Saturday, June 5, 2021

Jungkir Balik Jagat Jawa (Mitos, Cinta & Enigma)

 

Identitas Sastra Jawa memang harus dipertanyakan ulang. Misalnya saja kita bertanya: apakah sastra Jawa harus ditulis oleh orang Jawa dengan bahasa Jawa dan berisi kejawaan? Apakah ia berupa identitas yang dikenakan secara longgar? Bisakah, misalnya, orang Australia yang menulis masalah-masalah Aborigin dengan bahasa Jawa dianggap telah menghasilkan sastra Jawa?


Ini adalah buku karangan Pak Triyanto Triwikromo yang pertama kali saya baca. Saat membacanya, setidaknya ada dua buku lain yang harus saya baca kembali, yaitu: “Asal Usul Perang Jawa, Abangan Santri Priyayi Dalam Kebudayaan Jawa & Serat Gatholoco”. Selain itu, saya juga mencatat beberapa buku yang nantinya harus saya baca juga diantaranya: “Puncak Kekuasaan Mataram Politik Ekspansi Sultan Agung, Bandit-bandit Pedesaan Jawa: Studi Historis 1850-1942, Nyali, Para Priyayi, Keluarga Jawa & Memberi Suara Pada yang Bisu”.

 Sehimpun esai ini isinya sangat ciamik sekali dan saya rekomendasikan untuk dibaca bagi siapa yang ingin mengetahui budaya jawa, sejarah kelam dan mitos-mitos yang sampai hari ini masih dipercayai masyarakat Jawa secara umum. Terdiri dari tujuh bab utama di mana setiap bab memiliki sub-nya yang berisi esai menarik dan mencerahkan.

 

Judul               : Jungkir Balik Jagat Jawa

Penulis : Triyanto Triwikromo

Penerbit           : IRCISoD

Halaman         : 244

ISBN               : 978-602-769-617-4

Harga              : 65.000

 

Pada bab awal penulis menulis tentang Raden Saleh, Pangeran Diponegoro & Sultan Agung. Gaya bertuturnya yang ringan dan renyah tanpa harus memaksakan banyak diksi menjadikan esai tersebut sangat mudah dipahami.

Pengalaman membaca selama ini, esai atau cerpen yang dibukukan disertai juga histori jika pernah tayang di media massa. Ternyata, esai yang ditulis Redaktur Pelaksana & Dosen Sastra UNDIP ini tidak pernah tayang di media massa. Hanya terinspirasi dari hasil membaca buku yang kemudian beliau tulis menjadi esai. Keren bukan! Dituliskannya judul dan penulis buku-buku apa saja yang mempengaruhi Pak Triyanto ini sebagai ucapan terima kasihnya. Bukan resensi, ya, ia terinspirasi.

Karena setiap bab memiliki tema yang berbeda, saya yakin khasanah pengetahuan pembaca juga akan semakin berkembang. Gaya bertutur Pak Triyanto seperti periodisasi sejarah, ia mulai dari paling awal menuju masa modern. Membaca sehimpun esai ini, saya jadi ingat esai-esainya Mbah Nun dan Alm. Cak Rusdi Mathari. Tidak sama, tapi ada kekhasan tersendiri.

Esai pada bab Bebendu berjudul “Para Pelupa, Amenangi Jaman Maling & Bandit” adalah salah satu esai favorit saya. Momen membacanya sangat pas, proses menandaskan buku ini juga sedang hangat pemberitaan tidak lolosnya 51 dari 71 Pegawai KPK tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) untuk keperluan beralih status ke Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Pak Triyanto dengan ciamik menuturkan jika para pemimpin negeri ini, para politisi bahkan diri kita sendiri pura-pura lupa atas kesalahan-kesalahan dan kezaliman kita. Tidur nyenyak makan enak di depan orang-orang yang kita lukai perasaanya. Era sosial media yang gegap cemerlang ini, siapapun dengan bebas dan pengecut menyebar berita bohong. Kegaduhan demi kegaduhan kita produksi dan pertontonkan ke anak cucu. Kita seret diri dan keluarga kita dalam kubangan zaman maling. Maling ruang, malang waktu, maling uang & maling-maling lainnya. Kita lagi-lagi pura-pura tak sadarkan diri, kita sok pingsan atas apa yang kita lakukan itu.

Beberapa kali saya ingin men skip judul yang tidak familiar di dengar, keinginan tersebut selalu pudar saat aku paksa membacanya, sedikit saja misalnya, parahnya, Pak Triyanto dengan cadas selalu menghadirkan letupan demi letupan di tiap judulnya. Ada saja yang menarik, banyak hal yang tidak kuketahui. Salah satu yang menarik pada judul "Petangan" atau biasa kita kenal dengan metode untuk menghitung saat-saat serta tanggal yang baik dengan memperhitungkan kelima hari pasar. Percaya atau tidak, rasional atau irasional, Petangan sudah mendarah daging pada masyarakat Jawa. Pak Triyanto banyak menghubungkan Petangan dengan momen-momen bersejarah di Indonesia, seperti saat Gus Dur mengeluarkan Dekrit, Pak Karno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia & Joko Widodo mengundurkan diri dari Gubernur DKI untuk melanggeng menjadi Calon Presiden. Mereka semua itu tidak melakukannya dengan konyol, ada hitungan yang sangar matang, penuh pertimbangan dan kehati-hatian.

 

Ali Ahsan Al Haris

Malang, 5 Juni 2021

 

No comments:

Post a Comment