Thursday, February 6, 2020

MAIYAH ADALAH SEBUAH POHON BESAR

MAIYAH ADALAH SEBUAH POHON BESAR



Biasanya, Malang dari sore sampai jam 8 malam selalu diguyur hujan. Kok tumben-tumbenan kemarin sore cuaca sangat cerah dan sedikit membuat gerah. Selepas jam kerja memburuh, saya langsung melipir ke toko buku membelikan titipannya adek yang kemarin gagal ikut PO buku.


Kang Dika sedang membuka acara

Pulang dari toko buku selepas shalat Maghrib, dilanjut makan malam dan menyelesaikan tulisan di blog. Meski badan sedikit capek dan ingin rehat, sebelum berangkat ke rutinan Rebo Legi rasa kantuk yang sangat berat mulai menyerang. Saya merasa mata ini sulit sekali untuk diajak kompromi meski badan sudah kena asupan kopi. Tetap gak manjur, mungkin solusinya tidur.


Baca tulisan saya yang lain: Maiyah dan Spontanitas


Saya datang ke rutinan agak telat, jam 21.10 baru datang. Yah meski acara belum juga dimulai sih. Sesampainya disana sudah ada Kang Muji dkk di meja dekat parkiran. Tampak di dalam ruangan ada Kang Dika terdengar dengan ketawanya yang khas.


Dari Kiri:
Kang Buna, cak Bagong dan Kang Dika
Tema rutinan malam itu tentang "Aremaiyah", dipandu langsung oleh Kang Dika ditemani narasumber utama Cak Bagong dan Kang Buna. Sekilas, pemilihan tema malam itu berangkat dari kristalisasi diskusi Kang Ardi, Kang Dika, Cak Bagong dkk berkaitan dengan banyaknya lingkar Maiyah di Malang Raya diantaranya Aremaiyah, Obor Ilahi, Maiyah Batu Aji dan Religi sendiri sebagai simpul. Belum lagi lingkar atau komunitas yang lipatannya atau kegiatannya hampir dan atau beririsan dengan Maiyah itu sendiri seperti Kenduri Shalawat dll yang ada di Malang. Dari hal tersebut disepakati bahwa perlu ada sinau bareng atau sekedar sharing bagaimana sejarah Aremaiyah berdiri termasuk kegiatannya yang selama ini berlangsung. Dari hal tersebut harapannya semoga meluruskan apa yang selama ini kurang atau ada salah persepsi menjadi terformula dan berkembang lebih besar lagi.


Baca tulisan sayang yang lain: Saat Saya Ditanya Seorang Kawan, Kenapa Ikut Maiyah 


Kang Dika membuka sesi pertama dengan wacana yang bagiku sangat menarik. Yakni mengibaratkan Maiyah sebagai sebuah pohon yang sangat besar. Dibawah pohon itu banyak terdapat aktifitas, seperti berdagang, bersekolah, makan, diskusi bahkan kencing lalu pergi begitu saja. Taruhlah pohon besar itu kita analogikan sebagai Maiyah Religi sebagai simpul Maiyah di Malang dan aktifitas dibawahnya itu sebagai lingkar-lingkar yang ada di Malang. Mereka memiliki kegiatan masing-masing dengan ciri khas masing-masing pula. Ada yang ber-Maiyah karena menyukai Mbah Nun, senang dengan tulisan-tulisan Mbah Nun, senang karena dalam setiap acara Sinau Bareng CNKK banyak bershalawat dan menyanyi serta banyak jalan lagi. Dari hal itu saja  dapat ditemukan pelbagai tipikal macam jamaah Maiyah termasuk di Malang (Banyak jalan masuk dalam ber-Maiyah) Termasuk Aremaiyah yang cikal bakal berdirinya fokus pada bakti sosial dan setiap rutinan membaca shalawatan.

Dokumentasi Pribadi

Cak Bagong selaku narasumber pertama bercerita ke para jamaah Maiyah Religi bagaimana proses berdiri dan sejarah perjalanan Aremaiyah. Banyak kisah senang dan susah yang Cak Bagong alami, dari pasang surutnya kehadiran penggiat dan susahnya mencari sumber pendanaan. Dari pelbagai kisah yang Cak Bagong ceritakan, saya menyukai kisah para penggiat dalam menggagas Gerakan Uang Surga. Menurut penuturan Cak Bagong yang saya tangkap, gerakan ini didasari karena sulitnya mencari sumber pendanaan dalam setiap acara. Para penggiat berandai jika para jamaah Maiyah di Malang yang mencapai ribuan itu mau sodaqoh senilai Rp. 5,00 per hari, gak bakalan ada cerita setiap rutinan dan belanja untuk operasional dan bagi-bagi sembako terhambat dana. Nyatanya, kenyataan itu tidak sesuai ekspetasi. Tentu akan panjang jika saya ceritakan kembali, setidaknya begitulah gambaran para penggiat Aremaiyah alami selama ini.




Dari pengalaman Cak Bagong menggawangi Aremaiyah, beliau berpesan kepada Jamaah yang hadir pada malam itu untuk selalu istiqomah, sabar dan selalu introspeksi diri. Sepi ramainya jamaah yang hadir rutinan, lesu semangatnya para penggiat dan banyak masalah lain yang menerpa tidak dimaknai sebagai takdir dari Allah semata. Cak Bagong berpesan kalau para penggiat harus selalu berpikir apa yang akan saya lakukan lagi, apa yang kurang maksimal dan apa yang harus dibenahi dengan dasar mendekatkan diri kepada Allah SWT agar apa yang dilakukan itu bukan hanya ambisi nafsu semata.


Cerita dari Cak Bagong itu banyak direspon oleh jamaah, salah satunya dari Kang Ardi. Menurutnya, apa yang diceritakan Cak Bagong dapat kita jadikan acuan untuk belajar mengidentifikasi diri sendiri kira-kira kita ini tipikal manusia apa. Apakah kita ini manusia shalat, manusia sabar, manusia puasa, manusia sodaqoh dsb. Tentu tipikal manusia yang dimaksud Kang Ardi tidak lantas bermakna literer semata. Jika saya boleh menilai Cak Bagong lewat cerita panjangnya tentang perjuangan beliau dan para penggiat Aremaiyah, saya menganggap Cak Bagong adalah manusia sabar. Tersirat lewat cerita perjuangan beliau dan para penggiat yang sabar dan istiqomah. Selain itu, jika kita sudah paham diri kita manusia tipikal seperti apa, inshaallah dalam hubungan dengan Tuhan dan sosial terasa lebih bermakna.


Saat Kang Buna membaca Shalawat
Dari pelbagai respon yang datang dari para jamaah, tiba-tiba saya merasa "Ngeh" jika pembicaraan para jamaah malam itu bermuara pada pencarian jati diri. Ada seseorang yang mencari jati dirinya dengan selalu berbuat eksis agar mendapat sanjungan dari yang lain, ada yang mencari jati dirinya dengan terus mencoba jenis dagangan, begitu pula mencari jati diri dengan ber-Maiyah. Yang sangat penting dari proses pencarian jati diri itu, kita mau lulus dihadapan manusia atau dihadapan Allah SWT?


Baca tulisan saya yang lain: Surat Terbuka Untuk Jamaah Maiyah Baru


Saat Mbah Yasin selesai membacakan doa penutut rutinan, tiba-tiba Kang Dika berkelakar bahwa kita ini sibuk mencari jati diri. Padahal jati diri ada di Semarang (Maksudnya Stadio Jati Diri) hehe.


Sebagai pamungkas tulisan. Saya pribadi dengan sadar mohon maaf sebesar-besarnya kepada para jamaah khususnya Maiyah Religi Malang jika apa yang saya tulis banyak salah bahasa dan data. Selain itu, tulisan ini BUKANLAH REPORTASE rutinan, sungguh bukan karena itu bukan maqom saya dalam menuliskan hal tersebut. Apa yang kalian baca hanya residu kenangan dan rasa bahagianya saya karena dapat mengikuti rutinan Rebo Legi. Sekali lagi, Ngapunten ingkang katah.



Malang, 5 Februari 2010

Ali Ahsan Al Haris.

No comments:

Post a Comment