Wednesday, June 16, 2021

Resensi Anak Gembala Yang Tertidur Panjang di Akhir Zaman

 


Saya jarang sambang ke Ibu Kota Provinsi Jawa Tengah. Tapi, pernah membaca dan mendengar selentingan dari kawan kalau sekitaran stasiun Tawang & Poncol, Simpang Lima dan Taman KB depan SMA 1 adalah tempat mangkalnya para Waria. Ya, buku ini mengisahkan yang terakhir itu, para PSK, Kucing dan Waria.

Novel Anak Gembala yang Tertidur Panjang di Akhir Zaman menuturkan kisah Rara Wilis dan Suko Djatmoko. Alurnya maju dan mundur, mencakup masa lebih dari tiga dekade, menembus dan mengaburkan batas antara realitas serta mimpi, bermain-main dalam kabar gaib serta penafsirannya, melompat-lompat di antara bahasan seks dan teologi, iman dan skeptisme, pelacur dan Tuhan, hikayat babi dan epos Mahabharata. Lebih dari itu, novel ini diangkat dari kisah nyata. Maka benarlah, sesungguhnya kehidupan manusia sering kali lebih ganjil dari cerita fiksi mana pun.

Lahir dari dua belas saudara, delapan laki-laki dan empat perempuan. Ia anak kelima. Memiliki panggilan Waria bernama, Mbok Wilis. Nama tersebut bukan terinspirasi dari nama Gunung Wilis atau tokoh pewayangan kesukaannya. Melainkan lahir dari kekecewaan dan patah hati. "Rasa Lara Waria Idaman Lelaki Iseng Semata", begitu panggilan yang membuatnya dikenal menjadu Ratu para Waria di Simpang Lima Semarang.

“Unsur dua genre (fantasi dan bildungsroman) saling berkelindan, dan
inilah yang menjadikan novel ini mempunyai daya tendang.”
—Budi Darma, Sastrawan.

“Dituturkan dengan gaya berkisah yang rileks dan menyenangkan,
dengan jelajah bentuk narasi realis dan alegoris yang bersisi-sisian. Ia
cukup berhasil sebagai upaya menuju novel polifonik.”
—Pertanggungjawaban Dewan Juri Sayembara Novel
Dewan Kesenian Jakarta 2018.

Buku yang diangkat dari kisah nyata karya A. Mustafa ini memang layak menggondol pemenang kedua Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta tahun 2018 kemarin.

Memiliki alur maju mundur, begitu tulisan yang paling saya ingat sebelum membaca novel ini, langsung saja saya teringat Cantik Itu Luka, Lelaki Harimau dan karya-karya Mas Eka lainnya.

Dibuka dengan kisah Mbok Wilis yang hendak bertemu Nabi baru. Loncat ke Taman KB Kota Semarang tempat mangkalnya para Waria. Dilanjut scene Babi yang sedang berendam di kubangan lumpur bercampur dengan tai nya. Beralih lagi ke medan peperangan Mahabarata dan kembali lagi ke Taman KB Semarang melihat Mbok Wilis dan teman-temannya digebuki Polisi Pamong Praja. 

Kejadian dalam buku ini tidak dijelaskan tahun berapa Mbok Wilis menjadi Waria, beberapa kejadian hanya menyebutkan momen-momen bias yang harus ditafsirkan sendiri oleh pembaca. Kemungkinan berlangsung pada medio tahun 70 an.

Potret Rara Wilis

Cerita semakin seru tatkala Mbok Wilis bersama anggota PAWATRI sedang membuat acara dalam rangka merayakan hari kemerdekaan Indonesia. Di Tengah-tengah acara, ia kedatangan sosok laki-laki, bekas tambatan hatinya, tampaknya lelaki itu juga masih menyimpan perasaan yang sama. Namun sebelum berlanjut, scene beralih ke cerita Mahabarata lagi.

Anak Gembala yang Tertidur Panjang di Akhir Zaman adalah sebuah novel getir tentang kehidupan orang-orang yang terpinggirkan. Dalam hal lain, mengangkat kisah seperti ini tentu dibarengi dengan riset dan keberanian tersendiri bagi penulisnya. Apalagi yang diangkat menjadi plot cerita utama adalah Waria dan Ahmadiyah. Di Indonesia, kombinasi keduanya sudah barang tentu adalah hal yang ajaib. Yang satu dianggap sampah masyarakat yang satu lagi dianggap organisasi terlarang bahkan dimusuhi oleh orang Islam sendiri.

Kita diajak menyelami sisi manusiawi tokoh Rara Wilis dalam profesinya sebagai Waria dengan kenyataan yang sebenarnya cukup mengejutkan pembaca di awal dengan kalimat pembuka "Pada Jumat siang yang gerah di pertengahan tahun 1994, Mbok Wilis memakai sepatu tumit tinggi untuk bertemu dengan seorang nabi." Pada kalimat pembuka ini saja sebagai pembaca kita seolah dibuat takjub dan penasaran, seorang yang biasa dipanggil dengan sebutan "Mbok" memakai sepatu tumit tinggi tentu adalah hal yang aneh sekaligus lucu bukan main apalagi ketika hal itu dilakukan ketika hendak bertemu seorang nabi. Ini adalah salah satu kalimat pembuka favorit saya selain kalimat pembuka dalam novel Cantik Itu Luka.

Rara Wilis yang Waria menjalani hidup sehari-hari dengan nyebong alias melacurkan diri di jalanan. Tapi Waria yang satu ini bukan sembarang Waria karena dia adalah Waria yang berpengaruh di wilayahnya. Pasang surut kehidupan Rara Wilis ditulis beriringan dengan kisah seekor babi lumpur yang menjadi alegori luar biasa dalam setiap irisan cerita. Alur cerita yang maju dan mundur ditulis sedemikian lancar dan mengalir, meski secara pribadi saya sempat memberikan jeda membaca buku ini karena merasa tidak "terikat" dengan buku-buku yang menggunakan alur seperti ini tetapi begitu masuk pertengahan buku, kita akan diajak memahami cara berpikir tokoh utama dan apa yang menjadi tujuan hidupnya kelak.


Jangan lupakan kisah tentang Pak Wo, pedagang jamu keliling yang juga seorang Ahmadiyah. Periode tahun 90an organisasi ini sudah menjadi sesuatu yang dianggap meresahkan dan tak ketinggalan tokoh kita satu ini juga mengalami periode-periode sulit tersebut. Yang semakin menjadi momok tentu saja ketika seseorang berusaha mengajarkan apa yang sudah ia pelajari dalam Ahmadiyah kepada orang banyak. Diramu dengan kesukaannya akan kisah wayang purwo membuat dakwah unik Pak Wo menjadi sesuatu yang ditolak orang-orang sekelilingnya.

Sesuatu yang sangat prinsipil seperti memilih menjadi Waria dalam tokoh Rara Wilis dan mengemban dakwah Ahmadiyah pada tokoh Pak Wo diangkat ke permukaan dalam jalinan drama di mana si lemah akan dikalahkan dan yang berbeda akan disingkirkan. Kita melihat betapa negara kita belum ramah terhadap perbedaan apalagi jika menyakut agama atau pilihan hidup seperti dua tokoh kita tadi. Padahal sejatinya setiap orang tentu memiliki pandangan-pandangannya sendiri yang dipercayai dalam membentuk karakternya.

Yang menjadi daya tarik dari kisah ini adalah tentang bagaimana penemuan jati diri mampu mengantarkan seorang manusia menempuh berbagai jalan terjal dan berliku. Kita juga perlu memahami betapa kasih sayang Tuhan tak akan habis dan tak luput kepada semua makhlukNya.

"Lebih baik mati karena berusaha untuk hidup, ketimbang mati karena tidak mampu bertahan hidup." Hal. 131.

Apalagi yang cukup kuat memotivasi manusia dalam mengarungi setiap cobaan hidup selain kenyatan bahwa kita semua mengharapkan akhir yang bahagia. Betapa setiap dari kita dalam menemui persoalan dalam hidup tentu berharap akan datangnya sebuah cahaya diujung terowongan sana dan kita akan serta merta menghamburkan diri padanya. Baik tokoh Rara Wilis dan tokoh Pak Wo bisa jadi adalah orang-orang kecil yang terpinggirkan dari masyarakat kita yang memuja segala hal yang normal dan penuh dengan status quo. Kedua tokoh ini seolah menjadi kebalikan dari apa yang selama ini kita jumpai. Mereka adalah orang-orang yang nyata dan menemukan persoalannya sendiri setiap hari, seraya terus mengharap surgaNya kelak mereka mungkin berbelok arah, berbuat dosa lagi tetapi jalannya tetap kepadaNya.

Saya membayangkan Rara Wilis dan Pak Wo sebagai dua sosok manusia yang sama seperti kita dan memerlukan perhatian dan penghargaan yang sama jua.

Penulis dengan baik memberikan dan mensiratkan bagaimana Mbok Wilis menjadi Waria. Saat ibunya sedang mengandungnya, Ibu dan Bapaknya menertawakan pengamen Waria di pasar. Dari situlah orang Jawa bilang ia kena kualat. Hal ini diperkuat oleh pola asuh dan lingkungan Mbok Wilis semasa kecil yang tidak sehat untuk tumbuh kembang anak. Ia hidup dikelilingi orang-orang dan lingkungan yang suka berbicara kotor, minum miras, berjudi dan melakukan seks bebas.

Apa poinnya? Hal ini senada dengan teori yang saya percayai jika karakter seseorang sangat dipengaruhi oleh: Keluarga; Pendidikan Formal, Lingkungan, Buku dan Tontonan. Kasus pada tokoh utama dalam novel ini, membuktikan jika lingkungan yang tidak sehat dan orang-orang terdekat yang tidak ramah untuk kembang anak akan memupuk investasi akhlak yang buruk.

Scene yang bagi saya agak tergesa-gesa (bahkan dipaksa) saat Mbok Wilis sedang mandi di hotel selepas bercumbu dengan Haris. Dari terjadinya gempa, tanah yang merekah, banyak korban berjatuhan dan pandangan tentang surga yang mengasikan. Bagiku, ini menjadi titik balik yang kurang pas, seolah menceritakan peperangan tanpa tahu permasalahannya. Perihal cerita tentang babi, ia terkesan berdiri sendiri. Ya meski aslinya itu disebut alegori, bagiku terkesan memaksa saja.

Selepas kejadian tersebut, Mbok Wilis berencana tobat setobat-tobatnya. Ia mulai meninggalkan kebiasaan buruknya, mulai dari yang kecil seperti tidak berjudi, menenggak minuman keras dan mengurangi nyebong. Tidak ada jalan mudah untuk bertobat, ujian datang silih berganti, pun yang terjadi ke Mbok Wilis. Haris, si iblis itu masih sering datang ke kontrakan Mbok Wilis meminta jatah, jika tidak dilayani dengan baik, ia dengan enteng menghadiahkan bogem ke wajah dan bagian tubuh Mbok Wilis. Selain itu, jalan pertobatannya itu mengurangi kas pemasukannya. Agar balance, ia hanya kencan dengan pelanggan tetapnya, per hari hanya menerima satu tamu, sedangkan di akhir pekan hanya menerima dua tamu. Masalah terjadi saat Ciputra mulai membangun Mall di samping Simpang Lima, geliat ekonomi di sekitar proyek juga mendatangkan para PSK, Waria dan kucing dari luar kota. Kini ketenarannya sebagai Ratunya Simpang Lima kalah pamor dengan para pendatang, apalagi usia mereka lebih muda dan cara mereka berdandan juga lebih seksi. Hal ini diperparah dengan persaingan harga yang sudah hancur-hancuran, para Waria, PSK dan Kucing itu mengobral harga serendah-rendahnya agar tetap laku. Karena tuntutan ekonomi, Mbok Wilis juga melakukan hal ini. kalau dulu ia pilih-pilih, kini dari tukang, mandor dan satpam ia embat saja.


Tuhan marah, niatnya untuk benar-benar bertobat ia ciderai sendiri. Mbok Wilis terjangkit penyakit gonore, penis dan lubang pelepasnya mengeluarkan darah dan nanah. Ia sangat ketakutan, ia ingin bertobat lagi, meminta ke Allah agar diangkat penyakitnya itu. Setelah periksa ke dokter dan sembuh, ia kumat lagi. Nyebong lagi. Ia kena Rajasinga, periksa sembuh lagi, kumat lagi sampai kena sipilis dan takdir membawanya harus kembali ke rumah orangtuanya, tabungannya habis untuk berobat. ia kalah.

Selama di rumah orangtuanya itu, Mbok Wilis mulai menemukan jalan hidupnya. Meski beberapa kali masih ada konflik dengan Haris, namun lewat Haris juga lah ia masuk ke Ahmadiyah. Sisa hidupnya ia baktikan ke jemaah. Kini Mbok Wilis atau “Suko Djatmoko Purwo Carito” hidup di pinggir kota Semarang bersama keponakannya. Ia masih tercatat sebagai anggota di Jamaah Ahmadiyah cabang Semarang, dan masih aktif datang ke Masjid Nusrat Jahan untuk shalat Jumat atau mengikuti kegiatan lainnya.

“Lebih baik mati karena berusaha untuk hidup, ketimbang mati karena tidak mampu bertahan hidup” (Rara Wilis,1988, hal 131).

Salah satu perhatian saya dalam novel ini adalah tentang betapa kaya kosakata dan bahan mentah materi sang penulis dalam meramu kisah nyata ini menjadi sebuah fiksi. Disuguhkan dengan adegan babi dan segala polahnya satu hal, mengakrabi kehidupan malam para Waria ketika melacur adalah soal lainnya dan inilah yang menjadi kekuatan novel ini menggiring pembaca hingga tamat. Saya merekomendasikan buku ini sebagai bacaan penting di akhir tahun dan tentu saja sebagai bahan renungan di awal tahun nanti, sudah benarkah selama ini jalan kita menuju surgaNya?

Terimakasih

Malang, 16 Juni 2021

Ali Ahsan Al Haris

No comments:

Post a Comment