Wednesday, December 2, 2020

Resensi Buku Sepotong Dunia Emha

  

Saya pernah menulis, salah satu metode paling tepat untuk memahami karya seseorang adalah dengan membaca buku yang membahas tentang tokoh tersebut namun ditulis oleh orang lain. Entahlah, kurang lebih bahasanya seperti itu, bingung saya menuliskanya bagaimana. Hahaha. Cara ini saya dapatkan tahun 2012 saat banyak membaca buku yang membahas peristiwa 65. Banyak penulis yang menyudutkan Pak Harto yang salah, Sokarno salah, TNI AD dan PKI saling kerjasama untuk menjatuhkan Soerkarno dll. Nah, cara paling tepat untuk mencari mana sumber yang paling logis adalah dengan banyak membaca buku dari pelbagai penulis dengan tema yang sejenis.


Berbicara karya-karya Emha Ainun Nadjib (Mbah Nun), saya masih menerapkan metode di atas. Selain karena memang sudah terbius dengan esai-esai beliau yang menggelitik dan mencerahkan, banyak informasi yang saya dapatkan dari orang lain jika membahas tentang beliau, dan hal tersebut jarang saya dapatkan dari buku yang ditulis oleh Mbah Nun pun artikel-artikel yang berseliweran di jagat maya. Salah satu metode penelitian dalam Tesis kang Latief adalah wawancara, pertanyaan yang menjadi garis besar dalam wawancara: Pertama, Sejauh mana narasumber mengenal Mbah Nun, dan Kedua. Penilaian narasumber terhadap karya-karya sastra Mbah Nun.


Baca tulisan saya yang lain: Apa Itu Maiyah? 


Tesis yang dibukukan ini menggunakan teori Sosiologi Pierre Bourdieu yang dibantu dengan data-data sosiologi Mbah Nun dalam kiprahnya di arena sastra nasional dan sosial. Meskipun saya tidak pernah mendalami disiplin ilmu sosiologi, setidaknya ini menjadi pengetahuan baru. Tentu, jangan berekspetasi berlebih jika review buku ini bagus. Jare wong jowo, ojok ndakik-ndakik.


Kang Latief dalam menyusun Tesisnya mengumpulkan sumber penelitian terdahulu berupa makalah, buku, jurnal dll. Dari karya sastra yang dipilih oleh Kang Latief sebagai sumber rujukan penelitiannya sebagai sampel adalah kumpulan puisi Syair Lautan Jilbab, Sesobek Buku Harian Indonesia, dan Cahaya Maha Cahaya, novel-esai Gerakan Punakawan atawa Arus Bawah, Kumpulan esai Terus Mencoba Budaya Tanding dan Slilit Sang Kiai. Menurut Kang Latief, karya tersebut dipilih karena memiliki pengaruh bagi Mbah Nun dalam pergulatan beliau di arena sastra dan arena sosial.


Baca tuisan saya yang lain: Hidup Harus Pintar Ngegas Ngerem 


Untuk melengkapi data tersebut, dilakukan wawancara kepada beberapa orang yang memiliki hubungan dekat dengan Mbah Nun. Iman Budhi Santosa dipilih mengingat kedekatannya dengan Persada Studi Klub (PSK) dan Umbu Landu Paranggi yang didaku Mbah Nun sebagai guru beliau serta peranannya dalam arena sastra Yogyakarta. Mustofa W Hasyim dipilih karena kedekatannya dengan Mbah Nun baik di arena sastra, jurnalis, dan dalam acara pengajian yang digelar oleh Mbah Nun. Sedangkan Jabrohim dipiih karena mengingat perannya dalam penerbitan beberapa awal karya Mbah Nun.


Baca tulisan saya yang lain: Maiyah Adalah Sebuah Pohon Besar


Mbah Nun yang berdomisili di Yogya membuat salah satu daerah istimewa di Indonesia ini citranya makin menguat sebagai kota budaya. Hal ini senada yang masa itu hangat perdebatan bahwa Jakarta di daku sebagai pusat kesusastraan di Indonesia. Hal ini yang coba dibantah para seniman di Yogya, “Jakarta hanya pusat pemerintahan, bukan pusat kesusastraan”, mengapa kanon tersebut melekat ke Jakarta? Adanya Taman Ismail Marzuki (TMI), media masa macam Tempo, Kompas, DeTik dan Majalah Horison yang mendaku sebagai media masa dan majalah sastra nasional.


Selain secara historis, Yogyakarta juga dianggap juga sebagai “pusat” kebudayaan Jawa. Dalam sudut pandang kebudayaan tersebut, dapat dilhat pula bahwa “daerah istimewa” ini merupakan tempat yang kaya akan budaya. Posisinya sebagai pertemuan berbagai suku bangsa dengan berbagai ragam kebudayaan membuat Yogyakarta senantiasa diwarnai dengan arus sosiologi dan politis yang kuat.


Bagi yang pernah berdomisili di Yogya, entah bekerja atau kuliah tentu mengenal betul di sana kandangya para seniman, penulis, penerbitan dan buku. Pengarang sebagai pencipta satra, penerbit sebagai penyebar sastra, dan pembaca sebagai penganggapnya, merupakan faktor-faktor penting dalam mengambangkan sastra di Yogyakarta.



Namun, seorang Emha tidak terbentuk begitu saja selama berkarya di Yogya. Sebagai orang yang lahir di Jombang dengan budaya ludruk dan madrasah menjadi bekal karakter kuat seorang Emha. Pindah ke Yogya sejak beliau SMP, kemudian melanjutkan SMA dan Kuliah di UGM (tidak tuntas) karena memilih menggelandang di Malioboro sampai semesta mempertemukannya dengan maha guru, Umbu Landu Paranggi. Proses selama di PSK dan Yogya inilah yang kemudian menjadikan sosok Mbah Nun dan Yogya memiliki sumbangsih besar dalam jagad kesusastraan di Indonesia.


Dari segala pergulatannya tersebut, Mbah Nun memperoleh modal simbolis, modal kultural, modal sosial dan modal ekonomi. Dari karya-karya sasra yang diproduksi Mbah Nun itulah yang menjadikan dirinya menempati posisi dalam arena sastra dan sosial nasional.


Baca tulisan saya yang lain: Apa Ada Yang Salah Dengan Cara Saya Membaca Buku?


Sayangnya, dengan modal besar dan karisma yang dimilikinya, Emha belum kunjung mampu membagikan modal-modalnya. Hal ini dapat dilihat dari pergulatan yang dilakukannya, yang lebih mengutamakan produksi dan reproduksi karya-karyanya daripada pembinaan seperti halnya yang dilakukan Umbu dan beberapa rekannya dalam PSK. Dengan banyaknya modal yang dimiliki, Emha tidak memiliki murid, sebagaimana Umbu dengan modal yang dimilikinya berhasil menghimpun sejumlah murid di Yogyakarta dan Bali. Modal yang dimiliki Emha tidak dibagikan maupun diwariskan kepada orang lain di sekelilingnya. Akumulasi modalnya digunakan untuk mengokohkan ketokohannya sendiri dalam sejumlah arena. (Hal, 121).


Bagi para Jamaah Maiyah (JM), kutipan tulisan di atas tentu sedikit mencengangkan dan membuat kita geram. Namun, bagiku ini sungguh menarik. Kang Latief membuat paradigma baru dan membuat pembaca bukunya mengkerutkan dahi sembari berfikir.


Menanggapi hal tersebut, saya berpendapat jika Mbah Nun memang mendaku dirinya bukan sebagai Guru, Panutan, Mursyid, Kiai atau sosok yang harus dipanuti laku dan tutur katanya. Dan bagi para JM, hal ini sudah sering kita dengar di acara-acara Sinau Bareng yang dihadiri Mbah Nun. Dalam beda kesempatan, Mbah Nun pernah berujar dalam acara Sinau Bareng CNKK (Saya lupa lokasinya di mana) bahwa Maiyah yang ada sekarang bukanlah buatan beliau. Maiyah ada atas pemberian Allah SWT, hal ini diperkuat dengan banyaknya ribuan jamaah yang rutin hadir di pelbagai kota saat acara Sinau Bareng di adakan.


Namun, jika teman-teman sudah menonton video di Youtube pada chanel caknun.com episode “Berubah atau Punah |Seri Aplikasi Symbolic.ID| Ep. 1”, Mbah Nun berkata ke Mas Sabrang jika Maiyah membutuhkannya. Konotasi ini jika ditarik pada konteks apakah Mbah Nun tidak memiliki murida atau mengharapkan penerus beliau, terbantah.


Sungguh manarik, agar menjadi sebuah pemahaman yang bulat. Saya harap pembaca mau untuk membaca bukunya secara langsung. Bingung mau beli di mana? Silahkan cek Instagram “Pedagang Kampung” dan nikmati diskon dan bonus yang menarik.

 

Terimakasih

Malang, 2 Desember 2020

Ali Ahsan Al Haris

 

No comments:

Post a Comment