MENJADI LAMBAN KARENA DIKSI, MENJADI PINTAR KARENANYA
(Resensi Buku Tamasya Kota Pernia Oleh Toni Lesmana)
Tulisan ini masih seputar resolusi saya di tahun 2020, yakni berusaha meresensi semua buku yang selesai saya baca di tahun 2020. Jika pembaca blog saya mengikuti tulisan saya terdahulu, tentu paham bahwa sebuah buku dinilai bagus tidaknya itu hanya masalah selera saja. Meski realitanya kalian mengdaku buku yang kalian baca bagus, bukan berarti saya akan mengamini hal tersebut. Karena ini masalah selera. Hal ini yang akan saya ulangi lagi, dan lagi dalam setiap tulisan saya. Buku-buku yang saya beli, se selektif saya mencari. Dengan penuh pertimbangan atau tidak. Hasilnya akan tampak setelah saya selesai membacanya. Apakah buku tersebut sesuai selera saya atau tidak. Begitu pun dengan buku karangan Toni Lesmana berjudul "Tamasya Kota Pernia". Pendapat dalam tulisan ini sangat subjektif, jika kebetulan para pembaca ada penggemarnya Toni Lesmana dan tidak suka dengan yang saya tulis. Saya mohon maaf sebesar-besarnya. Mungkin kesalahan saya ini karena tidak membaca seluruh buku yang Mas Toni Lesmana tulis.
Saya tidak terlalu suka membaca cerpen yang banyak memiliki diksi. Cerita yang dituliskan terlalu berkutat pada kondisi sekeliling dimana tokoh utama berada. Seperti "Saya melihat perempuan itu mendekatiku, badannya tegap dengan payudara besar, memiliki rambut sebahu dan tampak basah, bibirnya tampak hitam dan memiliki tahi lalat disebelah kirinya". Hal ini memang bagus agar para pembaca dapat mengembangkan imajinasi para pembaca. Tapi entah mengapa, saya dari dulu tidak menyukai bacaan yang seperti ini. Meski saya akui, dulu saya pernah menulis cerpen dengan gaya tulisan penuh diksi seperti itu. Saya menyukai cerita-cerita yang lugas, bahasanya renyah termasuk pesan apa yang ingin penulis sampaikan ke pembaca. Meski semua cerpen, novel atau roman tidak mungkin jika tanpa diksi. Saya hanya tidak ingin menjadi pembaca lamban gara-gara fokus merenungi apa yang penulis maksut dengan menulis diksi-diksi itu.
Kata seorang Budayawan, "Sumber masalah di dunia ini adalah tafsir. Setiap orang memiliki tafsirannya sendiri dari buku, peristiwa dan pengalamannya. Sedangkan masalah terbesar kita adalah memaksa orang lain untuk mempercayai dan mengikuti hasil tafsiran kita. Padahal kata Mbah Nun, "Kebenaran itu letaknya di dapur (Hati), jadi tidak perlu untuk saling memperdebatkan kebenaran yang kita percayai. Karena setiap orang memiliki tafsiran pembenarannya masing-masing."
Maksud saya, dengan memaksa dua pernyataan di atas untuk di elaborasi. Saya ingin menyampaikan ke pembaca bahwa tulisan saya ini adalah tafsiran saya tentang sebuah buku. Dan itu bisa jadi salah. Pembaca dapat menjadikan tulisan ini sebagai bahan wacana baru, atau membiarkan begitu saja apa yang saya tulis. Semua tergantung anda. Silahkan saja.
Toni Lesmana, lahir di Sumedang. Masa kecil dan remajanya dihabiskan di kota kelahirannya. Minat terhadap menulis lahir dari perjumpaan dengan Majalah Mangle, sebuah majalah berbahasa Sunda yang memuat cerpen dan puisi. Mula-mula penulis dalam bahasa Sunda, beberapa kali mendapat penghargaan dari Lembaga Basa Sastra Sunda (LBSS) untuk puisi maupun cerpen. Buku-bukunya yang sudah terbit antara lain, Kumpulan Sajak Sunda Saregang-regang (Surya Dwitama, 2008), Kumpulan Cerpen Jam Malam Kota Merah (Ampermedia, 2012), Kumpulan Cerpen Kepala-kepala di Pekarangan (Gambang, 2015), Kumpulan Puisi Tamasya Cikaracak (Penerbit Basabasi, 2016).
Buku "Tamasya Kota Pernia" terdiri dari 21 cerpen yang sebelumnya sudah di muat di beberapa media ternama. Diterbitkan pertama kali tahun 2018 oleh penerbit Basabasi, Yogyakarta. Saya lebih sering membaca artikel dan essai di web nya, dan Buku karangan Mas Toni Lesmana adalah perjumpaan pertama saya dengan penerbit dari Kota Gudeg tersebut.
Cerpen-cerpen dalam buku ini secara tema dapat dibagi dalam dua kelompok: pertama, kegelisahan dan keterasingan manusia alam modern dan, yang kedua, kegelisahan manusia-manusia pada alam tradisi. Namun, secara umum, seluruh cerpen yang dituliskan dalam kurun waktu sejak tahun 2009 sampai 2016 ini adalah bentuk pengembaraan imajinasi Mas Toni Lesmana, sekalipun beberapa di antaranya mengambil tokoh dari dongeng yang pernah Mas Toni dengar di masa kecil. Pengembaraan ke wilayah gila, menurut salah seorang temannya. Mirip sebuah tamasya yang menyenangkan.
Dari 21 Cerpen yang ada. Saya sangat menyukai judul Tamasya Kota Pernia yang di angkat menjadi judul buku ini. Selain itu ada Hantu di Depan Pintu, Malam di Kota Merah, Negeri Penidur, Dongeng Hutan Kesedihan dan Ki Balelol.
Jika pembaca blog saya menyukai cerpen-cerpen horor, bercerita tentang anak-anak dan pengembaraan imajinasi yang luar biasa hebat namun dibalut dalam lanskap sederhana. Buku ini sangat saya rekomendasikan untuk pembaca koleksi. Kalau saya sendiri memilih buku ini selain memang menyukai cerpen. Saya adalah pembaca setia Basabasi, dan jujur saya menaruh ekspetasi tinggi pada buku terbitan Basabasi. Termasuk dua buku yang saya pre order berjudul "Paris Yang Tak Berkesudahan" karangan Hemingway dan "Orang Gagal" karangan Osamu Dazai yang tanggal 16 Januari besok baru dikirim dari Yogya.
Sekian Terimakasih.
Rabu, 8 Januari 2019.
Ali Ahsan Al Haris
Resensi Buku Tamasya Kota Pernia Toni Lesmana, Resensi Buku Tamasya Kota Pernia Toni Lesmana, Resensi Buku Tamasya Kota Pernia Toni Lesmana, Resensi Buku Tamasya Kota Pernia Toni Lesmana, Resensi Buku Tamasya Kota Pernia Toni Lesmana, Resensi Buku Tamasya Kota Pernia Toni Lesmana, Resensi Buku Tamasya Kota Pernia Toni Lesmana, Resensi Buku Tamasya Kota Pernia Toni Lesmana, Resensi Buku Tamasya Kota Pernia Toni Lesmana, Resensi Buku Tamasya Kota Pernia Toni Lesmana, Resensi Buku Tamasya Kota Pernia Toni Lesmana, Resensi Buku Tamasya Kota Pernia Toni Lesmana,
No comments:
Post a Comment