengan Dewi Ayu, pada
kesejarahannya para Jugun Ianfu ini dijanjikan banyak hal seperti
sekolah gratis, pekerjaan rumah tangga, pelayan atau bisa pula yang tercantum
pada Cantik itu Luka, yaitu dibayang-bayangi pekerjaan sebagai sukarelawan
Palang Merah Indonesia (PMI) namun pahitnya dijadikan sebagai seorang pelacur.
Mereka kemudian tinggal di rumah
bordil a’la jepang yang disebut Ian-jo, biasanya terdapat dibekas asrama
peninggalan Belanda, markas militer Jepang dan rumah-rumah penduduk yang
sengaja dikosongkan. Tempat-tempat itu biasanya dijaga ketat oleh tentara
Jepang.
Malam itu Dewi Ayu
mendengar dari kamar-kamar mereka, jeritan-jeritan histeris, perkelahian yang
masih berkelanjutan, beberapa bahkan berhasil melarikan diri dari kamar dalam
keadaan telanjang sebelum tentara berhasil menangkap dan melemparkannya kembali
ke atas tempat tidur. Mereka melolong selama persetubuhan yang mengerikan itu
…. (hal. 86)
Kebanyakan kaum Jugun
Ianfu dapat digolongkan sebagai perempuan yang berasal dari keluarga
baik-baik. Di antaranya masih ada yang gadis, bahkan di bawah umur. Ancaman
pihak militer Jepang membuat mereka takut menolak. Praktik budak seks ini
diadakan sebagai wujud perayaan atau pesta kepada tentara Jepang agar dapat
menghilangkan kegilaan mereka terhadap perang. karenanya, kerap kali sering
terjadi pemerkosaan massal ataupun ‘Sadomasokhisme’. Tidak mengagetkan apabila
banyak perempuan yang ditemukan mati telanjang seusai melayani
hasrat berahi para tentara.
Rekam sejarah lain yang dapat
ditemukan dan meruntun sejarah dalam Cantik itu Luka adalah
perseteruan antara Sang Shudanco dan Kamerad Kliwon hingga berujung kepada
Maman Gendeng. Masing-masing tiga pria tersebut mewakili perbedaan zaman namun
menyambung ibarat benang merah yang tidak dapat terputuskan.
Dewi Ayu akhirnya melahirkan tiga
anak perempuan yang sangat cantik di Halimunda, bernamakan Alamanda, Adinda dan
Maya Dewi. Mereka bertiga masing-masing mewakili sifat binal, keras kepala dan
ketegaran sosok ibunya.
Karena saat ini kita sedang
membicarakan mengenai konstruksi sejarah dalam Cantik itu Luka maka
semua dimulai dengan berkembangnya kelompok golongan kiri yang kala itu dikenal
dengan sebutan Komunisme – para simpatisan Marxist yang setia hingga akhir
hayat.
Adalah Kamerad Kliwon yang
merupakan simbol dari Kekuasaan Komunis di wilayah Halimunda yang berseteru
dengan Sang Shodanco, perwakilan dari lambang kekuatan tentara poros kanan atau
veteran pejuang yang haus akan pengakuan.
Dikisahkan dalam Cantik itu
Luka, Komunisme muncul sejak masa perang dan kependudukan Belanda namun
akhirnya kembali di panggung politik setelah Jepang menyerah pada tahun 1945.
Disela-sela pertumbuhannya terdapat pergerakan buruh nelayan yang merasa bahwa
para penguasa di Halimunda (dalam hal ini Shodanco) telah rakus dengan
menggunakan kapal-kapal besar untuk mengeruk hasil kekayaan laut sehingga para
nelayan hidup penuh kekurangan. Disinilah peran Kamerad Kliwon dalam membangun
perspektif mengenai komunisme, yang serba adil dan sama rata. Sehingga
lambat-laun banyak masyarakat, terutama buruh yang mengikuti jalan sang Kamerad
untuk menjadi seorang komunis.
Hingga tentu seperti yang kita
ketahui dampak komunisme menyebar di seluruh pelosok Indonesia maka dengan
kekuasaan otoriter tentara yang berada ditangan Soeharto kala itu, media tidak
lagi memberitakan dengan dasar sebagai watchdog tetapi sebagai alat
propaganda untuk menanam benih kebencian kepada komunis bahkan terjadi
pelarangan penerbitan bagi media-media yang tidak mematuhi peraturan negara.
Semua laporan
tampaknya begitu simpang-siur, dan satu-satunya informasi yang bisa didapat
hanyalah radio yang sama sekali tak bisa dipercaya, sebab sejak pagi mereka
melaporkan hal yang sama seolah itu telah direkam dan kasetnya diputar
berulang-ulang: Telah terjadi kudeta yang gagal dari Partai Komunis karena
tentara segera menyelamatkan negara dan mengambil-alih-kekuasaan untuk
sementara. Laporan baru datang: Presiden berada dalam tahanan rumah.
Semuanya serba membingungkan. (hal.302)
Terkenal-lah kemudian seperti
yang telah kita ketahui nyaris setengah abad mengenai peristiwa berdarah
Gerakan 30 September, sebagai ‘kudeta komunis’, membunuh jenderal golongan
kanan TNI dan mayatnya dibuang di sumur. Hingga sampai saat ini spekulasi
kebenaran mengenai keterlibatan partai komunis untuk pembunuhan para jenderal
tidak menyakinkan atau bahwa Soeharto mengorganisir peristiwa, secara
keseluruhan atau sebagian dan mengkambinghitamkan kepada komunis. Amerika
Serikat sebagai salah satu negara penentang paham komunis pun ikut ambil bagian
dengan tersiar kabar CIA adalah dalang dibalik semua perseteruan tersebut.
Langkah selanjutnya jelas adalah
melakukan pembantaian massal terhadap para komunis di seluruh Indonesia. Tidak
hanya sang komunis sendiri yang dieksekusi bahkan para keluarga, kerabat atau
temannya sekalian ikut mati di gorong-gorong karena dituduh sebagai simpatisan
dan pendukung komunis dan itu semua dilakukan tanpa dasar dalil yang kuat.
Teror berdarah menyebar dan
setelahnya propaganda mengerikan ditanamkan sedari dini kepada anak-anak
mengenai kekejaman orang komunis yang tidak diketahui kebenaran tunggalnya pada
saat itu.
Dalam novel ini, sketsa
pembunuhan para anggota komunis di Halimunda disajikan secara lantang, tegas
dan frontal. Semua itu dimulai dari secara mendadak dengan ketidakdatangan
koran pada pagi hari di halaman rumah partai PKI Halimunda, dan Kamerad Kliwon
tetap menunggu walau kabar burung mengatakan para dewan utama Partai Komunis
telah ditangkap dan ditahan karena dituduh melakukan kudeta.
Mereka dibunuh,
baik oleh tentara reguler dan terutama oleh orang-orang anti-komunis yang
bersenjata golok dan pedang dan arit dan apapun yang bisa membunuh, di tepi
jalan dan membiarkan mayat mereka di sana sampai membusuk. Kota Halimunda
seketika dipenuhi mayat-mayat seperti itu, tergeletak di selokan dan kebanyakan
di pinggiran kota, di kaki bukit dan di tepi sungai, di tengah jembatan dan di
semak belukar. Mereka kebanyakan terbunuh ketika mencoba melarikan diri setelah
menyadari Partai Komunis hanya meninggalkan sisa-sisa reputasinya yang telah
usang. (Hal. 312-313)
Dalam pembersihan anti-komunis,
diperkirakan 500.000 komunis dicurigai telah dibunuh, dan PKI secara efektif
dihilangkan. Dan paham-paham komunis yang serba Anti Pancasila dan Anti Agama
tersebar seantero nusantara padahal menjadi kiri adalah berkomitmen terhadap
pembebasan, perubahan, keadilan, dan kesetaraan.
Namun Eka nyatanya memiliki sense
of humor yang satir juga, dengan menampilkan wujud propagandanya (pasca
pembantaian) sebagai hantu-hantu komunis yang kembali bangkit dan menghantui
para tentara dan seluruh warga di pelosok Halimunda.
Serangan
hantu-hantu itu, hantu-hantu orang komunis, paling dahsyat dirasakan oleh Sang
Shodancho. Selama bertahun-tahun sejak peristiwa pembantaian tersebut, ia
menderia insomnia yang parah, dan kalau-pun tidur ia menderita tidur berjalan
[…] semua orang di kota itu merasakan hantu-hantu tersebut, mengenali dan takut
oleh mereka […] (hal.354)
Kisah lantas segera bergulir
menuju perseteruan antara polisi dengan para preman yang menimbulkan kekerasan
dan keresahan di Halimunda. Maman Gendeng sebagai pemimpin para kelompok preman
merupakan ikonik ‘Gali’ (Gabungan Anak Liar) yang dimasa kejayaannya harus
dihentikan dengan penembakan misterius (petrus) yang ramai pada tahun 1980-an
karena meresahkan masyarakat terutama di daerah Jakarta dan Jawa Tengah.
Pada zaman petrus, dalam sehari,
di berbagai kota hampir dipastikan ada saja mayat-mayat dalam
keadaan tangan terikat atau dimasukkan dalam karung yang diletakkan begitu
saja, di pinggir jalan, di depan rumah, dibuang ke sungai dan kebun. Mayat itu
selalu identik dengan tato di dada dan kepala berlubang ditembus peluru.
Operasi itu
dilakukan pada malam hari, untuk tidak menimbulkan kepanikan massal, penduduk
kota. Para prajurit menyebar dalam pakaian sipil bersenjata, juga para penembak
gelap, menuju kantong-kantong para begundal […] Pembantaian berlangsung di
malam kedua, dan malam ketiga, serta malam keempat, kelima, dan keenam serta
ketujuh. Operasi itu berlangsung sangat cepat, nyaris menghabiskan seluruh
persediaan begundal di Halimunda […] (hal. 445-446).
Pada tahun 1983 tercatat 532
orang tewas, 367 orang di antaranya tewas akibat luka tembakan. Pada Tahun 1984
ada 107 orang tewas, di antaranya 15 orang tewas ditembak. Tahun 1985
tercatat 74 orang tewas, 28 di antaranya tewas ditembak. Komnas HAM mencatat
terdapat sekitar 2.000 korban selama petrus bergentayangan. Hingga kini siapa
para petrus itu masih menjadi misteri.
Mencatat Perilaku Seksual
Buku ini memang padat tetapi
benar tersaji dengan elok karena tiada kecacatan pada pangkal ujung ceritanya. Selain
mengambil ide mengenai sejarah di Indonesia, salah satu unsur yang menarik
dalam Cantik itu Luka adalah bagaimana perilaku penyimpangan seksual
disajikan dengan detal – teramat detail yang bagi mereka belum akrab dengan
bacaan seperti ini mungkin bisa bergumam : Ini buku binal banget sih!.
Tapi inilah salah satu daya tariknya dengan dapat menembus keterbatasan antara
norma, budaya dan agama yang seringkali dilihat oleh masyarakat namun tutup
mata, telinga dan hati tetapi bergumam hingga esok hari.
Pertama, incest. Dewi Ayu
adalah anak dari pasangan Aneu Stammler dan Henri Stammler. Dimana mereka satu
ayah, yaitu Ted Stammler. Mereka berdua hidup serumah sejak masih orok, dan
keduanya jatuh cinta satu sama lain lalu dipergoki tengah bercinta dan akhirnya
kabur dan meninggalkan Dewi Ayu yang masih merah berbalut selimut di dalam
keranjang di depan pintu. Berpuluh-puluh tahun kemudian hasrat percintaan
sedarah ini berimbas kepada cucu Dewi Ayu, yaitu Kristan (anak dari Kamerad
Kliwon dan Adinda) memperkosa sepupunya sendiri, Rengganis (anak dari Maman
Gendeng dan Maya Dewi) dan mencintai sepupu lainnya, Nurul Aini (anak dari Sang
Shudando dan Alamanda) serta meniduri bibinya sendiri, Si Cantik.
Hubungan sedarah ini sudah tidak
asing sebenarnya, folklor Indonesia mencatat terdapat beberapa cerita mengenai
hubungan incest sejak zaman dahulu kala, seperti Sangkuriang yang
jatuh cinta pada ibunya, Dayang Sumbi maupun kisah antara Prabu Watugunung yang
menikahi delapan ratus tiga orang wanita sekaligus dengan dua diantaranya
adalah, ibu kandungnya, Dewi Sinta dan anak kandungnya, Dewi Tumpak
Kedua, Bestiality. Kisah
folklor di Halimunda mengenai Rengganis Sang Putri yang mengawini seeekor
anjing. Ini kemudian bergulir ketika Rengganis, anak Maman Gendeng dan Maya
Dewi mengaku diperkosa oleh anjing di toilet sekolah dan hamil karenanya. Ini
juga terpaparkan dari bagaimana perilaku Kristan yang bertingkah menyerupai
anjing dikarenakan cemburu dan ingin menarik hati Nurul Aini yang menyukai
anjing.
Tapi ia kemudian
sungguh-sungguh sering memamerkan dirinya sendiri sebagai anjing. Bukan karena
gila, tapi sebagian besar sebagai upaya untuk menarik perhatian Ai. Jika mereka
tengah berjalan bertiga, mungkin pulang sekolah atau sekedar jalan-jalan sore,
dan ia melihat seekor anjing di kejahuan, Krisan akan menggonggong. “Guk, guk,
guk!” teriaknya. Atau kadangkala ia jadi anjing kecil yang kesakitan, “Kaing,
kaing,”, dan lain kali jadi ajak yang tengah melolong di malam hari,
“auuuunnnnggg…” (hal. 420-421).
Menempatkan ikonik ‘anjing’ atau
‘ajak’ dalam Cinta itu Luka terkadang mengingatkan pada sesosok
Tumang, seekor anjing yang mengawini Dayang Sumbi dan akhirnya memiliki anak
manusia, bernama Sangkuriang. Seperti yang telah diutarakan sebelumnya, “from
bestiality to incest.”
Ketiga, Sadomasokhisme. Ini
jelas terang-terangan terpaparkan bagaimana perilaku hasrat seksual Sang
Shudanco yang memperkosa Alamanda dengan mengikatnya di atas kasur dalam
keadaan telanjang bulat dan diperkosanya ia berhari-hari terus menerus tanpa
ampun. Sang Sudancho adalah potret pemerkosa sadis yang bertindak berdasarkan
dorongan sadistik atas korban (Alamanda) yang tidak bersedia, tetapi tidak
melukai serius dan tidak membunuh.
Keempat, Pedofilia. Walau
tidak secara gamblang tersajikan dalam Cantik itu Luka ini adalah
kritik seputar pernikahan di bawah umur yang kerap terjadi di masyarakat rural,
seorang anak gadis belum berdarah dinikahkan oleh seorang pria tua, entah itu
untuk menaikkan status sosial atau terlilit hutang pihutang. Melalui
penggambaran Maya Dewi yang kala itu masih berumur dua belah tahun lah tersirat
dengan menikahi Maman Gendeng, preman berumur kepala tiga.
Kelima, Spectrophilia. Bagi
yang awam – kecenderungan seksual ini adalah mereka yang mengaku telah
berhubungan badan dengan roh atau hantu. Sebenarnya bisa ‘iya’ atau ‘tidak’
penyimpangan seksual ini terhadap di Cantik itu Luka namun tetap
menarik untuk diikut ketika melihat wacana Si Cantik yang jatuh cinta dan
bersetubuh dengan seorang pria yang tidak dapat dilihat oleh Rosinah maupun
Dewi Ayu walau jelas – itu adalah Kristan yang dibantu oleh kekuatan magis.
Bukti-buktinya memang tidak cukup untuk mencantumkan kecenderungan seksualitas
ini tetapi walaupun “iya” maka yang dialami oleh Si Cantik adalah incubus –
Roh atau hantu laki-laki yang mengambil tubuh laki-laki dewasa untuk becinta
dengan wanita dan menghamilinya.
Sedikit perdebatan : Kritan
tengah stress karena telah mencintai dan bernafsu oleh wanita cantik,
sepupunya sendiri dan kemudian digagasi oleh sesosok iblis untuk menemui si
Cantik yang buruk rupa. Secara tubuh mungkin memang dia tidak dirasuki tetapi
secara pikiran, ia telah dimanipulasi oleh sang iblis yang menyebarkan dendam
kepada keturunan Dewi Ayu.
Sebab cantik itu luka. (hal. 478)
****
Tema :
Penindasan dan Kekejaman di zaman colonial
Sudut Pandang : Orang
Ketiga serba tahu
Gaya Bahasa :
Pengarang menggunakan bahasa indonesia
Amanat : Tidak semua keburukkan itu
memiliki niat yang buruk, Jangan suka memaksakan kehendak sendiri, Sesuatu yang
tidak di landasidengan cinta dan kasih sayang tidak akan memberikan hasil yang
baik dan bermanfaat, Pernikahan sedarah itu di larang.
Penokohan :
Ma Gedik, Lelaki
polos,Setiadan pendendam. Ia yang mengenal cinta setelah berusia sembilan
belas tahun.
Ma Iyang, Tokoh yang
berwatak keras kepala dan rela berkorban.
Dewi Ayu, Sosok yang
cerdas , keras kepala, cantik,dan pemberani.
Ted Stammler, adalah orang
yang setia dan berdedikasi tinggi pada negaranya.
Marietje Stammler, adalah
orang yang terlalu khawatir dalam hal apapun terlebih mengenai suaminya dan
kehidupan mereka setelah datangnya tentara Jepang di Indonesia.
Henri Stammler, Pemuda
yang menyenangkan, pandai berburu babi bersama anjing-anjing Borzoi yang
didatangkan langsung dari Rusia, pemain bola yang baik dan pandai
berenang. Henri Stammler juga tipe orang yang nekat. Kenekatannya terlihat
sekali saat ia jatuh cinta pada Aneu.
Aneu Stammler, mempunyai
sifat yang lain tidak jauh beda dengan Henri yaitu nekat. Aneu nekat
menjalin cinta terlarang dengan saudara tirinya sendiri yaitu Henri Stammler.
Alamanda, Seorang yang
cantik namun ia sombon g ia suka menaklukkan hati para pria namun setelahy itu
ia putuskan. Ia hanya suka berhura – hura dengan teman temannya.
Adinda, Ia cantik tetapi
tidak bersifat binal seperti kakak perempuannya, yaitu Alamanda. Adinda lebih
pendiam, dan pintar. Ia juga seorang yang setia dan tidak pencemburu.
Maya Dewi, gadis penurut,
ini dibuktikan dengan kesediannya menikah dengan Maman Gendeng atas desakan
ibunya. Maya Dewi juga memunyai sifat ulet dan mandiri. Ia tidak pernah
menggantungkan kebutuhan belanja rumah tangganya pada Maman Gendeng.
Shodancho, Seorang yang
suka memaksakan keinginannya.
Kamerad Kliwon, pemuda
yang sangat tampan dan cerdas. Kamerad Kliwon suka menggoda gadis-gadis,
mabuk-mabukkan dan bersenang-senang. Ketika ia mengenal komunis, kehidupannya
mulai berubah. Dan demikian juga Kliwon bukan lagi seorang mata keranjang.
Maman Gendeng, memiliki
karakter yang sangat kontras dengan jiwanya yang merupakan seorang pendekar.
Karena masalah cinta, ia menjadi sangat lemah luar biasa. Ia tidak bisa
berjuang untuk merebut cintanya itu. Ia juga bertanggung jawab terhadap
keluarganya.
Cantik, gadis yang cerdas.
Ia menguasai banyak ilmu meskipun tidak pernah mengeyam bangku sekolah. Ia
belajar dengan orang yang tidak terlihat.
Nurul Aini, adalah anak
Shodancho dan Alamanda. Ia tomboy dan selalu berusaha menjadi pelindung bagi
Rengganis Si Cantik.
Krisan, tipe orang yang
tidak bisa menahan hawa nafsu . ia juga tipe orang yang tak bertanggung
jawab.
Rengganis, Si Cantik ia
adalah seorang yang idiot, gampang terpengaruh.
Rosinah, gadis yang rajin
dan cerdas. Ia merawat dewi Ayu dengan baik dan selalu setia kepada Dewi Ayu.
Mama Kalong, tidak
bersifat egois. Ia merawat pelacur-pelacurnya dengan sangat baik. Ia sangat
menyayangi Dewi Ayu dan menjadi salah satu orang yang berjasa besar pada
kehidupan Dewi Ayu. yang merawat Cantik saat Dewi Ayu telah
meninggal. Ia juga seorang yang sabar.
Latar / Setting
Latar Tempat
Tempat yang menjadi Latar utama
adalah kota Halimunda, sebuah daerah yang menjadi bagian dari Provinsi Jawa
Barat. Dalam novel, kota ini bisa dilihat dalam paparan narasi
pengarangnya, yaitu:
“…tentara-tentara reguler
berdatangan ke Halimunda, yang tampaknya akan menjadi gerbang pengungsian
besar-besaran ke Australia. Bagaimanapun, pelabuhan kapal Halimunda merupakan
satu-satunya yang terbesar di sepanjang pantai selatan pulau Jawa. Pada awalnya
tak lebih sebagai pelabuhan ikan kecil biasa, di muara sungai Rengganis yang
besar, sebab letaknya di luar tradisi pelayaran”.
Selain Kota Halimuda adalah Pulau
Buru, penjara Bloedenkamp dan Batavia.
Latar Waktu
Dimulai dari periode waktu saat Belanda
masih jaya di Indonesia khususnya di kota Halimunda, saat pendudukan Jepang,
munculnya orang-orang komunis, pembantaian komunis, saat Indonesia merdeka, dan
beberapa saat setelah itu.
Saat Belanda masih berjaya bisa
dilihat pada kesewenang-wenangan Ted Stammler mengambil Ma Iyang sebagai
Gundiknya. Dalam hal ini, penulis menyebutnya sebagai tahun sebelum pendudukan
tentara Jepang, yaitu sebelum tahun 1942.
Sekitar tahun 1970-an,
orang-orang komunis banyak yang muncul. Tahun-tahun ini menjadi tahun penting
dalam sejarah Halimunda. Peperangan saudara terjadi antara masyarakat yang pro
komunis dan yang anti komunis.
Tahun 1976 Halimunda dipenuhi
dendam. Saat tahun inilah banyak pembantaian kaum komunis di Halimunda.
Bukti yang lain bisa dilihat pada kutipan berikut:
“…ketika tahun 1979 ayahnya
pulang, dalam rombongan terakhir tahanan Pulau Buru yang dipulangkan, dan waktu
itu Krisan telah berumur tiga belas tahun, ia memandang ayahnya seperti orang
asing yang tiba-tiba saja tinggal di rumah mereka”.
Latar Suasana: Sepi, Menyeramkan , Menegangkan,
mengharukan dan membahagiakan.
Alur
Dalam novel ini, Eka Kurniawan
menggunakan alur campuran . Dalam keseluruhan cerita maupun dalam
tiap babnya, CIL selalu dipenuhi dengan pemakaian alur campuran
tersebut. Cantik itu luka diawali dengan kehidupan setelah mati si
tokoh utama, yaitu Dewi Ayu. Ia dikisahkan sebagai perempuan pelacur yang
meninggal setelah melahirkan anak keempatnya. Ia tidak pernah mengetahui bahwa
anak yang diberi nama Cantik ternyata sesuai dengan harapannya sebelum
meninggal, yaitu anak yang berwajah buruk rupa. Dewi Ayu meninggal karena
keinginannya sendiri, tanpa bunuh diri. Ia ingin mati, dan dua belas hari
kemudian keinginan itu terkabul.
Dewi Ayu sangat bersyukur bahwa
anak keempatnya ternyata buruk rupa. Alasannya karena ia sudah terlalu
bosan dengan ketiga anak terdahulunya yang cantik-cantik. Dewi Ayu bosan dengan
anak-anak perempuan yang banyak disukai laki-laki. Cantik berarti luka. Cantik
membawa perlukaan.
Selanjutnya, pada bab kedua,
cerita berbalik pada masa lalu ketika ia masih muda dan menginginkan nikah
dengan seorang pria tua bernama Ma Gedik. Ia kenal Ma Gedik dari cerita
pembantu-pembantunya. Ia jatuh cinta tanpa mengetahui Ma Gedik sebelumnya. Yang
ia tahu, Ma Gedik adalah kekasih neneknya, Ma Iyang, yang telah direbut Ted
Stammler yaitu kakek Dewi Ayu sendiri. Dalam bab dua ini pula banyak
diceritakan mengenai keluarga Stammler, dan diceritakan pula kisah cinta Ma
Gedik dan nenek Dewi Ayu yaitu Ma Iyang mengenai masa lalu mereka.
Pada bab tiga sudah muncul
tentara-tentara Jepang yang pada akhirnya nanti berpengaruh pada kehidupan Dewi
Ayu seterusnya. Kekejaman tentara Jepang yang menjadikan Dewi Ayu pelacur
membuatnya memutuskan pelacur sebagai profesinya seumur hidup.
Pada bab-bab selanjutnya
diceritakan secara berkelanjutan mengenai kehidupan Dewi Ayu mada masa Jepang,
pada masa kemerdekaan, dan bagaimana hidup dia dan anak cucunya. Dalam
menceritakan orang-orang yang menjadi bagian hidup Dewi Ayu, baik anak-anaknya
maupun menantu-menantunya yang merupakan orang-orang yang aneh, Eka kembali
menggunakan pembolakbalikan alur. Eka memunculkan Maman Gendeng setelah bertemu
Dewi Ayu, kemudian dilanjutkan dengan penceritaan masa kecilnya, ia
menceritakan Shodancho dan Kamerad Kliwon juga demikian adanya. Pada bab empat
hingga lima belas berisi tikaian, rumitan, hingga klimaks. Dan bab enam belas
hingga delapan belas sudah mulai pada penurunan masalah yang berisi leraian dan
selesaian. Cerita berakhir dengan sad ending. Hampir semua tokoh meninggal,
hanya tersisa empat anak Dewi Ayu yang semuanya telah menjadi janda dan hidup
sendiri karena mereka juga kehilangan anak-anak mereka.
Isi Resensi
Gaya Bahasa: bahasa yang
digunakan mudah untuk dipahami namun penggunaannya terlalu gamblang
untuk anak usia dibawah 17 tahun sehingga anak terdorong untuk
membayangkannya.
Kelemahan
Pertama, Dalam ceritanya banyak
hal – hal yang tidak senonoh, sehingga kurang pantas apabila di baca anak usia
dibawah 17 tahun. Kedua, Ceritanya kedengaranya sulit di terima akal (tidak
logis). Ketiga, Terlalu banyak tokoh yang diceritakan.
Kelebihan
Pertama, Sampulnya sangat menarik
bagi pembaca. Kedua, Judul yang di angkat sangat menarik sehingga orang ingin
membaca ceritanya. Ketiga, Kertas yang di gunakan sesuai dengan ceritanya yang
terjadi di masa penjajahan. Keempat, Cerita yang di angkat terjadi pada masa
kolonial, sehingga isinya lebih menarik, karena tidak banyak pengarang yang
mengangkat cerita pada masa kolonial.
Penutup
Kesimpulan
Dalam penelitian novel CIL,
penulis menganalisis pengaruh penjajahan dari segi mental, pola pikir, dan
budaya. Dari penelitian tersebut didapatkan bahwa penjajahan Belanda maupun
Jepang sama-sama menimbulkan kesengsaraan bagi orang-orang yang terjajah, yaitu
masyarakat Indonesia. Kerugian yang didapatkan tidak hanya menyangkut
materi semata. Namun juga dari segi yang lain.
Dari segi mental, penjajahan
selalu mengonsep diri mereka berperadaban tinggi yang harus memimpin
orang-orang yang dianggap berperadaban rendah. Dari sini kesewenang-wenangan
muncul. Secara umum pihak penjajah selalu memperlakukan jajahannya dengan tidak
manusiawi. Contohnya mengenai kasus pergundikan. Ted sebagai seorang Belanda
memunyai kekuasaan untuk mengambil perempuan mana saja menjadi gundiknya. Jika
tidak bersedia, maka Ted akan membunuh keluarga si perempuan. Itu yang terjadi
pada Ma Iyang yang dipergundik Ted. Ma Gedik sebagai kekasih Ma Iyang merasa
tidak terima. Ma Gedik tidak mampu melawan Ted dan akhirnya Ma Gedik menjadi
gila karena cinta.
No comments:
Post a Comment