Thursday, January 9, 2020

Kenaikan Harga di Pasar Tradisional dan Sewa Rumah Itu Perang Harga atau Hasil Musyawarah? Bingung Aku

Kenaikan Harga di Pasar Tradisional dan Sewa Rumah Itu Perang Harga atau Hasil Musyawarah? Bingung Aku



Akhir dan awal tahun adalah masa para karyawan menyelesaikan laporan, banyak dari mereka yang berhari-hari lembur menyelesaikan kewajibannya. Termasuk Adit (Kawan saya sekolah asli Sine, Ngawi), dia sekarang menjadi staf ahli di salah satu Pusat Kajian Masyarakat. Kebetulan saya ada perlu dengannya, membicarakan buku bekas dan rencana menjajal bisnis tersebut ke skala yang (Agak) besar. Naas pertemuan kita selalu gagal karena dia selalu pulang dinihari. Kita berdua berkesempatan bertemu kemarin sore, 7 Januari di kedai kopi dekat kantornya. Obrolan kami malah tidak membahas buku dan rencana bisnis kita berdua, dia malah bercerita kendala-kendala yang ia alami selama mengerjakan laporan. Ditambah dia sedang mencari kontrakan, praktis sore itu tidak ada obrolan yang awalnya kita sepakati bersama. Jual buku itu.


Katanya kontrakan sekarang mahal-mahal. Berbeda sekali dengan kontrakan yang Aziz (Kawan kantor Adit) sewa dengan istrinya. Waktu saya tanya di mana lokasi kontrakanya Aziz, ternyata berada jauh dari pusat kota. Sedangkan Adit mencari kontrakan yang dekat dengan kantornya. Ya wajar jika memilki perbedaan harga yang siginifikan. Bukankah hal semacam ini sudah mafhum kita ketahui. Perbedaan harga kontrakan bisa terjadi karena beberapa sebab. Salah satunya akses, tingkat kepadatan penduduk dan tipe rumah yang ditawarkan.


Baca tulisan saya yang lain: Banjir dan Cerita-cerita di Dalamnya


Adit meminta tolong ke saya nanti malam ditemani mencari rumah kontrakan lagi. Maklum, dia dikejar waktu karena penghabisan bulan satu istrinya pindah kantor ke Malang.


Malam harinya, saya bertemu Ibu Titin. Mantan Ibu Kos saya dulu selama sekolah. Bu Titin memiliki kos-kosan per kamar, tapi pertemuan kita dengan Bu Titin untuk meminta tolong ke dia siapa tahu ada tetangga atau kawan Bu Titin yang menyewakan rumahnya. Obrolan kita dengan Bu Titin seperti saudara saja, maklum. Dulu saya termasuk penghuni yang rutin membayar iuran kos tepat waktu. Karena teringat obrolan dengan Adit sore tadi tentang mahalnya harga sewa rumah kontrakan. Kegelisahan itu saya tanyakan langsung ke Bu Titin selaku pelaku usaha tersebut.


Bu Titin menerangkan ke kita berdua jika di Kota Malang, khususnya di RW rumah Bu Titin memang ada perkumpulan pengusaha yang membuka jasa sewa kos atau rumah kontrakan. Harga yang dibebankan ke penyewa sudah termasuk pajak yang dipatok oleh Pemerintah Kota Malang. Selain itu, ada harga minimal dan maksimal hasil musyawarah yang harus diterapkan oleh pemilik rumah kontrakan atau kosan. Jika ada perbedaan harga, biasanya meliputi fasilitas yang di tawarkan, ukuran kamar dan akses jalan. Selain itu, perkumpulan pemilik rumah kontrakan atau kos wajib patuh pada standar yang disepakati bersama. Jadi, maklum jika setiap wilayah memiliki range harga masing-masing. Ada wilayah yang terkenal mahal pun sebaliknya. Tapi, tidak semua wilayah menerapkan kesepakatan seperti itu. Hanya beberapa wilayah saja yang tingkat permintaanya tinggi.


Karena waktu semakin malam, saya dan Adit minta undur diri. Rasa terimakasih kita sampaikan untuk Bu Titin berkat jamuan dan obrolan hangatnya.


Motor yang kita kendarai tidak membawa pulang ke rumah, Adit lebih memilih ngemper ke kedai kopi di sudut perempatan. Saya memesan Jahe Panas dan Adit memesan Kopi Letek. Teringat penjelasan Bu Titin tentang perbedaan harga sewa rumah kontrakan di Kota Malang. Saya jadi ingat komentar ramai-ramai di group facebook desa saya. Mereka sibuk mengkritik Pemerintah Desa, Pengurus Bumdes dan Pengelola Pasar karena terkesan tidak dapat mengintervensi para pedagang yang menaikan harga se enaknya sendiri.


Berapa besaran kenaikan harga makanan di Pasar desa saya tinggal juga tak dapat dikonfirmasi kepastiannya. Hanya beberapa akun saja yang menyuarakan kenaikan harga yang tidak wajar itu telah membuat mereka resah. Klaim nya, banyak kawan mereka yang 'Ngerasani' kalau para pedagang telah 'Meremo' (Menaikan harga secara mendadak) ke pembeli yang bukan warga desa. Sekali lagi, benar tidaknya informasi itu, hanya beberapa akun saja yang menyuarakan hal itu. Ekstrimnya, ada akun yang berpendapat jika sebaiknya Pasar di desa saya di tutup saja. Bukankan itu pendapat yang sangat dangkal, semacam politik bumi hangus saja.


Baca Tulisan Saya Yang Lain: Cerita Dari Pasar Tradisional


Sembari ngopi dengan Adit, malam itu saya menghubungi James, salah satu tokoh pemuda desa. Ada beberapa pertanyaan yang saya tanyakan, termasuk kejadian ramai-ramai di group facebook desa. Menariknya, isu yang sempat menjadi trending itu dibumbui konflik kepentingan. Untuk hal ini lebih baik saya tidak membahasnya karena rawan sekali tulisan saya di plintir kanan kiri.


Oke jadi begini, hasil korespondensi saya dengan James menemukan beberapa hasil menarik. Dalam hal ini, saya berusaha menulis secara objektif.


Pertama, Pemerintah Desa yang diwakili BumDes telah menyebar brosur himbauan kepada pedagang untuk tidak 'Meremo' ke warga non desa. Boleh 'Meremo', asalkan di hari libur atau pasaran saja. Karena dalam prakteknya, ada beberapa pedagang yang menerapkan harga berbeda ke warga asli desa dan tidak. Sehingga imbasnya, pasar yang telah lama menjadi ikon desa menjadi bahan rasan-rasan se Kabupaten.


Baca Tulisan Saya Yang Lain: Emas Ghaib dan Sang Penjaga Wilayah


Kedua, paham ekonomi yang di anut negara kita adalah diberlakukannya Pemerintah mengintervensi pasar. Hal ini dilakukan agar harga bahan pokok yang beredar di pasaran tidak mengalami kelonjakan harga di momen-momen genting semacam Bulan Ramadhan, Idul Fitri, Tahun baru dll. Karena lingkupnya kecil, intervensi yang dilakukan Pemerintah Desa salah satunya dengan membuat himbauan seperti di alasan pertama, juga memberikan kenyamanan kepada pengunjung dengan adanya lahan parkir yang luas dan aman.


Ketiga, James dan saya belum mendapatkan data resmi jumlah bedak atau stand yang ada di pasar dan berapa jumlah pedagang yang asli desa pun sebaliknya. Mengapa hal ini penting? Hasil obrolan kita berdua, kita sepakat jika Pemerintah Desa melalui pengelola pasar lebih memprioritaskan pedagang yang asli desa. Kalau pun ada pedagang dari luar desa, pengelola wajib menarik uang sewa yang berbeda dengan pedagang yang asli desa. Hal ini demi terwujudnya pemerataan ekonomi masyarakat desa sendiri.


Keempat, sebagai salah satu sumber pendapatan tambahan kas desa. BumDes dapat ikut berdagang di pasar. Teknisnya tinggal di atur saja, apa yang mereka jual dan bagaimana sistem pengupahan karyawannya. Selain itu, adanya stand/bedak BumDes di pasar, dapat menjadikan sistem kontrol jika sewaktu-waktu terjadi pedagang yang menaikan harga semena-mena kepada pengunjung non warga desa.


Kelima, setiap stand/bedak lebih di tata rapi mulai dari luas dan harga sewa. Selain itu, tidak boleh dalam satu Kartu Keluarga memiliki lebih dari satu stand. Kalau pun praktek ini tetap terjadi, pengelola pasar kudu tegas memberikan harga sewa lebih tinggi. Tujuannya jelas, agar semua warga desa dapat mencari rezeki. Menghindari adanya monopoli pasar demi terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur.


Waktu saya lirik, Adit masih sibuk dengan gim nya, obrolan saya dengan James kita pungkasi dengan menyisakan beberapa keresahan. Tapi itu tak jadi soal, besok saya telpon dia lagi. Teringat obrolan dengan Bu Titin, di depan rumahnya ada pembangunan kos-kosan 50 kamar. Katanya, pemiliknya adalah orang Surabaya. Memang ada beberapa warga yang menjual rumah atau lahannya ke orang lain, alasannya karena ingin pindah rumah, anak-anaknya sudah mentas semua sehingga mau balik kampung atau karena faktor ekonomi. Lahan dan rumah yang dijual itu tetap menjadi rumah kontrakan, bahkan direnovasi lebih besar dan luas.


Baca Tulisan Saya Yang Lain: Lelaki Tua dan Kebiasaan Anehnya


Residu obrolan dengan Bu Titin malam itu menjadikan kekhawatiran baru. Saya membayangkan bagaimana jika bedak-bedak di pasar desa saya di kuasai oleh pemodal besar, bagaimana jika sawah-sawah di desa berubah menjadi supermarket atau rumah kontrakan, bagaimana jika kelak orang-orang asli desa saya malah menjadi buruh di bekas lahan dan bedak yang dulunya mereka miliki. Kekhawatiran itu selalu muncul berulang. "Mungkin terjadi, barangkali juga tidak". -Batinku.


Saat hendak bertanya ke Adit kira-kira akan mengontrak di mana. Tiba-tiba dia menoleh dan memberitahu selama aku telpon dengan James. Ibunya Adit berencana menjual bedaknya di Pasar untuk biaya Adit dan istrinya mengontrak rumah. Lho lah


Padahal saya mau bertanya ke Adit, kira-kira kenaikan harga di pasar dan kontrakan yang sedang kita obrolkan itu perang harga atau hasil musyawarah? Atau malah, perang harga yang di musyawarahkan!!!!!!!



Sekian terimakasih.
Salam hangat dan jangan lupa ngopi.
Malang, 9 Januari 2019.

No comments:

Post a Comment