Tuesday, April 6, 2021

Inside The Death Camp

 

Sebelum membaca buku ini, saya sudah tergoda untuk membaca novel “Do'a Ibu” karya Arswendo. Keinginan tersebut urung karena ingat komitmen saya di awal tahun Hanya Membaca Buku Non Fiksi saja. Berat? Saya masih belum merasakan. Mungkin bosan, iya.

Buku mungil nan tipis ini dari judulnya cukup menarik. To the point, menjual sekali untuk dijajakan ke anak-anak muda yang menyukai teori konspirasi dan sentimental agama. Tentunya, harga sangat terjangkau dan tema yang dibahas juga tidak cukup berat.


Begini, ada empat kisah atau babak besar yang diceritakan. Salah satunya Anne Frank. Nama yang tidak asing bagi pemuja Tolstoy. Jujur, saya sendiri belum tandas membaca buku tentang Anne Frank. Pernah punya, tidak tahu ke mana buku tersebut. Lucunya lagi, belakangan saya baru mengetahui jika ada buku yang lebih detail alias lengkap menceritakan kisah Anne Frank. Lah ...

Jadi bagaimana? Hemat saya, bagi pembaca yang belum tahu siapa itu Anne Frank akan terbantu dengan membaca buku ini. Periodisasi pengisahan Anne Frank cukup baik, dimulai dari meletusnya Perang Dunia I, bagaimana ia dan keluarganya maraton mengungsi dari tempat satu ke yang lain.

Namun, pembaca juga akan tambah bingung dengan gaya cerita yang dikemas. Penulis cenderung menganggap pembaca buku ini sudah tahu siapa itu Anne Frank, Hitler dan NAZI. Beda kasus jika pembaca buku ini sudah memiliki pengalaman membaca yang cukup luas.

Memang, di awal buku ada kutipan kisah Anne Frank, tapi itu juga hanya semacam ringkasan. Sebagian besar isi buku berisi tentang bagaimana Hitler dan Nazi melakukan tahapan Holocaust. Itu juga disampaikan secara kaku. Sebuah buku kecil seperti ini mestinya ditulis dengan padat tapi tak menghilangkan esensi dari pesan yang ingin disampaikan.

Selain itu, pada bab dua penulis juga menyampaikan kenapa Hitler melakukan genosida. Namun lagi-lagi tak menjawab pertanyaan itu sendiri. Membuat pembaca yang ingin tahu ter PHP saja (Hanya jawaban samar bahwa Hitler/Nazi melakukan karena antisemit belaka dan mimpi tentang supremasi kaum Arya). Alasan yang tidak jelas. Meski memang banyak kaum/pemimpin seperti Hitler, melakukan genosida demi supremasi suatu kaum tertentu. Rezim Khmer Merah yang melakukan genosida di Kamboja. Rezim Serbia yang membantai etnik Bosnia. Genosida suku Tutsi oleh Hutu. Hingga yang terbaru, genosida rezim Myanmar terhadap suku Rohingya. Tapi, genosida Nazi terhadap Yahudi adalah hal yang berpengaruh pada banyak aspek di dunia. Sampai-sampai, di Jerman sendiri "haram" hukumnya melakukan sikap kenazian (Hmm ... Istilah baru nih).

Anehnya, pada akhir buku, penulis menyampaikan renungan tentang perdebatan holocaust dan mengutip pernyataan mantan presiden Iran, Mahmoud Ahmadinejad: "Kalau bangsa Eropa yang membuat Yahudi kehilangan ruang hidupnya, mengapa Timur Tengah yang harus menanggung akibatnya? Ini yang mestinya bisa dijawab buku kecil ini, tapi ternyata tidak.

Terima kasih

Malang, 6 April 2021

Ali Ahsan Al Haris

 

No comments:

Post a Comment