Perburuan buku-buku yang ditulis langsung oleh Mbah Nun maupun yang
ditulis oleh orang lain masih berlanjut. Kali ini saya berkesempatan membaca buku
Kitab Ketenteraman Dari Khasanah Emha Ainun Nadjib, ditulis tiga
penggiat Maiyah, Aprinus Salam; M Alfan Alfian & Wawan Susetya. Khusus Mas
M Alfan Alfian, saya sudah pernah membaca buku beliau yang membahas tentang HMI.
Kalau tidak salah, beliau juga menjadi dosen di Universitas Muhammadiyah Malang
(UMM) juga.
Ian Leonard Betts (Ian L Beets), sosok peneliti yang sudah malang melintang di Maiyah turut memberikan pengantar pada buku ini, menurut beliau, buku Kitab Ketenteraman memiliki kedalaman tema dan jangkauan bahasa cukup luas untuk mudah dimengerti para pembaca tanpa mengurangi esensinya. Selain itu, dan ini yang sangat menarik. Buku Kitab Ketenteraman menjadi inspirasi penting Pak Ian L Betts menulis buku Jalan Sunyi Emha (2006). Hmmm, perlu pembaca tahu juga, buku tersebut sudah lama saya cari tapi harga bekasnya masih terlampau mahal. Jika pembaca ingin menjualnya, jangan lupa mengabari saya ya. Eheee.
Kitab Ketenteraman pertama kali terbit pada tahun 2001 (Saya masih belum tahu siapa penerbitnya) kemudian di tahun 2014 cetak kembali dengan penerbit yang berbeda, kali ini penerbit Penjuru Ilmu Sejati asal Pondok Gede, Bekasi yang berkesempatan menerbitkannya. Buku ini membuat saya mengingat-ingat pertemuan dengan Pak Andi Soebijakto, kawan karib Bang Alfan Alfian dan driver -orang dekat- Mbah Nun saat reformasi. Kenapa saya tulis? Karena saya menganggap ini penting. Saya pertama kali bertemu dengan beliau saat ngopi di UB Coffee, saya dikenalkan lewat perantara Dr. Anthon Efani. Cukup lama kita bertiga mengobrol. Beliau banyak menyebut nama-nama penggiat Religi, dan saya banyak tidak tahunya. Hehe. Lain kesempatan, nama Pak Andi ini saya konfirmasi ke senior saya, Kang Ibnu (Penggiat Religi) dan terjawablah siapa sosok Pak Andi ini. Semoga Allah SWT selalu melindungi & memberikan kesehatan ke Pak Andi & Keluarga.
Baca juga: Sepotong Dunia Emha
Secara garis besar, buku ini terbagi dalam dua bahasan besar. Pertama,
dimensi intrinsik, ialah logika-logika, renungan-renungan, kisah-kisah dan
apa-apa yang disampaikan oleh Mbah Nun. Kedua, dimensi ekstrinsik. Ialah
tentang siapa Mbah Nun, pernah sekolah di mana, pekerjaan apa yang dominan Mbah
Nun lakukan dalam ranah kebudayaan, buku-buku apa saja yang beliau tulis dan
hal-hal lain yang berkenaan dengan Mbah Nun.
Baca juga: Hidup Harus Pintar Ngegas Ngerem
Jika teman-teman pembaca sering membaca buku yang ditulis langsung oleh
Mbah Nun, tentu mengenal betul karakteristik tulisan beliau yang padat, lugas,
rileks, nakal, imajinatif, cerdas, konfrontatif, menanyakan banyak hal, diselingi
guyonan dan menghantam sana sini. Begitu pun dengan Kitab Ketenteraman, namun
esai-esai panjang khas Mbah Nun tidak cukup banyak kita temukan dalam buku ini.
Oleh ketiga penulis semacam diringkas. Dalam pengantar buku juga diterangkan
esai yang ada memang kerja kolektif dari tim penulis dalam mengumpulkan tulisan
Mbah Nun dan menuliskan apa yang Mbah Nun sampaikan lewat Maiyahan atau pertemuan
yang lain dengan para penulis.
Baca juga: Apa Itu Maiyah?
Proses penyusunan buku sangat menarik. Ketiga penulis memiliki spesialisasi
dalam menyusun buku ini. Pertama, saudara Wawan Susetya, memiliki keahlian yang
sampai secara detil mengulang kembali apa yang dikatakan oleh Mbah Nun dalam
pelbagai forum dan tulisan-tulisannya. Kedua, Pak Aprinus Salam sang
pendekar akademi sastra yang terlibat dalam menggeluti karya dan dinamika
kesusastraan Mbah Nun, tentunya memiliki banyak catatan-catatan yang patut
disumbangkan dalam buku ini dan, Ketiga. Mas M Alfan Alfian, posisinya menjadi
potongan kubik di antara para kawannya. Kecintaannya pada tulisan-tulisan Mbah
Nun membuatnya paham bagaimana harus menyusun kredo ini menjadi sebuah buku.
Baca juga: Bermimpi Bertemu Mbah Nun
Mas Alfan sempat berpindah ke Yogya. Hal ini dilakukan demi
menyelesaikan buku sebelum Kiai Kanjeng manggung di Senayan. Dalam praktiknya,
buku memang berhasil terbit, namun cerita dibalik itu membuat siapa saja
pembaca buku ini akan dibawa tertawa terbahak-bahak. Mulai dari lupa menuliskan
daftar isi, perdebatan adanya kata “Kitab” pada judul buku sampai
kelakar Mbah Nun ke Mas Alfan jikalau negara harus menyubsidinya buah kerja
intelektualnya.
Baca juga: Maiyah Adalah Sebuah Pohon Besar
Menurut saya, buku ini menjadi sangat spesial karena selain Pak Ian L
Betts memberikan pengantar, Mbah Nun juga turut andil dalam memberikan judul
pada esai-esai yang dikumpulkan oleh tim penulis serta memberikan kategori mana
tulisan yang masuk pada bagian A dan bagian yang lainnya.
Kitab Ketenteraman memuat 80 lebih esai. Jika ingin memahaminya,
syaratnya jangan terburu-buru, inshaallah nanti ketemu dan dapat menghikmati esai
yang ada pada buku ini.
Baca juga: Maiyah dan Spontanitas
Pembaca di ajak oleh penulis menelusuri siapa itu Emha, apa yang ia
lakukan selama ini dan bagaimana para kolega mengenalnya. Uniknya, saya tidak
tahu esai mana yang ditulis oleh Aprinus Salam, pun penulis yang lain.
Membaca buku “Kitab Ketenteraman” seperti mendengar ceramah Mbah Nun
pada forum-forum Maiyah baik formal mau pun non formal yang diringkas dalam
bentuk tulisan. Hal seperti ini pernah saya temukan pada buku karangan Mbah Mus
(KH. Mustofa Bisri) berjudul Lukisan Kaligrafi. Apa yang tertulis pada
judul-judul buku tersebut, saya temukan juga dalam bentuk audio dan video.
Versi lebih lama, dapat saya temukan dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi (DBR)
jilid 1-3 karangan Presiden Soekarno yang tebal bukunya segede gaban itu.
Meski setiap judulnya cukup ringkas untuk dibaca, bukan berarti tidak
meninggalkan bekas dan sisa-sisa pertanyaan. Terutama pada bab dua, pembaca
akan di ajak oleh tim penulis untuk mengenal lebih dekat siapa sosok Emha,
karya-karyanya, sejarah julukan atau predikat yang melabelinya, termasuk
strategi beliau dalam mengutarakan gagasan-gagasannya di era budaya massa.
Baca juga: Kenapa Maiyah?
Sebagai pembaca setia buku-buku Mbah Nun, buku Kitab Ketenteraman
sangat saya rekomendasikan untuk dibaca semua orang. Apa pun profesinya, yang
bersangkutan Jamaah Maiyah atau tidak, peneliti atau tumang becak, buku ini
patut menjadi salah satu referensi utama untuk mengenal lebih dekat siapa itu
Emha Ainun Nadjib, si Kiai Mbeling.
Terima kasih
Malang, 31 Maret 2021
Ali Ahsan Al Haris
No comments:
Post a Comment