Saya pernah menulis, salah satu metode paling tepat untuk memahami karya seseorang adalah dengan membaca buku yang membahas tentang tokoh tersebut namun ditulis oleh orang lain. Entahlah, kurang lebih bahasanya seperti itu, bingung saya menuliskanya bagaimana. Hahaha. Cara ini saya dapatkan tahun 2012 saat banyak membaca buku yang membahas peristiwa 65. Banyak penulis yang menyudutkan Pak Harto yang salah, Sokarno salah, TNI AD dan PKI saling kerjasama untuk menjatuhkan Soerkarno dll. Nah, cara paling tepat untuk mencari mana sumber yang paling logis adalah dengan banyak membaca buku dari pelbagai penulis dengan tema yang sejenis.
Berbicara
karya-karya Emha Ainun Nadjib (Mbah Nun), saya masih menerapkan metode di atas.
Selain karena memang sudah terbius dengan esai-esai beliau yang menggelitik dan
mencerahkan, banyak informasi yang saya dapatkan dari orang lain jika membahas
tentang beliau, dan hal tersebut jarang saya dapatkan dari buku yang ditulis
oleh Mbah Nun pun artikel-artikel yang berseliweran di jagat maya. Salah satu
metode penelitian dalam Tesis kang Latief adalah wawancara, pertanyaan yang
menjadi garis besar dalam wawancara: Pertama, Sejauh mana narasumber mengenal
Mbah Nun, dan Kedua. Penilaian narasumber terhadap karya-karya sastra Mbah Nun.
Baca tulisan saya yang lain: Apa Itu Maiyah?
Tesis yang dibukukan
ini menggunakan teori Sosiologi Pierre Bourdieu yang dibantu dengan data-data
sosiologi Mbah Nun dalam kiprahnya di arena sastra nasional dan sosial.
Meskipun saya tidak pernah mendalami disiplin ilmu sosiologi, setidaknya ini
menjadi pengetahuan baru. Tentu, jangan berekspetasi berlebih jika review
buku ini bagus. Jare wong jowo, ojok ndakik-ndakik.
Kang Latief dalam menyusun Tesisnya mengumpulkan sumber penelitian terdahulu berupa makalah, buku, jurnal dll. Dari karya sastra yang dipilih oleh Kang Latief sebagai sumber rujukan penelitiannya sebagai sampel adalah kumpulan puisi Syair Lautan Jilbab, Sesobek Buku Harian Indonesia, dan Cahaya Maha Cahaya, novel-esai Gerakan Punakawan atawa Arus Bawah, Kumpulan esai Terus Mencoba Budaya Tanding dan Slilit Sang Kiai. Menurut Kang Latief, karya tersebut dipilih karena memiliki pengaruh bagi Mbah Nun dalam pergulatan beliau di arena sastra dan arena sosial.
Baca tuisan saya yang lain: Hidup Harus Pintar Ngegas Ngerem
Untuk
melengkapi data tersebut, dilakukan wawancara kepada beberapa orang yang
memiliki hubungan dekat dengan Mbah Nun. Iman Budhi Santosa dipilih mengingat
kedekatannya dengan Persada Studi Klub (PSK) dan Umbu Landu Paranggi yang
didaku Mbah Nun sebagai guru beliau serta peranannya dalam arena sastra
Yogyakarta. Mustofa W Hasyim dipilih karena kedekatannya dengan Mbah Nun baik
di arena sastra, jurnalis, dan dalam acara pengajian yang digelar oleh Mbah
Nun. Sedangkan Jabrohim dipiih karena mengingat perannya dalam penerbitan
beberapa awal karya Mbah Nun.
Baca tulisan saya yang lain: Maiyah Adalah Sebuah Pohon Besar
Mbah Nun yang
berdomisili di Yogya membuat salah satu daerah istimewa di Indonesia ini
citranya makin menguat sebagai kota budaya. Hal ini senada yang masa itu hangat
perdebatan bahwa Jakarta di daku sebagai pusat kesusastraan di Indonesia. Hal ini
yang coba dibantah para seniman di Yogya, “Jakarta hanya pusat pemerintahan,
bukan pusat kesusastraan”, mengapa kanon tersebut melekat ke Jakarta? Adanya Taman
Ismail Marzuki (TMI), media masa macam Tempo, Kompas, DeTik
dan Majalah Horison yang mendaku sebagai media masa dan majalah sastra
nasional.
Selain secara
historis, Yogyakarta juga dianggap juga sebagai “pusat” kebudayaan Jawa. Dalam sudut
pandang kebudayaan tersebut, dapat dilhat pula bahwa “daerah istimewa” ini
merupakan tempat yang kaya akan budaya. Posisinya sebagai pertemuan berbagai
suku bangsa dengan berbagai ragam kebudayaan membuat Yogyakarta senantiasa
diwarnai dengan arus sosiologi dan politis yang kuat.
Bagi yang
pernah berdomisili di Yogya, entah bekerja atau kuliah tentu mengenal betul di
sana kandangya para seniman, penulis, penerbitan dan buku. Pengarang sebagai
pencipta satra, penerbit sebagai penyebar sastra, dan pembaca sebagai
penganggapnya, merupakan faktor-faktor penting dalam mengambangkan sastra di
Yogyakarta.
Namun, seorang Emha tidak terbentuk begitu saja selama berkarya di Yogya. Sebagai orang yang lahir di Jombang dengan budaya ludruk dan madrasah menjadi bekal karakter kuat seorang Emha. Pindah ke Yogya sejak beliau SMP, kemudian melanjutkan SMA dan Kuliah di UGM (tidak tuntas) karena memilih menggelandang di Malioboro sampai semesta mempertemukannya dengan maha guru, Umbu Landu Paranggi. Proses selama di PSK dan Yogya inilah yang kemudian menjadikan sosok Mbah Nun dan Yogya memiliki sumbangsih besar dalam jagad kesusastraan di Indonesia.
Dari segala
pergulatannya tersebut, Mbah Nun memperoleh modal simbolis, modal kultural,
modal sosial dan modal ekonomi. Dari karya-karya sasra yang diproduksi Mbah Nun
itulah yang menjadikan dirinya menempati posisi dalam arena sastra dan sosial
nasional.
Baca tulisan saya yang lain: Apa Ada Yang Salah Dengan Cara Saya Membaca Buku?
Sayangnya,
dengan modal besar dan karisma yang dimilikinya, Emha belum kunjung mampu
membagikan modal-modalnya. Hal ini dapat dilihat dari pergulatan yang
dilakukannya, yang lebih mengutamakan produksi dan reproduksi karya-karyanya
daripada pembinaan seperti halnya yang dilakukan Umbu dan beberapa rekannya
dalam PSK. Dengan banyaknya modal yang dimiliki, Emha tidak memiliki murid,
sebagaimana Umbu dengan modal yang dimilikinya berhasil menghimpun sejumlah
murid di Yogyakarta dan Bali. Modal yang dimiliki Emha tidak dibagikan maupun
diwariskan kepada orang lain di sekelilingnya. Akumulasi modalnya digunakan
untuk mengokohkan ketokohannya sendiri dalam sejumlah arena. (Hal, 121).
Bagi para Jamaah
Maiyah (JM), kutipan tulisan di atas tentu sedikit mencengangkan dan membuat
kita geram. Namun, bagiku ini sungguh menarik. Kang Latief membuat paradigma
baru dan membuat pembaca bukunya mengkerutkan dahi sembari berfikir.
Menanggapi hal
tersebut, saya berpendapat jika Mbah Nun memang mendaku dirinya bukan sebagai Guru,
Panutan, Mursyid, Kiai atau sosok yang harus dipanuti laku dan tutur katanya. Dan
bagi para JM, hal ini sudah sering kita dengar di acara-acara Sinau Bareng yang
dihadiri Mbah Nun. Dalam beda kesempatan, Mbah Nun pernah berujar dalam acara Sinau
Bareng CNKK (Saya lupa lokasinya di mana) bahwa Maiyah yang ada sekarang
bukanlah buatan beliau. Maiyah ada atas pemberian Allah SWT, hal ini diperkuat
dengan banyaknya ribuan jamaah yang rutin hadir di pelbagai kota saat acara Sinau
Bareng di adakan.
Namun, jika
teman-teman sudah menonton video di Youtube pada chanel caknun.com episode
“Berubah atau Punah |Seri Aplikasi Symbolic.ID| Ep. 1”, Mbah Nun berkata
ke Mas Sabrang jika Maiyah membutuhkannya. Konotasi ini jika ditarik pada
konteks apakah Mbah Nun tidak memiliki murida atau mengharapkan penerus beliau,
terbantah.
Sungguh manarik,
agar menjadi sebuah pemahaman yang bulat. Saya harap pembaca mau untuk membaca bukunya
secara langsung. Bingung mau beli di mana? Silahkan cek Instagram “Pedagang
Kampung” dan nikmati diskon dan bonus yang menarik.
Terimakasih
Malang, 2
Desember 2020
Ali Ahsan Al
Haris
No comments:
Post a Comment