APA ITU MAIYAH?
Pertama, saya haturkan
terimakasih yang sangat besar untuk Mbah Nun sekeluarga dan keluarga ndalem
Jombang termasuk Cak Dil dan Abah Fuad. Tidak lupa terimakasih banyak ke Pak
Toto, Alm. Pak Kamba, Kyai Muzamil, Kang Sabrang, Mas Helmi, sedulur Kiai
Kanjeng, para JM dan tentunya Kang Prayogi senior saya di Religi Malang. Karena
buku beliau, saya mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang selama ini saya cari.
Heran memang, banyak pertanyaan yang selama ini saya cari ternyata banyak terjawab
di buku yang beliau tulis. Padahal, beberapa kali saya berjumpa dengan beliau,
kok ya gak sadar.
***
Aku jamin, jika ada orang yang
bertanya seperti itu kepada 100 orang Jamaah Maiyah, maka dia akan mendapatkan
100 jawaban yang berbeda. Mengapa bisa demikian? Tidak ada penjelasan yang
akurat, Saudara. Namun, sekadar untuk mendekatinya, kiranya penjelasan ini akan
membantu.
Menurut tulisan-tulisan kecil
yang banyak beredar di kalangan komunitas maiyah, kata maiyah berasal dari
bahasa Arab maiyatullah yang berarti bersama Allah. Kemudian, kesandung lidah
Jawa dan akhirnya akrab sebagai maiyah. Maiyah lebih merupakan komitmen nilai,
bukan bentuk. Sehingga, maiyah tidak akan pernah mencapai bentuk formal semacam
organisasi masyarakat.
Lebih lanjut, Emha Ainun Nadjib,
sebagai guru, sahabat sekaligus ayah orang maiyah pernah memberikan juga alasan
untuk menjawab pertanyaan seperti itu.
Pertama, kata Emha, "Saya
lebih baik nyolokin cabai rawit ke mulut orang maiyah daripada duduk dan menjelaskan
panjang lebar tentang makna cabe kepada mereka.
Kedua, mereka kan orang maiyah,
bukan hanya saya. Mengapa saya yang harus menjawab." Sementara alasan
ketiga Emha, "Saya pasti dimarahi Kanjeng Nabi, Sunan Bonang dan sejumlah
Auliya' jika metode thoriqot semacam itu yang saya terapkan kepada orang maivah
dan siapa pun.”
Jadi, apa itu Maiyah? Aku juga
tidak memiliki jawaban pasti, Saudara. Tapi, ada metode yang menurutku paling cepat
untuk membuat orang paham tentang maiyah, yaitu mengisahkan asal-usulnya.
Dulu, pada tahun 1993, atas
gagasan Adil Amrullah adik Emha diselenggarakanlah pengajian di rumah Ibu Emha
di Jombang sebagai jalan silaturahmi Emha dan keluarganya. Selain itu,
dimaksudkan sebagai respon lingkaran Emha terhadap kondisi masyarakat pada saat
itu yang mengalami ketidakpuasan, keputusasaan, amarah terpendam. Pendeknya,
psikologi masyarakat sudah berada pada tubir semangat penghancuran.
Sebab, masyarakat merasakan ada
lubang di hatinya yang tak terisi oleh lembaga-lembaga modern yang ada saat
itu. Itu juga yang dirasakan orang-orang di lingkaran Emha. Maka, pengajian itu
hadir untuk mengisi lubang di hati keluarga dan lingkaran Emha.
Tetapi kemudian, keluarga itu
meluas hingga kepada para tetangga satu RT, satu desa. Lambat laun meluas hingga
satu kecamatan, satu kabupaten, satu provinsI, dan akhimya meluas hingga
tetangga-tetangga di luar Jawa Timur. Ini boleh jadi sebuah indikasi masyarakat
luas juga mengidap penyakit "lubang di hati".
Karena pengajian itu
diselenggarakan secara reguler sebulan sekali dan mengambil waktu saat bulan purnama,
maka pengajian itu dinamakan Pengajian Padhangmbulan.
Kemudian, usai sejarah besar
reformasi di Jakarta dan kejatuhan Soeharto, dimulailah pengajian serupa di
Yogya, rumah tinggal Emha. Pengajian itu diberi nama Mocopat Syafaat. Seiring berjalannya
waktu, lahir pula pengajian serupa dengan nama Papperandang Ate di Mandar. Kemudian,
Haflah Shalawat dan Pengajian Tombo Ati di Surabaya yang kelak bermetamorfosis
men- jadi Bangbangwetan. Lahir pula berikutnya Gambang Svafaat di Semarang,
Kenduri Cinta di Jakarta serta Obor Illahi di Malang.
Sementara, ada pula pengajian-pengajian
serupa yang diinspirasi oleh Pengajian Maiyah dan diselenggarakan oleh Jamaah
Maiyah seperti pengajian Idza Ja di Ende, Flores. Orang-orang yang hadir di
pengajian-pengajian itulah yang kemudian menamakan diri mereka sendiri sebagai
Jamaah Maiyah.
Maiyah dihidupi oleh pengajian maiyah.
Pengajian-Pengajian Maiyah itulah yang menjadi kekuatan jasmani dari maiyah.
Sementara, kekuatan jasmani itu menghidupi dirìnya dan mendapat kehidupannya
dari roh shalawat. Bershalawat adalah bagian utama dari Pengajian Maiyah. Sedangkan
diskusi-diskusi multi arah yang mengiringi setiap pengajian diletakkan sebagai pendamping
yang harus ada sebagai upaya memperluas wawasan keilmuan.
Kalau demikian, apa posisi Emha
di Maiyah? Apakah dia Ketua Umum Maiyah, Ketua Dewan Pembina, Sekjen, Direktur
Eksekutif atau apa? Setahuku, bukan itu semua, Saudara. Emha adalah bagian
sangat penting dari maiyah, tetapi aku tidak tahu jabatannya. Sebab, dirinya
sendiri juga menolak diletakkan di suatu tempat.
Namun sesungguhnya, dia ada di
mana-mana. Aku ceritakanakan pengalamanku soal ini.
Sepanjang sepuluh tahun menjadi
bagian dari pengajian-pengajiannya, aku berusaha sekuat mungkin menutup diri
dari perbincangan soal Emha maupun Maiyah kepada orang di luar Maiyah. Bahkan
kepada orang tuaku sendiri.
Baca tulisan saya yang lain: Menderita Karena Maiyah (Sebuah Respon)
Aku malu jika ada orang tahu
kalau kadang-kadang aku berkunjung ke Pengajian Maiyah. Lebih malu lagi kalau
orang tahu bahwa aku menganggap diriku sebagal bagian dari Jamaah Maiyah. Tapi,
begitu ada orang yang tahu-entah dari mana-bahwa aku terkadang bertemu dengan
Emha, mereka sekonyong-konyong bertanya banyak hal tentang Emha. Di mana
tinggalnya? Apa aktivitasnya? Mengapa lama tidak tampil di TV, dan seterusnya.
Pertanyaan mereka seolah-olah menempatkan aku ini sebagai perangko yang selalu
nempel padanya.
Seorang pengasuh pesantren Gontor
pernah mengatakan, "Kecenderungan setiap orang untuk tertarik memperkenalkan
dirinya sebagai bukti eksistensi, namun hal ini tidak saya temui pada diri
Emha. Emha justru ingin selalu menyembunyikan dirinya," kata beliau. Emha
hadir di hati banyak orang, Kendati dia berusaha lari ke jalan yang sunyi.
Mungkin, semangat itu pula yang
menjadi pertimbangan Emha saat mengatakan, "Maiyah bukan karya saya, bukan
ajaran saya dan bukan milik saya. Orang-örang Maiyah bukan santri saya, bukan
murid saya, bukan anak buah, makmum, jamaah atau umat saya."
Kendati ada juga orang Maiyah
yang menganggap Emha sebagai mursyid, guru bahkan seorang doktor hukum sebuah
PTN di Surabaya menyebutnya imam bangsa. Namun, Emha tetap saja menganggap
dirinya hanya sebagai pengikut Rosulullah. Emha menandaskan.
"Saya tidak berani, tidak
bersedia dan tidak mampu berada di antara hamba dengan Tuhannya. Setiap hamba
memiliki hak privacy untuk berhadapan dengan Tuhannya tanpa dicampuri, digurui
atau diganggu oleh siapa pun."
"Saya tidak boleh meninggikan
suara melebihi suara Nabi, apalagi suara Tuhan. Saya tidak boleh dikenal oleh
siapa pun melebihi pengenalannya kepada Nabi, apalagi Tuhan."
Dia juga menjaga diri untuk tetap
tersembunyi.
"Saya wajib menghindari kemasyhuran
dan menolak kedekatan siapa pun yang membuat lebih dari kadar perhatian dan kedekatannya
kepada Tuhan dan Nabi."
Jadi, apa itu Maiyah? Untuk apa Maiyah
ada, kalau mendefinisikan dirinya sendiri saja kesulitan? Apa artinya Maiyah
untuk Jamaah Maiyah, untuk Indonesia dan untuk umat Islam?
Baca tulisan saya yang lain: Dukun Pak Harto dan Perpusda Jepara
Balklah Saudara, aku akan sedikit
kemaki. Menurut catatan yang blsa aku lacak, menerangkan bahwa Malyah itu sama
sekali bukan agama baru, serta tidak pemah dimaksudkan oleh pelakunya sebagai suatu
aliran teologi, mahzab maupun thoriqot. Apalagi diniatkan sebagal organisasi
massa. Terlebih-lebih sebagal lembaga politik, lebih tidak lagi. Maiyah juga menjauh
dari mempersaingkan diri dengan gerakan sosial, kemanusiaan, Intelektual atau
spiritual apa pun. Juga tidak berminat merebut apa pun dan tidak berkehendak
menguasai apa pun di dalam kehidupan bermasyarakat dan benegara.
Doktor Nursamad Kamba, peraih
doktor filsafat dari bidang tasawuf dari AL Azhar pemah menuliskan sebuah
artikel pendek tentang Maiyah. Doktor Kamba sepuhan Malyah. Doktor Kamba memfokuskan
pandangannya untuk melihat isi atau sepuhan Maiyah. Doktor Kamba memandang,
"Maiyah yang secara kreatif mengadopsi atau lebih tepatnya memfokuskan
pandangannya untuk melihat isi atau menjabarkan prinsip-prinsip persahabatan,
persaudaraan, dan Ikrar perjuangan berdasarkan cinta kasih serta dengan ikhlas
dan jujur yang bersumber dari inspirasi gua tsur dan momentum hijrah Nabi,
merupakan kreasi sufistik Emha yang jika disandingkan dengan gerakan-gerakan
sufi dalam sejarah, menempati posisi setara dengan kaum malamatiyah."
Momentum gua tsur terjadi saat
Rosululah Muhammad dan Abu Bakr sedang dalam perjalanan hijrah menuju Madinah.
Saat mereka sedang berlindung di gua tsur, mereka dilempari batu dari luar oleh
anak pasukan Qurais Mekkah hingga Rosulullah terluka. Saat itulah Abu Bakr
menangis karena tidak sampai hati melihat Rosulullah terluka. Dia menangis. Maka,
Rosulullah menenangkan Abu Bakr dengan mengatakan: Tenang saja, Allah bersama
kita. Itulah pesan pokok yang disampaikan Rosulullah kepada sahabat seperjalanannya
tersebut.
Lalu, siapa kaum malamatiyah itu?
Kaum malamatiyah adalah kelompok sufi yang berkembang di Khurasan, Persia mulai
abad ke-3 dan ke-4 hijriyah. Al malamatiyah dibangun di atas sikap pengorbanan diri
sendiri demi kepentingan saudara. Sikap tersebut menciptakan idealisme alfutuwwah,
yaitu semangat kepemudaan dalam berjuang seperti halnya ashabul kahfi.
Kaum malamatiyah menjadi tempat
berteduh masyarakat umum yang menghadapi kezaliman ataupun ke sewenang-wenangan
pemerintah maupun masyarakat. Bahkan, kaum malamatiyah cenderung mempraktikkan “rasa
Bahagia” dan sikap "menikmati" ketidakadilan dan penderitaan yang
dialaminya. Tokoh-tokoh besar dalam tradisi sufi pada umumnya penganut
malamatiyan dan ahlul futuwwah mulai dari Abu Yazid al Bustami, Al Hallaj, Al
Juneid, hingga Ibn Arabi.
Maka, menurut Doktor Kamba,
Maiyah adalah nikmat bagi pemerintah dan negara Indonesia. Jangan tanya padaku
apa maksudnya, Saudara. Beliau juga menambahkan bahwa Maiyah menjadi danau
serapan bagi kebencian masyarakat, menjadi gegana penjinak bom kerusuhan
sosial. Maiyah juga menjadi jembatan bilamana terjadi konflik dalam masyarakat.
Lebih dan itu semua, Maiyah menjadi sekolah kehidupan yang memberikan
pendidikan kearifan hidup.
Sementara, Timothy P. Daniels
(TPD), Associate Professor di Universitas Hofstra, New York yang pemah melakukan
penelitian soal Maiyah lebih memfokuskan pandangannya sebagai antropolog. Dia
melihat Maiyah sebagai jasad. Menurutnya, Maiyah merupakan a revolutionary
relliglous force In the world. TPD memasukkan Maiyah ke dalam gerakan
penyegaran-untuk tidak menyebut pembaruan-Islam. Doktor Antropologi ini menilai
bahwa kekuatan Maiyah yang unik adalah Maiyah tidak berada pada struktur sosial
nomatif dan sampai hari ini bertahan untuk tidak mengalami siklus atau lingkaran
setan penyegaran.
Seperti banyak ditemukan dalam
gerakan-gerakan penyegaran di dunia, mereka tidak sanggup keluar dari lingkaran
setan itu. Gerakan penyegaran awalnya muncul karena ketidakpuasan atas
rutinitas dan kemandegan lingkungan yang ada yang melahirkan distorsi budaya. Kemudian,
gerakan penyegaran itu melampaui fase-fase anti struktur-counter struktur dan
akhirnya kembali menyusun struktur sosial normatif yang baru. Struktur yang
baru itu kelak akan mengalami kemandegan lagi dan akan menumbuhkan gerakan
ketidakpuasan lagi. Begitu seterusnya. Malyah berupaya menghindari itu dengan
cara melakukan proses penyegaran dalam ke rangka ideologi dan organisasi yang
fleksibel.
Lebih jauh, muslim Afro-Amerika
ini menyatakan bahwa gerakan Maiyah merupakan kombinasi yang kreatif dari
mistisisme Islam, fundamentalisme dan politik yang berakar pada pengajian
bulanan. Salah satu pemikiran dasar Maiyah vang menarik menurut Salim adalah
paradigma Perang Badr. Perlawanan Badr yang sabar dan berilmu matang sebagai
alat pandang untuk melakukan ijtihad.
Aku pribadi Saudara, berpikir
bahwa Maiyah bisa dipandang dari dua hal. Pertama secara ide. Maiyah merupakan
terminal yang fleksibel dan artikulatif vang mempertemukan dan menterjemahkan
gagasan-gagasan tasawuf ke dalam kehidupan sehari-hari. Maiyah bukan saja
berhasil menjadikan tasawuf sebagai cara pandang dan menerjemahkan
gagasan-gagasannya yang rumit itu menjadi aplikatif dalam kehidupan sehari-hari.
Namun, sekaligus memberikan konteks kekinian dalam berbagai bidang kehidupan.
Mulai dari kehidupan budaya, kehidupan sosial, ekonomi perdagangan, demokrasi
hingga politik internasional. Hasilnya, tasawuf yang rumit dan "kuno"
itu sanggup mengejar kemajuan dalam cara pandangnya sendiri. Sementara, fungsi
internalnya, Maiyah membangun akhlak sufistik di dalam diri para jamaahnya.
Kedua, secara sosial. Maiyah
bagaimanapun telah menjadi komunitas. Sekelompok orang memiliki gagasan,
harapan dan cita-cita yang sama dan secaa regular memperkuat diri dalam
keilmuan dan kebersamaan kiranya cukup untuk dinilai sebagai suatu komunitas.
Meskipun untuk menjaga sifat egaliter dan independennya, Maiyah bertahan untuk
tidak menjadi bagian dari struktur social normatif seperti halnya organisasi-organisasi
modern lain.
Baca tulisan saya yang lain: Surat Terbuka Untuk Jamaah Maiyah
***
Sumber:
Buku Spiritual Journey Emha Ainun Nadjib (Pemikiran &
Permenungan)
Penulis : Prayogi R. Saputra
Cetakan ke 2
Penerbit Buku Kompas
Tulisan ada pada halaman 29-37
No comments:
Post a Comment