Cukup lama saya tidak menulis yang beginian. Biasanya hanya menulis hasil resensi buku, artikel atau menuliskan suatu hal karena terinspirasi selepas membaca esai atau buku. Lahhh, sama saja dong. Memang benar, energi untuk menulis sering datang selepas saya menandaskan membaca buku atau membaca apa pun (Membaca bukan hanya buku, bisa membaca kondisi pergaulan dll). Poin utama ada pada, mau menghikmahi atau tidak.
Berbicara perihal menghikmahi hidup, saya jadi ingat yang sering Mbah
Nun sampaikan perihal “Hati yang Selesai”. Bagaimana itu? Saya menangkapnya sebagai “Menerima
apa yang Allah SWT berikan dan terus berusaha menjadi lebih baik”. Hidupnya
dipenuhi rasa bersyukur dan selalu memperbaiki diri. Bukan menyalahkan nasib, menuduh
Tuhan tidak adil dan menganggap semua orang adalah bangsat-bangsat yang
memperhinakan hidupnya.
Kondisi seperti itu terjadi pada semua orang. Tidak mengenal pendidikan apa yang ia tempuh, jenis pekerjaan, umur dan status sosial.
Kedua adiknya sudah berkeluarga. Tambah panas dia saat tahu adiknya
membeli perabotan baru, punya sepeda motor baru, istri dan anaknya dibelikan
baju baru yang tampak cerah dan mahal. Semakin bersungut-sungut si anak pertama
ini. Ia menganggap adik-adiknya itu sengaja memanas-manasi. Mau mengajak reseh
kakaknya dan ia juga berpikiran kedua orang tuanya lebih sayang ke adik-adiknya
daripada ke dirinya.
Hatinya dirundung penyakit. Hatinya tak pernah selesai.
Anak pertama ini menyangka bahwa pekerjaan yang bermartabat ya jadi
PNS, Tentara, Presiden, Juragan dengan banyak anak buah atau minimal ya jadi
Supervisor lah.
Kerja kok jadi satpam, ini kan apes-apesnya pekerjaan. JANCOK.
Energi, hati dan pikirannya habis terkuras untuk hal-hal yang mubazir.
Ia tidak bergerak mencari kemungkinan-kemungkinan bagaimana caranya mendapatkan
pekerjaan yang menurutnya baik. Malah diam-diam memikirkan bagaimana caranya
bisa maling di tempat ia bekerja agar dapat membelikan baju anak istrinya dan
memberikan sedikit uang bulanan untuk Ibunya.
Wah, kalau itu malah tambah celaka bukan.
Kini wajahnya penuh dengan banyak kerutan, cahaya semangatnya padam, ia
loyo karena mentalnya terpukul. Pekerjaan idamannya tidak pernah tercapai, kesehariannya
tetap menggerutu dan menggerutu.
Adiknya yang ragil mencoba menasihati kakangnya. Petuah dan tawaran
bantuan hilir mudik mencoba membobol kerasnya hati saudara lelakinya itu. Tapi
sangat disayangkan, hati kakangnya itu sudah rakus dengan tuntutan dan haus
ketidakrelaan.
“Kita semua diborgol oleh irama tagihan-tagihan dari dalam diri kita
sendiri. Kita mengidap narkoba, sabu-sabu, uap lem, marijuana dan
politik kekuasaan”. -Mbah Nun.
Terimakasih
Malang, 17 Maret 2021
Ali Ahsan Al Haris
No comments:
Post a Comment