Dok Pribadi |
Soto Kadipiro, banyak berjajar di sepanjang Jl.Wates, Bantul, Yogyakarta. Kita tak perlu berdebat mana Soto Kadipiro yang asli atau bukan. Dari semua penjual Soto di sepanjang Jl. Wates, memang tampak ramai, yang membedakan hanya model bangunannya saja. Selain itu, saya datang kesana untuk makan, bukan survey studi kelayakan sebuah warung makan. Dari sekian banyak warung, saya memilih makan di Soto Kadipiro Plus (Putra Pak Tahir) beroperasional sejak tahun ‘70 an, persis berseberangan dengan SPBU Pertamina 44.551.06 Kadipiro.
Saya berkunjung pada 27 Februari bulan kemarin. Bagi tamu yang datang dengan memakai sepeda motor tidak cukup masalah, mulai rumit saat kalian datang membawa mobil dan kedapatan warung sedang padat pengunjung. Adanya petugas parkir memang cukup membantu, tapi tidak dengan terbatasnya lahan parkir. Lebih nyaman jika kalian parkir di SPBU kemudian jalan kaki.
Dok Pribadi |
Soto Kadipiro Plus memiliki model bangunan lawas. Meski lawasan, kebersihannya patut diacungi jempol. Saya datang pukul 12:04 WIB, tepat dimana Yogya sedang panas-panasnya. Sebelum memesan, saya beranjak ke toilet, tampak jeding kuno ala rumah mbah buyut saya dulu. Jedingnya lebar cukup tinggi dengan kloset jongkok membelakangi pintu. Saat keluar dari toilet, di sisi kiri tampak taman dengan kolam ikan di tengahnya. Menambah kesegaran di tengah panasnya Jogja.
Saya memilih Soto Ayam Kampung. Saat pesanan datang, kontras perbedaan Soto di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Yogyakarta. Jika kalian berkunjung ke Jawa Tengah dan membeli Soto, kalian akan mendapatkan Soto dengan kuah bening, pun yang terjadi di Soto Kadipiro. Kuahnya cukup bening, hampir sama dengan Soto-soto di Jawa Tengah. Akan berbeda cerita jika kalian membeli Soto di Jawa Timur, rata-rata kalian akan mendapati Soto dengan kuah pekat. Masalah rasa? tergantung selera. Menu pendamping yang saya pilih: Rempelo Ati Goreng; Mendoan; Perkedel dan Tahu Bacem. Sebagai pelepas dahaga, sengaja saya memilih teh panas. Sotonya panas dan pedas, minumnya panas ditambah dengan suasana Yogya yang panas. “Ya, mumpung sedang di Yogya”-batinku.
Selesai makan, saya merasa sangat gerah. Bukan karena efek panas dan pedasnya soto. Ini gerah yang muncul dari perasaan paling dalam. Sebuah kerinduan yang membuncah. Saya keluar dari warung sembari makan mendoan. Mataku menatap tajam penuh kerinduan ke sebuah gang bernama gang/jalan Barokah. Tidak jauh dari mulut gang, di sisi kiri ada sebuah rumah, tapi tidak bagiku. Ia rumah yang spesial. Bagi saya dan banyak orang.
No comments:
Post a Comment