Sebelum membaca buku ini, saya sudah tergoda
untuk membaca novel “Do'a Ibu” karya Arswendo. Keinginan tersebut urung karena
ingat komitmen saya di awal tahun Hanya Membaca Buku Non Fiksi saja.
Berat? Saya masih belum merasakan. Mungkin bosan, iya.
Buku mungil nan tipis ini dari judulnya cukup
menarik. To the point, menjual sekali untuk dijajakan ke anak-anak muda yang
menyukai teori konspirasi dan sentimental agama. Tentunya, harga sangat terjangkau
dan tema yang dibahas juga tidak cukup berat.
Begini, ada empat kisah atau babak besar yang diceritakan. Salah satunya Anne Frank. Nama yang tidak asing bagi pemuja Tolstoy. Jujur, saya sendiri belum tandas membaca buku tentang Anne Frank. Pernah punya, tidak tahu ke mana buku tersebut. Lucunya lagi, belakangan saya baru mengetahui jika ada buku yang lebih detail alias lengkap menceritakan kisah Anne Frank. Lah ...
Jadi bagaimana? Hemat saya, bagi pembaca yang
belum tahu siapa itu Anne Frank akan terbantu dengan membaca buku ini. Periodisasi
pengisahan Anne Frank cukup baik, dimulai dari meletusnya Perang Dunia I,
bagaimana ia dan keluarganya maraton mengungsi dari tempat satu ke yang lain.
Namun, pembaca juga akan tambah bingung dengan gaya cerita yang dikemas. Penulis cenderung menganggap pembaca buku ini sudah tahu siapa itu Anne Frank, Hitler dan NAZI. Beda kasus jika pembaca buku ini sudah memiliki pengalaman membaca yang cukup luas.
Memang, di awal buku ada kutipan kisah Anne Frank, tapi itu juga
hanya semacam ringkasan. Sebagian besar isi buku berisi tentang bagaimana
Hitler dan Nazi melakukan tahapan Holocaust. Itu juga disampaikan secara
kaku. Sebuah buku kecil seperti ini mestinya ditulis dengan padat tapi tak
menghilangkan esensi dari pesan yang ingin disampaikan.
Selain itu, pada bab dua penulis juga menyampaikan kenapa Hitler
melakukan genosida. Namun lagi-lagi tak menjawab pertanyaan itu sendiri. Membuat
pembaca yang ingin tahu ter PHP saja (Hanya jawaban samar bahwa Hitler/Nazi
melakukan karena antisemit belaka dan mimpi tentang supremasi kaum Arya). Alasan
yang tidak jelas. Meski memang banyak kaum/pemimpin seperti Hitler, melakukan
genosida demi supremasi suatu kaum tertentu. Rezim Khmer Merah yang melakukan
genosida di Kamboja. Rezim Serbia yang membantai etnik Bosnia. Genosida suku
Tutsi oleh Hutu. Hingga yang terbaru, genosida rezim Myanmar terhadap suku
Rohingya. Tapi, genosida Nazi terhadap Yahudi adalah hal yang berpengaruh pada
banyak aspek di dunia. Sampai-sampai, di Jerman sendiri "haram"
hukumnya melakukan sikap kenazian (Hmm ... Istilah baru nih).
Anehnya, pada akhir buku, penulis menyampaikan renungan tentang
perdebatan holocaust dan mengutip pernyataan mantan presiden Iran, Mahmoud
Ahmadinejad: "Kalau bangsa Eropa yang membuat Yahudi kehilangan ruang
hidupnya, mengapa Timur Tengah yang harus menanggung akibatnya? Ini yang
mestinya bisa dijawab buku kecil ini, tapi ternyata tidak.
Terima kasih
Malang, 6 April 2021
Ali Ahsan Al Haris
No comments:
Post a Comment