Subjektif, iya benar. Tulisan ini sangat subjektif sekali. Bahkan saya akan sangat subjektif jika membahas Mbah Nun.
Timeline twitter tiga hari kebelakang membuat hati saya bergetar hebat, perasaan was-was dan penasaran serta sedih meliputi jiwa jamaah Maiyah seperti saya dan mungkin beberapa kawan-kawan Maiyah diluar sana. Apalagi jika bukan karena sakitnya Mbah Nun. Perasaan seperti ini tentu jamaah Maiyah pernah alami pada fase tahun 2000 an saat Mbah Nun sakit parah.
Acara Sinau Bareng Cak Nun dan Kiai Kanjeng di Simorejo, Widang, Tuban Jatim (14 November 2019) menjadi penuh haru karena Mbah Nun sakit. Dalam beberapa vidio dan foto yang beredar di sosial media memperlihatkan Mbah Nun sedang dipijat oleh beberapa jamaah. Banyak ucapan doa untuk kesembuhan Mbah Nun agar lekas sembuh dan dapat menemani anak cucunya kembali. Meski saya hanya melihat vidio yang para jamaah bagikan, tampak sekali Mbah Nun tetap semangat menemani anak cucunya di acara sinau bareng meski dalam keadaan sakit, saya sempat menitikan air mata karena salut, hormat dan tidak tega melihat guru saya seperti itu.
Jumat 15 November 2019, Mbah Nun dan KK bertolak ke UNAIR dalam dua sesi acara (Pagi dan Malam). Saat sesi pertama, beberapa kawan-kawan mengabarkan jika keadaan Mbah Nun sudah membaik dan dapat membersamai civitas akademika UNAIR sinau bareng. Saya sangat bersyukur kepada Allah SWT sang pemilik penyakit dan penyembuh karena menguatkan gurunda kami semua kembali dapat bersua dengan anak cucunya.
Mari kita Doakan Mbah Nun sekeluarga, Para Marja' Maiyah beserta jamaah selalu dalam lndungan Allah SWT |
Jumat sore, selepas pulang kerja saya langsung bertolak ke Surabaya berniat takziah ke keluarga istri saya yang sedang berduka. Saya berniat selepas dari rumah duka langsung bertolak ke UNAIR kampus C untuk menghadiri sinau bareng Mbah Nun KK sesi dua. Namun naas, niat tersebut ternyata belum di berikan izin oleh Allah SWT karena saya dan istri tertahan di rumah duka sampai tengah malam. Niat semula yang ingin datang ke acara sinau bareng harus saya urungkan mengingat waktu dan jarak rumah duka dengan lokasi acara memakan waktu paling cepat 37 menit.
Dalam perjalanan pulang ke rumah, pikiran saya masih memikirkan bagaimana keadaan Mbah Nun di UNAIR. Apakah beliau baik-baik saja, atau malah Allah memberikan beliau rasa sakit lagi. Pikiran-pikiran semacam itu menghantui saya sampai di rumah. Hal tersebut diperparah dengan akses internet yang lemot, alhasil berita bagaimana reportase dadakan proses sinau bareng di UNAIR yang biasa saya baca di twitter tidak dapat saya nikmati.
Selepas subuh saya beranjak ke Malang, sesampai di Malang baru sempat mengecek pesan yang masuk dan salah satunya dari kawan saya yg semalam ikut sinau bareng di UNAIR. Kawan saya mengabarkan bahwa Mbah Nun di acara semalam keadaanya tampak memburuk lagi, kejamnya kawan saya; dia mengabarkan bahwa Mbah Nun ada tanda-tanda sakit stroke. Ya Rabb, praktis saya meneteskan air mata membaca pesan WhatsApp kawan saya. Terlepas kabar itu benar atau tidak, semoga Mbah Nun dan keluarga selalu dalam lindungan Allah SWT.
Saat saya menulis tulisan ini, tepat pada 16 November 2019 dilaksanakan Majelis Masyarakat Maiyah Kenduri Cinta. Saya membatin semoga Mbah Nun diberikan kesehatan dan kekuatan untuk menghadiri KC, kalaupun tidak Mbah Nun lebih baik istirahat saja daripada keadaanya lebih parah.
Belum ada kabar resmi dari "Progres" pun keluarga bagaimana kondisi kesehatan Mbah Nun (Kalaupun sudah, saya yang belum tahu dan mohon dimaafkan). Ditengah-tengah itu pula banyak para jamaah meng tweet di twitter apakah Mbah Nun sudah hadir di Kenduri Cinta atau belum? Banyaknya pertanyaan itu linier dengan jawaban bahwa ada atau tidaknya Mbah Nun, Maiyah akan tetap berjalan, di manapun dan kapan pun.
Saya paham jika para jamaah melihat Mbah Nun bukan sekedar fenomena melainkan juga keniscayaan. Di tengah krisis kepemimpinan, krisis idola, krisis kepercayaan akan tokoh spritual dan motivator berkedok agama, kehadiran Mbah Nun sejak puluhan tahun lalu telah membuktikan sebuah keajekan keteladanan. Mbah Nun yang tidak bercokol di pusat kekuasaan, tetapi menyusur di tepi kehidupan keseharian bersama rakyat kebanyakan. Tidak heran jika kehadiran Mbah Nun selalu dirindukan dan menyedot banyak jamaah lama atau baru untuk duduk melingkar memahami hakikat kehidupan.
Sekalipun Mbah Nun dijadikan sentral oleh para jamaah Maiyah, akan tetapi SAYA dan mungkin beberapa para jamaah diluar sana tidak pernah mengkultuskan Mbah Nun. Bahkan hal tersebut secara keras Mbah Nun utarakan sendiri dibeberapa momen sinau bareng untuk tidak mengkultuskan beliau, para jamaah Maiyah ditekankan untuk taat dengan perintah Allah SWT dan mencintai Nabi Muhammad dengan cara melaksanakan ajaran-ajaran beliau (Gondelan Jubahe Nabi Muhammad).
Saya lebih menyebut Mbah Nun adalah guru yang membagi pengetahuannya kepada para anak cucunya. Jadi, jika kalian yang datang ke Maiyah hanya karena hadir tidaknya Mbah Nun. Saran saya, kopimu kakean gulo. Kopimu kurang pahit, Cok.
Bismillah
ReplyDeleteSedih kang
ReplyDeleteMari kita doakan bersama semoga Mbah Nun sekeluarga, marja maiyah dan para jamaah Maiyah dimanapun berada selalu dalam lindungan Allah dan diberikan kesehatan.
DeleteAlhamdulillah jos lurd, ngopi ne nang Ijo Ireng Coffee Gulone pas mantap, Pahite Mampu Melawan Kebodohan dan Kemapanan
ReplyDelete