Wednesday, March 17, 2021

Hati Yang Tak Selesai

 


Cukup lama saya tidak menulis yang beginian. Biasanya hanya menulis hasil resensi buku, artikel atau menuliskan suatu hal karena terinspirasi selepas membaca esai atau buku. Lahhh, sama saja dong. Memang benar, energi untuk menulis sering datang selepas saya menandaskan membaca buku atau membaca apa pun (Membaca bukan hanya buku, bisa membaca kondisi pergaulan dll). Poin utama ada pada, mau menghikmahi atau tidak.

Berbicara perihal menghikmahi hidup, saya jadi ingat yang sering Mbah Nun sampaikan perihal “Hati yang Selesai”.  Bagaimana itu? Saya menangkapnya sebagai “Menerima apa yang Allah SWT berikan dan terus berusaha menjadi lebih baik”. Hidupnya dipenuhi rasa bersyukur dan selalu memperbaiki diri. Bukan menyalahkan nasib, menuduh Tuhan tidak adil dan menganggap semua orang adalah bangsat-bangsat yang memperhinakan hidupnya.

Kondisi seperti itu terjadi pada semua orang. Tidak mengenal pendidikan apa yang ia tempuh, jenis pekerjaan, umur dan status sosial.


Ada cerita seperti ini. Sebuah pasutri memiliki tiga anak. Anak pertama bekerja sebagai Satpam, adiknya yang kedua menjadi PNS, dan yang ragil sudah diangkat menjadi pegawai tetap di salah satu perusahaan BUMN. Anak pertama ini selalu menyalahkan kedua orang tuanya karena tidak menyekolahkannya sampai sarjana. Ia menganggap profesi Satpam bukanlah profesi yang bermartabat di keluarga besarnya, apalagi lingkungannya. Saat ada tetangga yang melihatnya berangkat bekerja, ia merasa tetangganya itu sedang mengata-ngatainya, menganggap rendah profesi dan dirinya. Kalau perlu, setiap ada orang yang melihatnya memakai seragam Satpam akan ia pelototi balik sembari meso, JANCOK.

Kedua adiknya sudah berkeluarga. Tambah panas dia saat tahu adiknya membeli perabotan baru, punya sepeda motor baru, istri dan anaknya dibelikan baju baru yang tampak cerah dan mahal. Semakin bersungut-sungut si anak pertama ini. Ia menganggap adik-adiknya itu sengaja memanas-manasi. Mau mengajak reseh kakaknya dan ia juga berpikiran kedua orang tuanya lebih sayang ke adik-adiknya daripada ke dirinya.

Hatinya dirundung penyakit. Hatinya tak pernah selesai.

Anak pertama ini menyangka bahwa pekerjaan yang bermartabat ya jadi PNS, Tentara, Presiden, Juragan dengan banyak anak buah atau minimal ya jadi Supervisor lah.

Kerja kok jadi satpam, ini kan apes-apesnya pekerjaan. JANCOK.

Energi, hati dan pikirannya habis terkuras untuk hal-hal yang mubazir. Ia tidak bergerak mencari kemungkinan-kemungkinan bagaimana caranya mendapatkan pekerjaan yang menurutnya baik. Malah diam-diam memikirkan bagaimana caranya bisa maling di tempat ia bekerja agar dapat membelikan baju anak istrinya dan memberikan sedikit uang bulanan untuk Ibunya.

Wah, kalau itu malah tambah celaka bukan.

Kini wajahnya penuh dengan banyak kerutan, cahaya semangatnya padam, ia loyo karena mentalnya terpukul. Pekerjaan idamannya tidak pernah tercapai, kesehariannya tetap menggerutu dan menggerutu.

Adiknya yang ragil mencoba menasihati kakangnya. Petuah dan tawaran bantuan hilir mudik mencoba membobol kerasnya hati saudara lelakinya itu. Tapi sangat disayangkan, hati kakangnya itu sudah rakus dengan tuntutan dan haus ketidakrelaan.

“Kita semua diborgol oleh irama tagihan-tagihan dari dalam diri kita sendiri. Kita mengidap narkoba, sabu-sabu, uap lem, marijuana dan politik kekuasaan”. -Mbah Nun.

 Baca kelanjutan ceritanya Hati Yang Selesai

Terimakasih

Malang, 17 Maret 2021

Ali Ahsan Al Haris

No comments:

Post a Comment