~ Adik Saya dan Berhala Kesuksesan Sosial ~
Anggap saja pembaca setia blog saya sudah mengetahui siapa itu Zen RS, sosok dibalik tirtoID, Pandit Football dan Narasi TV yang namanya melegenda dikalangan anak muda seperti saya. Lantas apa hubungan Zen RS dengan tulisan saya? Sederhana, selain dia adalah idola saya, dalam postingan IG Bung Zen RS, tiba-tiba saja dia merasa dirinya sebagai anak kecil meski usia semakin menua. Alasannya cukup unik, dia semakin khawatir kelak anaknya akan jadi apa.
Hal itu yang kini saya rasakan, namun konteksnya bukan pada kehidupan keluarga kecil saya, melainkan melihat adik saya yang sebentar lagi lulus kuliah.
Saya bukan orang ahli dalam hal pendidikan, hal itu sudah pasti. Tapi saya pernah mengalami bagaimana mendapat pendidikan sebagai proses pembelajaran, dan dengan kemampuan yang terbatas sempat berpikir pergulatan batin antara pendidikan yg saya alami dulu adalah kehendak pribadi saya, kepentingan orang tua, kepentingan negara atau kondisi pasar Indonesia.
Bingung dengan yang saya maksud?
Jadi begini, hehe.
Setelah saya lulus sekolah. Saya merasa dihadapkan dengan pilihan yang sangat berat, tiba-tiba pendidikan formal selama 16 tahun lebih tidak ada efeknya sama sekali, saya tiba-tiba goblok dalam beberapa minggu selepas wisuda.
Apakah saya ingin menjadi diri sendiri (Dengan segala resiko), Apakah saya ingin menjadi mayoritas orang lain (Demi Keselamatan), atau Apakah saya harus kompromi dengan kedua pilihan itu. Terkesan mudah, tapi memilih pilihan pertama maupun kedua dengan segala perbedaanya bukanlah sesuatu yang mudah.
Pilihan pertama sangat beresiko, ketika bidang ilmu pengetahuan atau keterampilan tidak populer di pasar, sehingga hanya sedikit ruang yang tersedia. Bahkan individu paling unggul pun akan mengalami kesulitan mencari ruang-ruang dalam berkarya.
Pilihan kedua tentu sangat luas, bahkan sangat luasnya sehingga memberi tempat bagi yg pilihan pertamanya menjadi primadona pasar, seperti bidang manajemen dan keuangan (Jurusan Adik Saya), atau hukum perpajakan, akuntan, teknik industri dll. Karena luasnya itu sehingga muncul standarisasi yang sangat ketat, sehingga yang terjadi individu-individu unggul pun tidak ada jaminan mendapatkan ruang.
Kondisi harus memilih pilihan pertama atau kedua akhirnya menjadi hiruk pikuk, meminjam istilah "Seno Gumira Ajidarma", kita sedang melakukan "Jual Beli Ilmu". Dalam konteks ini, pendidikan yang tujuannya memuliakan derajat kemanusiaan menjadi sangat sempit karena terjerat dimensi dagang, semua orang saling menjatuhkan demi mendapatkan pekerjaan.
Saat saya bertanya ke adik saya rencana apa selepas dia wisuda, dia dengan tegas memilih pilihan pertama; menjadi diri sendiri. Saat adik saya menjawab, sorot matanya tajam menandakan bahwa dia serius dengan pilihannya dan mungkin tidak ada lagi kompromi-kompromi dalam hatinya.
Menjadi diri sendiri, dengan segala potensi yang menjadi milik pribadi, demi pengembangan kemanusiaan adalah idealisasi pendidikan itu sendiri. ~Batinku.
Sambil menatap wajahnya, saya membatin lagi "Sistem pendidikan mainstream cenderung membentuk kita menjadi orang lain, siapapun orangnya asal outputnya tidak menjadi dirinya sendiri. Adik saya lebih memilih menjadi diri sendiri, bukan seperti Kakak nya yang menghamba pada BERHALA kesuksesan sosial".
Hai Adik, Go A Head.
Yakin Usaha Sampai
No comments:
Post a Comment