Dalam terminologi umum, literasi dipandang sebagai aktivitas mencari dan menambah pengetahuan yg ujungnya menambah wawasan seseorang. Pada era sekarang, literasi tidak hanya seputar membaca, menulis dan menghitung (Doktrin pendidikan yg saya alami dulu).
Lambat laun, saya mulai paham jika jenis literasi ada beberapa macam yg diantaranya harus kita kuasai entah sebagai pelajar atau tidak. Literasi tersebut adalah baca tulis, numerasi, sains, digital, finansial dan budaya/kewargaan.
Sebelum saya lanjut, pemahaman di atas saya dapatkan dari proses belajar yg berulang. Sama seperti dulu kala saya percaya bahwa karakter manusia itu hanya terbentuk dari gen dan lingkungan. Ternyata makin kesini saya mulai paham jika karakter manusia dapat terbentuk dari bacaan dan tontonan.
Oke kita fokus lagi.
Dari enam jenis literasi yg saya sebutkan di atas, membaca menjadi master dari semua aktivitas literasi. Membaca merupakan kegiatan yg tidak dapat dikesampingkan dalam keseharian kita. Karena dengan membaca, kita dapat memperluas pengetahuan dan wawasan tentang banyak hal mengenai kehidupan. Tidak berhenti disini, membaca juga dapat meningkatkan kemampuan berpikir, kreatifitas dan menstimulus gagasan-gagasan baru.
Tentu para pembaca sudah tahu jika minat membaca orang Indonesia sangatlah rendah, terlepas perangkat survey yg mereka gunakan bagus atau tidak, tentu hal ini dapat menjadi perhatian kita bersama. Seperti halnya survey yg dilakukan oleh Organization for Economic Corporation and Development (OECD) yg termaktub dalam (Krjogja, 14 April 2019) pada tahun 2015 menunjukan minat baca anak Indonesia tergolong rendah yakni berada pada peringkat 69 dari 76 negara dengan rata-rata 397 dari rata-rata internasional 500.
Baca juga: Adik Saya dan Berhala Kesuksesan Sosial
Baca juga: Adik Saya dan Berhala Kesuksesan Sosial
Lha realitas semacam ini kan kudu menuntut perhatian lebih dari pemerintah atau minimal kita sendiri dalam membentuk fondasi awal bagi terwujudnya budaya membaca. Ya kan.
Saat saya menekankan kepada adik saya untuk banyak membaca buku, dia beralasan setiap hari sudah banyak membaca buku pelajaran (Modul) dan artikel-artikel di internet. Untuk kasus ini saya masih membenarkan alasan adik saya, tapi hal itu saya rasa kurang tepat karena bacaan dari internet memiliki sumber yg kurang kredibel dan muatan yg di tulis kurang kompleks serta cenderung garis besarnya saja. Sederhananya, artikel-artikel yg berkeliaran di internet sumber utamanya adalah buku, dan buku dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
Sebagai seorang kakak dan mentor, saya merasa penjelasan semacam itu kurang pas untuk anak SMA kelas satu. Entah dia menangkap penjelasan saya yang terlalu berat untuk dia pahami, atau jangan-jangan adik saya ini memang sesuai dengan teori generasi Z yg cenderung menggunakan otak kanan sehingga enggan menggunakan otak kirinya untuk berpikir kritis lagi.
Karena di era teknologi informasi seperti sekarang, kemampuan literasi sangat penting guna memahami, menganalisis, mendekonstruksi sebuah informasi agar tidak salah mengambil kesimpulan. Jujur itu adalah alasan utama saya menekankan ke adik saya agar memaksa dirinya membaca buku, jangan sampai adik saya tergolong dalam manusia yang gerusa gerusu (Baca tulisan saya berjudul "Ejakulasi Kesabaran").
Lantas mau berharap ke siapa lagi agar keluarga kita menjadi generasi yg menjadikan membaca sebagai budaya, masa iya berharap ke Pemerintah. Eh
Terimakasih
No comments:
Post a Comment