Saat Saya Ditanya Seorang Kawan, Kenapa Ikut Maiyah
Part
I
Tentu ini pertanyaan sederhana, tapi jawabannya akan
jadi sistemis sekali mengapa saya bisa kecantol di Maiyah pun lingkar atau
simpul Maiyah yg tersebar di berbagai wilayah Indonesia.
Saya akan mengawali ini semua dari tempat kelahiran
saya, Jepara. Sosok yang hari ini saya anggap sebagai senpai dan mentor saya,
Kang Kafi Kita adalah
biang keladi dari ini semua. Hehe. Beliau memperkenalkan saya dengan rutinan
khataman Al Quran yg kemudian kami pungkasi bersama di dalam perkumpulan
bernama Majlis Alternatif Jepara (MAJ). Saya mulai getol menghadiri MAJ saat
saya kelas 1 SMK (2008) sampai dengan saya lulus sekolah dan pernah terlibat
pula dalam kepanitiaan Jumbuh Pantun yg saat itu dihadiri langsung oleh Kang
Sabrang. Praktis saat saya memilih sekolah ke luar provinsi, saat itu pula saya
berpamitan dengan kawan-kawan MAJ.
Hidup di perantauan, apa itu Maiyah mulai terjawab.
Cak Nun dan Kiai Kanjeng |
Part II
Saya lupa detailnya kapan MAJ (Majlis
Alternatif Jepara) resmi menjadi simpul/lingkar Maiyah di Jepara.
Namun sebelum saya mendengar MAJ resmi menjadi bagian dari Maiyah, model-model
pembelajaran yg saya dapatkan dari MAJ beberapa saya temui di tempat saya
menempuh pendidikan.
Kebetulan semacam itu akhirnya terjawab karena
beberapa pentolan dalam komunitas/organisasi yg saya ikuti adalah para
sedulu-sedulur yang rutin mengikuti majlis sinau bareng Mbah Nun & KK
secara online maupun offline.
Dahaga karena lama meninggalkan MAJ, terobati dengan
bergabungnya saya dengan forum-forum sejenis di kota perantauan.
Lambat laun, semakin kesini. Ditambah lagi dengan
hingar bingarnya sosial media dan tentu semakin meluasnya pergaulan saya,
beberapa kawan bertanya kepada saya.
Apa itu Maiyah ?
Part III
Dalam buku yang ditulis oleh dr. Ade Hashman, Mbah
Nun menyebutkan, sejatinya Maiyah merupakan dinamika tafsir tanpa ujung, tidak
terlalu penting juga untuk di definisikan.
Jika mengutip pendapatnya Kang Toto Rahardjo,
sahabat Mbah Nun yg juga penggiat Maiyah mengatakan, "Maiyah"
mengambil posisi cukup sebagai majlis ilmu. Sebatas itu saja, sederhana bukan.
Tapi jika saya amati dengan seksama, forum-forum
Maiyah yang diselenggarakan Mbah Nun secara langsung maupun yg tidak. Maiyah
menjadi penyokong segala organisasi, pergerakan, ataupun institusi yg ada di
masyarakat. Akan tetapi, pembekalan materi Maiyah tidak seperti pengajian
konservatif, tidak berisi doktrin perintah dan larangan dari teks-teks
keagamaan secara harfiah dan kaku.
Meskipun Maiyah memiliki Marja', para jamaah
diperlakukan secara dewasa dengan menstimulasi rasa ingin tahu. Proses transfer
keilmuannya tidak berjalan satu arah, seperti guru dengan murid, kyai dengan
santri dan pendidikan konvensional lainnya yg cenderung konsumtif, di Maiyah
saya belajar pendidikan yg produktif.
Sederhananya, Mbah Nun dan Marja' lainnya hanya
memberikan bekal kemudian para jamaah diberikan kunci almari, selepas itu
terserah para jamaah berkreasi dengan almarinya masing-masing.
Part IV
Datang ke Maiyah, selalu ada tema baru. Itulah yang
saya rasakan selama datang langsung maupun menonton via youtube.
Tema-tema Maiyah sendiri bisa bersinggungan dengan
kondisi aktual, walaupun kenyataannya tidak secara khusus diperuntukan membahas
hal-hal yg tengah menjadi trending topic di jagad media. Tema Maiyah lebih
kepada pembahasan seluruh spektrum kehidupan yang dari bulan ke tahun menjadi
benang merah kondisi Indonesia saat ini dan dunia. Maka jangan salah, jika
beberapa momen Mbah Nun menyindir sikap politisi atau pejabat yang se enak
udele dewe.
Mbah Nun dan forum-forum Maiyah lainnya juga
menitikberatkan tema atau bahasan yang tidak sepihak, melainkan juga
mengakomodir kebutuhan para jamaah.
Sudah menjadi rahasia umum pula jika pembahasan
dalam Maiyah cenderung menggelitik, kadang nakal dengan mengembangkan sudut
pandang yg tidak lazim. Atau kalau mau dibilang radikal, Maiyah melakukan
dekonstruksi terhadap nilai-nilai yg selama ini dianggap mapan. Saya dan para
jamaah Maiyah lainnya diajarkan keterampilan cara pandang yg menyeluruh.
Sebagai penutup part IV dan paragraf. Jamaah Maiyah
dilatih untuk bebas berpikir dan meneropong pemahamannya terhadap masa depan
dengan tetap berkaca ke masa silam. Berbeda dengan pendidikan konvensional yg
peserta didiknya diperlakukan sebagai objek yg dibebani khazanah ilmu terutama
dari masa silam.
Part V
Lha terus Maiyah itu apa?
Bagi para pembaca yg belum ngeh apa itu Maiyah,
inshaallah tulisan sederhana ini akan mulai menjawab rasa penasaran
kawan-kawan.
Dari berbagai sumber yg saya dapat,
"Maiyah" dapat disebut juga sebagai "Pengajian", tapi bukan
sebagaimana pengajian konservatif pada umumnya. Sebab Maiyah juga melakukan
dekonstruksi terhadap model pengajian yang baku.
Mungkin para jamaah sudah banyak tahu pada awal
tahun 1993, Maiyah bermula dari pengajian yg diprakasai oleh Cak Dil (Adil
Amrullah, adik Mbah Nun) di Desa Menturo, Jombang. Pengajian Padhang Mbulan di
Desa Menturo, merupakan embrio dari model pengajian Maiyah yg unik sehingga
nomenklatur Maiyah sendiri mengalami evolusi mulai dari istilah pengajian,
hamas (Himpunan Masyarakat Shalawat), Tombo Ati, Sinau Bareng, sampai akhirnya
dikenal luas dengan sebutan Maiyah.
Bahkan dr. Ade Hashman menyebutkan bahwa Maiyah
mirip dengan pesantren virtual atau semacam sekolah gratis terbuka atau
universitas jalanan buat banyak orang. Formatnya amat berbeda dari model
institusi pembelajaran yg pernah ada. Karena Maiyah seolah menjadi laboratorium
sosial dalam melatih logika berpikir dan seni manajemen kehidupan.
Kaos Maiyah Yang Saya Kenakan |
Part VI
Di Maiyah, tidak ada yg mutlak menjadi guru atau
murid karena semua orang adalah pembelajar. Bahkan Syekh Dr. Nursamad Kamba pun
pernah mengutarakan datang ke acara Kenduri Cinta untuk belajar. Jikapun
kebetulan seseorang di Maiyah berposisi sebagai penyampai materi, dia tidak
lepas dari atmosfer untuk turut belajar sesuai kedudukannya.
Bahkan Mbah Nun sendiri sering tidak berkenan jika
dipanggil ustaz, kiai atau syekh. Mbah Nun malah mengatakan, "Aku iki dudu
sopo-sopo, aku iki koncomu, Rek. Aku iki gentho".
Bukankah betapa indahnya jika setiap orang yg kita
temui dijadikan guru, semua tempat adalah sekolah, dan setiap detik digunakan
untuk belajar? Pendidikan itu proses murid belajar, bukan guru mengajari.
Mencari ilmu itu dapat kita lakukan kapan pun, di mana pun, dan kepada siapa
pun sepanjang usia.
Sehingga prinsip di atas dapat mengantarkan kita
pada pemahaman menakjubkan bahwa kehidupan dipenuhi oleh samudra hikmah tak
bertepi. Setiap jamaah Maiyah merupakan pembelajar kehidupan karena sejatinya
hidup sejak lahir hingga mati adalah kuliah tanpa bangku.
Part VII
Dalam era komersialisasi pendidikan zaman sekarang
yg ada hak cipta, klaim hak paten atas model pelatihan yg dibuat, training,
workshop dll. Maiyah justru menjadi sekolah "Sekolah Kehidupan" atau
"Universitas Jalanan" yg dapat diakses siapa saja yg mau
mendatanginya. Pembelajaran Maiyah baik secara offline maupun yang terdokumentasi
di youtube maupun situs caknun(dot)com dapat diakses gratis oleh siapapun tanpa ada yg di sembunyikan.
Sudah dua dekade ini, Maiyah mengahdirkan pendidikan
berkelanjutan soal hukum, politik, teknologi, sains terapan, kesenian,
kebudayaan dan agama. Dapat saya katakan seluruh bidang studi yg ada di
univesirsitas konvensional juga tersedia di Maiyah.
Seperempat abad umur Maiyah, dan kini jemaahnya
membludak luar biasa. "Kader" (Jika boleh disebut semacam itu) dan
kegiatannya tersebar di mana-mana, dan inshaallah akan semakin bertambah lagi.
Memang sampai saat ini tidak pernah diketahui berapa persis jumlah jamaah
Maiyah karena memang tidak ada yg namanya kartu anggota. Hadirin yg datang
langsung ke acara Maiyah dapat mencapai puluhan ribu orang.
Silahkan kita bayangkan sendiri, bertahun-tahun
Maiyah berlangsung, puluhan ribu orang rutin dan tertib datang mulai pukul
20.00-03.00 dini hari. Mereka duduk tertib menyimak acara, bahkan para anak
kecil yg diajak orangtuanya tidak jarang rewel saat acara saat mengikuti
Maiyah. Mbah Nun menyebut fenomena ini sebagai, hadiah hidayah dari Allah.
Part VIII (Terakhir)
Perlu ditegaskan bahwa Maiyah bukanlah agama baru,
bukan syariat baru, bukan aliran teologi baru, dan tidak akan pernah berkembang
menjadi mazhab baru dalam Islam. Yang dicari dan ciba dirumuskan dalam Maiyah
adalah jawaban atas pertanyaan, "Bagaimana berislam seperti Islamnya Nabi
Muhammad itu!".
Bermaiyah berarti berjuang mencintai Allah dan
semakin mendekat kepada-Nya, kepada kekasih-Nya, Muhammad SAW., dan
mengikhtiarkan manfaat dalam hidup, termasuk untuk Indonesia.
Mbah Nun rela menjalani lebih dari dua dekade
berkeliling Nusantara untuk "Melamar Cinta Allah". Lewat Maiyah, Mbah
Nun mengajak anak muda seantero negeri untuk menjadi kekasih Allah.
Maiyah mencetak "Anak-anak muda yang
matematika" dalam artian tetap setia pada objektifitas dalam segala kondisi.
Matematika, menurut Mbah Nun, adalah ilmu yg paling mendasar dalam Islam dan
juga paling suci. Sebab dihadapan matematika, hasil 2 x 2 adalah 4 walaupun
kondisi panas, badai, tsunami, miskin, kaya, siang, petang, perang dan damai.
Sampai sini, sudah paham kenapa saya ikut Maiyah?
~ Selesai ~
Terimakasih.
No comments:
Post a Comment