Saturday, March 20, 2021

Hati Yang Selesai


Ini adalah tulisan kedua, untuk membaca tulisan pertama silhakan klik Hati Yang Tak Selesai

Selalu menyalahkan keadaan, dan mengutuk bahwa Tuhan tidak adil atas nasib yang sekarang ia terima. Membandingkan hidupnya dengan orang lain, termasuk kontrasnya kehidupan yang ia jalani dengan adik-adiknya. Semua orang yang melihatnya berangkat bekerja, rasanya ingin ia kata-katai dan bangsat-bangsat kan karena ia kira sedang merendahkan profesinya sebagai Satpam.

“Maka yang disebut orang dewasa adalah manusia dengan hati yang selesai”. Kata Mbah Nun.


Si anak pertama yang berprofesi sebagai Satpam ini memiliki tetangga penjual nasi goreng. Ia menggoyang wajan pesanan demi pesanan untuk pelanggannya. Ia curahkan energinya untuk melayani pelanggan dengan sopan dan sebaik-baiknya pelayanan. Meski setiap wajan yang ia goyang tak pernah berharap mendapat uang, ia pasti akan mendapatkannya. Mengapa? Karena itu soal keharusan transaksi yang terjadi antara penjual dan pembeli, itu wajar dan memang logis.

Dalam urusan bekerja dan perniagaan. Kita mengenal konsep Gaji & Pendapatan. Si Satpam setiap bulannya mendapatkan gaji dari kantor. Si penjual nasi goreng setiap harinya mendapatkan penghasilan. Namun kita lupa jika ada kuasa Tuhan bernama Rezeki.

Sebab yang kita terima dari hasil bekerja tidak sama dengan rezeki dari Tuhan. Beda sekali, Cok. Mendapat pekerjaan sebagai PNS seperti yang si Satpam cita-citakan bisa jadi adalah sebuah musibah. Memiliki gaji tinggi, pangkat tinggi bahkan jualan yang laris manis pun bisa jadi itu adalah cobaan dari Tuhan. Bisa tidak kita diberikan amanah tersebut. Atau malah berujung menjadi musibah.

Baca juga Kenaikan Harga di Pasar Tradisional Itu Perang Harga Atau Hasil Musyawarah

Kasus si Satpam ini atau bahkan kita sendiri yang mengalami hal serupa sama saja dengan bunuh diri jangka panjang lewat penyembahan-penyembahan kita terhadap berbagai keinginan diri yang subyektif, egoistik yang pada akhirnya membuat kita semakin terpuruk, hancur dan kalah secara mental karena keinginan kita yang tidak pernah tercapai.

Hati kita dirundung penyakit. Hati kita tak pernah selesai.

Kerja kok jadi Satpam. Ini kan apes-apesnya pekerjaan. JANCOK.

Mbah Nun mengajarkan kepada kita dalam menjalani hidup harus bisa “Ngegas dan Ngerem”. Kamu bekerja di restoran, godaannya adalah dapat makan minum sepuasnya, itu tidak baik. Kamu menjadi Bendahara yang memegang uang perusahaan, godaannya adalah kamu bisa leluasa nyolong uang perusahaanmu. Kamu jadi pimpinan, tidak serta merta seenaknya sendiri memanfaatkan jabatanmu untuk melakukan tindak-tindakan yang mudarat. Parahnya, mentang-mentang kamu rajin Shalat dan mengaji, lantas kamu dengan entengnya mengkafirkan yang lain. Semua ada batasnya, hidup harus pintar Ngegas dan Ngerem.

Baca juga Hai Pak Anis Baswedan, Mundur Saja dari Gubernur DKI

Allah mengatakan bahwa “Ia patuh kepada hamba-Nya yang mematuhi-Nya”. Jika berpendapat Allah itu pelit, maka Ia akan menahan rezeki-Nya atas kita. Jika kita yakin dan gembira bahwa Allah maha kaya raya dan pemurah, maka Allah akan melimpahkan rezeki-Nya atas kita meski tidak harus berwujud hal-hal yang menurut konsep manusia disebut sebagai rezeki.

Kita memang tidak pernah selesai dengan diri kita sendiri. Dalam kancah sosial budaya saja, kita masih saja ribut dengan hal-hal yang sebenarnya masih dapat kita urai dan selesaikan dengan bicara baik-baik, musyawarah dan rendah hati.

Baca juga Lelaki Tua dan Kebiasaan Anehnya

Saya menjadi teringat pesan dari Ibunda saya. Beliau mewanti-wanti agar saya paham betul mana itu “Keinginan dan Kebutuhan”. Konteks tersebut bukan terjadi hanya pada pengelolaan uang, namun multiefek. Keinginan yang paling dangkal itu selera. Keinginan yang sangat dalam dan berenergi itu nafsu.

“Setiap gerak batin meminta ongkos energi, sehingga hidup yang tidak boros adalah manajemen untuk meminimalisir penggunaan energi untuk keinginan”. Kata Mbah Nun.

Puncaknya, mungkin tampak berat. Kita tidak perlu memiliki keinginan mendalam untuk mencari uang, harta, benda, pangkat dan status sosial. Karena jika kita selalu bekerja keras dengan langkah yang benar, maka kita akan mendapatkannya meskipun kita sama sekali tidak menginginkan hal tersebut. Jadi, energimu itu dipakai untuk bekerja saja.

Baca juga Propaganda Media, Media Propaganda

Masih ingat cerita protesnya para Malaikat ke Allah saat diciptakannya Adam dan diangkatnya beliau menjadi khalifah di bumi?  Allah menciptakan kita sebagai khalifah yang tinggi derajatnya, masa iya eksistensi itu dicederai dengan memberhalakan uang, harta benda dan jabatan sebagai tujuan primer.

“Cukuplah kita berupaya menjadi manusia yang rajin bekerja, terus melatih keterampilan, skill, berlaku profesional, bisa dipercaya, orang merasa aman kalau menitipkan sesuatu kepada kita. Konsentrasikan diri pada pembangunan kepribadian semacam itu, maka salah satu akibatnya Insyaallah akan uang yang mencari dan mengejar kita”. Kata Mbah Nun

Baca juga Legalisasi Pernikahan Sesama Jenis dan Rokok

Bagaimana? Kita sudah selesai dengan hati kita atau belum?

Terimakasih

Malang, 20 Maret 2021

Ali Ahsan Al Haris

  

No comments:

Post a Comment